Pages

Senin, 25 Februari 2013

Cinta; Dari Perasaan Hingga Keyakinan



Laqad shaara qalbi qaabilan kulla shuurah/ fa mar'an li ghazlan wa diirun li ruhban
Wa baitun li awtsan wa ka'batu Thaif/ wa alwaahu tawrat wa mushhaafu-quran
Adinu bi diinil-hubb anni tawajjahtu/ rakaa'ibahu fal-hubb diinii wa iimanii

Sungguh! Hatiku telah sanggup menerima segala rupa/ ia adalah padang rumput bagi kijang dan biara bagi rahib
Kuil bagi penyembah berhala dan Ka'bah bagi yang bertawaf/ ia adalah lembaran-lembaran taurat sekaligus mushaf Al-Quran
Aku memeluk agama cinta, kuhadapkan dan kuserahkan diriku/ pada perjalanannya, Sungguh! cinta adalah agama dan imanku.
~Ibnu Arabi


Cinta selalu menjadi perbincangan menarik. Ribuan puisi, sajak, buku, lagu, film, selalu tak pernah luput membahas masalah cinta. Tapi ketika ditanya apa itu cinta, banyak orang biasanya terdiam sejenak. Ada yang bingung, dan kalau pun menjawab, jawaban mereka seringkali seputar pengorbanan, kesetiaan, dan hal-hal lain yang terkait dengan perasaan. Bagi orang skeptis, apalagi mereka yang trauma oleh pengkhianatan, perbincangan tentang cinta adalah semacam omong kosong berbau busuk. Bak bunga bangkai tak terbingkai namun orang selalu ingin menjenguk. Setelah melihat film Habibi Ainun, mereka baru percaya cinta sejati itu ada.
Namun sayangnya, cinta sejati dinilai dari sekadar romantisme. Sehingga makna cinta dikebiri menjadi hubungan gombal picisan. Kesetiaan sekarang menjadi satu-satunya kata kunci dalam mengartikan cinta. Nasib cinta kini seperti puisi yang kehilangan permenungan filosofis. Cinta hanya dirasakan tak pernah sampai menjadi keyakinan.

Cinta dan Agama

Setiap agama membawa ajaran tentang cinta. Agama kristen misalnya yang seringkali menggunakan jargon cinta kasih. Konsep ini mendominasi semua ajaran agamanya. Yang paing masyhur adalah ungkapan “kalau kamu ditampar pipi kirimu, berikan pipi kananmu.” Atau dalam kisah orang yang tertangkap berzina kemudian diajukan kepada Yesus agar dihukum rajam. Apa kata Yesus? Bagi yang merasa tidak punya dosa, silahkan melempar duluan. Makanya banyak sekali missionaris yang menyebarkan agamanya melalui pelayanan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.
Dalam agama Budha cinta diyakini secara universal kepada seluruh ciptaan Tuhan. Artinya cinta kita kepada hewan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya harus sama dengan cinta kita kepada sesama manusia. Bahkan tidak boleh mencintai seseorang lebih dari cintanya kepada yang lain. Kalau cintamu terpenjara hanya pada satu sosok makhluk saja, maka ia menjadi hijab untuk mencapai pencerahan. Keyakinan ini berkaitan dengan hukum karma dan reinkarnasi dalam kepercayaan mereka. Makanya para biksu dilarang makan daging. Jangankan memakan, membunuh hewan saja tidak boleh. Bisa jadi hewan yang kita bunuh dahulu adalah saudara kita di kehidupan sebelumnya.
Islam sendiri mempunyai slogan terkenal, rahmatan lil-‘aalamiin yang dikutip dari ayat al-qur’an wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) (QS. 21: 107). Kata rahm mempunyai makna yang lebih luas dari cinta yang lumrah kita pahami. Biasanya ia diartikan kasih sayang. Konsep rahmatan lil-‘alamin ini berbeda dengan cinta universal dalam agama Budha. Porsi cinta tidak harus sama, tapi harus terintegralkan dalam dasar cinta kepada Tuhan.

Cinta dalam Sufisme

Membincang cinta dalam agama Islam akan lebih menarik jika kita menilik konsep cinta dalam sufisme. Konsep cinta dalam tasawuf dipopulerkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah. Menurutnya hubungan ideal antara hamba dan Tuhannya adalah seperti pencinta dan kekasihnya. Kamu jangan beribadah karena menginginkan surga atau takut siksa neraka. Beribadahlah karena murni cintamu kepada pemilik keduanya. Bahkan dalam sebuah riwayat, Rabi’ah pernah berdoa;

Wahai Tuhanku,
Bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat di surga, maka tutuplah pintu surga selamanya bagiku
Tetapi apabila daku menyembah-Mu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap keindahan-Mu yang abadi.

Kemudian konsep cinta dalam tasawuf berkembang setelahnya. Muncul para sufi seperti al-Hallaj dengan hulul-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya, Ibnu Arabi dengan wihdatul wujud-nya, Jalaluddin Rumi dengan kosmologi cintanya. Mereka mengenalkan konsep cinta secara lebih filosofis. Secara  global, cinta yang mereka konsepsikan bisa dibilang hampir mirip. Hanya terdapat perbedaan pada  penggunaan istilah dan masalah-masalahl detilnya.
Yang menarik dari konsep mereka adalah cinta tidak lagi difahami sebagai pengorbanan. Cinta bukan lagi tentang romantisme picisan. Cinta adalah segala tentang peniadaan diri untuk “menyatu” dengan sang kekasih. Tidak ada lagi dualitas antara kau dan aku. Karena hubungan antara dua entitas adalah transaksi, bukan cinta sejati. Tidak ada lagi separuh kau dan aku, karena segala aku telah luruh melebur kedalam seluruh kamu. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ungkapan mereka yang terkenal. Al-Hallaj memproklamirkan "ana al-haqq" (akulah Sang Maha Kebenaran, Abu Yazid berseru, “subhaani u’buduuni” (maha suci Aku, sembahlah Aku). Ibnu Arabi bersenandung dalam syairnya, “fama nazhrat ‘ainayya ila ghairi wajhihi/ wama sami’at udzunayya siwaa kalaamihi” (maka kedua mataku tidak memandang selain wajah-Nya/ dan kedua telingaku tidak mendengar kecuali ucapan-Nya).
Semua ungkapan ini rentan untuk disalah-fahami. Bagi mereka yang menelan mentah-mentah akan menganggap para tokoh sufi itu telah kurang ajar bahkan murtad sebagaimana Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Ada pula yang mencurigai sebagai paham inkarnasi seperti ajaran kristiani tentang avatar Tuhan yang menitis kepada Yesus Kristus. Namun Jalaluddin Rumi punya pemahaman yang menarik mengenai sathahat-sathahat sufistik tersebut. Menurutnya ungkapan tersebut adalah puncak kerendah-hatian seorang hamba. Mereka telah meniadakan keakuannya. Di sana tak ada lagi dua entitas; aku dan Allah. Jika masih ada dualitas, berarti ia masih menonjolkan keakuannya. Sedangkan mereka telah meniadakan diri dan memasrahkannya kepada Sang Kekasih. Dengan penuh kesadaran mereka mengakui bahwa tiada wujud sejati selain Allah. Aku dengan segala eksistensiku adalah tiada. Aku bukan apa-apa.
Filosofi cinta mereka ternyata juga mempengaruhi beberapa penyair kontemporer. Taufiq Ismail misalnya yang menterjemahkan puisi cinta Rabi’ah. Dia juga menulis lirik lagu “jika surga dan neraka tak pernah ada” yang dinyanyikan oleh Chrisye dan Ahmad Dhani. Kita juga bisa menemukan filosofi Ibnu Arabi dalam penggalan sajak “Satu” Sutardji Calzoum Bachrie di bawah ini

kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminku.
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku.”

Jika kita mendengar lagu “larut” dan “satu”-nya grup band Dewa, melihat video klip “permintaan hati” dan “senyumanmu”-nya Letto, disana pun kita bisa menemukan nuansa cinta sufistik terasa kental sekali. Dalam dua lagunya itu, Ahmad Dhani cenderung memakai diksi yang banyak diambil dari konsep hulul-nya al-Hallaj. Sedangkan dalam lirik permintaan hati letto lebih bernuansa wihdatul wujud Ibnu Arabi dan menggunakan gaya cinta Rumi dalam lagu senyumanmu.

Cinta dan Keseimbangan Alam

Di antara para tokoh sufi tersebut, yang paling populer pemikirannya tentang cinta adalah Jalaluddin Rumi. Bahkan pasca tragedi WTC, orang barat banyak yang tertarik mempelajari Islam, dan Rumi diklaim sebagai duta Islam di dunia barat. Mereka terkesan dengan syair-syair dan pemikirannya tentang cinta sehingga merubah prejudies/ prasangka mereka tentang Islam.
Konsepnya tentang cinta berkaitan erat dengan kosmologi. Menurutnya cinta adalah yang menjadi dasar segala ciptaan. Cinta mengada mendahului rasionalitas dan hukum. Untuk lebih memasuki teori cinta Rumi, saya akan ajukan beberapa pertanyaan. Apa yang membuat sebuah benda bergerak? Dalam fisika kita akan menemukan jawabannya: Gaya. Apa inti gaya itu? Tarikan dan dorongan. Jika kita membuka pelajaran fisika salah satu macam gaya adalah gravitasi (daya tarik planet). Kalau kita memakai teori cinta Rumi, hal itu menjadi terbalik, karena gravitasi lah yang menyebabkan keseimbangan gerak benda. Semua benda di sekitar kita punya potensi gravitasi, namun ia terkendali oleh daya gravitasi yang lebih besar yakni; bumi. Gerak bumi pun terkendali oleh daya gravitasi matahari. Matahari terkendali oleh gravitasi pusat galaksi. Dan semua galaksi di cakrawala semesta ini pasti bergerak dalam kendali gravitasi yang Maha Kuat (al-Qawiyyu). Apa inti gravitasi? Daya tarik. Itu dia cinta; tarikan. Jadi, seluruh semesta ini dijadikan Tuhan berdasarkan tarikan cinta dari Dzat yang Maha Mencintai. Fenomena ini sesuai dengan hadits Qudsi, kuntu kanzan makhfiyan fa-ahbabtu an u’arrifa. Dahulu Aku adalah harta tersembunyi, lalu aku berhasrat (cinta) untuk dikenali.
Berdasarkan cinta Allah ini, terpancarlah nur muhammad atau haqiqatul muhammadiyyah menurut isltilah al-Hallaj. Sedangkan dalam filasafat faidh (emanasi), dinamakan akal pertama. Kalau teori bigbang benar, bisa jadi itulah manifestasi awal nur muhammad. Maka hadits qudsi “lawlaaka lawlaaka lammaa khalaqtul-aflaak” (kalau tidak ada kamu, kalau tidak karena kamu (Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta), dapat kita temukan relevansinya disini.
Pada nur muhammad inilah tercermin segala sifat Tuhan secara sempurna. Akhirnya makhluk berkembang menjadi banyak, dan sifat-sifat Tuhan pun terbagi sesuai keterbatasan masing-masing. Karena sifat Tuhan yang tercermin dalam nur muhammad telah terpecah dan terbagi ke berbagai bentuk, harus ada satu quthb (poros) yang mewakili keutuhan atribut nur muhammad sebagai penyeimbang kelangsungan hidup alam semesta. Maka Allah mewujudkan esensi nur muhammad ke dalam diri Adam sebagai khalifatullah. Khalifatullah berperan sebagai “wakil” pengganti Allah yang bertugas menjaga keseimbangan dunia. Dia harus menjadi adi manusia, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jili menyebutnya al-Insan al-Kamil. Manusia yang mampu menyerap dan memanifestasikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupannya. Nur muhammad terus berpindah dari Adam ke keturunannya. Dan Insan Kamil yang paling sempurna menyerap dan mencerminkan sifat-sifat Tuhan adalah Nabi Muhammad Saw.
Bila datang suatu masa dimana tidak ada satu pun manusia yang mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan, maka terjadilah kekacauan di antara tarikan-tarikan. Karena setiap tarikan di dunia telah kehilangan kutubnya. Semua tarikan itu, Rumi menyebutnya cinta. Bilamana cinta telah sirna maka kiamat sudah tiba waktunya.

Yawma yafirrul-mar’u min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shahibatihi wa baniihi (Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya). (QS. 80: 34-36)
Yawma tarawnahaa tadzhalu kullu murdhi’atin ‘amma ardha’at wa tadha’u kullu dzaati hamlin hamlahaa (Pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil). (QS. 22: 2)
Yawma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuuts, wa takuunul-jibaalu kal-‘ihnil-manfuusy (Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan). (QS. 101: 4-5)
Idzas-samaa`u-(i)nfatharat, wa idzal-kawaakibu-(i)ntasyarat, wa idzal-bihaaru fujjirat (Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap). (QS. 82: 1-3)

Bukankah semua itu menunjukkan tarikan-tarikan yang telah kehilangan kutubnya? Bukan-kah semua itu merupakan gambaran bahwa cinta sudah lenyap dari hati setiap makhluk-Nya?



This is love: to fly toward a secret sky, to cause a hundred veils to fall each moment. First to let go of life. Finally, to take a step without feet.”

“Inilah cinta: terbang di langit rahasia, menyebabkan seratus hijab luruh setiap saat. Pertama membiarkan pergi kehidupan. Akhirnya, menjangkah tanpa kaki.”
                                                                                   ~Mawlana Rumi



Jumat, 08 Februari 2013

Salah Kaprah dalam Membaca Naskah Keagamaan



Naskah-naskah keagamaan, khususnya islam yang menggunakan bahasa arab, seringkali mengalami bias pemahaman yang keliru setelah ditransformasikan ke dalam bahasa kita. Hal ini di sebabkan karena setiap bahasa mempunyai gaya bahasa, stilistika, idiom yang khas. Maka tak mudah untuk menterjemahkannya ke bahasa lain. Misalanya untuk menjawab ucapan terima kasih, dalam bahasa arab memakai kata ‘afwan, bahasa inggris you’re welcome. Kalau diartikan leterleg kan jadi janggal dan wagu. Karena kesulitan inilah akhirnya timbul penafsiran penerjemah dalam memahami teks. Apabila penerjemah memilki kapasitas yang baik dalam menguasai kedua bahasa, maka kemungkinan bias makna akan bisa teratasi.
Berikut ini saya akan mencoba mengurai beberapa contoh kesalah-kaprahan yang terjadi dalam membaca naskah-naskah keagamaan.

Kita mulai dengan contoh yang ringan,
"waladatka ummuka baakiyan wan-naasu hawlaka dhaahika[n]. fajhad linafsika an takuuna idzaa baaku yawma mawtika dhaahikan masrura[n]."
"kamu dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis dan orang-orang disekitarmu tertawa bahagia. maka berjuanglah agar ketika mereka menangis di hari kematianmu, kamu bisa tersenyum bahagia."

Konon kutipan itu berasal dari syair Arab, ada juga yang mengatakan dari sahabat Ali. Tidak ada yang salah pada ungkapan diatas. tapi seringkali kita memahaminya keliru. Selama ini kita hanya fokus pada kata "mereka menangis di hari kematianmu," sehingga kita sibuk untuk membuat orang terkesan dengan kita. Kita ingin dikenang setelah meninggal. Menurut saya, ini adalah heroisme kekanak-kanakan. Maka semua yang kita kerjakan adalah palsu. Kita berbuat karena ingin dilihat, tidak murni dari lubuk hati. Padahal lafazh “idzaa baaku yawma mawtika” adalah menceritakan keadaan ketika kita mati. Sebetulnya yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat orang-orang merasa kehilangan setelah kita tiada. Namun bagaimana kita bisa puas terhadap kehidupan yang telah kita jalani sehingga menghadapi maut dengan senang hati, tanpa perlu memusingkan bagaimana orang menilai yang telah kita perbuat. Mau banyak yang layat silahkan, sedikit pun juga tak mengapa. Biarlah Allah saja mengetahui dan membalas segala amal perbuatan kita.

Contoh kedua, hadits tentang memilih wanita yang akan dinikahi:
 تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَات الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ2
“wanita dinikahi karena 4 hal, hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah wanita yang beragama niscaya kamu akan beruntung.”

Banyak orang salah kaprah membaca hadits ini. Mereka mengira perintah rasul dalam mencari jodoh adalah yang memenuhi keempat syarat tersebut. Jika tidak terpenuhi semuanya, baru yang penting agamanya. Padahal kalau kita cermati, rasul menggunakan kata berita pada awal hadits tersebut. Kata “tunkahu al mar`atu” adalah fi’il madhi bina’ majhul, kata kerja pasif yang menunjukkan masa lampau (past tense). Rasul menceritakan bahwa biasanya wanita itu dipilih menjadi pasangan hidup adalah karena 4 faktor (hartanya, nasab keturunannya, kecantikannya, agamanya). Nah, baru setelah menjelaskan berita itu, perintah utama rasul adalah “fazhfar bidzatid-dien” maka pilihlah wanita yang beragama.
Salah kaprah kedua dalam memahami hadits ini adalah tentang kata “dien.” Banyak orang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bidzatid-dien itu yang pintar dalam masalah agama. Sehingga mereka beramai-ramai mencari pasangan yang pintar membaca al-qur’an, rajin ke masjid, faham ilmu fiqh, lulusan pesantren. Inilah ironi bahwa agama difahami hanya sebatas ritual dan ilmu pengetahuan. Padahal dien/ agama  adalah sistem kehidupan yang dituntun oleh Tuhan melalui Nabi-Nya. Maka bidzatid-dien, menurut saya tidak harus pandai ilmu agama, tidak mesti yang lulusan pesantren, tapi dia yang benar-benar mengikatkan diri pada Tuhan-Nya.

Ayat al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

Berdasarkan ayat ini orang banyak beranggapan bahwa kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Kesalah-kaprahan ini sudah agak fatal. karena menyangkut tujuan hidup manusia. Padahal dalam masalah akhirat Allah menggunakan kata perintah, “wabtghi” carilah, sedangkan untuk masalah dunia Dia mengatakan “jangan dilupakan.” Kalau orang tua anda berkata "bekerja keraslah, atau belajarlah, tapi jangan lupa istirahat," apakah itu berarti bekerja/ belajar porsinya seimbang dengan istirahatnya?
Bahkan ada seorang pengusaha, tokoh nasional, yang beberapa bulan lalu terus diiklankan bukunya, dia bilang kalau rakyat indonesia ini rata-rata miskin adalah salah para ulama dan tokoh agama yang selalu menganjurkan terus mencari akhirat mengesampingkan dunia. Menurut saya ini ucapan orang yang belum paham apa itu dunia-akhirat, malah menyalahkan orang lain. Masalah kemiskinan rakyat indonesia itu bukan salah kyai atau pemuka agama, rakyat miskin karena dimiskinkan. Kebijakan pemerintahan yang selalu menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas kakap tetapi merugikan rakyat jelata.

Jadi bisa saya simpulkan beberapa contoh kesalah-kaprahan dalam membaca teks keagamaan adalah
1.      Kerancuan dalam membedakan mana kalimat berita atau perintah
2.      Reduksi makna atas kata yang sebenarnya memiliki arti lebih luas
3.      Ketidak-tahuan mana yang menjadi prioritas
4.      Silahkan tambahkan dan teruskan sendiri

Beberapa kesalah-kaprahan ini bisa menjadi berbahaya ketika hal tersebut diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan Tuhan. Apalagi kalau dia hanya mendengar dan membaca informasi itu tanpa berfikir kembali. Maka apa yang sebenarnya hasil pemikiran terhadap teks keagamaan menjadi dogma yang harus diyakini kebenarannya. Sehingga barang siapa yang bebeda pendapat dianggap telah melawan Tuhan, kafir dan sesat.

Oleh karena itu, mari jangan pernah berhenti belajar

*tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.






Jumat, 01 Februari 2013

Kredo Cinta



Cinta adalah tanah yang membuatmu dapat tegak berpijak
Cinta adalah angin yang bertiup menyapamu setiap hari
Cinta adalah rintik hujan yang menarikan daun-daun dan kembang-kembang
Cinta adalah malam yang memeluk resah-gelisahmu
Cinta adalah matahari yang masih terbit kembali

Cinta adalah yang menuntun kepakan sayap burung-burung

Cinta adalah yang menjaga keseimbangan roda-roda sepeda yang berputar
Cinta adalah yang menyulam tinta menjadi kata
Cinta adalah hubungan rahasia anatara senar gitar dan getaran udara
Cinta adalah kulit pisang yang kau pendam
Cinta adalah seteguk air yang kau berikan pada anjing
Cinta adalah telapak tangan ibumu yang mengapal
                                                    yang sesekali juga mengepal.

Cinta adalah selaput dara yang sedia berdarah

Cinta adalah penyebab bapak mencuri sepasang sepatu untuk anaknya
Cinta adalah anak panah yang melesak membelah kebisuan udara
Cinta adalah gemrincing pedang dan tombak
Cinta adalah darah yang mengalir dalam pertempuran
Cinta adalah air mata di setiap perpisahan.

Cinta adalah yang membuat partikel-partikel berpindah tempat

                    yang membuat bau menjadi harum atau busuk
Cinta adalah tarikan antara proton dan elektron
Cinta adalah pusaran bulan, bumi dan matahari
Cinta adalah gravitasi semesta
Cinta adalah yang membelah kehampaan menjadi beruang
Cinta adalah yang mendetakkan waktu sehingga ada lama dan baru
Cinta adalah dasar dari segala penciptaan
Cinta adalah alasan kenapa Tuhan mengada
Cinta adalah aku

12012013