Pages

Jumat, 30 November 2012

Simulasi Filosofis "Mempertanyakan Realitas"


“Informasi hanyalah data semata dan takkan pernah menjadi pengetahuan jika kau enggan mempertanyakannya.” [Diancuk Modarsono dalam cerpen Sashtra Jinendra Vijnana]

Di sini kita akan mencoba mempraktekkan kutipan di atas dengan mempertanyakan beberapa hal tentang kehidupan kita. Saya mulai dengan pertanyaan, Apakah keputusan-keputusan yang kita ambil selama ini murni pilihan kita? Apakah free will itu ada? Kalau kata Jean Paul Sartre, filosof Perancis, hell is other people. Kitalah yang mengendalikan semua keputusan kita. Tak peduli kita mengikuti perintah, saran dari orang lain atau meninggalkannya. Apakah yang terjadi sebenarnya memang begitu?
Coba kita simulasikan. Misalnya kita mau menentukan definisi, apa itu cantik dan tampan? Bagaimana menurut kebanyakan orang, cantik dan tampan itu? Berkulit putih, berambut hitam-lurus, berhidung mancung. Lalu apakah cantik dan tampan itu benar murni pendapat mereka, atau [meniru] hasil bentukan iklan-iklan?
Keputusan ini mempengaruhi barang yang kita konsumsi. Kalau cantik/ tampan adalah seperti yang didefinisikan itu, maka agar saya cantik/ tampan saya harus menggunakan kosmetik merk ini. Harus memakai shampoo ini, harus oprasi plastik untuk memancungkan hidung. Pernahkah kita bertanya siapa yang memproduksi barang-barang yang kita konsumsi setiap hari? Jadi siapa yang menentukan cantik dan tampan?
Kita maju lagi, oke kita mau pakai barang kosmetik, shampoo, dll. Di mana kita bisa mendapatkannya? Apa yang membuat kita memilih tempat belanja? Kenapa kita lebih memilih mall, swalayan daripada pasar atau sebaliknya? Sekali lagi apakah pilihan kita ini murni pendapat kita atau kita terbujuk trend?
Kita coba lebih sedikit serius. Tentang pemilu, misalnya pemilihan gubernur dan wakil gubenur jakarta beberapa waktu yang lalu. Kenapa Jokowi bisa menang mengalahkan Foke? Apa yang membuat rakyat jakarta lebih memilih Jokowi ketimbang Foke? Apakah itu murni karena rakyat tahu bahwa jokowi itu lebih layak jadi pemimpin mereka atau jangan-jangan karena bosan kepada kumis birokrasi saja? Akhirnya rakyat lebih simpatik kepada Jokowi yang datang dengan tampang yang tampaknya berbeda?
Kalau kita naikkan lagi, kita bisa mempertanyakan juga, kenapa kita memilih agama Islam sebagai agama kita? Apa karena kita ini benar-benar memilihnya atau karena memang kita dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islam sehingga kita mau tidak mau harus beragama Islam? Apakah anda bisa menjamin anda akan beragama Islam seandainya anda dilahirkan dan dididik dalam lingkungan non-muslim.
Lalu kalau islam kita gara-gara keturunan, sahkah Islam kita? Padahal termasuk rukun islam itu harus syahadat? Apakah kita benar-benar sudah menyaksikan kebenaran Islam atau asal manut saja? Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam konteks kehidupan anda. Anda sendiri yang bisa menjawabnya dan mempelajarinya kembali. Saya hanya membantu membuat anda gelisah.
Boleh tidak mempertanyakan keimanan sendiri? menjadi murtadkah kita? Lho emangnya kita sudah mu’min/ beriman, lha wong pertanyaan tadi belum bisa kita jawab? Sekalipun kita sudah beriman, kita tetap harus mempertanyakan kembali iman kita. Nabi bersabda “jaddiduu imanakum” (al-hadits). Selalu perbaharui iman kalian. Bukankah syarat untuk memperbaharui itu menganggap yang lama tidak berlaku? Contohnya dalam teori sains. Dahulu kala orang beranggapan bumi itu datar. Kemudian anggapan dimentahkan oleh teori bahwa bumi itu bulat. Karena ketika seorang penjelajah berjalan lurus terus akan kembali ke tempat semula. Lalu muncul lagi teori geosentris bahwa seluruh benda langit itu mengitari bumi didasari oleh penafsiran dari injil. Ternyata itu pun disalahkan lagi karena menurut teori heliosentris sebenarnya bumi lah yang mengitari matahari. Adapun matahari yang terbit bergerak dari timur dan tenggelam ke barat, adalah gerak semu matahari. Bukan matahari yang bergerak tapi karena bumi yang berputar pada porosnya.
Semakin dewasa, seharusnya semakin menambah pemahaman baru dan semakin mengerti bahwa apa yang selama iini diyakini benar adalah sementara. Kalau mau radikal seperti kata Nietzsche “kebenaran adalah semacam kekeliruan yang harus ada.” Begitu juga seyogyanya kita dalam beragama. Kita harus tinggalkan semua kepercayaan lama kita. Berhijrah menuju iman yang baru. Dan harus selalu begitu. Nah masalahnya adalah banyak di antara kita berhenti untuk selalu mempertanyakan. Kemudian dia merasa apa yang dia percayai itu adalah satu-satunya yang benar. Maka yang lain adalah salah dan sesat sehingga harus diluruskan.
Saya ajukan pertanyaan lagi, Islam itu tujuan atau jalan? Islam adalah jalan dan satu-satunya tujuan hanyalah Allah. Kalau begitu kita tidak boleh menyalahkan orang yang menempuh jalan yang berbeda dengan kita. Karena toh kita juga belum tentu sampai kepada tujuan. Hati saya terkadang miris melihat orang-orang yang dengan yakin-seyakin-yakinnya menganggap dirinya yang paling benar dan atas nama Tuhan meng-kafir-kafirkan, bahkan melakukan tindakan anarki kepada orang lain. Apakah orang yang mengkafir-kafirkan itu benar-benar murni patuh pada perintah Tuhan atau merasa terancam kehilangan identitasnya? Kalau saya sih tidak masalah dituduh kafir, memang saya masih kafir (ingat kita belum jawab pertanyaan tentang islam keturunan).

“jangan-jangan kita ini terlalu takut untuk tegak berdiri sehingga perlu motivasi-motivasi.
jangan-jangan kita ini tidak percaya diri sehingga butuh kosmetik-kosmetik untuk mempercantik diri.
orang-orang berebut ingin diakui sedangkan mereka sendiri kehilangan jati diri.
mereka memuja kebebasan, sehingga mereka terseret derasnya arus kehancuran.
apa masih disebut bebas jika pilihannya sudah ditentukan?
[si]apa yang mengendalikan saat kita membuat keputusan?
kesadarankah, akal pikirankah, hatikah, perasaankah, terpaksakah?
jangan-jangan kita telah didekte iklan-iklan?
lalu dimana kita “letakkan” Tuhan?”


#tulisan yang disampaikan dalam diskusi bersama remaja masjid at-Taqwa, Sekayu, Semarang Tengah.

Selasa, 20 November 2012

Imagine - John Lennon (The Beatles) - Cover by 9 year old DOMINIQUE


Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...


Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one

---

Bayangkan surga itu tidak ada
Sangat mudah jika kau coba
Tidak ada neraka di bawah kita
Di atas kita hanya langit
Bayangkan semua orang
Hidup untuk hari ini ...

Bayangkan tidak ada negara
bukanlah hal yang sulit sulit untuk dilakukan
Tidak ada yang membunuh atau mati demi apapun
Dan bayangkan agama juga tidak ada
Bayangkan semua orang
Menjalani hidup dalam damai ...

Kau mungkin mengatakan bahwa aku seorang pemimpi
Tapi aku bukan satu-satunya
Kuharap suatu hari nanti kau akan bergabung dengan kami
Dan dunia akan menjadi satu

Bayangkan tidak ada rasa memiliki
Aku ingin tahu apakah kau bisa
Tidak perlu lagi ada keserakahan atau kelaparan
Sebuah persaudaraan sesama manusia
Bayangkan semua orang
Saling berbagi di seluruh dunia ...

Kau mungkin mengatakan bahwa aku seorang pemimpi
Tapi aku bukan satu-satunya
Kuharap suatu hari nanti kau akan bergabung dengan kami
Dan dunia akan hidup bersatu.

-----

semoga lagu ini tidak hanya berhenti di imajinasi...

Sabtu, 17 November 2012

Sashtra Jinendra Vijnana*


cerpen Warih Firdausi

Persepsi I: Perkenalan itu…
Facebook bagiku bukan dunia maya. Hanya orang yang kurang kerjaan saja yang menganggapnya begitu. Banyak bisnis yang terjadi melalui facebook, pernikahan yang bermula dari facebook. Mencari teman atau bahkan anggota keluarga yang hilang pernah juga terjadi dengan bantuan facebook. Meskipun ada juga kasus pemerkosaan, penipuan akibat berhubungan dengan orang tak dikenal di facebook. Menurutku semua itu merupakan bagian episode dari dunia yang sebenarnya. Maka aku pun menuliskan info di profilku sebagaimana adanya diriku.
Aku termasuk orang yang selektif menerima pertemanan di facebook. Aku hanya menerima permintaan teman orang yang secara pribadi aku mengenalnya, dan mereka yang update postingnya kurasa bermanfaat. Kau mungkin sudah tahu, banyak profil di facebook yang menggunakan nama-nama account yang aneh, nyleneh, lebay, alay, bahkan jorok. Dalam kasus ini aku berpendirian untuk tidak berteman dengan mereka. Dari namanya saja sudah tidak mampu menghargai dirinya sendiri, apalagi menghargai orang lain? Biasanya aku langsung ignore permintaan mereka.
Suatu saat, ada satu account facebook yang meminta pertemanan dengan nama Diancuk Modarsono dengan cover photo seorang wanita berpose nyaris telanjang. Tubuh polosnya hanya berbalut air susu yang ia tuangkan dari atas mulutnya mengalir membentuk rompi sampai kedua pahanya. Dengan angle dari belakang 30° ke kanan, gambar itu tampak sensual, eksotis dan artistik. Entah kenapa aku tertarik dengan account yang satu ini. Aku buka timeline-nya. Aku tak bisa melihat dia berteman dengan siapa saja. Pengaturan privacy-nya boleh juga. Tidak mencantumkan tempat, tanggal lahir dan jenis kelamin. Semoga saja masih punya kemaluan dan rasa malu. Pendidikannya alam semesta. Sama sepertiku juga, pembelajar sejati. Pekerjaannya pelayan keseimbangan. Aku belum faham. Dalam infonya ia menulis bio tentang dirinya,
“Aku seperti bawang yang terus dikuliti, dimana segala nama dan atribut adalah kulit bawang yang berlapis-lapis. Apa yang kalian ketahui dan kenali tentang diriku hanyalah kulit yang kalian kupas sendiri. Semakin kalian mengupasnya, kalian akan tahu bahwa aku yang sejati sebenarnya tiada.”
Aku suka kalimat mistikus ini. Setelah membaca tulisan itu tanganku tak tahan lagi untuk mengklik link accept friend request. Untuk pertama kali aku mengkhianati prinsipku sendiri. Ah, tidak juga, yang ini kan beda, unique, sepertinya akan banyak bermanfaat kalau aku berteman dengannya. Beginilah kebiasaanku bila sudah jatuh hati pada pembacaan pertama, aku teruskan menjelajahi timeline-nya.
Status update terbarunya “Tuhan, izinkan aku sejenak merasakan betapa indahnya memandang kecantikan wajah-Mu dari neraka.”
Aku tulis komentar, “hanya orang gila yang meminta  neraka.“
Tidak beberapa lama masuk satu notifikasi baru, Diancuk Modarsono commented on their status, “saya memang orang gila. :)
”“Selera humor anda bagus juga."
”Sayangnya, saya sedang tidak melawak."
“Hha. saya suka gaya anda.”
“Karena Alhamdulillahi (segala puji hanya milik Allah), maka sudah seharusnya saya berdoa a’udzubillahi minal-hamdi (saya berlindung kepada Allah dari segala pujian).”
“Senang berkenalan dengan Anda.”
“Senang, sedih jika datangnya dari luar diri sama seperti rasa lainnya, manis, pahit, asin, dll. Mereka bersifat sementara.”
Aku semakin penasaran dengannya. Aku lihat di chatroom tak tercantum namanya. Aku ingin melakukan percakapan secara pribadi dengannya.



Persepsi II: Terpukau oleh cermin Tuhan
Aku suka dunia maya. Dia tak pernah berbohong atas kesemuan dan kesementaraannya. Karena bagiku tidak ada yang namanya dunia nyata. Tak salah bila orang Hindu menyebut dunia sebagai mayapada, semuanya semu dan sementara. Fakta adalah sandiwara fiktif sebuah perspektif. Oleh karena itu aku suka karya sastra dan seni. Selain seni, tidak ada yang mampu melampaui sekat realitas dan imajinasi. Sastra merupakan gagasan ketuhanan yang dibalut dengan seni menyusun kata dan cerita. Bahasa sastra juga tak pernah berdusta bahwa ia metafora. Dalam facebook pun aku menyukai halaman-halaman “artist” (pekerja seni, bukan selebritis) dan bergabung dalam grup-grup sastra.
Dalam sebuah grup sastra, tak sengaja kutemukan sebuah nama akun facebook yang menarik perhatianku, Sintha Kesini. Aku langsung teringat dua tokoh perempuan dalam Ramayana. Sintha, wanita setia nan jelita, istri Rama. Dan Kesini, ibunda Rahuvana, perempuan yang haus akan pengetahuan sejati. Ah, apalah arti sebuah nama. Orang dikenang bukan karena makna harfiah dari namanya. Namun, nama seseorang akan terpatri abadi di hati orang-orang yang mengenalnya sebab sikap dan perilakunya.
Aku lihat foto profilnya, sesosok wanita cantik. Kau tahu kan, banyak orang memasang foto wanita cantik sebagai foto profilnya. Untuk membuktikan kejujurannya (atau konsistensi sandiwaranya?), aku telusuri semua album fotonya. Foto wajahnya mendominasi. Ku cermati status-statusnya, menurutku, ia tipikal camera obscura, menyampaikan sesuatu sama dengan apa yang direkam oleh indranya. Akhirnya kuputuskan menambahkannya sebagai teman. Aku suka wanita cantik. Wanita adalah cermin dari citra kecantikan (jamaliyah) Tuhan.


Persepsi III: Usaha melepas ke[te]la[n]jangan
Ada satu pesan baru masuk, dari Diancuk Modarsono. Dia membalas pesanku,
“Apalah arti sebuah nama, nama hanyalah penanda dari pribadi seseorang, untuk menandai satu sama lain.
Aku menukas, “bukankah nama itu sebuah doa dan harapan?”
“Benar. Itu harapan bagi yang menamainya. Padahal harapan orang lain adalah beban bagi penyandang nama.”
“Lalu apakah dengan nama yang kau sandang itu, lantas kau merasa bebas dari beban? Bukankah kau malah menanggung beban lebih berat? Tentu butuh waktu cukup lama untuk terbiasa rela menerima caci-maki dari mereka yang menganggap nama sebagai representasi pribadi.” Entah kenapa aku sudah merasa dekat dengannya sehingga mengganti kata Anda dengan kau.
“Kata Newton, “and to every action there is always an equal and opposite or contrary.” Setiap aksi pasti bekonsekuensi reaksi, ada yang mendukung, ada pula yang beroposisi. Kalau sudah tahu dan faham rumusnya kenapa harus sakit hati? Bagi mereka yang sudah mampu mengatasi segala caci-maki, namaku adalah pujian atas kejujuran yang selama ini hilang. Kejujuran akan naluri manusia yang selalu rindu untuk urakan. Namaku adalah sayup-sayup keberanian untuk merendahkan dan meremehkan diri di tengah bisingnya ketakutan orang-orang yang bersembunyi di balik image building/ pencitraan.”
Kata-katanya seperti anak panah yang menghujam jantung kesadaranku. Jangan-jangan aku termasuk orang yang takut. Takut dianggap bodoh, takut tak terlihat cantik, takut terbongkar semua kelemahan dan sifat burukku. Aku semakin suka orang ini. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. “Kalau boleh tahu, berapa usiamu? Dengan pengetahuanmu yang luas, aku tidak yakin kau masih muda." :)
“Hahaha. Kesempatan orang untuk memperoleh informasi itu sama. Di hadapan pengetahuan, tua-muda sama saja. Informasi hanyalah data semata dan takkan pernah menjadi pengetahuan jika kau enggan mempertanyakannya. Seperti kata Einstein, pembagian waktu: masa lalu, kini, dan yang akan datang itu ilusi. Pernahkah kau mempertanyakan, kenapa sekarang hari kamis, jam delapan, malam? Waktu yang sebenarnya itu absolute, tak berpangkal, tak berujung. Namun, untuk menguasainya manusia membuat kesepakatan dengan mengiris-irisnya hingga menjadi kalender. Tak sadarkah kau bahwa setiap individu punya ukuran masing-masing, mengenai ruang dan waktu? Betapa indahnya jika sejenak melebur dalam kemutlakan waktu, sehingga masa silam dan masa depan bisa terjadi sekarang.”
Gila, dia memporak-porandakan pola pikirku selama ini. Di hadapannya, aku selalu merasa kerdil. Kecerdasanku tumpul tak berdaya. Kecantikan yang kubanggakan tak mampu menyihirnya. Aku mulai berfikir, jangan-jangan dialah sebenarnya yang kucari-cari selama ini. Orang yang telah lama kurindukan. Orang yang menilai sesuatu tidak sebatas lahiriyah semata. Orang yang dapat menyingkapkan padaku misteri-misteri yang tak kunjung kufahami.


Persepsi IV: Tuah sashtra jinendra vijnana
Sejak menangkap adanya indikasi dia punya perasaan kepadaku, aku bingung. Dia selalu meminta untuk kopi darat denganku. Biar kuberitahu padamu salah satu rahasiaku, berbincang-bincang secara tatap muka langsung dengan perempuan secantik itu, bagiku seperti melihat penampakan wajah Tuhan. Mungkin aku bisa seperti Musa yang langsung jatuh pingsan akibat meminta melihat wajah Tuhan. Aku belum siap. Aku selalu mencari alasan untuk terus menunda pertemuan itu.
Hingga suatu saat, di beranda facebookku muncul satu permintaan. Shinta Kesini mengajukan permintaan untuk menjalin hubungan denganku. Diancuk, modar aku. Sudah kukatakan padanya aku ini tidak istimewa. Kau bisa cari ratusan orang sepertiku. Di dunia maya tak ada yang namanya copy right. Kini sudah zamannya right to copy. Nothing of me is original, I’m just a copy of a copy of a copy.
Kau tahu kan, cinta memang selalu rumit. Aku hanya bisa memberinya status hubungan: complicated. Aku berusaha tak lagi menjawab komentar, pesan, ataupun kiriman dindingnya. Bahkan aku takut update status lagi.Aku merasa sangat bersalah. Aku sudah membiarkan dia terlalu dalam mengupas kulit bawang. Aku khawatir sekali dia akan amat kecewa karena terlalu percaya. Maukah kau berjanji menjaga rahasia ini jika kuberitahu kepadamu hal yang sebenarnya? Aku mohon jangan pernah kau katakan hal ini kepadanya. Sesungguhnya akun facebook dengan nama Diancuk Modarsono adalah fake profile (akun palsu) yang kubuat-buat. Diancuk Modarsono tidak pernah ada sosoknya. Kini aku sudah menon-aktifkannya. Aku tidak mau Diancuk Modarsono menjadi sesuatu yang nyata bagi Sintha Kesini.


Semarang, 15092012/1111


*) Sashtra jinendra vijnana adalah istilah dalam agama Hindu untuk menyebut pengetahuan rahasia yang menyingkap hakikat segala realitas di dunia. Dalam dunia tasawuf Islam dikenal dengan wahdatul wujud. Keyakinan akan adanya satu wujud semata yang nyata. Segala yang tampak (mawjud) hanyalah medium penampakan citra yang bersifat maya dan sementara dari Dzat Tunggal Tuhan Yang Maha Tak Bertepi, Yang Maha Tak Terperi, Maha Tak Terpikirkan, Maha Segala Maha.

Kamis, 01 November 2012

Keranda Waktu



dalam keranda berendra
satu tubuh membujur
muka-muka berbaris di beranda
melepas kata-kata
garis waktunya
benar-benar berhenti berbagi
bersama perginya senyum sinis seringai juga tangis sunyi
kenangan kehilangan jaraknya
meninggalkan jejak yang tak ikut beranjak
apakah keberhasilan mengharuskan haus kemasyhuran?
apakah menjadi, mumbuatmu dikasihi?
di manakah kebanggaan yang meluap-luap
menguap membelah keriput-keriput usia?
kemana birahi yang tak terkendali
senyuman jalang dan ciuman-ciuman panjang
kerinduan tak lagi meruang
aku melompat dari keranda
panggung sandiwara tak seluas belantara
keabadian selalu dihantui kejenuhan
muka-muka masih berbaris
mulut-mulut terus berdesis
aku dan waktu telah bersatu.