Pages

Selasa, 10 Januari 2012

panca indera

وفي أنفسكم أفلا تبصرون
Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak melihat?



"Open your hidden eyes and see. come, return to the root of the root of yourself. bukalah mata tersembunyimu dan lihat! mari, kembali ke akarnya akar asal dirimu." ~Mawlana Rumi.

Manusia seringkali takjub kepada sesuatu yang ada di luar diri mereka. Mengetahui banyaknya keajaiban-keajaiban di luar sana, membuat manusia seringkali lupa keajaiban dirinya sendiri sebagai miniatur alam semesta, cermin Tuhan yang paling sempurna merefleksikan citra-Nya. Namun, disini, saya tidak membahas keajaiban-keajaiban pada diri manusia. Saya hanya akan fokus pada pengendalian panca indera dan bagaimana menggunakannya untuk bertawajjuh kepada-Nya.
Panca indera adalah pintu. Segala sesuatu harus melaluinya jika akan keluar/ masuk dari/ ke dalam tubuh kita. Artinya, panca indera adalah akses keluar-masuknya informasi, komunikasi dan interaksi antara diri kita dan dunia di luar diri kita/ selain kita.
Segala yang masuk melalui indera dapat mempengaruhi pikiran (prasangka, perspektif, pola pikir), perasaan (susah, senang, sedih, bahagia), yang akhirnya menentukan tindakan (action) kita. Misalnya kita melihat iklan di tv, pikiran mencerna apa yang dilihat, jika iklan tersebut mengandung gagasan yang kuat, kemungkinan besar dapat mempengaruhi pola pikir kita. Lalu kita merasa tertarik (perasaan), dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan (action).
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, kita terikat oleh perjanjian bahwasanya kita diciptakan adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Artinya segala tindakan kita diharapkan sesuai dengan aturan-aturan syariah-Nya. Karena panca indera dapat mempengaruhi tindakan kita, lalu bagaimana kita mengendalikan panca indera agar tindakan kita sesuai dengan kehendak syari'ah-Nya?
Jawabannya mungkin dapat kita dapatkan dari cerita sokrates berikut ini. Suatu hari seseorang datang tergopoh-gopoh menemui Sokrates. Dia berkata "saya membawa berita tentang seseorang untuk Anda."
Sokrates berujar "tunggu dulu, saya ingin mengajukan tiga pertanyaan sebelum Anda mengabarkan berita itu. Pertama, apakah Anda mengetahui sendiri berita itu dan yakin berita itu 100% benar?"
"Saya tidak mengetahuinya sendiri. Saya mengetahuinya dari seseorang sehingga saya tidak tahu kebenarannya."
"Apakah Anda mengenal orang yang akan Anda ceritakan?"
"Tidak. Tapi, saya kira Anda mengenalnya."
"Pertanyaan terakhir, apakah berita itu berakibat posotif atau negatif untuk saya?'
"Negatif."
"Kalau begitu, saya tidak perlu mendengar berita Anda. Bagaimana bisa saya mendengar berita yang Anda sendiri tidak mengetahui kebenarannya, Anda tidak mengenal orang yang Anda ceritakan, dan berakibat buruk terhadap diri saya?"
Dari contoh kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa untuk mengendalikan panca indera, kita harus menginterogasi setiap yang masuk ke dalam panca indera. Apakah itu bermanfaat untuk kita atau tidak, apakah hal tersebut diridhoi oleh-Nya atau tidak. Dengan apa kita mengintrogasinya? Dengan pikiran dan hati. Karena kata imam Ghazali, hati ibarat raja, dan semua anggota tubuh adalah tentaranya. Jadi, mengendalikan pikiran = mengendalikan nafsu = mengendalikan panca indera.
Setelah dapat mengendalikan panca indera, langkah selanjutnya adalah menggunakannya untuk menemui dan bertawajjuh kepada Tuhan. Nabi Isa as. pernah bersabda "tidak perlu kayu dan batu yang kokoh, singgasana yang megah untuk menghadap Tuhan. hanya dengan kamarmulah kamu akan mengetahui." Beliau juga bersabda tentang adab berdoa dan bertawajjuh kepada-Nya, "masuklah ke dalam kamarmu dan tutuplah pintu."
Yang dimaksud dengan kamar adalah ruang yang tersembunyi. Di manakah ruang tersembunyi? masjid, gereja, bahkan kamar pribadimu bukanlah ruang tersembunyi. Karena itu semua masih dapat terlihat. Yang dimaksud dengan ruang tersembunyi adalah "kamar diri". dan pintunya adalah panca indera.
Lantas bagaimana kita bisa masuk kedalam "kamar diri" kita? Saya jadi teringat dengan lakon wayang Bima dan Dewa Ruci. Bima yang disuruh gurunya, Durna untuk mencari tirta merta (air kehidupan) akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci yang berwujud dirinya sewaktu kecil. Lalu Dewa Ruci meminta agar Bima masuk kedalam tubuhnya melalui telinganya. Cerita Bima dan Dewa Ruci ini mungkin merupakan simbol bagaimana manusia (Bima) memasuki "kamar diri"-nya.
Usaha memasuki kamar diri ini dapat kita temukan jawabannya dalam laku para sufi dengan berbagai variasi thariqahnya. Misalnya Syaikh Abdul Qadir Jailani yang terkenal dengan dzikir jahr-nya (dzikir melafazhkan kalimat “laailaaha illallah” dengan suara lantang. ketika mengucap laaa, tarik kesadaran diri dari pusar ke kepala. lalu saat kata ilaaha, hembuskan kesadaran diri dari kepala ke arah kanan. terakhir pada kata illallah, hembuskan ke arah kanan). Lain halnya dengan Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi, beliau memilih dzikir sirri (dzikir mengucapkan lafazh Allah dalam hati, selaras ketukan detak jantung, seirama denyut nadi). sedangkan Mawalna Jalaluddin ar-Rumi memilih berdzikir dengan mendengarkan musik sambil menari berputar-putar sebagaimana putaran orang thawaf mengelilingi ka'bah, elektron yang mengitari ini atom, bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari bersama bintang-bintang galaksi lainnya berputar mengelilingi pusat tata surya. Yang kesemuanya bergerak atas kehendak-Nya.
Setelah berhasil memasuki kamar diri, maka tutuplah pintu. Tutuplah semua panca inderamu. Karena kata pepatah “jika salah satu indera tak berfungsi maka fungsi indera yang lain akan menguat.” ex: lumba-lumba dan kelelawar yang rabun matanya namun tajam suara dan pendengarannya. nah, apabila kita menon-aktifkan kelima indera kita, maka indera yang tersembunyi akan menguat.
Bayangkan diri kita tak dapat melihat, mendengar, mencium dan merasa. Tidak tahu mana depan-belakang, kiri-kanan, atas-bawah, mana timur dan barat. Kita tak tahu ada dimana. Semuanya hampa, fana. Niscaya indera tersembunyi kita akan meronta-ronta mencari Dia. Maka saat itu, diamlah, jangan bicara. lidah ini telah terlalu banyak berdusta. Diamlah. Bukankah Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui setiap isi hati kita?

:: Mawlana Rumi berkata "aku mencari Tuhan di antara orang-orang Kristen dan salibnya, tapi tak kutemukan Dia. Aku pergi ke kuil-kuil kuno pemujaan berhala, tak ada jejak-Nya disana. Aku masuki gua hira, tapi Tuhan belum juga kutemukan. Kudaki puncak gunung Kaukasus, yang kutemui hanya sarang burung Anqa'. Lalu kualihkan pencarianku ke Ka'bah, bahkan Tuhan juga tak di sana. berpindah ke filsafat, aku bertanya tentang Dia dari Ibnu Sina, tapi kutemukan Dia tanpa kerangka. Akhirnya aku menengok ke dalam hatiku sendiri, dan disana aku melihat Dia. Dia tidak kemana-mana. ::


*tulisan yang pernah disampaikan di majlis ta'lim Sabilul Hidayah, Mushalla al-Ihsan dan diskusi IKRIMAT (Ikatan Remaja Masjid at-Taqwa) Sekayu.

terima kasih untuk mas "" atas postingan-postingannya tentang panca indera.