Pages

Kamis, 30 Desember 2010

WANITA [MENG]ADA


Judul buku : Her Story, SejarahPerjalanan Payudara

Penulis : Dra. NaningPranoto, MA

Penerbit : Kanisius,Yogyakarta

Tebal : 258 halaman

Cetakan : pertama, 2010

Peresensi : Warih Firdausi*

Perbedaanmendasar antara laki-laki dan perempuan rupanya membawa lebih banyak lagi perbedaansetelah mereka mengada dalam ruang publik bernama masyarakat. Adanya perbedaananatomi tubuh antara pria dan wanita membentuk asumsi masyarakat terhadappemisahan hak dan kewajiban antara keduanya. Perbedaan tersebut seringkalimenjelma kesenjangan dalam berbagai lini kehidupan baik ekonomi, sosial,politik, bahkan ritual keagamaan. Akhirnya, perempuan distigmakan sebagai konco wingking atau sekedar second sex yang berfungsi hanya sebagaipelengkap kehidupan lelaki saja. Stigma miring itu barangkali berangkat daripemahaman terhadap teks agama yang kaku atau arogansi maskulinitas. Terlepas dari apapun sebabnya kita harus mengakui bahwa itulah produk budaya patriarkhiyang terlanjur mendarah daging.

Dalam buku ini,Naning Pranoto mengajak kita merenungkan sejenak kehidupan perempuan. Betapaternyata mereka memegang peran yang sangat signifikan yang bahkan melampaui laki-laki.Namun dalam kenyataannya mereka seringkali tidak pernah mendapatkan hak-hak yangseharusnya mereka terima. Penulis menceritakan bagaimana para TKW menjadipahlawan devisa bagi negaranya tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadaidi luar negeri tempat mereka mengais rezeki. Sehingga tak jarang kita mendengarkasus-kasus penyiksaan majikan terhadap para TKW. Sementara itu, negara takmampu melakukan usaha apapun untuk membela mereka.

Buku yang sarat denganbukti-bukti historis dan faktual ini ditulis secara reflektif dan komunikatif.Barangkali inilah yang menjadikan buku ini mudah dicerna dan menggugah paraperempuan untuk bangkit menegaskan eksistensinya. Perempuan adalah subyekdiantara subyek-subjek yang lain (Others). Subyek adalah setara dengan Subyeklainnya. Sebab setiap Subyek memerlukan Subyek lainnya (hal 50). Oleh karena itu, perempuan tidak boleh dipandang hanya sebagai objek yang bisa dinikmatidan diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum lelaki.

Feminisme yangdituangkannya dalam buku ini juga bukan faham yang mendudukkan laki-lakisebagai musuh yang harus dibenci. Penulis juga tidak terjebak kepada feminisme liberal-radikal yang cenderung selalu menyalahkan laki-laki. Mungkin karenacara pandang itulah banyak diantara wanita memilih menjadi lesbian. Menurutpembacaan saya, penulis buku ini memiliki ekspektasi akan terciptanyakesetaraan status dan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan tersebut harus terejawantahkan dalam ruang nurtural (konstruksi budaya) tanpa memandangperbedaan kelamin (gender) yang merupakan faktor bawaan (natural).

EksploitasiTubuh Perempuan

Seiringberjalannya waktu, masyarakat sedikit demi sedikit mulai menerima hadirnyaperempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang yang dulu masih dianggap tabubagi perempuan. Tetapi kesuksesan feminisme ini ternyata tidak selamanyaberdampak positif. Karena pada kenyataannya ia membawa efek samping. Kendati parawanita telah berani dan dapat diterima untuk bersanding setara dengan laki-lakidalam berbagai aspek kehidupan, rupanya ada pihak (bahkan dari kaum perempuan sendiri) yang mencuri kesempatan untuk memanfaatkan mereka.

Terbuka luasnya ruang publik bagi kaum hawa ternyata juga membuka peluang ranjau bagi mereka. Banyakperempuan yang bekerja dan dipekerjakan bukan karena kemampuan dan keahlianmereka, melainkan karena kemolekan tubuh mereka. Tak sedikit diantara merekayang rela menjadikan organ vitalnya sebagai "mesin uang". Antara lainpenonjolan payudara, mulusnya paha, dan lekuknya pinggal-pinggul tidak hanyauntuk mengiklankan pakaian dalam dan pakaian renang tetapi juga parfum, kasur pegas, mobil mewah, supplement dan minuman (hal 193). Bahkan dengan bangga mereka menganggap hal tersebut bagian dari kebebasan wanita sebagai manifestasikesetaraan gender.

Ironisnya bentukpenjajahan berupa eksploitasi tubuh semacam ini justru yang paling diburu oleh para wanita muda dari berbagai pelosok yang datang ke ibukota (hal 194).Apalagi orientasinya kalau bukan semata-mata karena uang dan uang? Tak ada lagi terbersit di pikiran mereka tentang arti kemerdekaan dan arti kemampuan padadiri mereka. Bagi mereka, bekerja dengan "pamer tubuh" adalah jalan terabasuntuk meraih banyak uang dengan mudah dan cepat tanpa perlu kerja keras secarafisik maupun otak. Bukankah hal ini sama sekali tidak mengukuhkan adanya kemampuan, kecerdasan dan keahlian yang melekat dalam diri wanita?

Jika demikian apalah arti kata wanita yang dalam kereta basa -permainan bahasa- jawaberarti wani ing tata (berani dalam tata-menata)? Hal ini tidak hanya bermakna bahwa wanita harus berpenampilan menarik dan pandai bersolek saja. Lebih dari itu ia harus dapat menata serta mengelola dirinya dan kelak keluarganya yang mau tidak mau harusmembutuhkan kemampuan, keahlian dan keterampilan. Dengan demikian wanita tidaksekedar "ada" sebagai pelengkap saja, namun ia "mengada" sebagai subyek otonom.Sehingga perempuan "mentas" ke dunia ini tidak sia-sia. Karena hadirnya turutserta mewarnai dan mempengaruhi gemerlapnya dunia.

KOMUNISME AGAMA-AGAMA, AGAMA-AGAMA KOMUNIS


Judul buku : Madilog, Materialisme, Dialektika dan Logika

Penulis : Tan Malaka

Penerbit : Narasi, SumberanYogyakarta

Tebal : 568 halaman

Cetakan : pertama, 2010

Peresensi : Warih Firdausi*



Gurita kapitalismedi Indonesia, walaupun telah terbukti borok-boroknya, selama kurang lebih 45 tahun semenjaktumbangya orde lama seolah semakin menggedibal. Agaknya pemegang kuasa negeriini sudah benar-benar ekstase tercandu oleh faham ini. Dengan kepongahan kuasa,mereka menghalalkan segala cara untuk melayani hasrat perut mereka sendiri. Akhirnyakapitalisme mencipta kelas-kelas kasta baru. Borjuis (pemegang modal) danproletar (kaum buruh/ rakyat jelata).

Sesuai prinsip kapitalisme, siapa punya modal dia yang berkuasa. Sadar atau tidak, sebenarnyamereka, para pemimpin negeri ini juga sedang dipermainkan oleh tangan kuasayang lebih besar dari mereka. Bagaimana tidak? Berapa persen penghasilan Negara kita yang katanya gemah ripah loh jinawi,tukul kang sarwo tinandur, sehingga mendapat gelar sebongkah tanah surga, lari ke kantong investor asing? Inilah akibat dari kertergantungan terhadap modal luar negeri. Jika mereka tidak sadar berarti Negara kita ini sedang dipimpin oleh orang-orang yang tolol. Dan parahnya lagi jika mereka melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran, sungguh bejat sekali orang yang tega menjual negaranya demi kepentingan nafsu pribadi.

Dalam kitab (ia menyebutnya begitu) Madilog ini, sebenarnya Tan Malaka (tahun 1942-1943, ketika menulis buku ini) me"ramal"kan bahwa Indonesia kita akan bangkit dan merdeka jika terjadi ledakan kekuatan tersembunyi kaum proletar. Kekuatan tersembunyi ituseperti gaya potensial yang tersimpan dalam pegas yang terus menerus tertekanoleh kebengisan dan ketidakadilan. Maka tatkala pegas ini telah mencapai titik puncak daya tahannya, ia akan meledakkan gaya kinetiknya sekuat-kuatnya yangakhirnya melahirkan revolusi peradaban. Dia percaya Indonesia telah lamamengandung kekuatan tersembunyi itu, sayangnya masyarakat kita masih banyakyang terbuai oleh takhayul dan ilmu akhirat yang tercampur aduk (hal17). Mereka belum insaf untuk melek filsafat dan berfikir logis. Bahkan hingga zaman modernini, mental mistis bangsa Indonesia masih terasa kental sekali. Bagi Tan Malakaselama masyarakat masih berfikir menggunakan "logika mistik" maka ia takkanpernah maju.

Dengan gayabahasa laiknya orang yang sedang bertutur cerita, Tan Malaka membawa pembacamenjelajah pelbagai ilmu pengetahuan dari matematika, logika, fisika,astronomi, sejarah sampai filsafat yang beraliran dialektika materialis yang banyak dipengaruhi oleh Frederich Engel dan bapak Sosialisme, Karl Marx. Inilahyang menjadi kelebihan sekaligus kelemahannya (untuk zaman sekarang). Di satusisi hal ini menegaskan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tetapidi sisi lain terkadang pembaca (zaman sekarang) merasa tak jauh beda denganmembaca buku pelajaran sekolah, hanya saja dengan contoh yang berbeda dan lebihkonkrit. Yang patut dihargai dan mungkin disayangkan pula, penyunting buku inihanya sempat membenahi ejaan hurufnya saja, sedangkan gaya bahasa dan diksikitab Madilog masih seperti gaya bahasa jadul sehingga terkadang membuatpembaca harus membaca berulang kali agar mendapatkan pemahaman yang sempurna.

Di bagian akhir buku ini, Tan Malaka menyinggung sejarah agama-agama, khususnya monotheis. Iamenjelaskan bagaimana agama-agama tersebut saling berseluk-beluk,masuk-memasuki dan saling membawa pengaruh satu sama lain. Sehingga tak adagunanya memperuncing perbedaan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Bahkan imbuhnya, tiga agama monotheis,Yahudi, Nasrani dan Islam yang nota bene paling kerap berkonflik menurutnyaadalah tiga sejiwa. Karena mereka lahir dari satu bangsa, bangsa Semit (Yahudidan Arab) yang mempunyai ujung yang sama yakni Nabi Ibrahim. Ketiganya jugamempunyai persamaan jiwa dan persamaan sari yang berinti pada satu Tuhan (hal460).

Dia jugamenganggap bahwa ketiga agama tersebut memiliki unsur-unsur pembebasan,egaliter, dan kominisme. Ia menggambarkan bagaimana ketegaran Nabi Musamemperjuangkan dan membela hak kaum budak bani Israil melawan tirani Fir'aunyang maha kejam. Bahkan dalam agama Kristen yang sekarang menjadi pengamal kapitalismeterbesar di dunia, menurut Tan Malaka mereka mengamalkan teori komunismesederhana ketika dulu Yesus masih hidup (hal478). Nabi Isa dengan berlandaskan ajaran kasihnya terhadap sesama tetap teguh memegang asasnya sampai nafas terakhir.

Begitu puladalam agama Islam, bagi Tan Malaka Nabi Muhammad adalah Rasul terbesar danparipurna bagi monotheisme yang menyempurnakan ajaran keesaan agama-agamasebelumnya sebagaimana Einstein menyempurnakan teori pamungkas Relativitas.Maka pesan ke-egaliteran Islam sebagai agamanya pun paling jelas. Islam mengajarkan persamaan semua manusia di mata Tuhan. Setiap manusia bisa langsung berhubungan dengan Tuhannya tanpa melalui kasta rabi atau pendeta sebagaiperantara atau cukong dan tengkulak antara hubungan manusia dengan Tuhan. Danprinsip ini seharusnya juga berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, tetapsaja setiap zaman mempunyai metode tersendiri untuk menghadapi problematikanya.Meminjam istilah Ayu Utami, apa yangmendesak sekarang belum tentu penting di kala lampau dan kala depan. Melihat kuasa logika dan teknologi yang pada kenyataannya juga membawa dampak negatif,seperti mutlaknya kebenaran dan dekadensi moral, lantas apakah paradigmaMadilog cocok untuk kondisi bangsa Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawabannya silakan membaca Kitab Madilog secara sempurna.

MENYIBAK DODOT MANUSIAWI*

*cerpen ini pernah dimuat di Surabaya Post


Leyeh-leyeh menghisap mbako lintingan. Merebahkan lelah pada dipan. Bersiul sembari menatap laku zaman yang semakin edan. Menghitung laba mengakali rugi.

“asu asu… uangku lidis untuk menyuap polisi.”

Tiba-tiba benak ini teringat sebuah cincin. Cincin yang kutemukan di samping hape pada ventilasi pintu wc. Kuamati setiap lekuk busurnya. Indah sekali. Satu busurnya dari besi. Busur yang lain dari kuningan mengkilap. Matanya mutiara bundar tergores sepasang segitiga yang saling berpangutan. Sungguh mesranya mereka bercinta gaya 69. Mereka berpadu saling tumpu dan berikatan membentuk heksagram. Bintang simetris bersudut enam. Di kelilingi oleh empat intan permata gemerlap.

Kupasangkan cincin itu ke jari kiri. Kuamati lekat-lekat. Pas sekali. Ah, aku ingin sejenak terlelap, bermimpi menjadi Sulaiman. Raja digdaya nan kaya raya. Kan kuperbudak jin dan manusia, kupersunting beratus ratu sejagad, kujadikan selir beribu miss universe sepanjang zaman.








* * * *



“auuu... wong wong wong…” kudengar asu milik singkek depan langgar menyalak seperti mengejekku.

“wong wong wong…” kudengar asu itu juga memisuh. Menguntabkan kekesalan dan keterzhaliman.

“wong wong wong…“ bahkan kudengar ia memaki kawannya. Menghinakan dan mengumpat sesamanya dengan sebutan “wong”

“Wong wong wong…” itu juga yang kusimak saat pencuri masuk ke rumah tuannya. Tak kudengar umpatan lainnya seperti jancuuk, anjrit, diampuut, bahkan celeng. Lama-lama aku jengkel,

“assuu koe suu…”

“ah tenyata baginda juga sudah tercemar konstruksi budaya pisuhan bangsa ini. Hamba kira baginda Sulaiman tak bisa misuh.”

“eee.. eee… tak ingatkah kau ketika akan kusembelih hudhud? Pisuhan, umpatan itu manusiawi. Bahkan semulia-mulia manusia, kanjeng Nabi Muhammad pun pernah sesekali memisuhi kabilah Lihyan, Ri’l, Zakwan dan ‘Usaiyah.”

“Ya manusiawi tapi bukan insani tuan. Yang membuat hamba serik adalah bangsa ini memisuh dengan nama hamba. Bukan hanya itu, terlebih kami tak lagi menemukan makhluk terbejat yang pantas untuk dijadikan pisuhan selain wong.“Wong wong wong…”

“Beraninya lagi kau memisuhi dan menghina makhluk ahsani taqwiim. Mau kupenggal kau nanti?”

“Ampun baginda, tapi sudah terlalu banyak manusia yang terjerembap ke jurang asfalas safiliin. Kuping mereka budeg, mata mereka picek, tangan mereka sudah buntung. Mereka sudah kehilangan nurani. Setiap hembusan nafas berbau curiga dan prasangka. Akhirnya dada mereka sesak dengan kebencian. Mereka sudah tidak punya tepo slira, tidak tanggap ing sasmita, apalagi rasa tresno. Mereka relakan kemanusiaan mereka untuk menjadi sekedar binatang.”

“Lho, lha kok nglunjak koe su.. Pantes kanjeng Nabi Agung menajiskan dan mengharamkanmu, seperti najisnya celeng titisan yahudi terlaknat. Tak salah bangsa ini menjadikan namamu sebagai pisuhan.”

“Sekali lagi ampun baginda, lupakah baginda akan makna haram itu? Setahu kami, itu karena kanjeng Nabi memuliakan kami. Mungkin beliau tahu nenek moyang kami dulu adalah titisan dewa yang akhirnya dihukum menjadi si Tumang. Ayahanda si Sangkuriang yang bejat karena ingin menikahi ibundanya, Dayang Sumbi. Entah kenapa sepeninggal beliau, tiba-tiba umatnya begitu membenci kami. Jangankan tubuh kami masuk masjid, lha wong hanya nama kami saja yang keluar dari mulut bocah tak berdosa langsung ditampar oleh imam mesjid.”

“Alah su.. su, Masa ada kanjeng Nabi percaya sama yang namanya dewa. Syirik murokkab namanya, kontradiktif sekali bualanmu itu. Kau ini memang minal dobolin wal gedebusin.”

“Memang beliau tidak percaya, tapi beliau sangat menghargai budaya lokal sebuah bangsa.”

“Buss… Lebih baik kau ini nrimo ing pandum wae su.. Takdirmu menjadi asu ya sudah jangan bermimpi jadi dewa.”

“Lho hamba ini nrima tuanku, kurang nrimo bagaimana? Bahkan hamba bangga jadi asu. Menjadi pengawal dan tunggangannya dewa Syiwa.”

“lah wis murtad kamu su…”

“Ampun baginda, tak ada kata murtad dalam kamus kehidupan kami. Murtad hanya berlaku bagi manusia bukan binatang seperti kami. Baginda juga jangan menjustifikasi syirik kepada kami. Kami percaya pada Gusti Allah melampaui wong wong itu. Hanya saja kami bangga menjadi simbol makhluk yang paling taat kepada tuannya. Tidak seperti wong-wong itu. Jangankan keluarga dan Negara, lha wong Pengeran Rabbul ‘izzati saja mereka khianati.”

“Kau ini, pandai berapologi su..”

“Ini bukan apologi, ini kenyataan tuanku. Justru wong-wong itulah yang pandai bersilat lidah. Sampai-sampai alqur’annya kanjeng Nabi secara jelas menyindir mereka aktsaru syai’in jadala. Oh, Baginda mungkin belum kenal lembaga perwakilan rakyat negeri ini. Apalagi kalau pemilu, tidak hanya ngusap dada, hamba sampai ngusap kelamin juga baginda…”

“Halah pikiranmu itu ngeres men to, ….”

“Ampun beribu ampun baginda, salah siapa baginda? Lha wong saya cuma menikmati “wudodari-wudodari” itu ngebor kok. Oh iya, tahukah baginda? Wong-wong itu sekarang tak lagi hanya melacurkan wudodari-wudodari , bahkan mereka telah berani melacurkan Negara dan agama. Asset-aset Negara diselundupkan, hukum dibuat mainan, agama dijadikan komoditas kepentingan. Masih mending onani hamba yang diiringi masturbasi spiritual. Mensyukuri dan menikmati jamaliyah Tuhan yang terpancar dari pupu-pupu mulus dan goyangan erotis para biduan.”

“Elho berani-beraninya kau mencampur adukkan nafsu dengan ibadah. Itu bid’ah dhalalah.”

“Kata siapa baginda? Lha wong hamba ini meniru sunnah baginda.”

“Sunnah yang mana? jangan mengada-ada kau!”

“Bukankah baginda mendakwahkan agamanya Gusti Allah dengan menikahi ratu-ratu sejagad?”

“Lho beraninya kau menghujat Rasul Allah. Utusan Allah itu pengganti Gusti Allah di muka bumi, Khalifatullah fil ardh. Sayyidin panatagama, Satriyaning nagari. Sabdanya titah Pengeran, amarahnya murka Tuhan. Lha kok kamu ngoceh sak enake wudelmu.”

“Ampun baginda, hamba tahu semua itu. Namun setahu hamba tidak ada wudel yang bisa ngoceh selain wudel wudodari-wudodari yang membangkitkan birahi. hihihih”

“Cangkemmu ndak punya sopan santun. Ngomong sama kamu memicu amarah. Mengotori hati. Padahal susah payah aku me-rekso-nya. Aku pamit dulu su, hendak menentramkan hati sembari menggilir ratu-ratuku.”

“Sumonggo baginda, ndherekaken.”



* * * *



Seingatku, ini hari keempat puluh setelah kudapat cincin itu. Angin berhembus mengarak awan. Awan menari menghibur cakrawala pagi. Dari angkasa kulihat elok panorama bumi.

“Subhanallah… indah sangat dunia Panjenengan Gusti. Membuatku semakin berhasrat menjamah nirwana Panjenengan yang maha edi.” Tiba-tiba awan yang kukendarai tersesat dalam gumpalan pekat mendung.

“Gusti Allah nyuwun ngapuro… Hei awan, Bukankah kusuruh kau pergi ke jepang? Lupakah kau jam sembilan tepat jatahku menggilir Miyabi? kenapa pula kau bawa Nabimu ke gumpalan mendung ini? Bukankah bulan ini bukan jadwalmu untuk mengguyur bumi?”

“Ampun baginda, bukan maksud hamba membangkang. Ini diluar kuasa hamba. Sistem sirkulasi dan hidrologi bumi kami dikacaukan oleh wong-wong tengik itu . Mereka telah terlalu melukai atmosfer bumi. Uap dan asap dari mesin-mesin industri canggih mereka mengoyak selimut ozon kami. Bukan hanya itu, mereka membabat habis jantung bumi tanpa melakukan reboisasi. Akibatnya komposisi udara tak terkontrol. Emisi karbon kami membludak menjelma rumah kaca. Terik matahari panasnya makin berlipat kali. Mereka terjebak, terpenjara tak bisa keluar dari atmosfer bumi. Akhirnya ac pendingin bumi di utara dan selatan meleleh membentuk gletser yang sedikit demi sedikit mengikis habis pulau-pulau bumi. Wong-wong bagsat itu benar-benar bejat tak bertanggung jawab.”

“Walah kau ini sama saja dengan asu. Sukanya mengutuki bangsaku. Bisakah kau membelokkan arah, mengambil lajur lingkar menghindari hujan?”

“Ampun tuanku. Jika angin tak bertiup kencang insya Allah akan hamba usahakan tuan.”

“Awan, tahukah kau kenapa akhir-akhir ini petir sering sekali menggelegar memekakkan telinga manusia?”

“Oh itu baginda, mungkin gara-gara saudaraku angin sedang gencar-gencarnya bercinta untuk mereproduksi ozon yang beberapa telah koyak oleh gas-gas beracun ciptaan manusia.”

“Benarkah? Lalu kenapa bumi tetap saja semakin panas?”

“Itulah yang kami takutkan baginda, jangan-jangan saudari angin telah monopouse tak sesubur dulu lagi. Atau barangkali justru saudara angin yang senjatanya telah expired, mejen dan mandul. Ini benar-benar ngalamat akhir zaman baginda.”

“Ee ladalah cilaka baginda?”

“Ada apa wan? Kau membuatku khawatir saja.”

“Gusti kang Murbeng Dhumadi punya kehendak lain baginda.”

“Kehendak yang bagaimana?”

“Tidakkah tuan merasakan suhu daerah ini menjadi anjlok secara drastis?’

“Wah benar, kenapa tiba-tiba di sini menjadi adhem sekali? Sebentar lagi pasti angin dari segala penjuru akan mendorong awan-awan yang mereka arak menuju ke sini. Kita terkepung.”

“Tuanku baginda, ampun beribu ampun tuanku. Hamba sudah tak kuat lagi menopang tubuh gempal baginda. Suhu yang anjlok sebentar lagi akan membuat hamba mencair. Jatuh menyiram bumi.”

Benar saja, tanpa menunggu hitungan menit, awan tempatku bertelekan telah mulai mengembun. Bergegas kujejakkan kaki ke awan lain yang mungkin lebih padat. Percuma, itu pun tak lama. Nasib mereka sama. Percikan kilat menyambar dimana-mana. Diikuti gelegar guruh berteriak memekakkan telinga.

“Duh Gusti nyuwun ngapunten, apa yang hendak Panjenengan pamerkan kepada hamba? Akankah Panjenengan hendak men-tajalli-kan ke Maha Perkasaan-Mu melalui gledek-gledek itu? Sebagaimana yang dulu Panjenengan lakukan kepada simbah Musa di atas bukit Thursina?”

Di luas altar lazuardi, plus minus udara sedang mengejar klimaks persetubuhan. Ah, sebentar lagi pasti mereka akan oragasme memuntahkan air kehidupan. Jauh dibawah sana bumi menggoyangkan lidahnya bersiap sedia menguntalku.

“Bumi gunjang-ganjing, langit klat-klaton….” Bergetar hebat sekujur badan. Hingga cincin mutiaraku terlepas jatuh ke lautan. Bercampur zabarjud, lu’lu’ dan marjan. Mulut bumi semakin bergravitasi kuat menghisap jasad. Buru-buru kupejamkan mata dan kuteriakkan syahadat sebelum benar-benar terlumat.



* * * *



“Gedebuk…” Mataku terbelalak kaget. Dengan nafas memburu kuberusaha menyusun kembali memori-memori yang berserak antara mimpi dan kasunyatan. Syukurlah aku terhindar dari kematian. Hanya saja pinggangku nyeri jatuh dari dipan. Anehnya, cincin mutiaraku benar-benar hilang. Baru saja otakku berhasil menguasai kesadaran, kudengar suara ricuh meraung-raung. Aku diseret keluar oleh aparat berseragam. Kios jamuku diluluh lantakkan. Jamu-jamu daganganku diusungi ke dalam truk bersama barang dagangan orang-orang. Aku berteriak menghadang, malah ditendang.

Kudengar teriakan dan umpatan kawan-kawanku sesama pedagang,

“Kalau begini buat apa saban hari kami bayar karcis dan keamanan? Dasar aparat bajingan… mikerke udele dhewe.”

“Bug..” Bogem mentah melayang menghantam rahang. Ingin kami lempari mereka dengan batu bahkan tahi. Tapi bedil mereka menciutkan nyali. Aku sudah tak tahan lagi. Kupisuhi anjing-anjing kapitalis itu keras-keras. Entah kenapa huruf “s (es)” tiba-tiba menguap lenyap dari pita suaraku. Yang keluar hanya lengkingan panjang bernada sengau,

“auuuu… wong wong wong….”



Semarang, 17082010/07091431





NB: cerita ini hanyalah fiktif belaka. mohon maaf apabila ada kemiripan nama, sifat, karakter atau tingkah laku. karena semua itu sama sekali memang bukan kebetulan.

terima kasih.