Pages

Kamis, 28 Januari 2016

Alangkah Lucunya Tuhan Ini

Mungkin terbersit dalam benak sebagian anda bagaimana mungkin atribut lucu dinisbatkan kepada Tuhan? Tidak pernah ada baik asmaul-husna maupun sifat wajib Tuhan kok yang Maha Jenaka. Sebentar-sebentar, kalau saya bilang Tuhan Maha Lucu jangan buru-buru marah dulu, terus menuduh saya melecehkan Tuhan. Emang saya sedang mlorotin roknya Tuhan? aya-aya wae sampean ini. Memahami humor (Tuhan) memang butuh kepekaan bukan kepekokan. Makanya jangan pekok-pekok amat lah. kasihanilah saya kalau sampai ada yang bertanya "adakah humor yang lebih garing dari tulisanmu ini?" kan saya sungkan kalau harus jawab "yang lebih pekok banyak." na'udzubillah, jadi ga tawadhu' kan? Argumen saya begini: bagaimana mungkin Tuhan sanggup menciptakan pelawak kalau Dia sendiri tidak bisa melucu? apa ga tambah lucu? lalu siapa yang memberi ilham kelucuan di pikiran para pelawak itu? setan? baiklah anggap saja setan yang membisikkan ide-ide kontol itu? astaghfirullahal'azhim, maksud saya konyol. mohon maaf efek dari latah pelisetan, halah meneh, plesetan maksudnya. Kembali ke laptop, terus setan dapet ide itu dari mana? mikir sendiri? buat ilmu sendiri? adakah di dunia ini sesuatu yang di luar ilmu (pengetahuan) Tuhan? kalau sampean masih ngeyel, masa Tuhan nglucu? silahkan sampean pikir sendiri, adakah sesuatu yang tidak berasal dariNya? jangan maido saya kalau sampai mbledos ndasmu belum juga ketemu. Benar, Tuhan tidak pernah guyonan dalam menciptakan sesuatu. sehingga semua ciptaanNya pasti ada fungsi dan manfaatnya, bagi yang mau memikirkan dan menelitinya. Tuhan pun tetap konsisten terhadap apa saja yang diputuskannya. Tidak terkecuali humor. Tuhan pasti juga serius ketika berhumor, tidak main-main. Humor Tuhan merupakan salah satu manifestasi rahman rahimNya. Saya menafsirkan humor Tuhan sebagai wujud kemesraan antara Khaliq dengan makhlukNya. beberapa orang dapat mabuk spiritual gara-gara meneguk nilai-nilai uluhiyah yang mengejawantah dalam kehidupan. Misalnya, melihat anjing yang menyelamatkan bayi manusia, kita bisa sesenggukan. Namun, sepertinya untuk menemukan "kemanusiaan" Tuhan butuh kepekaan yang lebih daripada menemukan percikan keilahian dalam ciptaanNya. Bukankah alangkah "manusiawi"nya Dia ketika "tertawa" menyaksikan seseorang yang bingung mendapati orang yang membunuhnya masuk surga sebagaimana dia yang dibunuh. saya membayangkan Tuhan menjawab (untuk tidak mengatakan "kalau saya yang jadi tuhan) "selera humormu kurang kang, mungkin kamu kebanyakan baca situs-situs garis lurus. Setelah membunuhmu dia bertobat kang. Kalau Tidak Kuterima tobatnya apa bedanya Aku dengan mantan presiden yang ga sembuh-sembuh jutakan itu? Personifikasi (entah bagaimana membahasakannya) yang dinisbatkan kepada Tuhan sengaja saya kasih tanda kutip. nanti kalau tanda kutipnya dibuang saya dituduh mujassimat? padahal di naskah haditsnya yang berbahasa arab tidak ada tanda kutipnya. rempong ya kalau nurutin penilaian orang. jangan-jangan al-Hallaj dipengggal gara-gara tak pernah pake tanda kutip? Sebenarnya bagi orang yang agak peka saja, tanpa tanda kutip pun mestinya sudah paham. misalnya Tuhan tertawa, jangan pamer pekok dengan berlogika berarti untuk tertawa Tuhan harus punya mulut sebagaimana saya punya cangkem. demikian pula jangan sok tahu dengan mena'wilkan seenaknya lalu nyocot bahwa Tuhan pasti tidak punya mulut. Kecuali sampean minimal pernah besanan sama Gusti Allah. Mungkin sebab cangkem-cinangkem berbalas cocot-cinocot inilah ilmu teologi juga dinamakan ilmu kalam. wallahu a'lam. ya Allah, saya memilih itba' Nabi Yesus aja "ta'lamu maa fii nafsii wa laa a'lamu maa fii nafsik." Bagaimana mungkin utek saya yang cupet ini memahami Dia yang Maha Unlimited. Terserah Dia lah mau tertawa pake mulut atau tidak, wong Dia Maha Kuasa. Semau-mau Tuhan lah. Analogi bodo saya: Dia bikin manusia melalui perkenthuan sudah biasa, tanpa ada kontak kelamin pun bagiNya mudah-mudah saja. Oh ya kalau sampean menagih, "sekarang mana contoh lucunya tuhan? mana? dari tadi mumpluk rak jelas." sabarlah kawan, saya tidak mau meremehkan nalar cerdas panjenengan semua. lagi pula jika saya beri contoh humornya tuhan, nanti ada yang nuding berarti saya sudah bisa menemukan sisi kemanusiaan Tuhan yang katanya lebih sulit dicerna itu? wah siapa saya? modar lah saya kalau ngaku-ngaku bisa. saya ceritakan saja kisah yang mengilhami tulisan ini. di sepertiga terakhir malam pernah Rasulullah saw keluar menuju masjid. disana ada beberapa sahabat yang shalat malam. Diantaranya Abu bakar , Ali , Mu'adz bin Jabal, Bilal bin Rabbah radhiyallahu 'anhum. Mereka menangis tersedu hingga tak mampu melanjutkan ayat yang dibaca dalam shalatnya. Rasulullah saw pun terharu hingga ikut menitikkan air mata. Esok harinya mereka ditanya satu-satu oleh Rasulullah saw, apa gerangan yang membuat mereka menangis sampai tak sanggup melanjutkan bacaan ayatnya. sahabat Abu Bakar menjawab "ketika membaca ayat: إِنَّاللَّه َاشْتَرَى مِن َالْمُؤْمِنِين َأَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَن َّلَهُمُ الْجَنة "sesunguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka." bagaimana aku tidak menangis? padahal Allah telah membeli jiwa para hamba. Jika hamba itu cacat, pasti dia tidak akan dibeli. Atau jika tampak cacatnya setelah dibeli pastilah akan dikembalikan. Jika ternyata aku cacat ketika dibeli, atau ketahuan cacat setelah dibeli maka tentulah aku akan masuk ke neraka, karena itulah aku menangis.” lanjut Abu Bakar. Entah mengapa justru sense of humor saya menangkap sinyal kelucuan di ayat yang membuat sahabat Abu Bakar menangis ini. "Ya Allah maafkan hamba kalau belum bisa menangis sebagaimana sayyidina Abu Bakar. bukannya tanpa alasan ya Allah. Panjenengan niku dos pundi, nggawe gawe dewe dituku tuku dewe? hahaha." Tiba-tiba mak jleg, saya merinding walau belum sampai mbrambang. "Ya Allah ampuni hamba, yok apa kula niki, hamba ini sudah hina, jangan terlalu Engkau tambah hina. sebegitu pelitkah hamba kok sampai panjenengan kamanungsan membeli jiwa hamba? padahal tanpa mesti membeli, Panjenengan berhak memerintah kami untuk begitu dan begini. ya Allah, betapa Engkau Maha Dermawan, sedangkan hamba alangkah sangat kurangajar..."