Pages

Senin, 07 Februari 2011

Tafsir Surat Al-Mursalat (ayat 46-50)

كُلُواْ وَتَمَتّعُواْ قَلِيلاً إِنّكُمْ مّجْرِمُونَ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ * وَإذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُواْ لاَ يَرْكَعُونَ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ * فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ *

46. (Dikatakan kepada orang-orang kafir): "Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa."
47. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
48. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Rukuklah, niscaya mereka tidak mau ruku'
49. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
50. Maka kepada perkataan apakah sesudah Al Quran ini mereka akan beriman?

(كُلُواْ وَتَمَتّعُواْ قَلِيلاً إِنّكُمْ مّجْرِمُونَ)
Makan dan bersenang-senanglah, tapi sedikit saja. Menurut Zamakhsyari dalam ayat ini Allah bermaksud menghina para pendusta itu. Amr (perintah) dalam ayat ini bukan berfaedah tahdid (menggertak). Perintah ini lebih cocok berfaedah tahsiir dan takhsiir (celaan, ejekan/ penghinaan). Karena perintah tersebut jatuh setelah Allah memamerkan keadaan orang-orang muttaqiin yang berlimpah nikmat. Karena mereka merasa terhina tak satupun dari para pendusta itu yang melaksanakan perintah tersebut.
Bisa juga kalimat ayat ini menjadi kalam isti’naf (kalimat baru) yang terpisah dari khithob (tujuan pembicaraan/ kata ganti orang kedua) sebelumnya. Menurut yang menganut madzhab ini seperti Abu Hayyan dan Jalauddin al-Mahalli, khitob kallimat ditujukan kepada para pendusta di dunia. Jika demikian maka faedah amr dalam ayat ini boleh sebagai tahdid (gertakan) untuk para pendusta di alam dunia. Jika pada pendapat yang pertama tidak berlaku faedah tahdid adalah karena khitob-nya kepada para pendusta di akhirat dimana faedah tahdid ini tidak cocok untuk susunan dan tujuan kalimatnya. Makan dan bersenang-senanglah sebentar saja di dunia, setelah itu rasakanlah adzab yang pedih selama-lamanya di akhirat. Maka kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

(وَإذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُواْ لاَ يَرْكَعُونَ)
Ketika mereka diperintah untuk ruku’, tunduk, merendahkan diri di hadapan Allah ‘azza wa jalla --dengan menerima kebenaran wahyu-Nya, mengikuti agama-Nya, dan meninggalkan kesombongan dan kecongkakan-- mereka tak mau. Mereka bersikukuh untuk tetap sombong dan congkak.
Wahbah Zuhaili menerangkan dalam tafsirnya bahwa dalam ilmu balaghah, ayat ini termasuk majaz mursal. Yang disebutkan secara sharih (jelas) rukuk tapi yang dimaksud adalah shalat. Ayat ini termasuk contoh dari ithlaqi al-juz wa iradati al-kull (menyebutkan suatu bagian dari apa yang sebenarnya dimaksudkan).
Muqatil mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum Tsaqif. Mereka berkata kepada Rasulullah SAW “kami meninggalkan shalat, kami tidak (mau) jungkir balik --jengkang-jengking- bhs jawa-- (rukuk sujud - sujud rukuk), karena itu hanya menjadi bahan umpatan dan olok-olok bagi kami.” Maka Rasul bersabda “tidak ada kebaikan dalam (menjalankan) agama yang di dalamnya tidak ada rukuk dan sujud. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Thabrani.
Menurut Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip al-Alusi dalam tafsir al-Munir, perintah itu ditujukan pula pada para pendusta di hari kiamat. Amr-nya berfaedah lil wujuub (keharusan). Mereka disuruh harus rukuk dan sujud, namun mereka tak mampu karena sebelumnya mereka tak pernah melakukan sujud dan rukuk sewaktu di dunia. Maka kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Mendustakan dan tak mau tunduk ketika diperintahkan untuk tunduk.

(فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ)
Para mufassir sepakat bahwa maksud lafadz “حَدِيثٍ” disini adalah al-qur’an. Penggunaan lafadz ba’da (setelah), menurut al-Alusi menunjukkan keterpautan tingkatan al-qur’an atas kitab-kitab lainnya. Tidak ada perkataan atau berita yang lebih berhak dipercayai mengalahkan al-qur’an. Kata yu’minun (beriman/ percaya) juga ditafsiri yushaddiquun (membenarkan). Surat ini ditutup dengan ayat yang mengungkapkan ekspresi keheranan atas para pendusta itu. Bisa-bisanya mereka tak mempercayai (membenarkan) al-qur’an yang benar-benar telah terbukti kebenaran hujjah-nya. Kalau tidak kepada al-qur’an kepada perkataan (berita) apa lagi sesudahnya yang akan mereka percayai dan benarkan?

Tafsir ijmali
Pada kelompok terakhir dari rangkaian ayat-ayat dalam surat al-mursalat ini Allah seakan-akan membiarkan para pendusta sejenak bersenang-senang sebentar di alam dunia. Namun setelah itu Dia akan menyiksa mereka selama-lamanya di akhirat. Karena ketika diperintahkan untuk tunduk dengan menerima kebenaran wahyu, mereka enggan dan sombong. Maka kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Kemudian surat ini ditutup dengan ayat yang mengekspresikan keheranan atas pendustaan mereka terhadap (berita-berita) al-qur’an yang sudah terbukti kebenarannya. Lalu kepada perkataan (berita) apalagi setelah al-qur’an yang akan mereka percayai?

WaLlahu a’lam…

Tafsir Surat Al-Mursalat (ayat 41-45)

إِنّ الْمُتّقِينَ فِي ظِلاَلٍ وَعُيُونٍ * وَفَوَاكِهَ مِمّا يَشْتَهُونَ * كُلُواْ وَاشْرَبُواْ هَنِيـَئاً بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ * إِنّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ *

41. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air.
42. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.
43. (Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan."
44. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
45. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.


(إِنّ الْمُتّقِينَ فِي ظِلاَلٍ وَعُيُونٍ)
Al-Alusi memasukkan orang-orang mu’min yang maksiat ke dalam golongan muttaqin. Alasannya karena posisi ayat ini dimaksudkan sebagai perbandingan terhadap orang-orang yang mendustakan. Lafadz “ظِلاَلٍ” (naungan/ bayangan) digunakan untuk menyebut tempat dimana sinar matahari tak bisa sampai kepadanya. Maka maknanya lebih umum daripada “الفيء” (gelap) yang hanya digunakan untuk menyebut tempat dimana matahari tak terlihat. Menurut al-Tsa’labi dan Jalaluddin al-Mahalli, penggunaan kata zhilaal adalah untuk menggambarkan betapa lebatnya pepohonan-pepohonan yang menaungi orang-orang yang bertakwa sehingga mereka terhindar dari panas.
(إِنّ الْمُتّقِينَ فِي ظِلاَلٍ وَعُيُونٍ * وَفَوَاكِهَ مِمّا يَشْتَهُونَ *) susunan ayat-ayat tersebut dalam ilmu balaghah disebut saja’ murasha’, yakni kesesuaian bunyi akhir dari dua atau lebih kalimat yang terpisah. Kata “يَشْتَهُونَ” menunjukkan bahwa disana orang yang bertakwa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan, tidak seperti kenikmatan di dunia yang hanya bisa diperoleh dari apa yang biasa ditemukan.

(كُلُواْ وَاشْرَبُواْ هَنِيـَئاً بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ)
Mereka dipersilahkan makan dari pepohonan dan buah-buahan, juga minum dari mata air yang mengalir di sekitar pepohonan tersebut. Kenikmatan ini adalah balasan atas keimanan dan amal-amal shalih lainnya yang mereka kerjakan sewaktu di dunia.

(إِنّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ)
Penggunaan kata muhsinin bermaksud untuk memuji orang-orang yang bertakwa (muttaqiin) atas kebaikan mereka. Seperti itulah Allah akan membalas amal perbuatan orang-orang-orang yang bertakwa. Allah tak akan menyia-nyiakan amal perbuatan mereka.

Ibnu “Arabi juga memberi tafsir sufistik atas keompok ayat ini sebagai pembanding terhadap rangkaian ayat sebelumnya. Dia menuturkan “sesungguhnya orang muttaqiin --mereka yang bersih (membersihkan diri) dari sifat-sifat nafsu dan segala bentuk konsekuensi amal (pahala-dosa, pen.), mereka yang terlepas dan terbebas dari semua itu-- berada di dalam naungan sifat-sifat ilahiyah. Mereka juga berada pada sumber pengetahuan (‘ulum), kemakrifatan (ma’arif), hikmah (hikam), dan hakikat (haqa’iq). Semua itu mereka dapatkan dari hasil tajalli (pengejawantahan) sifat-sifat Tuhan dalam diri mereka. Maka disediakan bagi mereka juga buah-buah mahabbah (percintaan) dan mudrikaat (ekstase dalam pengalaman spiritual) berdasarkan keinginan dan kehendak mereka kapanpun mereka mau. Mereka dipersilahkan menyantap buah-buah itu dan mereguk semua mata air (sumber) tersebut. Santap dan reguklah dengan senikmat-nikmatnya sebagai balasan atas amal-amal suci dan riyadhah kalbu yang kalian lakukan. Seperti itulah Allah membalas muhsinin (orang-orang yang berihsan) yang menyembah Allah dalam maqam musyahadah (penyaksian) terhadap sifat-sifat dan dzat-Nya. (mengingat (sabda Nabi) ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan kau melihat/ menyaksikan-Nya).”

Tafsir ijmali
Dalam ayat ini Allah memamerkan keadaan orang-orang bertakwa di hari kiamat. Mereka terhindar dari panasnya api neraka dan disediakan makanan dan minuman apapun yang mereka inginkan. Kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah balasan dari Allah atas amal-amal shalih mereka ketika di dunia. Dengan demikian semakin tersiksalah batin dan mental kaum kafir melihat perlakuan Allah terhadap mereka. Maka kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Mendustakan apa yang telah Allah kabarkan ini.

Tafsir Al-Mursalat (ayat 35-40)

هَـَذَا يَوْمُ لاَ يَنطِقُونَ * وَلاَ يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ * هَـَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ جَمَعْنَاكُمْ وَالأوّلِينَ * فَإِن كَانَ لَكمُ كَيْدٌ فَكِيدُونِ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ *


35. Ini adalah hari, yang mereka tidak dapat berbicara (pada hari itu),
36. dan tidak diizinkan kepada mereka minta uzur sehingga mereka (dapat) minta uzur.
37. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
38. Ini adalah hari keputusan; (pada hari ini) Kami mengumpulkan kamu dan orang-orang terdahulu.
39. Jika kamu mempunyai tipu daya, maka lakukanlah tipu dayamu itu terhadap-Ku.
40. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.


(هَـَذَا يَوْمُ لاَ يَنطِقُونَ)
Pada hari itu mereka tidak bisa berbicara apapun. Mereka terdiam melihat dahsyatnya hari kiamat. Dengan menarik Al-Thabari mengajukan pertanyaan dengan menghadapkan ayat lain dari al-qur’an yang seolah paradoks dengan ayat ini, “lalu bagaimana dengan ayat al-qur’an yang menerangkan bahwa penghuni neraka berkata (رَبّنا أخْرِجْنا مِنْها) “Tuhan keluarkanlah kami darinya (neraka)” dan ucapan mereka (رَبّنا أَمَتّنا اثْنَتَينِ وأحْيَيْتَنا اثْنَتَين) “Tuhan matikanlah kami dua kali dan hidupkan kami dua kali”? Maka jawabnya adalah bahwa mereka tidak bisa berbicara hanya pada saat-saat tertentu saja, tidak selama-lamanya. Bisa juga dimaknai Allah menjadikan pembicaraan mereka itu sama seperti mereka tak berbicara. Karena pembicaraan mereka tak lagi didengar dan bermanfaat sebagaimana dituturkan oleh Zamakhsyari dan al-Alusi.

(وَلاَ يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ)
Mengenai lafadz “وَلاَ يُؤْذَنُ” (mereka tak diizinkan), al-Alusi mengutip dua pendapat. Pertama, mereka tak diizinkan berkata-kata sama sekali. Kedua, mereka tak diizinkan beralasan (mengajukan ‘udzur). Sedangkan pada lafadz (فَيَعْتَذِرُونَ) para ulama sepakat menjadikannya ‘athaf dari lafadz (وَلاَ يُؤْذَنُ). Maka maknannya menjadi mereka tidak diizinkan (berbicara/ beralasan/udzur) dan mereka tak dapat untuk mengajukan alasan atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Bahkan para ulama melarang membacanya nashab sebagai tarkib jawab. Hal ini bermaksud agar kalam itu berfaidah tidak adanya pengajuan udzur/ alasan secara mutlak. Artinya mereka memang tidak punya alasan atas dosa-dosa mereka dan (sehingga) mereka tak dapat mengajukan alasan. Hal ini juga untuk menghindari anggapan bahwa mereka tidak mengajukan udzur/ alasan adalah karena tidak adanya izin kepada mereka. Sehingga tidak ada asumsi bahwa mereka sebenarnya punya udzur atas dosa-dosa mereka, tetapi karena tidak diizinkan mereka tidak dapat mengajukan udzurnya tersebut.

(هَـَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ جَمَعْنَاكُمْ وَالأوّلِينَ)
Hari ini adalah hari pemisahan. Pemisahan antara orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang celaka. Ada pula yang mengatakan pemisahan antara para Nabi dan umatnya. Allah mengumpulkan manusia menjadi satu dari umat yang terdahulu sampai umat akhir zaman dalam padang mahsyar.

(فَإِن كَانَ لَكمُ كَيْدٌ فَكِيدُونِ)
Dalam ayat ini Allah menantang orang-orang kafir. Mengingat berita tentang hari kiamat yang mereka dustakan sudah mereka dengar sejak di dunia, maka apabila mereka mempunyai tipu daya yang telah mereka persiapkan agar selamat dari siksaan pada hari ini lakukanlah sekarang juga. Ayat tersebut juga dapat berfaedah taqri’ (gertakan), tahqir (ejekan), takhjiil ( ), ta’jiiz (menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan), taubikh (mempertanyakan kembali kesombongan mereka ketika di dunia).

Tafsir ijmali
Kelompok ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang kafir pada saat mereka melihat dan menghadapi siksaan pada hari kiamat. Mereka terdiam tak bisa berkata sama sekali akibat dahsyatnya keadaan hari kiamat dan siksaan yang akan mereka terima. Mereka tak bisa beralasan lagi atas dosa-dosa yang mereka perbuat. Pada hari itu juga Allah mengumpulkan semua umat manusia dari zaman terdahulu sampai umat akhir zaman. Mereka dipisahklan berdasarkan yang beruntung dan celaka. Kemudian Allah menantang orang kafir untuk melaksanakan tipu daya bila mereka sudah punya tipu daya agar selamat dari siksaan tersebut. Maka kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Mendustakan berita ini.

Tafsir Surat Al-Mursalat (ayat 29-34)

انطَلِقُوَاْ إِلَىَ مَا كُنتُمْ بِهِ تُكَذّبُونَ * انطَلِقُوَاْ إِلَىَ ظِلّ ذِي ثَلاَثِ شُعَبٍ * لاّ ظَلِيلٍ وَلاَ يُغْنِي مِنَ اللّهَبِ * إِنّهَا تَرْمِي بِشَرَرٍ كَالْقَصْرِ * كَأَنّهُ جِمَالَةٌ صُفْرٌ * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ *

29. (Dikatakan kepada mereka pada hari kiamat): "Pergilah kamu mendapatkan azab yang dahulunya kamu mendustakannya.
30. Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang.
31. yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka."
32. Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana.
33. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning
34. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

Tafsir lughawi
Jumhur ulama sepakat bahwa lafadz (انطَلِقُوَاْ) yang kedua berfaedah untuk mengulang (takrir‏) perintah yang pertama. Namun Rawis meriwayatkan dari Ya’kub, lafadz (انطَلقُوَاْ) yang kedua, lamnya dibaca fathah menjadi fi’l madhi sebagaimana dikutip al-Mawardi. Zamkhsyari menyimpulkkan jika lafadz tersebut berupa fi’l madhi maka ayat tersebut berarti mengabarkan perbuatan mereka setelah diperintah untuk pergi kepada adzab yang dahulu mereka dustakan.
“ظِلّ ذِي ثَلاَثِ شُعَبٍ” (naungan yang bercabang tiga). Jalaludin al-Mahalli menafsirkan naungan (ظِلّ) sebagai asap yang bercabang tiga disebabkan saking besarnya asap itu. Al-Alusi menyebutkan cabang-cabang dari asap tersebut mengepung orang kafir, satu diatas mereka, yang lain di kanan dan kiri mereka. Ia melanjutkan, asap tersebut bercabang tiga karena mereka mendustakan tiga hal. Pendustaaan yang secara jelas dimaksudkan dalam ayat itu adalah mendustakan adzab, yang sebenarnya mengandung pendustaan pula kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ada penafsiran sufistik yang menarik mengenai naungan/bayangan (ظِلّ ) ini. Sebagaimana yang diterangkan Ibnu ‘Arabi dalam tafsirnya, (ظِلّ) dalam ayat ini berarti bayangan/ naungan dari pohon zaqqum. Ia adalah nafsu tercela dan terlaknat yang ada dalam diri manusia. Jika nafs (hati) ini telah terhijab oleh sifat-sifatnya (zaqquum) dan terputus dari nur al-wahdah (nur tauhid/ penyatuan) sebab gelapnya entitas zaqqum, maka tercemarlah manusia oleh kotoran yang tumbuh dan berkembang dalam neraka karakter (tabiat)-nya. Neraka tabiat yang mempunyai tiga cabang hawa nafsu, bahimiyah (kebinatangan), sabu’iyyah (keliaran/ kebuasan), dan syaithaniyyah (nafsu syetan).
Penggunaan kata (ظِلّ) juga menunjukkan bahwa mereka mengira bahwa bayang-bayang tersebut akan meneduhkan dan menyelamatkan mereka dari panasnya neraka. Namun kenyataannya tidak seperti yang mereka inginkan. Karena ternyata bayang-bayang itu adalah asap neraka yang maha panas. Alih-alih melindungi dan menduhkan, asap tersebut justru semakin menyiksa mereka sebagaimana digambarkan pada ayat selanjutnya.
(اللّهَبِ) adalah bagian dari api yang keatas ketika api sedang berkobar (lidah api). Ia bisa berwarna merah, kuning atau hijau.
(بِشَرَرٍ) adalah apa yang terbang (memercik) dan terpisah dari api (percikan api). Dalam ilmu balaghah kalimat (بِشَرَرٍ كَالْقَصْرِ) termasuk tasybih mursal mujmal karena nilai kesamaan dari dua benda tidak disebutkan. Dalam ayat tersebut langsung menyebutkan bahwa percikan api neraka diumpamakan seperti istana atau gedung. Nilai kesamaannya adalah dalam hal besar dan tingginya. Percikan api yang besar seringkali disebut bunga api.
(جِمَالَةٌ صُفْرٌ) banyak ulama sepakat bahwa lafadz (جِمَالَةٌ) adalah bentuk jama’ dari (جمَلَ). Wahbah Zuhaili mengatakan boleh juga dibaca (جمالات) bentuk jama’nya dari (جِمَالَةٌ), maka ia menjadi jam’ul jama’. Al-Mawardi dalam tafsirnya menyebutkan dua alasan kenapa dinamakan (جمالات). Pertama karena kecepatan percikan api tersebut. Kedua karena percikan api itu selalu disusul dengan percikan api berikutnya, dan seterusnya begitu. Kalimat (كَأَنّهُ جِمَالَةٌ صُفْرٌ) termasuk tasybih mursal mufashol. Bunga api tadi diserupakan seperti iringan unta kuning. Nilai kesamaan antara keduanya adalah terletak pada besarnya, tingginya dan warnanya.

Tafsir ijmali
Setelah menyebutkan nikmat-nikmat-Nya dan hujjah yang Dia ajukan untuk menggugat kaum kafir, Allah memerintahkan mereka untuk merasakan adzab yang dahulu mereka dustakan. Mereka digiring menuju sebuah naungan bercabang tiga yang mereka kira dapat meneduhkan dan melindungi mereka dari panas api neraka. Namun ternyata naungan tersebut adalah asap api neraka yang mengepung mereka sehingga membuat mereka semakin tersiksa. Maka kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Mendustakan akan adanya adzab, Allah dan rasul-Nya.

Tafsir Surat Al-Mursalat (ayat 25-28)

بسم الله الرحمن الرحيم

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ كِفَاتاً * أَحْيَآءً وَأَمْواتاً * وَجَعَلْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَأَسْقَيْنَاكُم مّآءً فُرَاتاً * وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لّلْمُكَذّبِينَ *

25. Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul?
26. Orang-orang hidup dan orang-orang mati?
27. Dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan beri Kami minum kamu dengan air tawar?
28. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

Tafsir lughawi
Banyak ulama yang memberi makna lafadz (كِفَاتاً) sama dengan (ضامة/جامعة) yang berarti yang mengumpulkan. Atau bermakna (الوعاء) yakni wadah. Maksudnya, bumi adalah wadah atau tempat berkumpulnya orang-orang hidup dan mati. orang yang hidup berjalan di atasnya sedang yang mati terkubur di dalammnya, sebagaimana yang dikatakan Qatadah, al-Syu’bi, al-Mahalli dan muffassir lain. Zamakhsyari mengatakan bahwa tidak hanya sebatas manusia yang hidup dan mati saja. Karena lafadz (أَحْيَآءً وَأَمْواتاً) berupa ism nakiroh sehingga maknanya pun umum. Senada dengan apa yang dikutip al-Mawardi dari salah satu qaulnya Mujahid, ayat tersebut bisa juga berarti tumbuh-tumbuhan dan bangkai-bangkai lainnya.
(رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ) para mufasir sepakat memberinya makna gunung yang tinggi. Zamakhsyari berkata penggunaan ism nakiroh pada (رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ) dan (مّآءً فُرَاتا) berfaedah tab’idh (menyebutkan sebagiannya saja). Karena di langit terdapat gunung-gunung -sebagaimana disebutkan surat al-Nur (24): 43- dan air tawar pula.
Dalam segi hukum, berdasarkan ayat ini para ulama beristimbath bahwa hukum menguburkan mayit adalah wajib. Ulama Syafi’iyah juga mendasarkan ayat ini sebagai dalil potong tangan bagi pencuri kain kafan mayit yang sudah dikubur.

Tafsir Ijmali
Setelah memperingatkan dan menakut-nakuti orang kafir dengan keadaan kiamat, menyiksa mereka sebagaimana umat-umat pendusta yang terdahulu, dalam ayat ini Allah memperlihatkan contoh kenikmatan-kenikmatan yang telah Dia curahkan kepada mereka tapi mereka mengingkari dan mendustakannya. Allah mengingatkan betapa banyaknya Allah melimpahkan anugrah-Nya, namun kenapa juga mereka masih mendustakan keberadaan-Nya?