Pages

Jumat, 22 Januari 2010

Resume Materi Muhammad Ata al-Sid - Sejarah Kalam Tuhan

Muhammad Ata’ al-Sid

Sejarah Kalam Tuhan; Laku Kritik Terhadap Hermeneutika Baru (Barat)

Eternitas al-Qur’an
Al-Qur’an telah terjaga dalam tablo (lawh mahfuzh), bahkan sebelum peristiwa yang dibicarakan terjadi.
Al-Qur’an bukanlah komentar tentang apa yang terjadi sebelum atau selama risalah Muhammad, sekalipun ini semua membentuk matriks atau substansi wahyu itu sendiri.

Al-Qur’an dalam Lawh Mahfuzh
Bahasa yang tidak autentik tidak mampu menjangkaunya.
Terjadi peristiwa sabda dan bahasa sekaligus.
Teks al-Qur’an yang sekarang adalah wahyu verbatim dari lawh mahfuzh.

Jaminan atas Kesinambungan dan Keabadian Al-Qur’an
Keserasian penuh antara al-Qur’an dan fitrah manusia
Percaya terhadap akal murni dalam memberikan keputusan, dan menyelesaikan kasus-kasus konflik

I’jaz Al-Qur’an atas teks-teks lainnya
I’jaz al-Qur’an meliputi formatnya (struktur dan gaya bahasanya) sekaligus isinya (yang mengandung jaminan visi kenyataan, mengubah kehidupan dan berhubungan antara Tuhan dan manusia) karena keduanya memiliki fungsi hermeneutis.
Dalam ha-hal itulah berlaku tantangan Al-Qur’an terhadap teks-teks lain yang tidak mampu “setara” dengannya.

Konsep Wahyu
Hermeneutika baru --- redefinisi wahyu sebagai proses tiada henti. Maka bahasa dalam konteks wahyu bukan an sich bahasa spiritual, karena semua yang mengkomunikasikan antara Tuhan dan manusia adalah Kalam Tuhan.
Hermeneutika al-Qur’an --- kalam Tuhan bersifat supernatural. al-Qur’an telah tersimpan dalam tablo (lawh mahfuzh) sebelum peristiwa terjadi.

Ketika Peristiwa-Sabda Terjadi
Hermeneutika Baru --- bahasa / teks wahyu (ucapan manusia dalam pikiran) dimaksudkan untuk mencerahkan realitas peristiwa dan menjaganya demi manfaat generasi mendatang.
Hermeneutika al-Qur’an --- teks al-Qur’an merupakan anugerah terbesar Allah. Dia dengan segala kebesaran-Nya melakukannya dengan tepat pada manusia.
Prinsip-Prinsip Hermeneutika al-Qur’an

1. Pentingnya Bahasa Arab
Penguasaan bahasa arab asli ketika wahyu diturunkan, sehingga tidak terjadi kesalahan proyeksi dalam memahami teks.
Kemampuan mengkomunikasikannya dengan kenyataan Islam.

2. Muhkamat dan Mutasyabihat
Bukan konsep yang menyatakan Muhkamat >< Mutasyabihat
Mengambil natijah dari mayoritas opini umat Islam. Hasilnya adalah:
Muhkamat = fondasi Kitab dan fundammental Islam.
Mutasyabihat = bersifat problematis, unsur-unsur yang hanya Tuhanlah yang dapat mengukur dan mengetahuinya secara pasti. Maka sia-sia usaha manusia untuk berspekulasi mengenainya.

3. Kesakralan al-Qur’an
Bukan sekedar bermakna psikis. Wudhu sebagai syarat untuk menyentuhnya.
Setiap penafsir harus “suci” dari isme-isme yang bertentangan dengan keesaan dan transendensi Allah. seperti ateisme atau politeisme.
Bahkan iman terhadap al-Qur’an sebagai wahyu verbatim dari Allah adalah syarat mutlak untuk menafsirkan al-Qur’an.

4. al-Qur’an ayat-ayatnya dijelaskan secara terperinci.
Maka konsekuensinya, al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an menjadi sumber utama yang tak terbantahkan bagi penafsiran.

5. Nasikh Mansukh
Terlepas dari perdebatan tentang definisi keduanya (menghapus-dihapus, mengganti-diganti, atau tidak ada sama sekali), Atha’ al-Shid menyimpulkan “al-Qur’an tidak memberikan ketentuan yang mendetail, dan final bagi peristiwa yang mungkin terjadi di kemudian hari.”

6. Bukan hanya makna yang jelas
Al-Qur’an mempunyai makna harfiah dan makna yang lebih dalam yang muncul melalui refleksi, ketertarikan yang mendalam pada al-Qur’an dan afinitas yang kuat dengannya.
Segala makna esoterik tersebut harus sepenuhnya koheren dengan makna yang jelas dan nilai universal islam. Tidak terjebak kepada dualitas makna.

7. Konteks Situasi Pewahyuan
Meski bersifat verbatim, seseorang tidak dapat menafsirkan al-Qur’an tanpa mengetahui asbabun nuzulnya.
Tetapi tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai konteks situasi pewahyuan.

8. Semua yang ada dalam al-Qur’an adalah benar secara literal kecuali ada konteks yang menentangnya dan tujuan utamanya adalah pelajaran keagamaan yang harus ditangkap

9. al-Qur’an melawan keraguan dengan detail-detail yang berguna.

10. Tidak ada penafsir yang terlibat polemik.

11. Israiliyat dan kristianisme ditolak dalam penafsiran.

12. Muhammad: Hermeneut Ilahi. Nabi adalah orang yang mengimplementasikan prinsip-prinsip luhur al-Qur’an kedalam kehidupan nyata.
Misi Kerasulan Muhammad
Sebagai juru bicara dari “Being” (meminjam istilah Heidegger). Maka ia tidak mengucapkan (al-Qur’an) sekehendak hatinya. Ia itu tiada lain kecuali wahyu yang diturunkan.
Sebagai “Dasein”, manusia sejati yang dapat menginterpretasi realitas beings, dan menjadi objek interpretasi itu sendiri. Sehingga semua kata dan perilakunya merupakan realitas dari wahyu Allah dan menjadi teladan bagi umatnya.

That’s all from us….
“Thanks you for being a part of history in this lecture. . . “

Selasa, 12 Januari 2010

Salam Cinta

SALAM CINTA
Cerpen Warih Firdausi*


“Byuurrr….. “
“Banguunn…!!!” “Males banget sih jadi anak. Kamu tuh dah gede, bentar lagi mo kawin, kerjaannya kok cuma molor terus. Gimana nanti kalo dah punya istri? Mau kamu kasih makan apa dia? Jangan mentang-mentang bapakmu masih mampu kasih kamu duwit, kamu enak-enakkan tidur terus….! Bantuin nyuci, bersih-bersih rumah kek, udah jadi mahasiswa kok males banget sih.!! Kamu mo berangkat kuliah pa nggak?”
Masih terngiang di benakku wajah judes ibu saat melontarkan kata-kata itu beserta sumpah serapahnya ketika beliau marah gara-gara aku susah dibangunin. Kangen juga aku pada suara ibu dan raut mukanya saat beliau memarahi aku habis-habisan. Namun, sayangnya kata-kata itu sekarang takkan pernah lagi kudengar dari mulutnya. Suara ibu musnah bersama jasadnya yang kini telah manunggal ke dalam buwana. Diantara anak-anaknya, mungkin akulah yang sering membuatnya jengkel dan judes. Kini, datanglah sesalku kenapa dulu aku sering membantah perintah-perintahnya. Dan yang paling kusesali adalah tak sempat aku memohon maaf kepadanya. Kini, tak ada lagi bakti yang dapat kulakukan untuknya.
Tanpa kusadari butir-butir air mata telah meleleh dan mengalir, menyapu bersih kukul dan jerawat di pipiku. Karena telah mencapai klimaksnya, aku harus menyudahi ritual melankolis ini. Kuusapkan kedua telapak tanganku ke muka dan bergegas menuju masjid. Aku sudah ketinggalan shalat jamaah bersama teman-temanku.
Disana kudapati seorang temanku yang masih belum selesai shalatnya. Syukur deh masih bisa ikut jamaah. Langsung saja kugelar sajadah dan kupoles kepala temanku itu sambil memonyongkan bibir aku bilang padanya, “jadi imam yang bener ya ndess!”
Terdengar berisik suara jamaah yang menahan ketawa karena melihat tingkahku yang tak wajar. Ah, peduli amat batinku, yang penting tujuannya sama.

***********************

Pada suatu malam setelah makan malam bersama, bapakku mengajakku dan kakakku, Billy bermusyawarah masalah keluarga. Bapakku pun berbasa-basi sebentar. Beliau berkata “Bill, Ary.. Bapak pingin ngomong penting sama kalian. Kalian kan lebih ndolor daripada adik-adik kalian. Tolong kalian pikir baik-baik, gunakan akal jernih kalian, jangan pake emosi dulu.”
“Emang ada apa sih Pak?” tanya kami hampir bersamaan.
“Begini nak, setelah bapak pikir-pikir, pekerjaaan rumah tangga kita ini memang benar-benar berat. Kalian sendiri saja kualahan kan mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan ibumu. Lebih-lebih kamu Ry, molor terus aja kerjaannya, kaya’ orang kesawan aja.”
“Terus rencana Bapak gimana?” selidik kakakku.
“Kemarin waktu Bapak ke Salatiga, bapak diajak mampir ke pesantren yang keadaannya sudah memprihatinkan karena ditinggal wafat oleh kyainya. Santrinya tinggal 8 orang aja. Nah, bu Nyainya itu masih mau nikah lagi dengan harapan suanimya itu dapat meramaikan pesantrennya lagi.”
“Jadi Bapak mau nikah sama bu Nyai itu?” kataku dengan nada agak meninggi.
“Eemm,, ya kira-kira begitu.” jawab bapakku hati-hati.
“Aku tak setuju kalau bapak nikah lagi. Baru saja kemarin kita rayakan 40 hari kepergian Ibu, masa sekarang bapak sudah bernafsu ingin nikah lagi dengan wanita lain?” Rasa hormatku pada bapak kini hilang seperti dulu ketika setiap hari dia membangunkanku dengan marah-marah.
“Ry jaga ucapanmu di hadapan bapak!” ujar kakakku menyentak.
“Jadi, mas juga setuju bapak nikah lagi gitu?”
“Kamu jangan egois, lihat adik-adik kita yang masih kecil! Izam, Ninta. Mereka masih butuh kasih sayang seorang ibu. Jangan samakan dengan kamu yang sudah kenyang dengan kasih sayangnya.”
“Lha emang kita tak bisa menyayangi mereka? Toh belum tentu ibu kita yang baru mampu menyayangi dan memperhatikan mereka seperti anaknya sendiri.”
“Tapi paling tidak bapak juga bisa sedikit istirahat, fokus ke pesantren, tidak kesana kemari yang menguras banyak tenaga. Beliau juga sudah letih tenaganya sebagai tulang punggung keluarga.Apa kamu gak kasihan?”
“Sudah-sudah, ini sudah malam, kalau kalian rebut-ribut terus, bisa ganggu tetangga. Kita teruskan kapan-kapan lagi musyawarahnya.” akhirnya bapakku menyela.
Malam pun kian melarut. Kulihat rumah-rumah tetangga kami, lampu utama di ruang tamu mereka sudah dipadamkan. Inilah saatnya para penjahat-penjahat got beraksi. Para tikus dan werok yang kelaparan mencari mangsa. Mereka masuk rumah-rumah penduduk melalui celah-celah ventilasi atau merambat melalui kabel listrik yang terkadang menyambungkan satu rumah dengan rumah yang lain. Tak jarang pula mereka merongrong tanah, membuat jaringan lubang bawah tanah yang menggerogoti pondasi rumah penduduk. Tak salah jika mereka menjadi obyek untuk menganalogikan para penjahat berdasi yang rakus menggerogoti kekayaan negara sehingga mengakibatkan negara bangkrut.
Angin malam pun berhembus melalui celah-celah ventilasi yang baru saja dimasuki tikus tadi, membawa hawa dingin yang perlahan-lahan menurunkan suhu ruangan rumah kami yang masih panas. Terlebih hatiku yang terbakar amarah.
“Bu, maafkan aku telah bersitegang dengan bapak dan mas Billy. Semoga tempatmu di sana tidak panas seperti hatiku ini.” Ya Allah, siramlah dosa-dosanya dengan air taubat-Mu. Sejukkan tempatnya dengan kebun nirwana-Mu. Amien…”

************

Seminggu setelah kami bersitegang, akhirnya keadaan keluarga kami pulih seperti semula. Sampai pada suatu sore menjelang maghrib, ketika aku dan adik-adikku sedang asyik menonton televisi, tiba-tiba…
“Tut..tut, tut..tut..” hp bapak berdering. Ada sms masuk. Bapak sedang mandi. Kubuka langsung smsnya tanpa permisi seperti biasanya.
“nki snten?”
Ternyata dari bu ‘Iffah, nama yang dikenalkan Bapak sebagai calon ibu baru kami. Aku penasaran apa yang sebenarnya ditulis bapak untuknya, lalu, kubuka sent itemnya.
“Acp-x cnta mmg bta, s’untai kta m’f ats klancngan dri, q lygkan sbwh psn krnduan yg tk trkndali olh hti. Bgaimna, apkh bu Nyai tlah mnemukn “bidadari” pja’n hti? Jk sdh, tlg bri thu sypa “bidadari” tsb. q, sbgy dri yg hna, mskin nan ppa hny bsa mnuggu n brhrp kbaikn hti bu Nyai min tahti turabi na’laik . M’f tlh mnagih jnji.”
Saat selesai aku membaca sms itu, bapak keluar dari kamar mandi. Sontak, kuhampiri dia dan kudamprat bapakku sendiri. Aku belum pernah semarah ini sebelumnya.
“Pak…! Aku kecewa sama bapak. Kenapa sih bapak mau-maunya mengemis cinta kepada wanita lain selain ibu?”
Kakakku Billy yang sedang menanak nasi langsung menghampiri kami.
“Ary…! Kerasukan setan apa sih kamu, sampai hatinya kamu bentak-bentak bapak!”
“Mas, bagaimana aku gak marah, bapak ini telah melukai hati ibu, seandainya beliau masih hidup. Baca smsnya bapak ini mas! Masa dengan teganya bapak mengemis cinta pada perempuan lain. Kepada ibu saja bapak tak pernah seperti ini.”
“Pak, jangan mentang-mentang dia itu bu Nyai dan ibu cuma seorang perempuan ndeso, bapak tega membeda-bedakan mereka.”
“Ry, kamu tenang dulu, bapak melakukan ini kan juga untuk kepentingan keluarga kita.” Bapak yang dari tadi diam mematung kini angkat bicara juga.
“Bener Ry, kamu yang tenang, jangan emosi! Denger dulu penjelasan dari bapak.” Sahut mas Billy.
“Allahu akbar Allahu akbar….” Adzan maghrib berkumandang dari corong masjid terdekat dari rumah kami. Suara merdu mu’adzin yang mengalun, secara perlahan mengikis habis gemuruh sesak bisikan iblis di dalam dada ini. Entah kekuatan apa yang terkandung dalam lafadz takbir sehingga dapat menyejukkan hati yang terbakar oleh hembusan nafas si laknat iblis, padahal tak jarang pula membuat orang terpanggang semangat dan amarahnya.
Adu mulut di petang hari itu pun berakhirlah sudah. Kami harus segera mengambil air wudlu dan shalat berjamaah di masjid.

*********

Tiga bulan sudah ibu meninggalkan kami. Kuliahku yang sudah mulai aktif seminggu lalu sungguh menambah bebanku. Setiap hari aku harus berangkat pagi pulang sore, sampai di rumah aku harus berbagi pekerjaan rumah dengan bapak dan kakakku, apalagi sebulan lagi Mas Billy juga akan KKN. Belum lagi si Ninta setelah ibu wafat manjanya minta ampun, mandi minta dimandiin, makan minta disuapin. Semua keinginannya harus dipenuhi, kalau tidak jurus andalannya keluar, merengek-merengek sembari mengadu kepada bapak. Pusing aku dibuatnya. Tak jarang kujitak dan kupoles kepalanya saking jengkelnya.
Si Izam juga tak kalah bandelnya. Setiap hari selalu adu mulut dan bertengkar dengan Ninta sehingga membuat telingaku semakin panas layaknya mendengar para caleg yang bersilat lidah berebut tepuk tangan para pendukungnya. Lama-lama aku bisa stress kalau begini keadaannya.
Tak bisa kubayangkan begitu sabar dan kuatnya Ibu mengarungi hidup bersama bapak. Menghadapi anak-anak yang rata-rata bandel semuanya, menyelesaikan tugas rumah dengan tangannya sendiri. Tak pernah ibu mengeluh kepada bapak untuk mencari pembantu.
Setelah kupikir-pikir, kasihan juga bapak. Setiap siang setelah pulang dari pasar harus memasak untuk anak-anaknya. Ketika pulang dari TPQ, tak ada lagi yang membuatkan segelas teh hangat untuknya. Aku sebagai anaknya malah selalu bersitegang dengannya, menambah beban pikirannya. Padahal aku juga masih minta uang padanya. Ibuku sudah tiada, pada siapa lagi bakti yang kulakukan kalau bukan padanya?
Iseng, aku bertanya pada adikku Ninta, “Nin, kamu mau gak punya ibu lagi?”
“Mau…”
“Tapi bukan ibu kita yang dulu, gimana?”
“ya gak papa...” sahut Izham.
Tersentak batinku mendengar jawaban mereka. Ternyata benar kata mas Billy, mereka masih haus kasih sayang dan belaian lembut seorang ibu, meski bukan dari ibu kandung mereka sendiri. Benar, aku tidak boleh memenangkan egoku sendiri. Aku juga harus memperhatikan bapak dan adik-adikku. Aku harus rela bapak menikah lagi dengan wanita lain. Ya, aku harus merelakannya, aku harus merelakannya?

**********

Setelah mengetahui ketulusan hati dan keseriusan niat bapak, akhirnya bu ‘Iffah pun luluh hatinya dan mau menerimanya. Sehari sebelum pernikahan mereka, kami sekeluarga ziarah ke makam ibu.
Ternyata aku tidak tahu jika semua yang ditulis bapak kepada bu ‘Iffah adalah pelampiasannya karena luapan rasa rindu dan cintanya kepada ibu kami. Tekadnya yang kuat untuk mendapatkan bu “Iffah disebabkan rasa kasihan pada anak-anaknya yang selalu membutuhkan sosok seorang ibu. Bahkan bisa menjadi jaminan prospek anak-anaknya ke depan.
Disepanjang ziarah, tak henti-hentinya hujan air mata mengucur deras dari sepuluh mata kami. Kami hening dan terlarut delam perasaan kami masing-masing. Aku pun hanya bisa berdoa,
“Ya Allah semoga Engkau gantikan bagi ibu tempat yang lebih baik di sisi-Mu bersanding dengan Nabi-Nabi-Mu dan kekasih-kekasih-Mu. Sampaikan maafku padanya. Aku berjanji semua amal baikku akan selalu kuhadiahkan untuknya, dan semoga engkau menyampaikan pahalanya kepadanya. Amien…”
Diantara tangis-tangis kami, tangis bapaklah yang paling pilu. Aku tak tahu, ternyata bapak pun sebenarnya berat hati untuk menikah lagi dengan wanita selain ibu. Tapi demi empat anak yang dititipkan ibu padanya ia harus rela menduakan istrinya. Ya, benar menduakan istrinya, tapi tidak hatinya. Karena dalam hatinya hanya ada ibuku yang sudah menemani hidupnya selama 23 tahun. Sungguh andai aku tahu doa bapakku ini, mungkin aku tak akan pernah berani membentaknya.
“Untukmu yang selalu terukir dalam hatiku. Bagiku engkau Siti Khadijah di antara zaujaatir Rasul. Meski si jelita ‘Aisyah masuk dalam kisah hidupku, tapi engkaulah yang akan tetap memiliki hatiku. Bagaimana kabarmu di sana? Benarkah kata-kataku? Sudahkah kau bertemu dengan Allah dan Nabi kita? Sudahkah kau sampaikan salamku pada mereka? Sabarlah sayang, tunggu aku di sana!”
“Faqad abaa qalbiy an yuhibba siwaaki”[1]


25 April 2009.
Kupersembahkan untuk
almarhumah ibunda tercinta.
Ibu, ternyata bapak selalu mencintaimu.


[1] sungguh hatiku tak mau mencintai selainmu. penggalan syair Rabi'ah al-Adawiyyah yang diadaptasi.

Mengukuhkan Kembali Kesetaraan Hak-Hak Laki-Laki dan Perempuan dalam Ranah Sosial


Bagi kaum feminis tidak sulit untuk mencari bukti bahwa dalam agama manapun, tak terkecuali islam yang hidup tidak ramah terhadap perempuan. Dari khitab Tuhan yang khusus untuk laki-laki, bagi waris yang mendapat separoh dari laki-laki, korban poligami, larangan menikah dengan non muslim, masa ‘iddah, masalah kesaksian, tak bisa menikahkan dirinya sendiri, berpakaian yang diatur sedemikian rumitnya, bahkan untuk beribadah perempuan harus dibatasi ruangnya. Dengan begitu, perempuan dalam agama manapun tak terkecuali Islam sebenarnya invisible, ada namun tak tampak.
Untuk memprotes realitas agama yang sangat tidak ramah terhadap perempuan ini, dalam al-Qur’an menceritakan bagaimana Ummu Salamah dengan lantang menggugat Tuhan dan menyatakan “apakah Tuhan pikir yang harus beribadah dan membutuhkan Tuhan itu laki-laki saja?” akhirnya lahirlah surat al-Ahzhab:35 di mana Allah telah meletakkan posisi laki-laki dan perempuan secara setara, yang membedakan adalah amal ibadahnya.
Dengan penjelasan seperti itu, kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Islam tidak membenci perempuan dan mendiskreditkannya. Bahkan islam menghargai dan memuliakan wanita sehingga menempatkannya setara dengan laki-laki. Namun nampaknya setelah berselang lama Nabi meninggalkan umatnya, dalam realitas kehidupan tetap saja perempuan yang invisible.
Invisbilitas perempuan ini menyebabkan kehadiran mereka tidak diperhitungkan, dan tentu saja akan berdampak sulitnya kaum perempuan untuk memperoleh hak-hak mereka. Sehingga seakan telah menjadi rumus kehidupan bahwa tugas dan peran wanita hanyalah terbatas wilayah domestik saja. Dalam rangka mengcounter steriotipe tesebut, tulisan singkat ini bermaksud untuk mengungkap hak-hak perempuan di bidang sosial yang telah tereduksi oleh kepentingan-kepentingan sepihak kaum lelaki.

Faktor Penyebab dan Contoh Timbulnya Bias Gender dalam Bidang Sosial
1. Sistem keluarga yang patriarkhi.
Inilah faktor utama yang menyebabkan timbulnya kesenjangan hak antara laki-laki dan perempuan. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan tidak mendapatkan waris, sementara jika cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat waris. Seolah yang dapat meneruskan keturunan hanyalah laki-laki saja. Anehnya hal semacam ini berlaku juga dalam keluarga habaib. Putri mereka jika nantinya menikah selain dengan habib, maka anaknya tidak disebut habib.
Sistem patriarkhi yang masih melekat dan dianut oleh sebagian besar umat islam ini harus segera diruntuhkan. Karena sebenarnya Nabi sendiri berjihad untuk menghapuskan sistem yang seperti ini. Ketika putra Nabi yang bernama Ibrahim meninggal dunia, maka orang-orang munafik mengolok-olok Nabi sebagai orang yang terputus keturunannya karena tidak memliki anak laki-laki lagi. Maka Allah pun menurunkan surat al-Kautsar untuk merubah tradisi Arab yang patriarkhi tersebut. Ali Syariati menyatakan Sayidah Fathimah ra. adalah satu-satunya ahli waris Nabi. Bahkan Allah menyatakan dalam ayat ketiga dari surat al-Kautsar bahwa orang-orang yang menghina Nabi lah yang sebenarnya terputus meskipun memiliki keturunan laki-laki.
2. Kesalah-fahaman dalam menafsirkan teks-teks agama.
Riffat Hasan memastikan bahwa akar dari semua misoginitas masyarakat muslim adalah teologi. Tak jarang kita menemukan nash-nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang misoginis. Misalnya ayat al-Qur’an “al-rijaalu qawwamuuna ‘ala al-nisaa’, atau hadits yang berbunyi “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, “Aku tak menyaksikan orang yang kurang akal dan agamanya, dibanding perempuan,” Lalu, seorang perempuan bertanya, “Apa kekurangan kami ?” “Kekurangan akalnya, karena kesaksian dua orang wanita dinilai sama seperti kesaksian seorang pria. Kekurangan agamanya, karena seorang di antara kamu tak puasa di bulan Ramadhan (akibat haid), dan beberapa hari diam tanpa shalat.” (HR Abu Dawud).
Selain hadis-hadis “populer” tadi, hadis-hadis yang banyak beredar adalah hadis-hadis yang hanya difokuskan kepada perempuan, misalnya “Bila perempuan telah menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan, menjaga kehormatan dan mentaati suami, maka dikatakanlah kepadanya; masuklah ke dalam sorga, dari pintu mana yang kamu suka.” (HR Ahmad dan At-Thabrani). Lalu bagaimana dengan laki-laki? Mengapa jarang beredar (dengan arti: para ulama jarang menyebarluaskannya) hadis-hadis tentang kewajiban laki-laki untuk berperilaku baik kepada istrinya atau bersikap sabar kepada istri.
Hadis-hadis dan riwayat mengenai Rasulullah SAW yang menjahit sendiri sandalnya yang robek, Imam Ali a.s. yang membantu Sayyidah Fathimah sa. mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Imam Khomeini yang mengambil sendiri makanannya di dapur dan mencuci piringnya sendiri, seolah-olah lenyap begitu saja dalam lembaran-lembaran sejarah.
Padahal jika diteliti secara mendalam teks-teks yang secara literal tampak misoginis, sebenarnya tidak bermaksud seperti itu jika dikaji secara kontekstual. Bahkan, ada hadits yang disampaikan secara terpotong, Misalnya, hadits, “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, sesungguhnya masih ada lanjutannya: Seseorang lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang dimaksud dengan menuruti?” Rasulullah menjawab, “Yaitu, bila suami memperbolehkan istrinya pergi ke kolam renang, pesta perkawinan, perayaan, dan ke tempat orang meninggal, dengan menggunakan pakaian tipis dan sangat halus.” Dengan demikian, jelaslah bahwa “menuruti” di sini adalah mengizinkan perempuan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat. Mengenakan pakaian tipis keluar rumah memang jelas-jelas dilarang syariat. Namun karena tidak disampaikan secara utuh, hadis ini seolah-olah melarang laki-laki menuruti permintaan atau saran dari istri secara keseluruhan.
3. Taqlid buta terhadap pendapat ulama’ salaf.
Dengan tidak bermaksud menyalahkan ijtihad ulama salaf, sebaiknya kita umat Islam mulai merekonstruksi rumusan hukum hasil ijtihad mereka. Karena produk hukum pada zaman tersebut menjadi tidak relevan jika dipraktekkan dalam konteks masa kini. Sebagai contoh, Abu Hayyan al-Andalusi menuliskan pendapat ulama tentang perempuan yang menolak berhubungan intim dengan suaminya (Tafsir al-Bahr al-Muhith, III/252): “Untuk mengatasi isteri yang nusyuz [tidak mentaati suami]; pertama kali dinasihati dengan perkataan lembut, baru perkataan kasar, jika tidak bisa maka hindari tidur seranjang, kemudian bisa berpaling dan menjauh sepenuhnya, kalau masih juga tidak kembali baru boleh memukul dengan lembut, lalu dengan agak kasar seperti menempeleng dan menonjok tetapi tidak membuatnya terluka, kalau juga tidak sadar; bias mengambil cemeti atau kayu yang bisa sedikit menyakiti tetapi tidak sampai mengucurkan darah, kalau juga masih tidak kembali taat; suami bisa mengikatnya dengan tali ke suatu tempat, kemudian memaksakan hubungan intim [jima] denganya. Ini bisa dilakukan, karena suami berhak melakukan itu semua”.
Bahkan Imam al-Ghazali dalam magnum opusnya “Ihya ‘Ulumiddin” (1994: II/93) yang menjadi rujukan ulama dunia terutama Indonesia, menggambarkan perempuan yang baik seperti pernyataan berikut, bahwa semestinya perempuan itu duduk tinggal di dalam rumah saja, memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah, tidak banyak berbicara, tidak banyak bergerak naik ke atas atau turun ke bawah, tidak banyak melakukan kontak dengan laki-laki, selalu menyenangkan suami, menjaga diri, berhias dan selalu siap dalam setiap waktu untuk bisa dinikmati suami, tidak keluar rumah tanpa izin suami, jika terpaksa keluar setelah memperoleh izin tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, menjauhkan diri dari kerumunan dan keramaian, tidak mengenalkan diri kepada siapapun, yang harus selalu dipikirkan perempuan adalah kesucian dirinya, urusan rumah tangga, kemudian kewajiban shalat dan puasanya. Pernyataan ini banyak juga dikutip beberapa ulama lain, seperti Imam Nawawi al-Bantani dalam Syarh Uqûd al-Lujjain dan Syekh Nefzawi dalam The Parfumed Garden.
Mungkin aturan-aturan tersebut masih relevan untuk zaman mereka, mengingat kondisi perempuan pada masa itu masih lemah, dalam hegemoni kaum lelaki dan didukung oleh beberapa pemikir muslim yang ternyata juga masih terpengaruh oleh budaya patriarkhi yang hanya berorientasi pada laki-laki. Jika hukum-hukum tersebut masih dipraktekkan pada zaman modern seperti sekarang ini, maka bukan salah mereka melahirkan hukum-hukum seperti itu melainkan kesalahan kita yang mandul untuk menghasilkan produk hukum yang sesuai dan relevan pada zamannya.
4. Kenyamanan dan kepasrahan perempuan dalam menikmati keterpurukan mereka
Disadari atau tidak, banyak juga perempuan yang merasa nyaman berada di bawah ketiak laki-laki. Ironisnya, mereka sendiri ikut mendukung paradigma tersebut. Contoh mudahnya, anak laki-laki akan dibelikan mainan mobil-mobilan oleh ibunya, sementara anak perempuan dibelikan mainan “masak-masakan”. Pulang sekolah, anak laki-laki boleh bebas bermain, sementara anak perempuan harus membantu ibu di dapur.

Menakar Solusi dari Opsi-Opsi
Untuk konteks sekarang, perempuan tidak mungkin lagi menggugat Tuhan seperti yang dilakukan oleh Ummu Salamah karena kesempatan untuk melakukannya sudah tertutup bersamaan dengan wafatnya Nabi. Mungkin yang dapat dilakukan perempuan saat ini adalah merebut tafsir yang selama ini berada di bawah otoritas kaum laki-laki. Munculnya tokoh-tokoh wanita seperti Fatimah Mernissi, Amina Wadud dan Binti Shathi’ seharusnya bisa memberikan stimulus untuk mendukung terciptanya adil gender dalam masyarakat.
Menurut analisis Ziba Mir Hossein, seorang aktivis dan intelektual Muslim perempuan dari Iran, penguatan perempuan dalam dunia Islam bisa dikategorikan menjadi tiga level. Pertama level teks agama (sacred text), kedua level politik lokal (local politic), ketiga level pengalaman hidup (lived experience) perempuan. Pada level pertama yang terjadi adalah debat yang tiada akhirnya, dan biasanya ulama konservatif punya wibawa lebih dalam opini masyarakat. Sedangkan pada level kedua seringkali agenda penguatan perempuan tenggelam begitu saja tanpa ada perhatian, termasuk oleh politisi perempuan sendiri. Hal ini mungkin dikarenakan pembentukan citra heroik bagi oposan lebih menarik daripada agenda penguatan perempuan. Menurut Mir Hossein, level ketiga yaitu pengalaman hidup perempuan menjadi sangat penting dan utama untuk menjadi dasar penguatan perempuan.
Pengalaman hidup perempuan; keterpurukan, tanpa perlindungan, hak-hak yang selama ini terabaikan jika dimunculkan ke hadapan para ulama mungkin akan lebih menggugah kesadaran mereka untuk mereinterpretasi teks-teks agama bagi pembelaan hak-hak perempuan. Pada akhirnya para kyai-kyai sendrilah yang akan membela perempuan melalui basis agama. Saat ini ada Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur, yang terdiri dari para nyai dan kyai, yang menggeluti kajian kitab-kitab kuning dengan perspektif keadilan gender.

Penutup
Sebenarnya untuk memahami konsep gender, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang pembedaan antara nature dan nurture. Sehingga tidak menimbulkan stereotype yang negatif terhadap perempuan. Apalagi jika sudah masuk dalam diskursus teologi. Sebelum membahas gender perspektif Islam, merupakan sebuah keniscayaan untuk mempunyai pre-understanding bahwa semangat (moral idea) dari Islam adalah pembebasan dan keadilan. Jika hal tersebut terpenuhi, tidak akan dijumpai dalam perspetif Islam kesenjangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang apapun. Bukankah Allah tidak pernah membedakan hamba-hamba-Nya berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, ras dan bangsa. Allah hanya memandang hamba-Nya berdasarkan ketakwaan seorang hamba terhadap Tuhannya.
waLlahu a’lam…

Minggu, 03 Januari 2010

Habis Konflik Terbitlah Berkah

Habis Konflik Terbitlah Berkah
Warih Firdausi

Di dalam doktrin agama dapat kita temukan bahwa setelah Adam dan Hawa melanggar peraturan karena memakan buah khuldi, mereka diusir Tuhan dari surga dan “dikutuklah” mereka beserta keturunannya. Tuhan berfirman ”sebagian diantara kalian terhadap yang lainnya saling bermusuhan.” Hal ini mengisyaratkan bahwa konflik memang merupakan bagian dari fitrah manusia yang tak mungkin terpisahkan dari lika-liku kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam berinteraksi pasti timbul perbedaan-perbedaan yang tak terelakkan yang konsekuensinya memicu lahirnya konflik di antara mereka.
Mulai dari konflik dalam skala kecil (person scale) seperti perselisihan di antara dua pasangan, atau dalam ranah yang lebih luas misalnya persengketaan ”cicak vs buaya” (dalam kasus ini skala nasional), bahkan sampai skala internasional sekalipun semisal invasi AS cs ke Irak, tak jarang faktor pemicunya sebenarnya hanyalah hal-hal sepele seperti kesalah-fahaman/ kurangnya komunikasi (missunderstanding/ misscomunication), kepentingan sepihak (self interest), terancamnya identitas (identity threatment) atau konflik masa lalu yang belum terselesaikan.
Berpijak pada sebuah adagium yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki sesuatu kecuali yang baik, dan karena konflik merupakan sesuatu yang dikehendaki Tuhan terhadap manusia, maka tak menutup kemungkinan dibalik sebuah konflik pasti ada kebaikan yang dapat dipetik manfaatnya. Dari sinilah muncul sebuah inisiatif untuk mengelola sebuah konflik menjadi kemaslahatan bersama (conflict management). Bahkan dalam sebuah instansi, terkadang sebuah konflik sengaja diciptakan untuk meningkatkan kesadaran dan kemawasan diri terhadap masalah, mendewasakan diri, mendorong kreatifitas, mengembangkan solusi, memberikan stimulasi agar terjadi perubahan keadaan yang semula statis, dll.
Maka untuk mewujudkan usaha rekonsiliasi dalam sebuah konflik tentu diperlukan adanya keterlibatan mediator. Yakni pihak ketiga yang tak terlibat konflik diantara mereka yang sedang berselisih. Dia juga harus dari pihak yang tak mempunyai kepentingan (interest) dalam konflik yang sedang terjadi. Dan yang paling penting, seorang mediator diharapkan mempunyai hubungan yang baik kepada semua pihak yang bersengketa sehingga dapat dipercaya oleh kedua belah pihak.
Dalam sebuah konflik yang terjadi, setidaknya dapat diambil sebuah pelajaran yang berharga bahwa setiap manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda satu dengan yang lain. Karena perbedaan adalah fitrah sekaligus rahmat bagi manusia yang mutlak. Bukankah Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda ”perbedaan di antara umatku adalah rahmat.” Berbeda (ikhtilaf) tidak dilarang, yang tidak boleh adalah berpecah belah (tafarruq). Maka kesadaran akan pluralitas (kemajemukan) manusia dalam segala aspek kehidupannya harus diejawantahkan dan terus disosialisasikan ke seluruh penduduk dunia ini sebagai langkah preventif akan timbulnya konflik-konflik baru sekaligus usaha penginsafan bagi mereka yang sedang bertikai. Tentu saja hal ini tidak mudah untuk kita lakukan, tetapi memang harus dilakukan bukan?

WaLlahu a’lam...

Jihad Membunuh Ideologi Terorisme

Jihad Membunuh Ideologi Terorisme
Oleh: Warih Firdausi

Terorisme di Indonesia merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga masayarakat. Begitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkan sehingga negara mengalami kerugian yang tak bisa dibilang sedikit. Banyak investor asing yang tak mau lagi menanamkan modalnya di Indonesia. Ketakutan mereka mengalahkan rasa ketergiuran mereka akan sumber daya alam dan ladang bisnis yang ditawarkan negara kita.
Bahkan, banyak orang (terutama Barat) menganggap terorisme identik dengan Islam meskipun banyak orang Islam sendiri yang tak sependapat dengan para teroris itu. Bernard Lewis juga pernah mengatakan "kebanyakan Muslim bukan fundamentalis dan kebanyakan fundamentalis bukan teroris, tapi dalam realitasnya sekarang, kebanyakan teroris adalah Muslim." Hal ini tentunya, juga sangat merugikan umat Islam. Disamping menyulut kemarahan mereka, kehidupan mereka pun selalu diliputi perasaan was-was akan kecurigaan dunia dengan keberadaan mereka.
Setelah melalui tarik-ulur yang rumit dan tertunda-tunda, akhirnya eksekusi terhadap pelaku Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas berhasil dilakukan. Tindakan pemerintah yang berani ini patut dihargai meski mendapat tantangan dari simpatisan Amrozi cs. Setidaknya pemerintah memang betul-betul perhatian terhadap kasus terorisme di negeri ini.
Meskipun jasad Amrozi dkk sudah dikebumikan, ideologi mereka belum tentu ikut terkubur. Bak mati satu tumbuh seribu, banyak kader-kader yang sudah siap meneruskan misi mereka walaupun memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mencetak kader sekelas Amrozi dkk. Bahkan ketika jasad mereka dikembalikan ke keluarganya, beribu-ribu orang bersimpati mengucapkan bela sungkawanya.
Bukan hal yang tidak mungkin jika nanti muncul asumsi, Amrozi gugur sebagai pahlawan yang layak dihormati. Jika asumsi seperti ini terus dibiarkan, maka pemerintah pun akan dicap sebagai pemerintah yang lalim dan sewenang-wenang. Hal ini tentu merupakan suatu hal yang tidak diinginkan.
Sebenarnya jaringan teroris di Indonesia hanya merupakan sebagian kecil dari demikian besar dan luasnya jaringan terorisme dunia yang terorganisir dengan begitu rapinya. Memang bukan hal yang mudah untuk memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya. Bahkan negara adi kuasa seperti AS pun kesulitan menghadapi aksi terorisme yang ada di negaranya.
Eksekusi terhadap Amrozi cs memang seakan terlihat sebagai tindakan pemerintah melawan terorisme. Tapi, inti perang melawan terorisme yang sebenarnya bukan hanya menghukum pelaku terornya. Karena persoalan terorisme juga erat kaitannya dengan mindset dan ideologi, maka yang terpenting adalah "membunuh ideologi berfikir mereka", yakni makna jihad yang disalah artikan.
Ada asap pasti ada apinya. Kita juga harus mengetahui sebab musabab munculnya terorisme itu sendiri. Kemungkinan besar para teroris melakukan aksinya karena ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil. Bahkan, dalam film "Five Finger", disana digambarkan bahwa gerakan yang digelorakan oleh jaringan teroris dunia merupakan sikap anti mereka terhadap sistem kapitalisme yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah juga harus introspeksi dan membenahi sistem yang menjadi kebijakan politiknya.
Selama ini pemerintah dianggap tidak begitu konsisiten dengan kebijakannya. Bahkan eksekusi terhadap Amrozi dkk pun terkesan seperti "didikte" oleh Amerika dan Australia. Jika pemerintah masih tidak bergeming sedikitpun, tidak menutup kemungkinan akan muncul Amrozi-Amrozi baru yang akan meneruskan jejak para pendahulunya. Seharusnya bangsa Indonesia dapat mengambil hikmah dari kisah dramatis eksekusi para pelaku Bom Bali I. Setidaknya kasus terorisme yang terjadi di Indonesia ini harus menjadi refleksi dan acuan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan-kebijakannya ke depan.

Sabtu, 02 Januari 2010

Naskah Resensi Rintihan Tuhan di balik Jeruji Manusia

Naskah Resensi
Rintihan Tuhan di balik Jeruji Manusia
Judul buku : Tuhan yang Terpenjara, Relasi Misterius Tuhan, Alam, dan Manusia
Penulis : Mohammad Nurfatoni
Penerbit : Kanzun Books, Sidoarjo, Jawa Timur
Tebal : xii + 156 halaman
Cetakan : pertama, September 2008
Peresensi : Warih Firdausi*

"Tuhan sudah mati!" seru seorang filosof besar bernama Nietzsche. Ungkapan keputus-asaan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Mungkin hal ini bisa dimaklumi di saat melihat rakyat yang selalu dipelintir, diperas tanpa belas, dilindas oleh kepentingan-kepeningan para pemegang kekuasaan. Sedangkan apa yang telah diperbuat Tuhan kalau memang Dia belum mati? Jangan-jangan Dia malah dengan santainya "leyeh-leyeh", bersulang meminum anggur surga dengan dilayani oleh bidadari-bidadari sembari tertawa-terkekeh melihat hasil karya-Nya yang Maha Liar Biasa. Tak peduli sudah seberapa banyak darah umatnya yang mengalir membentuk sungai anyir di atas bumi ciptaan-Nya. Mungkin itulah yang ada di benak orang seperti Nietzsche.
Memang benar, tatkala kita sebagai manusia sudah mulai sibuk dengan materi dan urusan duniawi, kita acapkali melalaikan sisi religius dan batiniyah kita. Kita cenderung egois dan kapitalis, bahkan dengan teganya "memakan" saudara sendiri. Kita lebih memilih untuk membutakan mata dan menulikan telinga rapat-rapat, tak mau melihat penderitaan orang lain, enggan mendengar nasehat orang lain, bahkan suara hati yang bersumber dari God Spot (meminjam istilah Ary Ginanjar) kita abaikan.
Menurut buku Tuhan yang Terpenjara, di saat seperti inilah sebenarnya kita telah "memenjarakan" Tuhan. Kita menganggap Tuhan hanya ada dan berkuasa di dalam masjid-masjid dan tempat-tempat ibadah saja, dan seakan kita juga mengakui keberadaan-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Maraknya razia klub-klub malam dan tempat-tempat maksiat lainnya pada bulan puasa merupakan sebagian kecil contohnya. Sedangkan di luar waktu dan tempat tersebut kita seolah membatasi kekuasaan-Nya. Bahkan kita menganggap Tuhan tak berhak mengatur kita di luar daerah kekuasaan-Nya. Maka dengan bebasnya kita "mbijik sana-sini" melakukan segala macam cara untuk mendapatkan yang kita inginkan, tanpa peduli siapa saja yang menjadi korban.
Jika dilihat dari judulnya, sepintas memang terkesan agak liberal, bahkan salah satu sub babnya ada yang berjudul "Tuhan kok ditolong". Mungkin penulis buku ini terinspirasi oleh statemen liberal yang dilontarkan Gus Dur "Tuhan tak perlu dibela, belalah kaum yang tertindas!" Disamping itu, penulis juga sering mengutip beberapa statemen dari tokoh-tokoh liberal lainnya seperti Nur Cholis Madjid dan Ulil Abshar-Abdalla. Penulis juga sependapat dengan Ulil dalam masalah bolehnya nikah beda agama. Namun isi buku ini tidak sepenuhnya setuju dengan doktrin liberalisme, meskipun di sisi lain pola berfikir penulis juga bertolak belakang dengan kaum konvensional. Bahkan dalam bukunya, penulis juga menolak konsep pluralisme beragama yang menyama-ratakan semua agama (hal 52). Buku ini sarat akan kisah-kisah inspiratif, bahan refleksi dan pencerahan bagi kehidupan beragama manusia.
Mungkin pola pikir semacam ini dipengaruhi oleh background penulis. Beliau dilahirkan dan dibesarkan oleh tokoh Muhammadiyah lokal dan mendapatkan mertua seorang kyai NU lokal. Bisa jadi hal inilah yang membentuk mindset penulis yang semi liberal-fundamental. Suatu paduan corak pikir yang harmonis terdapat pada diri penulis. Setidaknya penulis dapat memandang suatu problem dan ideologi berfikir masyarakat secara lebih obyektif.

Kedewasaan Beragama
Buku karya Mas Fatoni ini mengajak kita merenungkan kembali sikap beragama kita dalam kehidupan sehari-hari. Sudahkah kita dewasa dalam beragama? Jangan-jangan kita ini masih "kekanak-kanakan" dalam beragama. Kita masih mengharapkan "iming-iming" Tuhan untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, layaknya anak kecil yang mengharapkan upah dari orang tuanya atas pekerjaannya membelikan rokok untuk ayahnya misalnya. Barangkali rasa takut kita pada ancaman Tuhan juga masih seperti bocah cilik yang ditakut-takuti Buto Ijo agar dia tidak keluar rumah malam-malam?
Buku ini juga berusaha menyegarkan kembali nalar beragama kita. Penulis menyindir mereka yang hanya "taqlid buta", bahkan mengkultuskan seseorang dalam beragama. Tak peduli siapa yang dikultuskan, apakah itu wali, kyai, ustadz, presiden, ketua partai atau siapa pun yang mempunyai karisma. Karena ketika manusia mengkultuskan seseorang atau sesuatu, sebetulnya dia telah menuhankannya. Padahal yang patut untuk dikultuskan hanyalah Tuhan YME. Sebenarnya hal semacam inilah yang menghambat kemajuan suatu agama.
Namun, sayangnya dalam buku ini terdapat sedikit kefanatikan penulis terhadap agamanya. Sehingga, jika buku ini dibaca oleh pembaca yang non-muslim mungkin mereka akan merasa agak tersinggung. Akan lebih baik jika kefanatikannya itu tidak ditampakkan dalam tulisannya.
Terlepas dari semua itu, buku ini tetap baik dan layak untuk dibaca oleh siapa pun yang dahaga akan nilai-nilai luhur dalam beragama dan ingin selamat dari sindiran Tuhan karena (pura-pura) tak yakin tentang kehadiran-Nya yang begitu dekat. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan Nietzsche yang sudah tak percaya lagi terhadap Tuhan? Mungkin saja kita lebih sadis darinya, kita malah berani menghalalkan segala cara dengan mengatas-namakan Tuhan. Tidak dengarkah kita akan "rintihan Tuhan" di balik jeruji yang kita buat untuk-Nya?

Pemimpin Alternatif, Why Not?

Pemimpin Alternatif, Why Not?
Warih Firdausi*
Ketika orde baru telah menemui ajalnya dan reformasi mulai unjuk gigi, muncullah istilah tentang Ratu Adil. Kita diingatkankan kembali oleh ramalan Jayabaya tentang pemimpin masa depan yang akan membawa negeri ini menuju kemakmuran, negeri yang "tandur tan sarwa tinukul, sandang pangan tan sarwa tinuku, gemah ripah loh jinawi". Ramalan inipun menimbulkan banyak interpretasi, bahkan sempat membuat sensasi dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Sehingga banyak juga para politisi yang memanfaatkan isu ini.
Setelah beberapa tahun berlalu, sosok yang dijanjikan tak juga muncul. Rakyatpun mulai kecewa karena sosok tersebut ternyata hanya isapan jempol belaka. Sekali lagi bangsa Indonesia menjadi tumbal demokrasi yang mereka ciptakan sendiri. Ramalan itupun perlahan-lahan akhirnya mulai dilupakan rakyat.
Selanjutnya, pemerintah memberlakukan aturan-atuaran khusus bagi para calon pemimpin. Mereka harus memiliki beberapa kriteria tertentu, misalnya, minimal harus lulus SMA bagi calon wali kota dan bupati, dan lulus S1 bagi capres dan cawapres. Dengan demikian, setidaknya calon pemimpin memiliki kapasitas pendidikan yang memadai sebagai modal untuk memimpin rakyatnya.
MESKIPUN DEMIKIAN, REALITA YANG TERJADI DI LAPANGAN MASIH JAUH DARI HARAPAN. SERANGAN FAJAR DAN BERBAGAI JENIS MONEY POLITIC LAINNYA MASIH BANYAK TERJADI KETIKA PEMILU DAN PILKADA. BAHKAN, DIANTARA MEREKA YANG MENCALONKAN DIRI SEBAGAI PEMIMPIN ADA YANG MENGGUNAKAN IJAZAH PALSU. TERNYATA, BAIK MASYARAKAT MAUPUN PEMIMPINNYA BELUM SIAP UNTUK MENJALANKAN DEMOKRASI DENGAN BENAR.

Peluang Pemimpin Alternatif
MUNGKIN SEBAGIAN MASYARAKAT MULAI MUAK DAN BOSAN DENGAN WAJAH-WAJAH LAMA PEMIMPIN KITA YANG HANYA BESAR MULUT, ALIAS NATO (NO ACTION TALKING ONLY). BANYAK DIANTARA PARA POLITISI DARI BERBAGAI PARTAI YANG MENGUSUNG WAJAH-WAJAH BARU SEBAGAI CAPRES, SEPERTI GOLKAR YANG KABARNYA MENGUSUNG SRI SULTAN ATAU SURYA PALOH. WALAUPUN MASIH ADA JUGA PARTAI YANG TETAP SETIA DENGAN TOKOH LAMA MEREKA, MISALNYA PDIP YANG MASIH FANATIK KEPADA MEGAWATI, DAN PKB YANG MENGKULTUSKAN SOSOK GUS DUR.
Akhir-akhir ini, kita juga menemukan banyak selebriti yang beralih profesi menjadi politisi, seperti Dede Yusuf, Saipul Jamil, Heti Kuesendang. Ada yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi negara ini, atau mungkin hanya untuk lebih mendongkrak popularitas mereka. Bahkan, yang lebih ironis, jangan-jangan malah mereka yang dimanfaatkan? Terlepas dari apa yang menjadi motivasi mereka untuk terjun ke dunia politik, paling tidak mereka menjadi bukti bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan wajah-wajah baru pemimpin mereka.
Dari satu sisi calon-calon muda pemimpin kita mengetahui seluk beluk kebutuhan masyarakat karena selama ini mereka hidup dan mengamati secara langsung kehidupan rakyat, sehingga mereka dapat menampung aspirasi rakyat. Namun, di sisi lain kapabilitas mereka masih dipertanyakan, mampukah mereka memecahkan ruwetnya masalah-masalah negara yang semakin kompleks ini? Jangan sampai, lagi-lagi rakyat yang menjadi tumbal dari sistem demokrasi yang amburadul ini.

blobo'an tinta

Tarikan nafas merangkai takbir
Hembusnya menjelma syukur
Detak jantung mengukir asma
Denyutnya memompa akan suci qudus darah Tuhan
Gerak lidah tasbih terungkap
Bibir merekah puji menyanjung
Ekstase hamba bersatu melebur.”
Ramadhan, 2008M
Þ
Qaaaaaaf...
Jika ekormu tak berujung
Jadilah fu...
Bagikan pengetahuanmu yang tak terhingga
Biarkan aku berenang di samudra mulia ilmumu
Hingga kulihat kedua titik yin yang mu
Qaaaaaaf...
Proses alam yang didustakan kafirin
Dibalik sekedar kematian ada kehidupan tak terhingga
Qaaaaaaf....
Kedua titik yin yang mu mengaburkan mata
Kami disini berebut benar karenanya
Qaaaaaaf...
Antarkan aku menuju fa’
Agar tak semu lagi bagiku satu titik hakikat
23 Oktober 2009

Dalam benak hati yang paling dalam
Ungkapan ini terpendam
Rasa yang bergelora membara
Rasa yang kucoba kupadamkan
Oh, sampai gersang hati ini bergelut perasaan
Tersulut kembali rasa itu oleh sepercik asa
Uapnya pun menitis mutiara cinta
Nan takkan pernah pudar oleh masa
Namun kini padam sudah api asa
Asapnya pun lenyap terusir angin senyap
Sekelebat bayangan muncul menawarkan keteduhan
Hatiku bimbang meramu jawaban
Ingin kusambut tapi tak bernafsu
Hanya tak tega melihatnya jemu merayu
Akh, mustahil aku bisa melawan hukum Tuhan
Hampa dan ragu membekukan hatiku.
25 oktober 2009

Kupahat namamu ditulisanku
Sejuknya petuah-petuah kasihmu dulu tak pernah kuhargai
Indahnya rajutan kebersamaan denganmu juga tak kusadari
Teduhnya naungan sayangmu seolah menguap dari ingatanku
Ikhlasnya hatimu hampir tak kasat oleh mataku
Menyesal kini aku meratapi lakuku
Untaian kata maaf kusanjungkan beribu-ribu untukmu
Kupersembahkan segala jerihku untukmu
Apalah arti keberlimpahan tanpa sejuknya kasihmu
Rindangnya naungan sayangmu kini tak dapat kurasakan lagi teduhnya
Rimbunnya rajutan kebersamaan denganmu juga tak bisa kulihat lagi indanhnya
Oh, wejangan-wejangan kasihmu pun tak dapat kudengar lagi syahdunya
Murni dan ketulusan hatimu hanya tinggal kenangan yang diceritakan oleh anak-anakmu
Akh, bila tiada baru terasa
Hatiku selalu merindukanmu Bu...
1 november 2009

Kacamata Wasiat

KACAMATA WASIAT
cerpen Warih Firdausi*

Sambil mengernyitkan dahinya, Usup terus membalik halaman buku yang dibacanya. Mencoba memahami tiap kata yang tertuang, menyibak makna yang belum tersingkap. Terkadang ia tersenyum sendiri, tak jarang pula air matanya meleleh membentuk sungai-sungai kecil pada jenjang halus pipinya. Seakan dia sudah benar-benar ekstase dalam bacaannya.
"Sup, diangkat kepalanya kalau lagi baca, jangan tunduk-tunduk!" seru ibunya sambil menina-bobokan adik Usup yang rewel akibat perubahan cuaca yang mendadak.
"Ya Bu…" jawab Usup tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun. Bukan bermaksud mengabaikan perintah ibunya, tapi Usup memang benar-benar tak bisa baca jika harus mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi. Meski baru berusia 11 tahun matanya sudah min dua. Bapaknya hanya sempat memeriksakannya. Sementara untuk membelikannya kacamata, bapak kira belum saatnya, karena adiknya sudah rewel ingin keluar dari rahim ibunya. Resikonya, di sekolah, Usup selalu menyontek catatan temannya jika materi pelajarannya ditulis di papan tulis. Bahkan, ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah cewek yang kata teman-temannya paling cantik di sekolahnya.
Namun, Usup pun tak protes. Dia paham kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Bapaknya hanya pedagang pakaian eceran di pasar. Penghasilannya dari pasar pun tak bisa diandalkan. Karena orang yang mau beli pakaian tak setiap hari ada seperti orang membeli beras, gula dan bahan pokok lainnya. Ditambah lagi sekarang banyak pendatang dari Medan menjual pakaian yang masih bagus-bagus secara obral. Jelas, bapak kalah saing dengan mereka. Lebih-lebih beberapa minggu lagi bayi dalam kandungan ibunya akan keluar. Dia juga tak habis pikir, kenapa orang tuanya begitu produktif memberikan ia adik. Apakah hanya karena doktrin agama yang sering kali disalah-artikan? Tapi ia pikir, bapaknya juga tak sekolot itu pemikirannya.
Rumah yang ditinggali Usup bersama keluarganya pun adalah tanah milik mushalla. Dulu, sebelum meregang nyawa, yang empumya tanah berwasiat agar bapak mengurus mushalla itu. Akhirnya bapak juga ditunjuk sekaligus sebagai imamnya.
Sebelum tidur, Usup berdoa, "Ya Allah, betapa indahnya bila aku dapat melihat hasil karya-Mu yang Maha Agung dengan jelas. Tapi tak mengapa, aku sudah cukup bersyukur dengan kondisi seperti ini. Biarlah inderaku lemah, tak peka pada ciptaan-Mu, mungkin ini adalah kelemahanku. Namun setidaknya Engkau beri aku kepekaan akal-pikiran biar dapat mengimbangi sisi lemahku itu. Amin…"
Senyapya malam semakin hening mencekam, semilir angin berhembus menerpa dedaunan, seolah menyoraki mereka agar terus menari-melambai menyambut hujan yang sesaat lagi akan turun membawa air kehidupan. Seketika suhu menurun drastis membuat kebanyakan orang memilih untuk berselimut memeluk guling masing-masing berharap dan menanti hujan akan reda esok pagi.

################

"Usup! bisa gak ngerjain sendiri!" bentak Bu Tutik, guru matematika Usup yang terkenal killer.
Usup pun kaget setengah mati, seakan separo dari nyawanya telah lepas dari wadahnya. Jantungnya berdebam keras, hatinya berdesir kencang. Sambil mengatur nafasnya ia berujar "Maaf Bu, saya cuma lihat soalnya saja."
"Lho emang belum Ibu tuliskan di papan tulis?" sentak bu Tutik semakin garang.
"Tulisan Afif lebih mudah dibaca Bu." jawabnya agak gugup. Dia tak mau mengaku kalau dia min. Rasa malunya mengalahkan kejujurannya, walaupun sebenarnya ia tidak bohong.
"Oh, jadi sudah berani melawan sekarang? jangan-jangan nilaimu selama ini bagus gara-gara nyontek terus ya?" kata Bu Tutik sinis.
"Tidak Bu, tapi saya… saya…" Usup tak mampu melanjutkan kata-katanya. Lidahnya kelu, serasa dicekoki bratawali. Kalimat Bu Tutik yang terakhir bagai belati yang menembus kupingnya masuk menusuk ulu hatinya. Kepalanya tertunduk. Matanya menatap tajam buku tulisnya. Marah dan malu berkecamuk-bersetubuh dalam dadanya. Gigi-giginya yang mungil saling gemretakan menahan perih-pilu hatinya yang panas mendidihkan empedu sehingga mencairkan kelenjar air matanya. Sekuat tenaga, kelopak matanya menahan agar cairan asin itu tak pecah dari kandungannya. Baru kali ini Usup ketahuan "nyontek soal" milik temannya.
"Sudah, tak ada alasan lagi! Afif, sekarang kamu pindah ke bangku belakang!"
Bagai kerbau yang dicunguk hidungnya, Afif pun manut saja, ia takut malah ia yang kena damprat.
"Teeet…teeet…teeet…" bel tanda pulang sekolah menjerit panjang, melekik-pekik tak tega melihat anak-anak yang dikurung dalam kelas terkuras tenaga dan pikirannya. Anak-anak pun berhamburan keluar bak semut yang keluar dari sarangnya.

###############

Jam menunjukkan pukul 08.00, seorang ibu hamil sambil menggendong anaknya yang masih balita dengan selendang kain, tergopoh-gopoh menggiring sampah-sampah jalanan di depan sebuah kantor perusahaan dengan sebatang sapu lidi yang digenggamnya. Hari ini adalah hari terakhir ia bekerja sebagai cleaning service di perusahaan tersebut. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak sebulan yang lalu. Setelah melalui tawar-menawar yang alot nan rumit, akhirnya ia diterima juga bekerja hanya untuk sebulan saja. Suaminya pun tak tahu-menahu tentang pekerjaannya ini. Ia memang berniat memberitahukannya setelah keluar dari pekerjaannya.
Karena hujan deras yang mengguyur bumi semalaman, banyak sekali daun-daun dan sampah-sampah yang enggan untuk digiring ke tempat pembuangan layaknya para gelandangan yang bersikeras tak mau meninggalkan rumah kardusnya kendati pemerintah telah berkali-kali menggusur mereka. Hari ini juga, Siti, ibunya Usup akan mendapatkan hasil jerih-payahnya selama sebulan. Hanya satu yang ia inginkan, membelikan anaknya kacamata. Hanya sebab itulah ia rela menyelinap keluar setelah suaminya berangkat kerja ke pasar. Ia juga rela dalam keadaan hamil tua, termenyek-menyek menggendong Adit, adik si Usup, bergelut dengan sampah dan debu-debu jalanan. Ia berharap semoga anaknya tak kesulitan lagi dalam belajar, tak perlu menyontek catatan temannya seperti yang selalu ia keluhkan kepadanya. Ia berharap, Usup bisa jadi anak yang pinter dan sholeh berguna bagi nusa bangsa dan agama. Ia tak mau anaknya-anaknya bodoh seperti dirinya yang nasibnya selalu susah. Apalagi jadi sampah masyarakat! Na'udzubillah…!
Maka, sehabis pulang kerja, ia pun langsung mampir ke toko optik yang bisa ditempuh lima menit berjalan kaki dari tempat kerjanya. Setelah mendapatkan kacamata yang menurutnya cocok buat Usup, ia pun bergegas menuju rumahnya. Matahari sudah tergelincir dari puncak gerak semunya seolah akan jatuh ke belahan bumi bagian barat. Jamaah shalat zhuhur di mushalla wasiat juga sudah beranjak pulang. Baru kali ini ia pulang terlambat.
Sebenarnya ia sudah siap menghadapi segala resiko atas tindakannya. Tetapi sesampai di depan pintu rumahnya, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Pandangannya kini kabur, ia melihat banyak kunang-kunang di depan matanya. Tangan kanannya menggeragap mencari barang yang dapat ia jadikan untuk bertelekan. Karena tak mendapatkan apa yang ia inginkan, ia pun limbung, jatuh dengan perut bagian kanannya menghantam tanah. Sedangkan perut bagian kirinya tertindih oleh Adit yang digendongnya. Sontak, ia menjerit-pekik ibarat hewan kurban yang disembelih oleh tukang jagal.
Orang-orang pun berhamburan menuju sumber suara. Ustadz Slamet yang sedang takbiratul ihram untuk shalat ba'diyah zhuhur langsung membatalkan shalatnya, bergegas menuju jeritan istrinya. Sesampainya di TKP, beliau pun terkejut terperangah melihat darah segar mengalir keluar dari dalam rok istrinya membasahi sekujur kakinya.
Usup yang baru saja pulang sekolah heran melihat orang-orang berkerumun di depan rumahnya seperti nanggap topeng monyet. Setibanya di rumah, betapa shock nya ia. Ternyata ibunya terbaring lemas di atas meja yang biasa ia gunakan tidur.
"Ibu…"
"Dari tadi ibumu nunggu kamu Sup, dia gak mau dibawa ke rumah sakit." ucap bapak Usup dengan nada berat sambil menggendong Adit yang masih nangis terus.
"Usup…" lirih ibunya.
"Ya Bu, Usup udah di sini."
"Sup tolong ambilkan tas ibu!"
"Ini Bu…"
"Usup, tadi ibu mampir ke toko optik, terus ibu nemu kacamata yang bagus buat kamu. Nih, cepet kamu pake! Ibu pengin lihat anaknya keren pake kacamata."
Rasa ibanya pada sang ibu membuat Usup lebih terharu daripada merasa kaget dan bahagia karena mendapat surprise dari ibunya. Demi menyenangkan ibunya, ia pun memakai kacamata pemberian ibunya.
Kini Usup dapat memandang dunia lebih terang. Masya-allah, ia melihat wajah ibunya ternyata lebih cantik daripada yang selama ini ia lihat, meskipun di wajah ibunya sekarang bisa ia temukan keriput yang sudah muncul sedikit demi sedikit. Ia pun melihat sebuah senyuman manis tersungging di paras cantik ibunya.
"Bapak, selama ini aku lancang tak minta izin padamu kalau selama ini aku bekerja, maafkan aku ya!" suara ibunya Usup kini kian memelas.
"Bapak sudah halalkan semuanya Bu." ucap Ustadz Slamet penuh haru.
"Alhamdu-lillah, terima kasih Pak! "
"Usup _ _ _belajar yang rajin, …..jangan kayak ibu yang bodo ini. Di mana-mana, orang bodo itu hidupnya susah…….Jadi anak yang sholeh, pinter,_ _ _ biar bisa bermanfaat buat yang lain. Inget,… ketidak-sempurnaan bukanlah halangan untuk menjadi yang terbaik."
Suara ibu semakin pelan dan terbata-bata. Kini, tinggal kelopak matanya yang berkedip diiringi air matanya yang keluar di sudut matanya dan seulas senyum yang terkulum manis di bibirnya. Sesaat, suasana hening, suara tangis Adit pun mendadak diam. Tiba-tiba aura ruang tamu menjadi mencekam seolah seluruh orang di sana terhipnotis tak sadarkan diri. Sedetik kemudian bagai tersadar dari lamunannya, tersentak Ustadz Slamet memegang pergelangan tangan istrinya, telinga beliau didekatkan ke hidung istrinya. Dengan suara serak dan terputus-putus beliau berucap "Innaa-lillahi wa innaa-ilaihi raaji'uun…"
Suasana kembali gemuruh bising oleh isak tangis. Adit pun menangis lagi. Suaranya yang nyaring membahana keluar rumah menembus langit tujuh membuat para malaikat trenyuh, tak kuasa membendung air matanya sehingga jatuh membasahi bumi yang baru saja kering.
"Allahumma-ghfirlahaa warhamhaa wa 'aafihaa wa'fu 'anhaa…"


22 Desember 2008.
Kupersembahkan untuk ibunda tercinta, Siti pada Hari Ibu tahun ini.
Seiring ucapan maafku yang tak pernah sempat
memberimu kado di hari ulang tahunmu.