Pages

Kamis, 30 Desember 2010

WANITA [MENG]ADA


Judul buku : Her Story, SejarahPerjalanan Payudara

Penulis : Dra. NaningPranoto, MA

Penerbit : Kanisius,Yogyakarta

Tebal : 258 halaman

Cetakan : pertama, 2010

Peresensi : Warih Firdausi*

Perbedaanmendasar antara laki-laki dan perempuan rupanya membawa lebih banyak lagi perbedaansetelah mereka mengada dalam ruang publik bernama masyarakat. Adanya perbedaananatomi tubuh antara pria dan wanita membentuk asumsi masyarakat terhadappemisahan hak dan kewajiban antara keduanya. Perbedaan tersebut seringkalimenjelma kesenjangan dalam berbagai lini kehidupan baik ekonomi, sosial,politik, bahkan ritual keagamaan. Akhirnya, perempuan distigmakan sebagai konco wingking atau sekedar second sex yang berfungsi hanya sebagaipelengkap kehidupan lelaki saja. Stigma miring itu barangkali berangkat daripemahaman terhadap teks agama yang kaku atau arogansi maskulinitas. Terlepas dari apapun sebabnya kita harus mengakui bahwa itulah produk budaya patriarkhiyang terlanjur mendarah daging.

Dalam buku ini,Naning Pranoto mengajak kita merenungkan sejenak kehidupan perempuan. Betapaternyata mereka memegang peran yang sangat signifikan yang bahkan melampaui laki-laki.Namun dalam kenyataannya mereka seringkali tidak pernah mendapatkan hak-hak yangseharusnya mereka terima. Penulis menceritakan bagaimana para TKW menjadipahlawan devisa bagi negaranya tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadaidi luar negeri tempat mereka mengais rezeki. Sehingga tak jarang kita mendengarkasus-kasus penyiksaan majikan terhadap para TKW. Sementara itu, negara takmampu melakukan usaha apapun untuk membela mereka.

Buku yang sarat denganbukti-bukti historis dan faktual ini ditulis secara reflektif dan komunikatif.Barangkali inilah yang menjadikan buku ini mudah dicerna dan menggugah paraperempuan untuk bangkit menegaskan eksistensinya. Perempuan adalah subyekdiantara subyek-subjek yang lain (Others). Subyek adalah setara dengan Subyeklainnya. Sebab setiap Subyek memerlukan Subyek lainnya (hal 50). Oleh karena itu, perempuan tidak boleh dipandang hanya sebagai objek yang bisa dinikmatidan diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum lelaki.

Feminisme yangdituangkannya dalam buku ini juga bukan faham yang mendudukkan laki-lakisebagai musuh yang harus dibenci. Penulis juga tidak terjebak kepada feminisme liberal-radikal yang cenderung selalu menyalahkan laki-laki. Mungkin karenacara pandang itulah banyak diantara wanita memilih menjadi lesbian. Menurutpembacaan saya, penulis buku ini memiliki ekspektasi akan terciptanyakesetaraan status dan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan tersebut harus terejawantahkan dalam ruang nurtural (konstruksi budaya) tanpa memandangperbedaan kelamin (gender) yang merupakan faktor bawaan (natural).

EksploitasiTubuh Perempuan

Seiringberjalannya waktu, masyarakat sedikit demi sedikit mulai menerima hadirnyaperempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang yang dulu masih dianggap tabubagi perempuan. Tetapi kesuksesan feminisme ini ternyata tidak selamanyaberdampak positif. Karena pada kenyataannya ia membawa efek samping. Kendati parawanita telah berani dan dapat diterima untuk bersanding setara dengan laki-lakidalam berbagai aspek kehidupan, rupanya ada pihak (bahkan dari kaum perempuan sendiri) yang mencuri kesempatan untuk memanfaatkan mereka.

Terbuka luasnya ruang publik bagi kaum hawa ternyata juga membuka peluang ranjau bagi mereka. Banyakperempuan yang bekerja dan dipekerjakan bukan karena kemampuan dan keahlianmereka, melainkan karena kemolekan tubuh mereka. Tak sedikit diantara merekayang rela menjadikan organ vitalnya sebagai "mesin uang". Antara lainpenonjolan payudara, mulusnya paha, dan lekuknya pinggal-pinggul tidak hanyauntuk mengiklankan pakaian dalam dan pakaian renang tetapi juga parfum, kasur pegas, mobil mewah, supplement dan minuman (hal 193). Bahkan dengan bangga mereka menganggap hal tersebut bagian dari kebebasan wanita sebagai manifestasikesetaraan gender.

Ironisnya bentukpenjajahan berupa eksploitasi tubuh semacam ini justru yang paling diburu oleh para wanita muda dari berbagai pelosok yang datang ke ibukota (hal 194).Apalagi orientasinya kalau bukan semata-mata karena uang dan uang? Tak ada lagi terbersit di pikiran mereka tentang arti kemerdekaan dan arti kemampuan padadiri mereka. Bagi mereka, bekerja dengan "pamer tubuh" adalah jalan terabasuntuk meraih banyak uang dengan mudah dan cepat tanpa perlu kerja keras secarafisik maupun otak. Bukankah hal ini sama sekali tidak mengukuhkan adanya kemampuan, kecerdasan dan keahlian yang melekat dalam diri wanita?

Jika demikian apalah arti kata wanita yang dalam kereta basa -permainan bahasa- jawaberarti wani ing tata (berani dalam tata-menata)? Hal ini tidak hanya bermakna bahwa wanita harus berpenampilan menarik dan pandai bersolek saja. Lebih dari itu ia harus dapat menata serta mengelola dirinya dan kelak keluarganya yang mau tidak mau harusmembutuhkan kemampuan, keahlian dan keterampilan. Dengan demikian wanita tidaksekedar "ada" sebagai pelengkap saja, namun ia "mengada" sebagai subyek otonom.Sehingga perempuan "mentas" ke dunia ini tidak sia-sia. Karena hadirnya turutserta mewarnai dan mempengaruhi gemerlapnya dunia.

KOMUNISME AGAMA-AGAMA, AGAMA-AGAMA KOMUNIS


Judul buku : Madilog, Materialisme, Dialektika dan Logika

Penulis : Tan Malaka

Penerbit : Narasi, SumberanYogyakarta

Tebal : 568 halaman

Cetakan : pertama, 2010

Peresensi : Warih Firdausi*



Gurita kapitalismedi Indonesia, walaupun telah terbukti borok-boroknya, selama kurang lebih 45 tahun semenjaktumbangya orde lama seolah semakin menggedibal. Agaknya pemegang kuasa negeriini sudah benar-benar ekstase tercandu oleh faham ini. Dengan kepongahan kuasa,mereka menghalalkan segala cara untuk melayani hasrat perut mereka sendiri. Akhirnyakapitalisme mencipta kelas-kelas kasta baru. Borjuis (pemegang modal) danproletar (kaum buruh/ rakyat jelata).

Sesuai prinsip kapitalisme, siapa punya modal dia yang berkuasa. Sadar atau tidak, sebenarnyamereka, para pemimpin negeri ini juga sedang dipermainkan oleh tangan kuasayang lebih besar dari mereka. Bagaimana tidak? Berapa persen penghasilan Negara kita yang katanya gemah ripah loh jinawi,tukul kang sarwo tinandur, sehingga mendapat gelar sebongkah tanah surga, lari ke kantong investor asing? Inilah akibat dari kertergantungan terhadap modal luar negeri. Jika mereka tidak sadar berarti Negara kita ini sedang dipimpin oleh orang-orang yang tolol. Dan parahnya lagi jika mereka melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran, sungguh bejat sekali orang yang tega menjual negaranya demi kepentingan nafsu pribadi.

Dalam kitab (ia menyebutnya begitu) Madilog ini, sebenarnya Tan Malaka (tahun 1942-1943, ketika menulis buku ini) me"ramal"kan bahwa Indonesia kita akan bangkit dan merdeka jika terjadi ledakan kekuatan tersembunyi kaum proletar. Kekuatan tersembunyi ituseperti gaya potensial yang tersimpan dalam pegas yang terus menerus tertekanoleh kebengisan dan ketidakadilan. Maka tatkala pegas ini telah mencapai titik puncak daya tahannya, ia akan meledakkan gaya kinetiknya sekuat-kuatnya yangakhirnya melahirkan revolusi peradaban. Dia percaya Indonesia telah lamamengandung kekuatan tersembunyi itu, sayangnya masyarakat kita masih banyakyang terbuai oleh takhayul dan ilmu akhirat yang tercampur aduk (hal17). Mereka belum insaf untuk melek filsafat dan berfikir logis. Bahkan hingga zaman modernini, mental mistis bangsa Indonesia masih terasa kental sekali. Bagi Tan Malakaselama masyarakat masih berfikir menggunakan "logika mistik" maka ia takkanpernah maju.

Dengan gayabahasa laiknya orang yang sedang bertutur cerita, Tan Malaka membawa pembacamenjelajah pelbagai ilmu pengetahuan dari matematika, logika, fisika,astronomi, sejarah sampai filsafat yang beraliran dialektika materialis yang banyak dipengaruhi oleh Frederich Engel dan bapak Sosialisme, Karl Marx. Inilahyang menjadi kelebihan sekaligus kelemahannya (untuk zaman sekarang). Di satusisi hal ini menegaskan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tetapidi sisi lain terkadang pembaca (zaman sekarang) merasa tak jauh beda denganmembaca buku pelajaran sekolah, hanya saja dengan contoh yang berbeda dan lebihkonkrit. Yang patut dihargai dan mungkin disayangkan pula, penyunting buku inihanya sempat membenahi ejaan hurufnya saja, sedangkan gaya bahasa dan diksikitab Madilog masih seperti gaya bahasa jadul sehingga terkadang membuatpembaca harus membaca berulang kali agar mendapatkan pemahaman yang sempurna.

Di bagian akhir buku ini, Tan Malaka menyinggung sejarah agama-agama, khususnya monotheis. Iamenjelaskan bagaimana agama-agama tersebut saling berseluk-beluk,masuk-memasuki dan saling membawa pengaruh satu sama lain. Sehingga tak adagunanya memperuncing perbedaan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Bahkan imbuhnya, tiga agama monotheis,Yahudi, Nasrani dan Islam yang nota bene paling kerap berkonflik menurutnyaadalah tiga sejiwa. Karena mereka lahir dari satu bangsa, bangsa Semit (Yahudidan Arab) yang mempunyai ujung yang sama yakni Nabi Ibrahim. Ketiganya jugamempunyai persamaan jiwa dan persamaan sari yang berinti pada satu Tuhan (hal460).

Dia jugamenganggap bahwa ketiga agama tersebut memiliki unsur-unsur pembebasan,egaliter, dan kominisme. Ia menggambarkan bagaimana ketegaran Nabi Musamemperjuangkan dan membela hak kaum budak bani Israil melawan tirani Fir'aunyang maha kejam. Bahkan dalam agama Kristen yang sekarang menjadi pengamal kapitalismeterbesar di dunia, menurut Tan Malaka mereka mengamalkan teori komunismesederhana ketika dulu Yesus masih hidup (hal478). Nabi Isa dengan berlandaskan ajaran kasihnya terhadap sesama tetap teguh memegang asasnya sampai nafas terakhir.

Begitu puladalam agama Islam, bagi Tan Malaka Nabi Muhammad adalah Rasul terbesar danparipurna bagi monotheisme yang menyempurnakan ajaran keesaan agama-agamasebelumnya sebagaimana Einstein menyempurnakan teori pamungkas Relativitas.Maka pesan ke-egaliteran Islam sebagai agamanya pun paling jelas. Islam mengajarkan persamaan semua manusia di mata Tuhan. Setiap manusia bisa langsung berhubungan dengan Tuhannya tanpa melalui kasta rabi atau pendeta sebagaiperantara atau cukong dan tengkulak antara hubungan manusia dengan Tuhan. Danprinsip ini seharusnya juga berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, tetapsaja setiap zaman mempunyai metode tersendiri untuk menghadapi problematikanya.Meminjam istilah Ayu Utami, apa yangmendesak sekarang belum tentu penting di kala lampau dan kala depan. Melihat kuasa logika dan teknologi yang pada kenyataannya juga membawa dampak negatif,seperti mutlaknya kebenaran dan dekadensi moral, lantas apakah paradigmaMadilog cocok untuk kondisi bangsa Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawabannya silakan membaca Kitab Madilog secara sempurna.

MENYIBAK DODOT MANUSIAWI*

*cerpen ini pernah dimuat di Surabaya Post


Leyeh-leyeh menghisap mbako lintingan. Merebahkan lelah pada dipan. Bersiul sembari menatap laku zaman yang semakin edan. Menghitung laba mengakali rugi.

“asu asu… uangku lidis untuk menyuap polisi.”

Tiba-tiba benak ini teringat sebuah cincin. Cincin yang kutemukan di samping hape pada ventilasi pintu wc. Kuamati setiap lekuk busurnya. Indah sekali. Satu busurnya dari besi. Busur yang lain dari kuningan mengkilap. Matanya mutiara bundar tergores sepasang segitiga yang saling berpangutan. Sungguh mesranya mereka bercinta gaya 69. Mereka berpadu saling tumpu dan berikatan membentuk heksagram. Bintang simetris bersudut enam. Di kelilingi oleh empat intan permata gemerlap.

Kupasangkan cincin itu ke jari kiri. Kuamati lekat-lekat. Pas sekali. Ah, aku ingin sejenak terlelap, bermimpi menjadi Sulaiman. Raja digdaya nan kaya raya. Kan kuperbudak jin dan manusia, kupersunting beratus ratu sejagad, kujadikan selir beribu miss universe sepanjang zaman.








* * * *



“auuu... wong wong wong…” kudengar asu milik singkek depan langgar menyalak seperti mengejekku.

“wong wong wong…” kudengar asu itu juga memisuh. Menguntabkan kekesalan dan keterzhaliman.

“wong wong wong…“ bahkan kudengar ia memaki kawannya. Menghinakan dan mengumpat sesamanya dengan sebutan “wong”

“Wong wong wong…” itu juga yang kusimak saat pencuri masuk ke rumah tuannya. Tak kudengar umpatan lainnya seperti jancuuk, anjrit, diampuut, bahkan celeng. Lama-lama aku jengkel,

“assuu koe suu…”

“ah tenyata baginda juga sudah tercemar konstruksi budaya pisuhan bangsa ini. Hamba kira baginda Sulaiman tak bisa misuh.”

“eee.. eee… tak ingatkah kau ketika akan kusembelih hudhud? Pisuhan, umpatan itu manusiawi. Bahkan semulia-mulia manusia, kanjeng Nabi Muhammad pun pernah sesekali memisuhi kabilah Lihyan, Ri’l, Zakwan dan ‘Usaiyah.”

“Ya manusiawi tapi bukan insani tuan. Yang membuat hamba serik adalah bangsa ini memisuh dengan nama hamba. Bukan hanya itu, terlebih kami tak lagi menemukan makhluk terbejat yang pantas untuk dijadikan pisuhan selain wong.“Wong wong wong…”

“Beraninya lagi kau memisuhi dan menghina makhluk ahsani taqwiim. Mau kupenggal kau nanti?”

“Ampun baginda, tapi sudah terlalu banyak manusia yang terjerembap ke jurang asfalas safiliin. Kuping mereka budeg, mata mereka picek, tangan mereka sudah buntung. Mereka sudah kehilangan nurani. Setiap hembusan nafas berbau curiga dan prasangka. Akhirnya dada mereka sesak dengan kebencian. Mereka sudah tidak punya tepo slira, tidak tanggap ing sasmita, apalagi rasa tresno. Mereka relakan kemanusiaan mereka untuk menjadi sekedar binatang.”

“Lho, lha kok nglunjak koe su.. Pantes kanjeng Nabi Agung menajiskan dan mengharamkanmu, seperti najisnya celeng titisan yahudi terlaknat. Tak salah bangsa ini menjadikan namamu sebagai pisuhan.”

“Sekali lagi ampun baginda, lupakah baginda akan makna haram itu? Setahu kami, itu karena kanjeng Nabi memuliakan kami. Mungkin beliau tahu nenek moyang kami dulu adalah titisan dewa yang akhirnya dihukum menjadi si Tumang. Ayahanda si Sangkuriang yang bejat karena ingin menikahi ibundanya, Dayang Sumbi. Entah kenapa sepeninggal beliau, tiba-tiba umatnya begitu membenci kami. Jangankan tubuh kami masuk masjid, lha wong hanya nama kami saja yang keluar dari mulut bocah tak berdosa langsung ditampar oleh imam mesjid.”

“Alah su.. su, Masa ada kanjeng Nabi percaya sama yang namanya dewa. Syirik murokkab namanya, kontradiktif sekali bualanmu itu. Kau ini memang minal dobolin wal gedebusin.”

“Memang beliau tidak percaya, tapi beliau sangat menghargai budaya lokal sebuah bangsa.”

“Buss… Lebih baik kau ini nrimo ing pandum wae su.. Takdirmu menjadi asu ya sudah jangan bermimpi jadi dewa.”

“Lho hamba ini nrima tuanku, kurang nrimo bagaimana? Bahkan hamba bangga jadi asu. Menjadi pengawal dan tunggangannya dewa Syiwa.”

“lah wis murtad kamu su…”

“Ampun baginda, tak ada kata murtad dalam kamus kehidupan kami. Murtad hanya berlaku bagi manusia bukan binatang seperti kami. Baginda juga jangan menjustifikasi syirik kepada kami. Kami percaya pada Gusti Allah melampaui wong wong itu. Hanya saja kami bangga menjadi simbol makhluk yang paling taat kepada tuannya. Tidak seperti wong-wong itu. Jangankan keluarga dan Negara, lha wong Pengeran Rabbul ‘izzati saja mereka khianati.”

“Kau ini, pandai berapologi su..”

“Ini bukan apologi, ini kenyataan tuanku. Justru wong-wong itulah yang pandai bersilat lidah. Sampai-sampai alqur’annya kanjeng Nabi secara jelas menyindir mereka aktsaru syai’in jadala. Oh, Baginda mungkin belum kenal lembaga perwakilan rakyat negeri ini. Apalagi kalau pemilu, tidak hanya ngusap dada, hamba sampai ngusap kelamin juga baginda…”

“Halah pikiranmu itu ngeres men to, ….”

“Ampun beribu ampun baginda, salah siapa baginda? Lha wong saya cuma menikmati “wudodari-wudodari” itu ngebor kok. Oh iya, tahukah baginda? Wong-wong itu sekarang tak lagi hanya melacurkan wudodari-wudodari , bahkan mereka telah berani melacurkan Negara dan agama. Asset-aset Negara diselundupkan, hukum dibuat mainan, agama dijadikan komoditas kepentingan. Masih mending onani hamba yang diiringi masturbasi spiritual. Mensyukuri dan menikmati jamaliyah Tuhan yang terpancar dari pupu-pupu mulus dan goyangan erotis para biduan.”

“Elho berani-beraninya kau mencampur adukkan nafsu dengan ibadah. Itu bid’ah dhalalah.”

“Kata siapa baginda? Lha wong hamba ini meniru sunnah baginda.”

“Sunnah yang mana? jangan mengada-ada kau!”

“Bukankah baginda mendakwahkan agamanya Gusti Allah dengan menikahi ratu-ratu sejagad?”

“Lho beraninya kau menghujat Rasul Allah. Utusan Allah itu pengganti Gusti Allah di muka bumi, Khalifatullah fil ardh. Sayyidin panatagama, Satriyaning nagari. Sabdanya titah Pengeran, amarahnya murka Tuhan. Lha kok kamu ngoceh sak enake wudelmu.”

“Ampun baginda, hamba tahu semua itu. Namun setahu hamba tidak ada wudel yang bisa ngoceh selain wudel wudodari-wudodari yang membangkitkan birahi. hihihih”

“Cangkemmu ndak punya sopan santun. Ngomong sama kamu memicu amarah. Mengotori hati. Padahal susah payah aku me-rekso-nya. Aku pamit dulu su, hendak menentramkan hati sembari menggilir ratu-ratuku.”

“Sumonggo baginda, ndherekaken.”



* * * *



Seingatku, ini hari keempat puluh setelah kudapat cincin itu. Angin berhembus mengarak awan. Awan menari menghibur cakrawala pagi. Dari angkasa kulihat elok panorama bumi.

“Subhanallah… indah sangat dunia Panjenengan Gusti. Membuatku semakin berhasrat menjamah nirwana Panjenengan yang maha edi.” Tiba-tiba awan yang kukendarai tersesat dalam gumpalan pekat mendung.

“Gusti Allah nyuwun ngapuro… Hei awan, Bukankah kusuruh kau pergi ke jepang? Lupakah kau jam sembilan tepat jatahku menggilir Miyabi? kenapa pula kau bawa Nabimu ke gumpalan mendung ini? Bukankah bulan ini bukan jadwalmu untuk mengguyur bumi?”

“Ampun baginda, bukan maksud hamba membangkang. Ini diluar kuasa hamba. Sistem sirkulasi dan hidrologi bumi kami dikacaukan oleh wong-wong tengik itu . Mereka telah terlalu melukai atmosfer bumi. Uap dan asap dari mesin-mesin industri canggih mereka mengoyak selimut ozon kami. Bukan hanya itu, mereka membabat habis jantung bumi tanpa melakukan reboisasi. Akibatnya komposisi udara tak terkontrol. Emisi karbon kami membludak menjelma rumah kaca. Terik matahari panasnya makin berlipat kali. Mereka terjebak, terpenjara tak bisa keluar dari atmosfer bumi. Akhirnya ac pendingin bumi di utara dan selatan meleleh membentuk gletser yang sedikit demi sedikit mengikis habis pulau-pulau bumi. Wong-wong bagsat itu benar-benar bejat tak bertanggung jawab.”

“Walah kau ini sama saja dengan asu. Sukanya mengutuki bangsaku. Bisakah kau membelokkan arah, mengambil lajur lingkar menghindari hujan?”

“Ampun tuanku. Jika angin tak bertiup kencang insya Allah akan hamba usahakan tuan.”

“Awan, tahukah kau kenapa akhir-akhir ini petir sering sekali menggelegar memekakkan telinga manusia?”

“Oh itu baginda, mungkin gara-gara saudaraku angin sedang gencar-gencarnya bercinta untuk mereproduksi ozon yang beberapa telah koyak oleh gas-gas beracun ciptaan manusia.”

“Benarkah? Lalu kenapa bumi tetap saja semakin panas?”

“Itulah yang kami takutkan baginda, jangan-jangan saudari angin telah monopouse tak sesubur dulu lagi. Atau barangkali justru saudara angin yang senjatanya telah expired, mejen dan mandul. Ini benar-benar ngalamat akhir zaman baginda.”

“Ee ladalah cilaka baginda?”

“Ada apa wan? Kau membuatku khawatir saja.”

“Gusti kang Murbeng Dhumadi punya kehendak lain baginda.”

“Kehendak yang bagaimana?”

“Tidakkah tuan merasakan suhu daerah ini menjadi anjlok secara drastis?’

“Wah benar, kenapa tiba-tiba di sini menjadi adhem sekali? Sebentar lagi pasti angin dari segala penjuru akan mendorong awan-awan yang mereka arak menuju ke sini. Kita terkepung.”

“Tuanku baginda, ampun beribu ampun tuanku. Hamba sudah tak kuat lagi menopang tubuh gempal baginda. Suhu yang anjlok sebentar lagi akan membuat hamba mencair. Jatuh menyiram bumi.”

Benar saja, tanpa menunggu hitungan menit, awan tempatku bertelekan telah mulai mengembun. Bergegas kujejakkan kaki ke awan lain yang mungkin lebih padat. Percuma, itu pun tak lama. Nasib mereka sama. Percikan kilat menyambar dimana-mana. Diikuti gelegar guruh berteriak memekakkan telinga.

“Duh Gusti nyuwun ngapunten, apa yang hendak Panjenengan pamerkan kepada hamba? Akankah Panjenengan hendak men-tajalli-kan ke Maha Perkasaan-Mu melalui gledek-gledek itu? Sebagaimana yang dulu Panjenengan lakukan kepada simbah Musa di atas bukit Thursina?”

Di luas altar lazuardi, plus minus udara sedang mengejar klimaks persetubuhan. Ah, sebentar lagi pasti mereka akan oragasme memuntahkan air kehidupan. Jauh dibawah sana bumi menggoyangkan lidahnya bersiap sedia menguntalku.

“Bumi gunjang-ganjing, langit klat-klaton….” Bergetar hebat sekujur badan. Hingga cincin mutiaraku terlepas jatuh ke lautan. Bercampur zabarjud, lu’lu’ dan marjan. Mulut bumi semakin bergravitasi kuat menghisap jasad. Buru-buru kupejamkan mata dan kuteriakkan syahadat sebelum benar-benar terlumat.



* * * *



“Gedebuk…” Mataku terbelalak kaget. Dengan nafas memburu kuberusaha menyusun kembali memori-memori yang berserak antara mimpi dan kasunyatan. Syukurlah aku terhindar dari kematian. Hanya saja pinggangku nyeri jatuh dari dipan. Anehnya, cincin mutiaraku benar-benar hilang. Baru saja otakku berhasil menguasai kesadaran, kudengar suara ricuh meraung-raung. Aku diseret keluar oleh aparat berseragam. Kios jamuku diluluh lantakkan. Jamu-jamu daganganku diusungi ke dalam truk bersama barang dagangan orang-orang. Aku berteriak menghadang, malah ditendang.

Kudengar teriakan dan umpatan kawan-kawanku sesama pedagang,

“Kalau begini buat apa saban hari kami bayar karcis dan keamanan? Dasar aparat bajingan… mikerke udele dhewe.”

“Bug..” Bogem mentah melayang menghantam rahang. Ingin kami lempari mereka dengan batu bahkan tahi. Tapi bedil mereka menciutkan nyali. Aku sudah tak tahan lagi. Kupisuhi anjing-anjing kapitalis itu keras-keras. Entah kenapa huruf “s (es)” tiba-tiba menguap lenyap dari pita suaraku. Yang keluar hanya lengkingan panjang bernada sengau,

“auuuu… wong wong wong….”



Semarang, 17082010/07091431





NB: cerita ini hanyalah fiktif belaka. mohon maaf apabila ada kemiripan nama, sifat, karakter atau tingkah laku. karena semua itu sama sekali memang bukan kebetulan.

terima kasih.

Minggu, 06 Juni 2010

DUKAMU DUKAKU, DERITAMU DERITAKU

Neng Lub, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Tsamratul Lubbiyyah kami sapa. Siapa yang menyangka dalam anugrah wajah yang anggun, teduh menawan, selalu menyunggingkan senyum manis kepada setiap yang memandangnya, sehingga mungkin hanya orang buta yang tak terpikat oleh pesonanya, dan juga tuli karena jika kau amati secara seksama, bahkan daun-daun pun ikut merunduk lirih jika mendengar tutur lembut dari indah suaranya, seolah mentasbihkan pencipta senandung merdu yang sedang berkidung itu, ternyata tergaris nasib derita tak terperi dan pahit-getir kehidupan yang menyayat hati akibat sebuah sistem kekuasaan imperial yang mentradisi sehingga menjadi semacam dogma dalam kehidupannya.
Neng Lub memang berbeda. Dia adalah putri bungsu kyai kami. Usianya selisih satu tahun lebih muda dariku walaupun dalam sekolah kami satu kelas. Selain cantik dan pintar (ma’af bukan cerdas), ia juga rendah hati, tidak merasa sok putri kyai. Menurut cerita-cerita gunjingan anak-anak putri pesantren kami yang kami dengar dari para pacar mereka, neng Lub tak segan makan senampan bahkan juga ikut memasak dan tidur bersama mereka. Dan ia lebih senang dipanggil oleh mereka dengan sebutan Mbak, bukan Neng. Sudah cantik, pinter, tidak sombong pula. Betul-betul cermin wanita shalihah, sebaik-baik perhiasan dunia bukan?
Tentu saja tak hanya para santri dan gus-gus, bahkan bajingan sekalipun pasti punya hasrat untuk memilikinya. Mulai dari alasan nafsu bejat hinggga alasan yang entah itu tawadhu’, tafa’ul[1] atau sekedar apologi untuk menutupi alasan yang pertama, “ngalap berkah.” Apapun motifnya, sungguh beruntung sekali lelaki yang bisa mendapatkan putri bungsu KH. Zarkasyi ini. Maka tidak salah dan tidak asing jika setelah shalat berjama’ah, terdengar di sela-sela doa-doa kami pekikan kecil dari seseorang atau beberapa santri “jodohkan aku dengan Neng Lub ya Allaah.” Dan para santri lain pun menyahut dengan keras “Aaamiiin...” Tak terkecuali aku.

* * * *

Adalah Gus Dullah dan kang Tohar. Mereka adalah teman-teman terdekatku. Dulu ketika kami sedang tongkrongan di warung mie ayam mak Juma’inah merayakan kemenangan kang Tohar dalam lomba qira’ah se-kabupaten, kami sempat membuat semacam taruhan kecil-kecilan. Barang siapa yang mampu mendapatkan hati neng Lub akan ditrkatir mie ayam, rokok, es teh sepuasnya oleh dua orang yang kalah. Taruhan khas pesantren.
Kendati aku pingen sekali mendapatkan hati neng Lub, rasanya tidak mungkin bersaing dengan kedua sahabatku ini. Meskipun tampangku tak kalah saing dengan mereka, namun dalam segi ras keturunan Gus Dullah pasti lebih unggul. Apalagi kalau harus saingan sama kang Tohar. Dia itu satu kali baca bait alfiah[2] langsung melekat di otaknya. Macam lem alteko otaknya itu.
“Lek, siap-siap aja mie ayamnya, baru saja aku luncurkan surat cintaku kepada neng Lub tersayang. Dia pasti langsung klepek-klepek baca puisiku. Hahaha..” kang Tohar mulai bertingkah.
“eit, jangan merasa di atas angin dulu kang.” Gus Dullah menyerobot.
“neng Lub itu sudah tak pagari pake pake wa alqaitu.”[3]
Aku mencoba mematahkan bualan Gus Dullah sembari menghibur diri, “Ah, mental gus mahabbahmu, wong abah Zarkasyi itu jadugnya sudah tersohor sak propinsi. Kecuali kalau sampean berani bilang langsung sama abah sampean. Pasti langsung dilamarken. Tapi apa iya sampean sudah berani? Lha wong alfiah dapat separo aja belum.”
“Hahaha… “ kami pun tertawa dengan pikiran masing-masing.
Sebenarnya sekarang aku sudah ingin melenyapkan rasaku terhadap neng Lub. Aku teringat pesan ibuku satu bulan lalu di ambang ajalnya. Beliau berpesan kepadaku untuk istqomah belajar. Jangan berpikiran yang macam-macam dulu, termasuk wanita. Kasihan bapak yang kerja sendirian membiayai sekolahku dan adik-adiku. Apa ndak punya hati, bapak di rumah jungkir balik memeras keringat supaya anak-anaknya jadi orang semua, di pondok aku malah enak-enakan pacaran. Ah mungkin ibuku khawatir usia remaja sepertiku biasanya sudah tercemar virus pacaran. Ya naluri keibuan selalu saja mengkhawatirkan anaknya. Dan ternyata memang terbukti kekhawatirannya itu.
Semenjak tiga puluh hari terakhir ini ritual sebelum tidurku berubah. Sebelumnya setiap kali merebahkan badan untuk terlelap, selalu saja pikiran ini melayang menerabas tembok besar yang menyekat menjadi batas pondok putra dan putri. Ia mencari suara lirih yang mungkin sedang menyenandungkan kidung surga di pojok kamarnya. Pikiran ini merekam setiap dengung suaranya dan meng-capture setiap gurat lekuk parasnya, juga merasakan degup jantungnya, siapa tahu terselip sekelebat namaku di sana.
Kini pikiran dan hatiku tetap menembus tembok besar itu. Namun ia tak berhenti dan terus melayang menuju Solo lalu mencari dua nisan yang masih kukuh menancap dan menghujam tanah-tanah lemah. Sekarang wajah ibuku yang terus terngiang di benakku. Mengenang setiap waktu yang pernah kami habiskan bersama. Menyesal belum sempat kuseka kedua sudut matanya yang selalu menitikkan harapan dan kecemasan saat mendoakanku. Ia telah lebih dulu menghadap ke haribaan-Nya.
Maka bergantilah penghuni hati ini. Rasa cinta telah tergusur oleh rindu. Bukan kepada neng Lub lagi (walau sesungguhnya hati kecilku masih mendambakannya), melainkan kepada ibu.

* * * *

Semburat cahya matahari kian melunak dan meremang di ambang senja. Siluet sinarnya kini tak lagi garang menyengat, bahkan ia menjelma panorama indah memerah keemasan di ufuk barat. Alunan qira’ sudah meraung-raung dari corong beberapa masjid. Suara murottal imam al-Ghomidi yang disetel dari kaset masjid raya desa ini ibarat alarm yang mengingatkanku untuk segera kembali ke pesantren. Maghrib sudah menjelang, aku harus menyudahi khalwat (menyepi) rutinku di makam mbah Ibrahim ini.
Ketika hampir memasuki gerbang pesantren, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil oleh suara halus berasal dari koperasi pesantren kami yang letaknya tepat di seberang gerbang pesantren disamping ndalem-nya Abah.. Hatiku sempat berdesir sebentar. Ah, ternyata bukan suara neng Lub. Entah kenapa ada sedikit perasaan lega tercampur sembelit kecewa.
“Ada apa mba Fat? Mau ngasih bancaan nih?” gurauku sambil menghampirinya.
“Ya mas Malek, ini lho bancaan dari mba Lub, katanya buat sampean,”
“Mba Lub?”
“Iya, neng Lub maksudnya, wah gayanya sok gak kenal” jawabnya mesam-mesem.
“Ini khususon apa buat bancaan rame-rame?”
“Ya terserah sampean kalau mau buat rame-rame, yang penting suratnya buat sampean.” Ia melirihkan penggalan kalimat terakhirnya.
“Surat? Surat apa?” sergahku heran.
“Halah lagakmu lho mas kok mbodoni gitu toh? Buka aja, nanti kan tau sendiri!”
Sesampai di pondok, kubagikan bancaan tadi kepada kang Tohar dan Gus Dullah yang baru saja selesai main bola. Lantas kubuka sesobek kertas yang dikatakan surat tadi. Isinya singkat, lugu dan sederhana “terima kasih kiriman puisinya mas, indah sekali saya sangat suka. Maukah mas Malik membuatkannya lagi untukku?”
Aku tertegun heran. Bukankah kemarin yang mengirim surat dan puisi kepada neng Lub itu kang Tohar, bukan aku? Masa neng Lub salah nulis nama, atau barangkali...
“Kang Tohar… langsung saja kupanggil ia yang sedang bersama Gus Dullah duduk bertelekan bersandar dinding depan kamar.
“Kenapa Lek?”
“Kemarin sampean kan yang nulis surat dan puisi ke neng Lub to?”
“Ya, betul.”
“Lho kok aku yang dapat balasannya ya?”
“Emang balasannya gimana?” selidiknya penasaran.
“Nih baca sendiri.”
“AlhamduliLlaaah, misi kita berhasil gus Dul...” kang Tohar berteriak kegirangan.
Gus Dullah yang mendengar teriakan kang Tohar akhirnya masuk kamar dan ikut nimbrung.
“Selamat ya Lek.” Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“lho apa-apaan ini. Yang berhasil kan kang Tohar bukan aku?” sergahku tambah heran.
“Jadi begini,” kang Tohar mulai bertutur sok dewasa. Setelah menghela nafas sejenak, memberi jeda seolah agar aku penasaran ia melanjutkan,
“Sebenarnya aku dan gus Dullah yang mengirimkan surat dan puisi itu atas namamu. Sebab kami tahu kau sangat mencintai neng Lub dan kami juga tahu dari gelagatnya Neng Lub yang kami perhatikan saat sekolah dan mengaji, agaknya dia pun memendam perasaan yang sama kepadamu. Makanya kami mengalah saja dan memutuskan nyomblangin kalian berdua.”
“Apa? Oh jadi sampean-sampean ini berkomplot toh. Kurang ajar, komplot gak ngajak-ngajak.” Kutinju pelan perut buncit gus Dul.
“Lha terus puisi yang sampean kirimkan itu... nah, berarti sampean berdua bertanggung jawab harus membuatkannya lagi ya.”
“Yo moh, wong itu puisi puisimu sendiri. Aku sama kang Tohar nyontek dari tulisan semrawut di pintu gothakanmu[4] . Selanjutnya kau tanggung sendiri Lek. Hahaha… jangan lupa nanti malam kau nraktir kita berdua. Soalnya dirimu kan cuman kayak bos gak ngapa-ngapain. Kita berdua yang repot.”
“Wah masa’ gitu sih, kan gak ada kesepakatannya?
“Yo diniati syukaran lah Lek.” Sahut kang Tohar sembari tiba-tiba dengan gaya kampungannya berdiri merentangkan kedua tangannya dan berhambur kepadaku sambil berteriak
“Neng Lub,, kemarilah kupeluk dirimu…”
Aku pun tak sempat menghindar, ia memelukku erat hampir mematahkan seluruh sendiku.
“Selamat ya Lek, akhirnya kau dapatkan juga pujaan hatimu. jangan pernah kau permainkan dan sakiti hatinya” bisiknya lirih bergetar menahan pilu.
Aku hanya bisa berkata “Kang, keringetmu kecut, mandi dulu geh.”

* * * *

“Maukah kubenamkan kau ke sedalam-dalamnya lembah hatiku? Agar kau bisa selalu damai bertapa di sana tanpa perlu mencari tempat sunyi untuk menyepi. Karena aku belum pernah menemukan bagian tersenyap di muka bumi ini selain di sana. Jadilah penghuni lembah hati senyap ini supaya ia bisa mengenal setidaknya sepercik peradaban cinta.”
Tak kusangka dengan sebuah coretan yang kurangkai di ujung fajar sambil menunggu jama’ah subuh itu mampu meluluhkan hati neng Lub.
Siang itu siang yang mungkin akan sulit kulupakan. Detak jarum jam menunjukkan pukul dua seperempat. Di saat para santri menghempaskan lelahnya di masjid dan kamar masing-masing, aku beranjak menuju koperasi pesantren. Kurelakan tidur siangku untuk memenuhi permintaan sang ratu hati. Langkahku menderap mantab dengan sedikit berjingkrat mengekspresikan kegirangan.
Ah, itu dia neng Lub sudah menunggu di dalam koperasi sembari tersenyum. Tak kusadari ternyata dari tadi ia memperhatikanku. Namun entah kenapa dapat kurasakan senyum itu lebih menyerupai senyum getir bukan senyum karena lucu. Aku jadi salah tingkah. Gugup. Baru pertama kali aku bertatap muka sedekat ini dengannya.
“Assalamu ‘alaikum.” Aku mencoba menyapa duluan.
“Wa’alaikumus salam warahmatuLlah” suara merdunya serasa menusuk kalbu.
Hening sejenak, kemudian kuberanikan diriku menggerakkan bibir lagi
“Emm… ini pesanan neng Lub kemarin. Mohon maaf jika tak seindah seperti yang diinginkan.” Selalu saja aku merasa bodoh dan tolol di hadapannya.
“Terima kasih” jari-jari lentiknya menarik selembar kertas yang kusodorkan di atas kaca etalase. Aku suka sekali cara mengambilnya, lembut dan elegan.
Ia baca sejenak coretanku tadi pagi. Kulihat matanya sayu dan hampir menitikkan air mata.
“Kenapa Neng? Apakah tulisanku berdebu sehingga membuat matamu berair” entah kenapa tiba-tiba pertanyaan konyol seperti itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Ia tersenyum dan sekali lagi sangat getir. Ah, aku merasa tambah bersalah.
“Mas Malik…” ah, sekali lagi aku suka cara ia memanggil namaku dengan ejaan ma-lik (bukan ma-lek seperti panggilan teman-teman kepadaku) terasa lebih halus dan renyah di kuping.
“Sebenarnya sungguh aku tak sanggup menolak rasa yang sampean tawarkan. Namun mohon beribu-ribu maaf mas,” suaranya kini semakin tersedu seakan tersumbat di tenggorokan, membuatku semakin kikuk dan khawatir was-was.
“Apa boleh dikata, tadi sebelum shalat zhuhur abah memanggilku. Abah mau menjodohkanku dengan seseeorang yang dahulu pernah menjadi muridnya.” pecah juga isaknya setelah menyelesaikan kalimat ini.
“Apa?” pekikku namun hanya dalam hati. Tak kuasa aku berkata keras di hadapan neng Lub. Su’ul adab (adab tercela) namanya. Baru saja kemarin malam aku tersungkur bersujud syukur kemudian mentraktrir kang Tohar dan Gus Dullah atas hasil jerih payah dan pengorbanan mereka, tapi ternyata sekarang… akh, sekali lagi kuberanikan diri bertanya kepadanya
“Kalau boleh tahu, siapakah gerangan lelaki beruntung yang akan dijodohkan dengan sampean Neng?
Ia diam sejenak, menghela nafas seolah mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaanku, kemudian menatapku dalam-dalam dan berkata dengan nada bergetar,
“Ustadz Subki dari Solo, bapak sampean mas.”
Aku tercekat tak mampu berucap walau hanya sekecap. Tanpa kusadari butir-butir air mata yang sudah dari tadi susah payah kubendung kini tumpah membasahi wajah. Sempat kurasakan setetes yang menyelinap ke dalam bibirku. Tahukah kau? Sungguh rasanya tak lagi asin melainkan pahiit sekali.


Semarang, 14052010.
Ibu, selain dan setelah kepada Tuhan,
di saat-saat seperti ini sungguh aku benar-benar merindu
menumpahkan segala keluh kesahku kepadamu.


End notes
1. Tafa’ul diambil dari bahasa arab yang secara istilah santri artinya mengharap mendapatkan sesuatu yang sama dengan yang ditafa’uli. Maka jika tafa’ulnya kepada Neng Lub ini harapannya dapat memiliki anak yang seperti dirinya.
2. Kitab nahwu (gramatika arab) yang berisi 1002 bait. Biasanya menjadi kitab nahwu standar di pesantren-pesantren untuk dikaji dan dihafalkan.
3. Sepenggal kata dari al-Qur’an yang biasanya dijadikan mahabah, menarik hati pasangan. Istilah kasarnya pelet ala pesantren.
4. Gothakan, bhs jawa cara melafalkannya dengan dihilangkan huruf “k”-nya (gota-an). Artinya lemari.

Sabtu, 01 Mei 2010

SMS KEPADA TUHAN


ketika asaku benar-benar telah pupus, kegalauan, ketakutan, keresahan dan kegelisahan bercampur aduk mempermainkan perasaanku, akalku pun sudah tumpul untuk sekedar mencerna walau hanya seklumit analisa, tiba-tiba muncul sekelebat ide gila. karena tak tahu harus berbuat apa, dengan pikiran kacau dan hati berantakan, setengah gila dan iseng kutulis sms ke nomor tujuan yang pada waktu kecil teman-temanku menyebutnya sebagai nomor telepon Tuhan.
kutuliskan kepada-Nya

"TUHAN KAU TAHU YG TAK KUTAHU, MAKA BERI TAHULAH YG TAK KUTAHU DAN YG KAU TAHU DAN BERI TAHULAH MEREKA BAHWA AKU BENAR2 BELUM TAHU. KETAHUILAH BAHWA AKU SUNGGUH INGIN BENAR2 TAHU, SESUNGGUHNYA ENGKAU MAHA TAHU LAGI MENGETAHUI."

setelah beberapa saat menunggu balasan dari-Nya, apakah yang terjadi kawan? kalau kau masih waras pasti sudah tahu jawabnya.

risalah rindu (aforisme status update (part 4))


habis gelap, terang tak terbit-terbit. gelap tak habis-habis menghabiskan terang. terbitlah penghabisan. terangilah kegelapan.
kalau kau benar-benar sudah menolak hadirku, kenapa kau selalu mengusik mimpi-mimpiku? benarkah begitu?
entah seketika diamku memecah keheningan, menerkam senyap hati, mencekam sukma, mendengungkan bising rindu, mendedahkan isi setiap gelombang saraf. sampai tiba-tiba bayangmu muncul secara berkelindan dengan nostalgia monolog memporak-porandakan dan meningkatkan ritme setiap aktivitas penghuni heningku. owh owh... hingga sadarku tak mampu mengejar kecepatan mereka.
130420100106 tertelan tertimbun tersumbat tercerabut terbuai tersentuh tergeletar terjengkang tertawan terperosok terperangkap terpasung terbelenggu terpencil tercekat terlunta termenung terpelanting terdampar terserak terhambur tersadar tanpa sedikitpun me- sama sekali.
mendekatlah, mendekatlah... dengarkan kebisingan hati ini yang dalam kesunyian selalu memekikkan gelisah kerinduan. atau intiplah ia dari nanar mataku agar kau bisa melihat bagaimana tegarnya ia menghadapi badai kecemburuan. jika kau tak mau mendengar atau melihat, maka mendekatlah saja supaya kalbu ini sedikit bisa membasahi dahaga rindunya.
kini mungkin kau takkan lagi pernah sekedar menyapaku. sekedar untuk kau ketahui meski rasanya tak mungkin bisa kau tahu itu, aku akan mengelus dada dan berucap "all iz well, all iz well, all iz well..."
dan saat kau tunjukan semua kelemahan dan kehinaanku. lalu kau pamerkan segala ke-Maha-an-Mu. maka betapa aku ingin tersungkur penuh kemaluan dan penyesalan. bahwa ternyata hanya kecongkakanku semata yang menggelayuti kalbu. sehingga membuat daya yang teramat sangat kerdil sekali ini merasa besar melebihi kekuasaan-Mu. betapa aku ingin menikmati segala keterhinaan ini.
saat tiba-tiba keheningan itu benar-benar sungguh memekakkan telinga, sehingga aku dapat mendengar bahkan setiap bising dengungan gelombang neuron-neuron yang mengalir dari seantero badan ini memusat ke kepala. dengungan itu membuatku bergidik. bunyinya sungguh mirip sekali dengan neraka yang sedang telah ditempa puluhan ribu tahun lamanya.
aku harus membelalakkan diri bahwa sungguh aku ingin memiliki rasa ketakutan akan rasa memiliki dan bangga yang selama ini benar-benar telah menjajah dan mengebiri potensi kebebasan hati ini. ternyata sesungguhnya engkaulah yang layak memiliki dan dibanggakan. bukan aku!!
ternyata untuk melipat bumi tak perlu dengan sapu angin. aku nyaris melintasi berbagai bililk dimensi hingga hampir kujelajahi seluruh benua. cukup memejamkan mata dan kukikis habis alam sadar, hingga aku tersesat dalam rimba-rimba dejavu. kutemui baik yang pernah kujumpai maupun yang sama sekali tak pernah bersua dalam kasunyatan. sungguh betapa nikmat segala keterpelantingan ini.
entah apa jadinya jika sebuah kebenaran menjadi gengsi tak mau bersanding dengan "kesalahan-kesalahan"? entah apakah ia lupa atau belum tahu bahwa ia menjadi benar karena ada yang salah? entah bisakah ia disebut kebenaran bila ia lupa atau belum tahu? entah apa jadinya jika kebenaran menjadi sok suci menjajah najis-najis tak berdaya? entah masihkah dapat disebut kebenaran jika ia menyembah kesombongan? entahlah...
tengoklah terus diriku agar dapat kuhempaskan rindu. tengoklah seperti tadi malam dan siang ini walau tak selama dulu ketika kita bebas bercengkrama. setidaknya sekecap suaramu memuaskan dahaga kering hati ini. tahukah kau? aku rindu mencari uban di kepalamu
bahkan aku seperti tidak bermimpi melihat dan mendengar kembali kau bercakap tentangku tadi malam di ujung sadarku. akh, mengingatmu membuatku mulai merindu kepada kata rindu yang tak kutuliskan baru sehari dari kemarin.
dan diantara tanda-tanda yang kau pamerkan, aku sungguh tak berdaya. logikaku tumpul mengiris walau satu tanda. sementara untuk meraih dzauq aku terengah menggalinya hingga saat aku menyerah terhempas, aku harus puas cukup dengan menggores sedikit misterimu.
"wa ammaa bini'mati rabbika fahaddits". bagaimana aku harus mengabarkan setiap hembus nafas, setiap degup jantung, denyut nadi sementara sepanjang hari aku terus menggenggamkan tangan? bahkan ingat kepada-Nya pun hanya sekelebat detik. astaghfiruLlaah al-'azhim...
sungguh setiap potongan sel di sekujur tubuhku meneriakkan kerinduan kepadamu. dengan kejam mulut-mulut berisik mereka dibungkam oleh kebengisan ego dan kepentingan hasratku. aku merindukan kesejukan setetes air mata agar dapat meluruhkan karat-karat busuk yang menyelimuti hati. supaya sang hati memimpin semua molekul tubuh ini bebas berdemokrasi menyuarakan dzikir tasbihnya.
apabila nanti aku telah lelah merindu aku takut tersesat pada selainmu biarlah tercerabut hati ini jika karena lukanya dapat melanggengkan ingatanku kepadamu, daripada kau sembuhkan rinduku lalu kau lenyapkan kenangan indah bersamamu. karena aku telah tercandu dalam dan oleh ekstase rindu.
ternyata bukan pukulanmu yang membuatku sakit. tapi kebencianmu terhadapku membuat air mata ini tak mau berhenti menitik.
sudahkah kukatakan kepadamu? aku sungguh sangat teramat rinduuuu sekali. kataku sudah habis termakan rindu ternyata ia sangat serakah menguras porsi kata yang tersedia dalam kecil benakku sekian, aku mau kulaan dulu untuk memuaskanmu.
senja... senja itu waktu sebentar sebelum malam menjejakkan kegelapan. senja... burung-burung kembali ke peraduan mensyukuri siang hari mereka senja... tempat menyesalkan pagi bagi para penceroboh waktu senja... hingga sampai senja usiaku aku takkan menyesal menunggumu. aku takkan bertaubat karena rindu kepadamu kuhaturkan sebuah kalimat untuk senjaku "maaf hadirmu tak mengada dalam kamus hidupku"
if you understand... why sunset always reddish its rays be no more fierce and be softer if you understand... you will get the answer of my keeping silent do you understand?
ternyata panas sengat matahari tak mampu meleburkan beku hatiku pun ganasnya deburan angin malam tak kuasa untuk memadamkan kobaran api rinduku. pernahkah kalian menggigil rindu kawan? selimut hati jenis apa yang mampu menghangatkannya?
kwan q mndptkan rmus bru bhwa nlai dn ukran itu dpt dtntukan klau ada pmbandingny. mk hndkny qt brtrmksh kpd pmbnding qt
terkadang kita harus mengabaikan harapan agar dapat ikhlas menerima kenyataan.
tolong ambilkan secarik kertas suci itu...!!! biar kugunakan untuk menampar kesombongan yang meledak dalam hatiku. agar ia sadar bahwa cukup secarik kertas saja sudah bisa membuatnya tersedu.
bila hanya cukup sebilah pedang untuk membunuhku, maka takkan cukup kau gunakan sejuta rudal untuk dapat sekedar menggerogoti rinduku. jika hanya dengan sepatah kata telah mampu mengucilkan nyaliku, maka walaupun kau hadapkan seribu singa takkan menggentarkan semilipun langkahku untuk sekedar mengintipmu.
jika hanya tentang rindu jangan pernah kau ragukan untuk mempertanyakannya padaku aku pasti selalu dan akan terus merindu. tapi jangan pernah juga kau bertanya tentang setia... sungguh sulit aku untuk sekedar menjaganya apalagi mendawamkannya. ohh.. andai bisa kutebus setia itu dengan rinduku...
saat kutitipkan rinduku pada angin ia merasa tak sanggup bahkan untuk sekedar menerpanya. aku berlari ke gunung, gunung pun menolak tak kuasa menahan beratnya. ketika ingin kuhamburkan ke samudra, samudra seolah terbelah karena takut getirnya. sebegitu malangkah rindu ini? kupendam kau sedalam2nya dalam curam jurang kalbuku. meledaklah disana agar porak-poranda segala kegalauan tanpa harus mencemari semesta alam
ketika dua kepentingan, misi dan tujuan saling bertumbukan, dan mereka bersikukuh atas posisinya maka suilt sekali mencapai indahnya kebersamaan. terserah kalian mau apa... aku akan keluar dari medan impuls dan momentum yang kalian ciptakan. aku tak mau membenturkan diri hanya karena beda kepentingan. lebih baik kembali ke masyuk hatiku yang penuh cinta dan kerinduan.
adakah secercah inspirasi menyelinap ke otakku, supaya aku dapat setidaknya merangkai sebuah kalimat untuk kutorehkan sekedar untuk melampiaskan sembelit rindu ini kepadamu
bagaimana jika bumi tempatmu berpijak tak kuasa lagi menopang pijakan lembut kakimu? sementara kau masih dengan gemulai melangkah gontai. bukan tak kuat menahan bebanmu, hanya tak kuasa mereka menahan diri untuk berebut menopang pijakan kakimu. maka pijakkanlah kakimu di sini saja. melangkahlah sepuasmu di lapang hatiku, agar mereka tak bisa berebut jejakmu.
kata-kataku takkan habis hanya untuk memujamu kendati sesungguhnya segala pujian itu pun takkan sanggup menggambarkan kesempurnaanmu. aku hanya akan tercekat jika kau paksa aku untuk memakimu meski aku tak punya walau sepatah kata untuk itu, kecacatanmu pun tak kunjung muncul dalam benakku. baiklah, aku akan mencacimu dengan sanjungan...
kaukah itu? menyelinap tanpa permisi masuk ke gubug hatiku lalu duduk merajai singgasananya sembari mempermainkan kerajaan hatiku kaukah itu? setelah kau ambil sebongkah mutiara cinta dari sana lalu kau menghilang tanpa jejak? kaukah itu? sang pencuri hati? kalau kau mau kembali ke sini akan kuberikan semuanya untukmu. hatiku tak ikhlas kau curi tapi harus kau miliki
kenapa malu bilang "aku tresno sliramu"? apakah "i love you" lebih gagah bagimu? atau mungkin "uhibbuki fillah" lebih mengangkat derajatmu? ketahuilah kawan, saya bertobat untuk mengucapkan "uhibbuki fiLlah" mandat apa yang telah saya terima untuk mengatas namakan Ia? padahal iblis sangat lihai dalam mengaburkan cinta ...sungguh saya bertobat.
maukah kubenamkan kau ke sedalam-dalamnya lembah hatiku? agar kau bisa selalu damai bertapa di sana tanpa perlu kau mencari tempat menyepi karena aku belum pernah menemukan bagian tersenyap di muka bumi ini selain di sana jadilah penghuni lembah hati senyap ini supaya ia bisa mengenal setidaknya sepercik peradaban cinta.
my heart still vibrated since reading her name there is still a pleasant constipation that is suffered by my heart when seeing her face.. oh.. what a brittle my own heart... it's so easy to be fooled by an emotion. yeah.. fool me, fool me again, keep fooling me... I'd like to be fooled by you. a foolish man, am i?
akan kutimbun rinduku dengan segunung kesibukan hingga hati tak mampu lagi menjangkaunya entah jika ia berontak menghentak di tengah sibukku niscaya luluh-lantaklah segunung aktifitas terkacaukan cukup oleh sebenih kerinduan yang meledak terhimpit sesak kepenatan oh.. siapakah yang mampu menjinakkan sebenih rinduku?
a night to remember... how many i spend my time i never almost bring the awareness of you what an immoral i am. a night to remember... what a beautiful you are how i can't describe your affection in every mistakes i did, your love never dry to give me forgiveness a night to remember... i'll always try to remember you...
sungguh aku telah mencapai puncak kegilaan dan ketololanku di tengah gegap gempita pujian bisu mereka dengan lantang aku mencacimu memang gila itu bemacam-macam.
biar remuk redam badan tergilas keras kerja hati tersayat oleh ucapan-ucapan sumbang upah tak sepadan dengan apa yang telah dikerjakan dengan tersenyum kau berikan uangmu kepadaku "biarlah kugadaikan semuanya untuknya" katamu
kuhampiri kau dengan segunung kerinduan kutumpahkan air mata dari mata gersang sang pendosa kita bercengkrama seperti dulu saat kau masih bersamaku ku memperlakukanmu sangat berbeda dari yang dulu pernah kulakukan sebersit memori lenyap dari ingatanmu aku pun tak mau mengungkap bahwa kau pernah berpisah dariku karena a...ku yakin selalu kita memang tak pernah berpisah ya seringlah berkunjung.. aku selalu merindukanmu.
aku sengaja bermain lumpur kubiarkan badanku begelimang dalam kubangan lumpur itu tak kuhiraukan kau menatapku tajam meski kutahu, gerak-geriku tak luput dari pengawasanmu aku hanya ingin setelah puas bermain lumpur, kau akan memandikanku dalam telaga segarmu kau bilas tubuhku dengan lembut tangan kasihmu. entah jika kau telah berubah kejam mungkin aku harus rela kau kuliti dengan api murkamu.
melihat mereka bersliweran masuk rumahmu timbul hasratku tuk sekedar mengintip apa dayaku kau sudah memblokirku bahkan dari sekedar tamu sebenarnya aku bisa mengirim kepadamu sepucuk surat aku takut malah membuatmu terganggu baiklah aku harus rela memuaskan diriku hanya dengan melihatmu dari kejauhan menyambut para pengunjungmu datang.
kenapa kau hanya diam membisu? ku kira itu bukan kau sungguh aku rindu suaramu. suara tanpa kebohongan. suara penuh keikhlasan. kendati tanpa penghantar, suaramu kan masih menghentak, tak perlu udara, kabel, fiber ataupun cyber, suaramu kan terngiang selalu di gendang telingaku dan takkan berhenti menggema dalam senyap tuliku. akan kurekam suara abadimu dalam pita kaset hidupku.
apakah aku mengidap sebuah kesintingan baru jika aku senang melihat orang lain bercinta denganmu? sungguh aku menikmati setiap adegan yang ia lakukan bersamamu. tak sedikitpun ada cemburu, bahkan menantangku untuk melakukanya beramai-ramai kepadamu. jangan salahkan kami, pesonamu membuat kami tak kuasa menahan hasrat untuk memperkosamu. "kemarilah kalian semua... aku rela kalian perkosa" sahutmu.
aku menyesal telah mengotori cinta dan namamu dengan ceroboh kataku hingga jika kau timpakan atasku hukuman kesendirian aku tak berhak menolaknya biarlah aku terkutuk asal dengan cintamu kutuklah aku dengan cinta
aku memberondongnya dengan seribu pertanyaan "............apa guna telinga jika sudah mendengar apa guna mata jika sudah melihat apa guna kata jika sudah faham apa guna makan jika sudah kenyang apa guna puasa jika sudah lapar apa guna mendekat jika sudah menyatu?" lalu dia balik bertanya "lantas apakah kau ini berguna?"
Remind me to forget you. my mind was filled by image of you. Memories about you will not go away. I'll try every day without you i can stay see.. i will try not to talk about you not to think of you to have freedom from you hey, what the fucking i said? Remind me to forget you....
kusandarkan asaku pada rapuh hatimu biarlah ia merubuhkanmu sekaligus atau hilang asaku tertimbun janji tertiup waktu.
bilamanakah engkau merindu? apakah jika kau telah bosan merapal namaku? maka kau mejelmakannya lalu kau ajak ia bercinta? sungguh untuk menikmati rindu itu butuh kesabaran. niscaya kau dapat merasakan betapa nikmatnya setiap tusukan rindu itu menghujam kalbu. dan tak usah bertemu.

Sabtu, 27 Maret 2010

Al-Jili (The Concept of Insan al-Kamil) ~english version

By: Warih Firdausi (074211037)

Lawlaaka lawlaaka lamaa khalaqtu al-aflaak, walawlaaka lamaa azhhartu ilaahi rububiyyati. (al-hadith al-Qudsi)

A. His Short Biography
Abd al-Karīm Qutbuddin ibn Ibrāhīm al-Jīlī was born in 1365/1366 AD, and perhaps he was dead about 1406 till 1417AD, but some sources said he passed away in 1424AD. He was also Syeikh, a descendant of Abdul Qadir Al-Gilani. He studied in Yaman from 1393 to 1403 and wrote more than thirty works. His writing is greatly influenced by Ibn al-Araby, the Spanish mystic of the 13th century. Jili’s writings had influenced many people in the Muslim world including Allama Iqbal, a muslim poet from India. The most famous of his opus is Insan al Kamil Fima’rifat al Awakhir wa al Awail. Actually, Insan Kamil (the Perfect Man) is a continuity of Ibnu al-Arabi’s teaching on the structure of reality and human perfection despite the age of this idea as old as tasawwuf itself . It’s held to be one of masterpieces of Sufi literature in its own right.
In his book, more than once he called ‘Abd al-Qadir as the “our master” (Syaikhuna). This indicates that Al-Jili is one of the members of his thariqah. The Muslim biography writers give no much attention for him, but he said he live in Zabid, Yaman together with his master, Syaraf al-Din Isma’il ibn Ibrahim al-Jabarti, and before that he was visited India.
As a writer, he hasn’t nothing talent, although his works more similar with mysticism than belles letters. Beside some poems which he likes, he also introduces maqaamas in lyric prose and parable (mitsaal) about Platonic mythology.

B. The Concept of Insan Kamil (The Perfect Man)
1. Definition
The Prophet said “Khalaqa al-Rahmanu adama bishuratihi.” God made Adam (human) in his own image.” And the universe is created in human image. This statement is the argumentation for the existent of Perfect Man. The word Insan is variously derived. Some derive it from uns, love; some derive it from nas, forgetfulness, because life in earth begins in forgetfulness and ends in forgetfulness. Some say the word comes from ‘ayn san, “Like the eye.” Man is the eye with which God beholds His sifat and asma’ in limitation; Insan al-Kamil is thus the mirror in which God’s sifat and asma’ are fully reflected. Easily, Insan Kamil is a man who represent all of God’s names and His attributes in all of his life aspects.

The more explanation
Al-Jili is included into whom has thought and belief that existent is one (wihdatul wujud), and all visible variation are mode, aspect and actualization of reality, even phenomenon is external expression of real existent. He defined essence as something which attribute and name refer to, it could be being (maujud) or non-being (mumtani’ al-maujud) that’s only exist in its name like bird al-Anqa’. Then, the essence which has an existent is divided into two kinds. The first is pure being (wajib al-maujud), that’s God, and the second is being that mingled with nothingness (mumkin al-maujud), that’s world of creature.
Al-Jili almost repeats what al-Hallaj and Ibnu al’Arabi said, the core essence of God is Love. Before creation, God love Himself in an absolute unity and through love He made Himself visible from nothingness (al-‘Amaa) without asma’ and sifat. This process is what al-Jili calls it by Ahadiyyah/ the first step of tajalliyatuLlah. Then, because of His wish to see that love in alones doesn’t need otherness and duality as external subject, He emerge His own image from nothingness which He give it all of His attributes and His names (Huwiyyah/ the second step). God show His asma’ and sifat to all His creatures. Among His entire creature, the best God’s image is Adam (human) that is place and medium of God manifestation. The divine is being objected in humanity. Nevertheless, His tajalli to human is variation, and the perfect of tajalliyatuLlah is Insan al-Kamil (Aniyah/ the last step).
All the creatures are mirror, the place to reflect the Absolute Beauty. What we call the world is nothing but manifestation of God. Just as God was present in eternity (‘azali) in the Dark Mist (‘Amaa’) which is also called by Reality of realities, Hidden treasure and White (Pure) Chrysolite, so is He present now in all things without incarnation (hulul) and mixture (imtizaj). He is manifested in the parts and atoms of phenomenal world without becaming many.
Bad thing has same place in existence structure as beautiful, both of them in divine perfection. Thereby, the crime is also relative. Infidel and sin are effect of God’s activity and something strength His perfection. Even, the devil also glorifies God, because his rebellion is under God’s authority. However, God show Himself imperfectly in some aspects in Satan like the Glory and the Angriness against with other aspects like the Beauty and the Affection.
Al-Jili called The Perfect Man as universe guardian, Quthb or axis on which sphere of existent revolves from first to last. He is the main cause of creation; he is God’s medium to see Him, because divine names (asma’) and attributes (sifat) couldn’t be seen totally except in The Perfect Man. Because of that, he became mediator and cosmic power who unite between The Plural and The One. Therefore the viability of nature existent is depended on him. Thus, he became the real khalifatuLlah fi al-ardh who controls the balance of world. If there is not Insan al-Kamil in the world, that’s time to the end of this world history.
Everyone potentially is perfect, but little of them are actually perfect. They who perfect in actualization are prophets and holy man (wali). However, because of their perfect variation, they have different capabilities to accept brightness. So, one of them must be higher than others. And The Absolute Perfect Man for Al-Jili is the Prophet Muhammad SAW. He also explain that Insan al-Kamil forever is external manifestation of Muhammad essence (haqiqah al-Muhammadiyyah) that has power to have whatever shape he wish conditionally in every time. Al-Jili admits that he ever met the Prophet in the shape of his teacher Syaraf al-Din Isma’il al-Jabarti.

3. The way to reach Insan al-Kamil
For Al-Jili, human can reach the real of himself to be the Perfect Man by doing spiritual training and mystical climbing. And in the same time, The Absolute will go down in himself through some levels. There are four levels that Sufi have to through it to be Insan Kamil:
1. Meditation in action (action brightness). At this stage, he feels that God permeates all object of the world. It’s He who moves them and is ultimately responsible for their rest.
2. Meditation in names (names brightness). The Sufi receives mystery delivered by every name of God, and he extremely unites into those names, therefore he responds every people’s prayers by calling that name.
3. Meditation in attributes (attributes brightness). He fused in them, in divine essence which has some attributes: life, knowledge, power, wish and etc.
4. Essential brightness. In this step he became absolute perfect. All attributes were disappeared, and then The Absolute comes down into himself. Then his eye is God’s eye, his words are God’s words, his life is God’s life. He trully became a Perfect Man.

C. Closing
After all, to Insan al-Kamil God isn’t a screen from His creator, and creature isn’t a screen from the Creator. It’s only our knowledge that we are Him and He is us. It’s not equation and incarnation. God is God and slave is slave. God never became slave and slave never became God. Even, Insan al-Kamil is just a reality (haqq) not the real of Reality (Al-Haqq). But, he shows himself in his consciousness mirror as God and Human.

D. End notes
Because almost Sufi has certain concept about Insan al-Kamil such as Abu Yazid al-Busthami, Abd al-Qadir al-Gilani and etc. See: R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta, Studi atas Ttga Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan atas Study in Islamic Mysticism. Bandung: 2003 Mizan. p: 115.
Ibid. p: 161.
Studies in Tasawwuf, Khan Sahib Khaja Khan. Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978. p: 78.
Al-Anqa’ is the Arabian mythos bird. Some people said it’s the king of entire bird. The other said al-Anqa’ often abducts children to eat them. We could compare it with something like Buto Ijo or Nyi Roro Kidul in Javanese culture.
This reason –in my opinion- is contradictive with other source that taken from hadith, God is “burried treasure” and He wants to be known therefore he created creature as screen from Himself.
A History of Muslim Philosophy, p:845.
Perhaps, from this view appears the concept of wihdatul adyan. Al-Jili said that idolate (paganist people) in the fact also glorify God because they didn’t find the god of their idol except themselves, so they are the “real god” for themselves. However, Al-Jili still believes that the perfect adoration is Islamic worship and then other samawi religions.
From this statement it’s clearly declare the difference of wihdatul wujud concept from materialism and naturalism that consider the God is universe itself.


E. References

- Khaja Khan, Khan Sahib. Studies in Tasawwuf, Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978.
- Nicholson, R.A. Tasawuf Cinta, Studi atas Ttga Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan atas Study in Islamic Mysticism. Bandung, Mizan: 2003.
- A History of Muslim Philosophy.

Rabu, 10 Maret 2010

???!!!………..GURUKU ANJING……...!!!???

Warih Firdausi

Aku akan selalu mengingat awal perjumpaan kita. Di persimpangnan jalan itu matamu tak mau beranjak menatapku tajam. Seakan tahu sebuah kegetiran yang tersimpan rapi tersembunyi dalam lubuk hatiku. Ketika itu pula aku langsung terpikat pesona auramu.
Maka gayung pun bersambut, kau terima aku untuk singgah meski sejenak dalam jejak akhir ukiran kehidupanmu. Aku takkan melupakanmu. Kendati es tak mau lagi mencair, meski bunga enggan bermekar, bahkan bila bumi pun telah bosan berotasi, kenangan bersamamu takkan mencair dari otakku, jejak-jejakmu akan selalu mekar dalam hidupku dan aku takkan pernah bosan mendaras ajaranmu.
Pelajaran termula yang kau ajarkan adalah meluluh-lantakkan segala input doktrin-doktrin yang telah masuk ke otakku. Kau suruh aku untuk menghancurkan semua masukan-masukan yang telah mencemari mindsetku. Maka ketika otakku sudah kosong dan “suci” mulailah kau hembuskan nafas pengetahuanmu hingga mendarah daging ke tubuhku. Aku masih ingat pengetahuan yang kau tanamkan pertamakali itu. Kau berkata “kau lihat diriku terpekur? kau lihat berkas sinar cahaya temaram? kau dengar gemricik air berisik bergunjing? semilir bayu yang mendayu? melambai daun-daun tergerak pasrah? adakah tercerap olehmu sebuah serat kehidupan? adakah seutas benang merah menyulam indah aneka realita dan fenomena alam? pernahkah segodam intuisi menghantam logika empirismu hingga kau sadar yang tampak olehmu hanya lautan fatamorgana? rasakanlah bukankah hanya ada satu realita saja?
Maka setelah aku faham akan abadinya sebuah realita tunggal, kau lanjutkan pengetahuan kedua tentang pengakuan dan menghormati terhadap adanya pemahaman lain diluar pemahaman kita. Lalu kau cercap urat leherku, kau hembuskan nafas pengetahuanmu maka aku pun menjadi tahu apa yang kau tahu. Ternyata jika kau sudah tahu maka sesungguhnya tak ada perbedaan antara satu, dua, tiga karena itu hanya bilangan yang kau cipta. Maka tak perlu mendebatkan tentang trinitas, dualisme atau keesaan. Dia melampaui semua yang kau nisbatkan, tak terbatas oleh sempitnya bilangan-bilangan yang kau buat. Biarlah Dia tetap tak terjangkau menebarkan pesona lewat hijab abadinya
Seperti biasa pagi itu kau berpetuah tentang hakekat kehidupan. Mungkin inilah pengetahuan terakhir yang hendak engkau hembuskan padaku. Di pagi itu kau memanggilku ke ruang pribadimu. Kau mulai pembicaraan pagi itu seperti biasanya dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Selalu pertanyaan yang tak mampu kujawab dan dirimulah yang pada akhirnya menjelaskan semua itu sedetil-detilnya kepadaku.
“Nir… tahukah kau akan arti cinta itu?”
“Tuhan dan dirimulah yang lebih tahu guru” jawabku tunduk.
“Dengarlah! Bahwa setiap apapun di dunia ini pasti punya potensi cinta (magnet), bahkan sampai molekul terkecil dari sebuah sel-pun terkandung motif cinta. Karena kau tahu? Cinta tak lain adalah daya tarik menarik. Semua tatanan di dunia ini dapat teratur sedemikian tertibnya karena dikendalikan oleh cinta (daya tarik-menarik) yang memiliki kapasitas besar tertentu yang terkandung oleh setiap planet beserta bintangnya dalam semua kumpulan tatasurya dan nebula di jagad raya ini. Dan ketahuilah, mereka semua itu berjalan sesuai kodratnya karena tertarik oleh Sang Maha Daya Magnet. Maka bila suatu saat Dia ingin memadamkan daya tariknya terhadap dunia ini, niscaya terjadilah kegemparan yang Maha Dahsyat. Masing-masing kocar kacir karena kehilangan Daya Magnet Terbesar. Maka saling berbenturan dan berhantaman lah semuanya mencari Daya Tarik yang mampu mengendalikan mereka yang saat itu telah dicabut oleh-Nya. Itulah yang orang-orang bilang sebagai kiamat. Ia tak bukan hanyalah kehendak Sang Maha Daya Magnet untuk memudarkan daya tariknya atas alam cosmo ini.”
“Nir.. sudahkah kau rasakan sebuah daya magnet yang kupancarkan terhadapmu?”
“Semenjak pertama kali kita bertemu guru.”
“Betul sekali, lalu menurutmu sanggupkah sebuah benda menolak daya tarik dari sebuah magnet?”
“Jika posisinya sudah teramat dekat, hal itu sangat mustahil guru.”
“lantas menurutmu sudahkah posisimu itu teramat dekat denganku?”
“saya kira sampai saat ini hanya akulah yang cukup amat dekat denganmu guru.”
“kalau begitu berarti kau takkan bisa menolak daya tarikku bukan?”
“Benar guru.”
“jawablah pertanyaanku Nir, lebih nikmat mana bagi sebuah benda, apakah ia terhanyut dalam daya tarik sang magnet atau ia tolak daya tarik itu?”
“Tentu sangat sakit sekali menolak daya tarik itu guru, lebih baik terhanyut kedalamnya meski nantinya terbentur keras oleh sang magnet. Namun menurutku itulah puncak klimaks kenikmatan dalam kulminasi penyatuan.”
“Oleh karena itu Nir, sekarang bukalah seluruh pakainmu, seperti yang kulakukan ini.” katamu sambil memlorotkan gaun dan segala yang kau kenakan.
“untuk apa guru?”
“bukannya kau tadi mengatakan kau takkan sanggup menolak daya tarikku dan memilih untuk menyatu dengan sang magnet? Bukankah aku ini magnetmu? Sekarang tanggalkanlah segala hijab agar kita dapat terbentur sangat keras dan menyatu tak terpisahkan.”
“maaf guru aku kira itu hanya sebatas hal yang bersifat non-fisik/ metafisik, ternyata maksudmu meliputi fisik juga, aku belum begitu paham guru. Bukankah sudah cukup penyatuan nama dan sifat tanpa harus ada penyatuan dzat?”
“Itu katamu, bukankah lebih baik menyatu segala-galanya? Sehingga tak ada lagi adamu melainkan hanya ada adanya sang magnet? Karena saat itu eksistensimu telah melebur kedalam eksistensinya. Sekarang apakah kau akan menolak daya tarikku atau akan pasrah terhanyut dalam nikmatnya daya tarik sang magnet? Terserah kau, aku pun tak rugi oleh apapun jawabmu. Karena sang magnet telah cukup dengan dirinya walau tak ada yang tertarik dayanya.”
Di tengah kebimbangan dan kemantapanku kusahut tanyamu “baiklah, akan kutanggalkan semuanya untukmu.”
Setelah kita telanjang bersama, kau mulai berseloroh “ciumlah sandalku agar dapat kau rasakan betapa nikmatnya bercinta denganku.”
Saat aku mulai bosan mencium sandal busukmu kucoba tuk merengkuh eksotis tubuhmu. Lalu kau tampar pipiku keras-keras membuatku semakin bernafsu akan imajinasi erotis lekuk indahmu. Haruskah aku kembali mencium sandalmu? Kutunggu jawabmu.
Setelah berfikir sejenak kau pun mengangguk dan berujar “baiklah tutuplah matamu dan dan menyatulah kepadaku, namun jangan perdulikan apapun yang terjadi. Karena hanya akulah tujuanmu.”
Jawabmu itu membuat semangat konakku menggebu. Entah, aku tak lagi mendengar syarat yang kau ajukan, karena perhatianku hanya tersita oleh jawab iyamu. Aku pun berlari menujumu hendak kutubruk dan kulumat semua pemandangan sensual di depan mataku. Belum sampai tanganku merangkul sempurna tubuhmu, aku dikejutkan oleh teriakan orang-orang yang mengolok-olokku.
“Hei… Nir… mau kau apakan anjing betina itu? Dia itu anjing gila mau kau kena rabiesnya?”
Tersentak mataku terbelalak mendengar teriakan itu. Kulihat tubuh sensualmu tadi seketika berubah menjadi seekor anjing yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya tepat di depan wajahku.
“Anjing…!!! Anjing…???”
Tubuh eksotismu yang baru saja hendak kupeluk lenyap entah kemana. Sosok yang memancarkan aura penuh pesona yang dulu memikatku menjelma menjadi seekor anjing rabies. Entah memang mataku yang buta atau bermimpikah aku pernah bertemu denganmu? atau aku sedang bermimpi tidak menemukanmu?
“***” umpatku. Aku baru sadar. Aku tak lulus ujian terakhirmu. Kini sesalku kubawa kemana-mana. Kecewaku terhampar ke alam semesta. Ku tak sanggup lagi memutar bahkan walau sedetik pun. Mungkin hanya tamanni dan khayal yang menghias otak untuk dapat memutar kesempatan lagi.
Sungguh ketiadaan akan dirimu meninggalkan sayatan yang mandalam bagiku. Kau terlanjur menghujamkan kisah hidupmu di sini. Maka tercerabutlah hatiku bersama kepergianmu. Kini aku berusaha menumbuhkan kembali sisa-sisa jejakmu. Jejak yang takkan pernah lekang dan kan selalu abadi.
Akan kuingat selalu kenanganku bersamamu. Tentang lidahmu yang selalu menjulur disertai liur yang tak kenal lelah menetes membasahi liang mulutmu tak menyurutkan hasratmu untuk terus memberikan secercah pengetahuan akan arti sebuah fana kehidupan. Setiap hari kau curahkan sathohat-sathohat gilamu sehingga orang menuduhmu tak waras. Sementara aku dengan penuh takjub dan khidmat menyimak senandung kidungmu. Mungkin pendapat mereka salah tentangmu atau aku yang sudah ikut gila seperti dirimu.
Di sisa akhir hidupku aku ingin membuat komitmen terhadap diriku sendiri. Jika aku jadi cermin, aku tak ingin menjadi cembung atau cekung. Aku tak ingin membacamu lebih kecil atau lebih besar, apalagi mencerminkanmu terbalik. Aku tak ingin kau kerepotan mencari jarak menakar arah yang sempurna untuk bercermin. Aku ingin menjadi cermin datar agar kau bisa memandang sempurna dirimu sehingga kau bisa tersenyum menikmati indah wajahmu, dan aku pun ikut tersenyum menjadi bayangan sempurnamu.
Semenjak itu, setiap ada gendang ditabuh, seruling ditiup memori tentangmu semakin tampak jelas di depan kedua pelupuk mataku. Di tiap hentakan kutiupkan seruling kerinduan, di tiap tabuhan kutitipkan salam, tabuhan itu semakin menghentak kalbu. Tak kuasa ku menahan dentuman-dentuman rindu. Meledaklah isak tersenggal di kerongkongan, kelenjar air mata tak mampu lagi membendung isinya. Salam ta'zhim salam rindu, ditengah gersangnya kepentingan penuh keegoisan, tak kutemukan lagi hadirmu menebar kasih sayang.
Semoga kau mau menjemputku di akhir perjaalanan sesatku. Salam rindu kuhaturkan untukmu selalu.




berangkat dari sebuah kegalauan dan kegelisahan hati seorang pendaki nirwana...
090310/24031431
Seperti biasa semua tulisanku selalu kupersembahkan untukmu
Semoga bahagia di sana

Minggu, 28 Februari 2010

aforisme status update (part 3)

biarlah hujan terus berguruh menggelegar. meneriakkan kegelisahannya akan luka sengat matahari. biarlah hujan terus menjeritkan petirnya. melumat kepongahan manusia tamak. biarlah hujan terus berkilat marah. agar ia puas mengadu menyuarakan getir hatinya. biarlah hujan terus menyemburkan tangisnya. aku akan menatapmu dalam fana tafakurku.

tak kuasa ku melihat pesona indah wajahmu biarlah ragaku tertarik menyatu ke Maha Magnet terlepas dari belenggu fisik nan fana kan kutanggalkan jasad maksiat aku rela terlebur ke dalam dirimu --/^^^-^-^---^----------_______ .................. ....... ... .

nafasku berhembus tanpa kendali, menderu dengan pisau-pisau lena, merajam sadarku atas hadirmu, adamu tak tercerap penuh oleh batas sadarku. aku terlanjur larut dalam lupa terlalu lama. maka kumohon maafmu di tiap lenaku.

Lalu kau berkata “maka mengemislah kepadaku agar dapat kudengar merdu kidungmu.”

“ciumlah sandalku agar dapat kau rasakan betapa nikmatnya bercinta denganku.”

ku memandang getir dirimu saat kau melangkah untuk sebuah kepastian. ketiadaan akan dirimu meninggalkan sayatan yang dalam. kau terlanjur menghujamkan kisah hidupmu di sini. maka tercerabutlah hatiku bersama kepergianmu. kini aku berusaha menumbuhkan kembali sisa-sisa jejakmu. jejak yang takkan pernah lekang dan kan selalu abadi.

di tiap hentakan kutiupkan rindu, di tiap tabuhan kutitiipkan salam, tabuhan itu semakin menghentak kalbu, tak kuasa ku menahan dentuman-dentuman rindu. meledaklah isak tersenggal di kerongkongan. kelenjar air mata tak mampu lagi membendung isinya. salam ta'zhim salam rindu, ditengah gersangnya kepentingan penuh keegoisan, tak kutemukan lagi hadirmu menebar kasih sayang.

aku rindu saat-saat dimana dalam khusyu' doamu, kau sebut namaku.

hatiku tersumbat cintamu, hingga tak mampu lagi menampung meski setitik benci. lihatlah wajahku, jika masih tak kau temukan rindu di semburat galaunya, tataplah kedua matanya. bening lensanya mengantarkanmu menembus curam lembah hatinya. di sana takkan kau dapati kebun asmara, kecuali kau akan terisak memandangnya. tertangkapkah olehmu sesosok badan? tak pernah lelah mulutnya mengucap satu nama, hanya satu nama

selalu begitu..... saat singgah dalam mimpiku, ku merasa kita bisa melawan hukum alam, memutar waktu dan merekayasa kehidupan. maka menyesallah diriku setelah sadar merayap, bayangmu lenyap bersama ekspektasi hampa. aku ber-asa saat-saat seperti itu kan terus terulang menemani tiap tidur sepiku.

tanyakan padanya masih adakah sebersit rindu, walau hanya tertawan oleh angin malam mengantar mimpi, katakan padanya aku tak lagi memikirkannya, hatiku sudah berkali-kali tertampar api kecewa. tapi tak perlu memintanya belas aku sudah melupakannya, aku tercandu oleh tamparan mesra menggiringku menuju ekstase abadi.

aku rela akuku. tapi, entah kenapa sembelit pilu kalbuku masih terasa melihat kau tak bergeming atas sahutanku kucoba tuk lebih rela kubiarkan kau bercumbu entah dengan sepi atau mungkin telah tentram bersamanya mungkinkah aku bebas dari cengkraman cintamu atau mungkin lebih tepatnya dari hayalan cintaku tentangmu

aku rasuk dalam sebuah alam tanpa batas waktu dan ruang. memanggil kembali kenanganku kepada murninya mitsaq. meski terantuk-antuk, aku sungguh menikmati saat ku mulai tersedot. hilanglah sadarku akan arti sebuah ada. karena adamu telah memenuhi sadarku. dengan penuh sadar ku bersaksi untukmu.

ku kan coba tuangkan secukupnya susu pada pekatnya kopi di pagi ini. kuaduk hingga kelamnya benar-benar hilang untuk mencerahkan pagiku yang hilang. siapakah yang mau menjadi secercah susu untuk menerangi kopiku?

engkau datang sekedar untuk menjengukku atau hendak menjemputku? Kini mataku matamu, mulutku mulutmu, telingaku telingamu, kakiku kakimu. karena kehendakmu adalah kehendakku.

Selasa, 23 Februari 2010

aforisme status update (part 2)

Tersentak driku dari alam keterasingan. Kucoba mencari dan meraba kebenaran diantara sathohat-sathohat kegilaan.

Dzikirnya tak hanya terucap. Dia tersirat dalam setiap gerak dan nafasnya. Dia terukir di setiap serat ototnya. Dia terpatri erat dan menghujam dalam hatinya. Jantungnya pun memompa pena darah yang mengukir kaligrafi indah di setiap pmbuluh darahnya.

Kau berkata
"cintailah aku!" akupun mencintaimu. Mereka bertanya "apa alasanmu
untuk mencintainya? aku menjawab "cinta sejati tak butuh alasan kawan."
Kau pun tertawa mendengar jawabanku. aku bertanya kenapa kau tertawa?
kau menjawab "ternyata benar, cinta itu buta sayang."

aku tak mampu berdiri, maukah kau mecebokiku anakku?

tahukah kau? saat kau tertatih menapakkan kaki ia dengan tulus menuntunmu sehingga kini kau bisa berlari darinya ketika ia memanggilmu.

aku
bertanya "kenapa tak kau usir lalat-lalat yang mengerubungi tubuhmu?"
dia menjwab "aku merasa dicintai oleh oleh mereka, maka pantaskah
bagiku untuk mengusir para pecinta?

kenapa tak kau beli sekerat roti itu? aku mnjawab "perutku kuajak untuk memerangi nafsunya." ia menyalak "bukan untuk kau makan tapi sekedar untuk membuat penjualnya tersenyum dan bersyukur."

ia mncercap urat leherku, kemudian dengan bibir manisnya ia tiupkan nafas pengetahuan kedalam pembuluh darahku. akhirnya aku menjadi tau segala yang ia tahu.

tak ada yang mutlak di dunia ini. Termasuk waktu. Ternyata waktu juga bisa relatif dan mengalami dilatasi.

Surga bukan tempat orang beriman, surga hanyalah tempat orang yg bruntung.

Kini aku hanya bisa memandang-Nya dari neraka.

Apa yang tampak sebnarnya hanya memantulkan segala definisi dan sifat dari sebuah esensi dzat yang bernama cahaya. Jika cahaya tak ada maka, semua pun tak akan wujud, termasuk benda yang tak kasat mata, ia bisa terdefinisikan karena ada yang kasat mata. Padahal yang kasat mata itu sendri tak dapat mewujud jika tanpa cahaya. Dan esensi cahaya sebenarnya adalah Allah SWT. Allahu nurun al-samwati wal ardhi...

Ketika eksistensi kita sendri tak wajib adanya, masih pantaskah kita menuntut adanya eksistensi lain utk mlayani kita? Mungkin hnya wajibul maujud yang dapat menjawabnya... Bisakah kita hidup tanpa menuntut?
potong kepalaku dengan segala keakuannya, potong leherku dengan segala kecongkaannya, potong urat nafasku dengan segala kelalaiannya, potonglah segalanya dari diriku hingga tak tersisa sedikitpun melainkan cintamu di hatiku.

aforisme status update (part 1)

manusia terlempar ke dunia dsambut oleh jeratan kterpaksaan lingkungan tanggalkan segala belenggu identitas jika ingin bebas menuju nihilisme abadi tanpa kamuflase identitas aku baru sadar bahwa ia juga bagian kamuflase abadi akankah suatu saat dapat kuraih sebuah kepastian???

aku ingin dari balik tirai itu kau sekedar mengintip memancarkan gelombang kasih lewat teduhnya pandanganmu memuaskan imagiku akan sekelebat perhatian atau setidaknya aku bisa mencuri pesona rona wajahmu. akh, aku mulai gila akibat tafakur liarku

aku hadapkan wajahku kepadamu. kuharap kau tak berpaling dariku.

dan dibalik kemarahanmu, aku akan tertawa. menikmati sarkatis kebodohan yang kupuja. meski aku tahu, kau benar-benar mengintaiku. aku terlanjur larut dalam ekstase apatis. maka saat itu pula aku menjadi skeptis sejati. termasuk tentang eksistensimu

aku lelah menunggu kau beranjak mataku tak sanggup lagi mengikuti polah gemulai langkah malas asaku terhempas keacuhanmu kuputuskan untuk menerabas nilai-nilai cipta batas puaslah kini aku bercita menertawakan gelimang tubuh lemahmu

akan kugadaikan kejenuhanku untuk menebus rindu kepadamu lalu kau tertawa mellihat ketidak berdayaanku aku hanya bisa tesenyum di ambang nadir sadarku.

tak pernahkah kau berfikir tentang kebahagiaan
kesedihan tak lain hanyalah ketiadaan akan ia.
carilah jejak-jejak rasa dalam hidupmu
sedihmu ternyata hanya bagian dari sekelebat ego
napak tilas langkahmu tak pernah berhenti menghantuimu...
jika tak segera membunuhnya kau akan terabsen dari ketidaksedihan.

kubiarkan keegoisanku menguasai kesadaranku. aku ingin bebas tanpa terpengaruh apapun dan siapapun. namun akhirnya, kalam nafsiku menjerit dan meronta untuk bebas dari keegoisanku sendiri. sampai sekarang aku masih terkekang dalam alam ciptaan ide.

terkadang aku ingin terbebas lepas dari dimensi ruang dan waktu, aku ingin terpelanting terbang tanpa mengacuhkan batas ruang, tanpa diburu keniscayaan waktu. persetan dengan rumus-rumus dan hukum-hukum keparat ciptaan alam. tergilaslah diriku dalam ekstase pemberontakan.akhirnya kubiarkan kalam nafsi mengumpat dalam kesenyapan. djan***

kuhancurkan sangkar ego
luluh lantaklah semua hasrat
kutebar semua rahasia dosa
kusebarkan virus-virus cinta dalam udara kehidupan
kupaksa mereka menghirup kamuflse kesengsaraan

Kamis, 18 Februari 2010

Roland Barthes: Semiotic, The Collapse Of Meaning Authority

At the first time, semiotic was introduced by Ferdinand de Saussure through dichotomy of atomistic sign system: signified, signifier/ signifie and significant. This concept saw that meaning will be appeared if there is associative relation between what signed (signifier) and what to be signed (signified). Sign is unity from a signifier and idea or signified. A signifier will be meaningless without signified, and cause of that it’s not called by sign. And on the contrary, a signified cannot be extended without signifier. Signifier and signified couldn’t be separated, both of them is sign itself, they thus are a linguistic factor. “Signifier and signified are unity like two sides of a paper sheet” said de Saussure.
Roland Barthes is one of de Saussure followers who has opinion that a sign system reflected assumptions of certain society in certain time. Semiotic or semiology basically wants to study how humanity signifies things. In this case, to signify cannot be mixed with to communicate. Signify means those object want to communicate and also constitute structural system of sign.
The important thing which Barthes penetrated in his sign study is about the role of reader. Even connotation is original attribute of sign, also need reader activity to be functioned. Barthes explain clearly what he often called by second meaning system that built on other meaning system before. This second system is connotative. And semiotic approach is located in this second stage or in signified stage, then the message will be whole understood.
Roland Barthes made a systematic model to analyze the meaning of signs. His attentions more focus on two order signification concept. The first signification relation between signifier and signified in a sign toward external reality. He called it by denotation, that’s the real meaning of sign. Connotation is Barthes’ term to call the second signification. This describe the happen interaction when sign meet reader’s emotion and his culture values. Connotation has subjective meaning, at least inter-subjective meaning.
In this case, denotation is associated by closedness of meaning. As a reaction to against oppressive of literal denotation, Barthes try to refuse and eliminate it. For him the only exist is connotation. While denotation is the first and the real meaning of text that is untouched by human mind and its area is only in metaphysic world (maybe like idea in Plato term). And what is spread in human understanding is just connotation.
A few comments:
I saw his though is like other poststructuralist or postmodernist, like Derrida and Michel Foucault, then his theory destiny will be not far away from his other same philosophy genre. His though build anti-establishment. A text will be loosed his meaning in reality, because no one has a right to justify the real meaning of the text, even its author. Consequently, there are no differences between a beauty literature works and the bad one. All of it are fused in a universal text, that’s mythology. This concept is really unfinished solving.

walLahu a’lam….

Jacques Derrida: Deconstruction, Desacralization of Text

When we claimed that our scripture is the right one and the best scripture, and we admit that no other texts can equal with it, nothing else like it, just now we did what Derrida call by logosentrism. Logosentrism at least has two characteristics. First, the present procedures must be admitted as the most general orientation. Second, those procedures couldn’t be debatable and questionable.
It’s the main concept of his thought that he defined it based on semiology perspective, in practical interpretation discourses, language became very important. Derrida prefer emphasize to written language rather oral language. He argues that all of thing that able to be claimed in written language –like it’s just derivative and only refer to other signals- actually also cold be applied in oral language. So, written is able to be seen as footstep, trace sole of foot which we have to research it continually until we find the foot master (what we call by the quested meaning). The thinking, writing, and creating process based on footstep principle is what Derrida call by differance.
“Difference” is France word that its pronunciation is exactly same with “difference”. This world derived from differer that has meaning of “different” and “delay or tow” all at once. We can’t distinguish differance and difference only with hearing oral language because they have same pronunciation. This is special treatment of written language which evidence written superiority than oral language as he believes.
He state loudly that trace precedes object. Actually trace is not effect but cause of. This concept enables to think the presence as effect of trace. Thereby the presence is no more original thing, but derivation of trace. He give an example, maybe people said a trace which is leaved by a drinking glass indicate to the glass as presence. But for Derrida, the glass must be seen as a trace also which can indicate to tea, kitchen or drinker. Then, tea, kitchen and drinker indicate to something else, and soon.
This trace network is what Derrida called by text or fabric. He return this word to its original language (Latin language) texere that mean wove. For Derrida, there are no existents out of text. Actually reality is nothing, because all of realities are constructed by culture, language or history, those are only text. Because of that, reality consists of a lot of texts by plural truth. There is no universal truth. He strips the truth claims from philosophic discursive system and metaphysic. He did all of it to release interpretation from meaning burden.
a little notes:
After all of realities were deconstructed, until there are no more identities but text that is considered as trace, and to interpret a trace, we must always epoche (tow, take caesura), finally deconstruction concept will bring us to uncertainty. A condition where an identity is not admitted by its owner because all understanding about text always circulate on a playing interpretation. Since all of text interpretations is only game, we has no right to claim something is better than other. Even though it’s possible, what we claim is not certainty acceptable. Because if what we admit is accepted by many people, will be a new logosentrisme also. The ironical consequence of deconstruction isn’t?

Michel Foucault: Power Relation, The Order Truth

Power isn’t possession or ownership but strategy. Usually power is identified by ownership. Power was considered by something could be got, saved, divided, increased or decreased. But in Foucault opinion, power isn’t be possessed but it’s practiced in somewhere there are many strategic positions that related each other and always shifted. So power is not authority which is possessed by certain subject or class like Marx’s conception. However power is an entity that is spread and modeled by everyone in social space and all of it is led by knowledge system.
Something necessary to observed specially is relation between power and knowledge. Knowledge isn’t disguised expression of power relations but knowledge is in power itself. Power produce knowledge not just because knowledge is useful for power. Certainly, knowledge especially science supplied power (science is power, like what Francis Bacon said). However, Foucault intended it to more general thing: there is no knowledge without power. Thereby, power and knowledge building never became independently. Power and knowledge like two sides of currency. Both of them cannot be separated, even leaning into identical.
Because of its soft form, the power/ knowledge always make individual cognition as its main target. This knowledge individualization produced individual identification based on the logic of binary opposition, a thought model which always positions everything into two contradictive poles. In this stage, the term of “we” and “they” is mapped. Then, which one is normal and deviation are determined. Of course, the identity of “we” always on normal pole and the opposite position always refers to “they”.
Every action and every historical event is seen by Foucault as an exercise in the exchange of power. He has spent a large bulk of his career analyzing the ebb and flow of power in different situations and with relevance to different aspects of human life. Structure organizes and broadens the web of power. The overall volume of power rises with each individual involved in the play. The society is a huge web, and much of the power tends to be concentrated toward the higher echelons. Foucault sees the exchange of power in very active terms: "isn't power simply a form of warlike domination?" It is difficult to sort out just who is fighting the war, since Foucault seems to lean toward the "war of all against all" notion. Power flows simultaneously in different directions and different volumes according to the various forms of "power relations" in the "network" of power exchange.
Each society creates a "regime of truth" according to its beliefs, values, and mores. Foucault identifies the creation of truth in contemporary western society with five traits: the centering of truth on scientific discourse, accountability of truth to economic and political forces, the "diffusion and consumption" of truth via societal apparatuses, the control of the distribution of truth by "political and economic apparatuses," and the fact that it is "the issue of a whole political debate and social confrontation." Individuals would do well to recognize that ultimate truth, "Truth," is the construct of the political and economic forces that command the majority of the power within the societal web. There is no truly universal truth at all; therefore, the intellectual cannot convey universal truth. The intellectual must specialize, specify, so that he/she can be connected to one of the truth-generating apparatuses of the society.
Because of this, Foucault sees "the political problems of intellectuals not in terms of 'science' and 'ideology,' but in terms of 'truth' and 'power.'" The question of how to deal with and determine truth is at the base of political and social strife.

A few comments:
Well, his power relation theory is very interested concept. I almost agree with all of his opinion. What he sparked is happened in reality because his theory based on his research almost entire his life. However, after thinking of his though more deeply, I find negative effect of his theory.
I remember a mythos said a supernatural person will be loose by his own weapon. I try to apply this mythos to his theory. Finally, what he sparked will be boomerang for himself. He said truth is only construction of society regime so there is no universal truth. This will take effect an understanding that truth is nothing but only power of regime. Therefore someone will free to do what they want even criminality. I can’t imagine if all of people in this world follow his thought. There are no more values and morality although there are some moral people. I think not all his theory could be applied in reality. Maybe it’s only a discourse to remember us that what we call by truth is relative and could be changed.

Jean Paul Sartre: Re-questioned the Existence of God

It is taboo thing in our society when we try to “playing our thought” in God area. Even there is a fair feeling to do it. Because the religious ideology was engraft not to brave to think about it. Who has a doubt about His existent, he was apostate. Even to think about His essence is forbidden. If as this religion teaching is contradicted by its mission to human. Religions required human in order to worship God, but in other side religion forbid them to think about what they must to worship. This condition continually became big problem in all religion.
The ironical thing also influence many of philosophers thought. They also oriented their thoughts to confirm this teaching. Facing this condition, Sartre doesn’t satisfied with their thought, by adopting and adapting the methods of phenomenology Sartre sets out to develop an ontological account of what it is to be human. By his existentialism theory he want to against rationalism that pioneered by Rene Descartes. He defined existentialism as a teaching which causes the being of human live. Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realizes himself. Beside it, he defined existentialism as a teaching affirmed that every truths and actions contain an environment and a human subjectivity. It’s also called by a human universality of condition.
Existentialism cannot be separated by consciousness, because consciousness is the cause of existence. Self consciousness is being in itself (etre-in-soi). Being in itself is necessary and enough requirements for consciousness. We’re not need to Transcendental Subject or Absolute I as what Idealism understand. And etre-in-soi is awareness of something else. When I aware of something, it means I’m not that thing. If I saw a picture on wall or a glass on table, therefore I’m not the picture and the glass.
Meanwhile nothingness emerges with human by etre-pour-soi (being for itself). Human is the carrier of nothingness. The special activity of erte-pour-soi is “to nihilate”. To ascertain being or nothingness of Pierre in restaurant, firstly, we must saw restaurant, table, chair, guest, air etc as background of being-nothingness of Pierre. This is the “nihilation”, when we saw restaurant, table, chair and whose presence in that place as not Pierre. The nothingness of Pierre is only confirmed by “nihilate” beings (other Pierre). So nothingness emerge by “nihilate” world. Nothingness always haunt being, cannot be separated. From this concept, he analogize the nothingness of God.
He pulled down Descartes’ subjectivism theory. Descartes and his followers said cogito ego sum (I think therefore I am), which mean essence precedes existence, he loudly said the opposite of proper theory “Existent precedes essence.” Usually the previous existentialist said in order to make a table, the artisan must first have a conception of the table. Sartre argues not so with human being, if Allah isn’t exist, at least there is a creature which its existence is being before its essence, a creature that exist before he was determined by many of conceptions about his existence. That’s human.
We come into the world existent but without a nature, without essence. We define ourselves while existing. We are the sum of our experiences. So man simply is. Stand on this radical statement he always yell out the freedom of human being by his popular dictum “human condemned to be free.” There is no one can force us when we do something. What we do is our choice. Even, extremely for him life is choice. I cannot not choose, if I do not choose, that is still a choice.

A Few Apologies
Personally, I saw what Sartre did is so radical and extreme. In my opinion, if his aim only to release human being from their shackles is not must to ignore the existent of God. I also saw his theory about being and nothingness is more leaned to empiric concept. He didn’t believe God just because of His absent from sensory perception. I don’t know exactly whether this theory is only his disappointed expression to God because of his sufferings life.
I don’t blame his existence concept, even I’m in the same opinion with his existence precedes essence statement, but only in the way of thought not in the real reality. We are still creature, not The Creator. So in reality his concept only could be applied in God as a Creator.