Mungkin terbersit dalam benak sebagian anda bagaimana mungkin atribut lucu dinisbatkan kepada Tuhan? Tidak pernah ada baik asmaul-husna maupun sifat wajib Tuhan kok yang Maha Jenaka. Sebentar-sebentar, kalau saya bilang Tuhan Maha Lucu jangan buru-buru marah dulu, terus menuduh saya melecehkan Tuhan. Emang saya sedang mlorotin roknya Tuhan? aya-aya wae sampean ini. Memahami humor (Tuhan) memang butuh kepekaan bukan kepekokan. Makanya jangan pekok-pekok amat lah. kasihanilah saya kalau sampai ada yang bertanya "adakah humor yang lebih garing dari tulisanmu ini?" kan saya sungkan kalau harus jawab "yang lebih pekok banyak." na'udzubillah, jadi ga tawadhu' kan?
Argumen saya begini: bagaimana mungkin Tuhan sanggup menciptakan pelawak kalau Dia sendiri tidak bisa melucu? apa ga tambah lucu? lalu siapa yang memberi ilham kelucuan di pikiran para pelawak itu? setan? baiklah anggap saja setan yang membisikkan ide-ide kontol itu? astaghfirullahal'azhim, maksud saya konyol. mohon maaf efek dari latah pelisetan, halah meneh, plesetan maksudnya. Kembali ke laptop, terus setan dapet ide itu dari mana? mikir sendiri? buat ilmu sendiri? adakah di dunia ini sesuatu yang di luar ilmu (pengetahuan) Tuhan? kalau sampean masih ngeyel, masa Tuhan nglucu? silahkan sampean pikir sendiri, adakah sesuatu yang tidak berasal dariNya? jangan maido saya kalau sampai mbledos ndasmu belum juga ketemu.
Benar, Tuhan tidak pernah guyonan dalam menciptakan sesuatu. sehingga semua ciptaanNya pasti ada fungsi dan manfaatnya, bagi yang mau memikirkan dan menelitinya. Tuhan pun tetap konsisten terhadap apa saja yang diputuskannya. Tidak terkecuali humor. Tuhan pasti juga serius ketika berhumor, tidak main-main. Humor Tuhan merupakan salah satu manifestasi rahman rahimNya.
Saya menafsirkan humor Tuhan sebagai wujud kemesraan antara Khaliq dengan makhlukNya. beberapa orang dapat mabuk spiritual gara-gara meneguk nilai-nilai uluhiyah yang mengejawantah dalam kehidupan. Misalnya, melihat anjing yang menyelamatkan bayi manusia, kita bisa sesenggukan.
Namun, sepertinya untuk menemukan "kemanusiaan" Tuhan butuh kepekaan yang lebih daripada menemukan percikan keilahian dalam ciptaanNya. Bukankah alangkah "manusiawi"nya Dia ketika "tertawa" menyaksikan seseorang yang bingung mendapati orang yang membunuhnya masuk surga sebagaimana dia yang dibunuh. saya membayangkan Tuhan menjawab (untuk tidak mengatakan "kalau saya yang jadi tuhan) "selera humormu kurang kang, mungkin kamu kebanyakan baca situs-situs garis lurus. Setelah membunuhmu dia bertobat kang. Kalau Tidak Kuterima tobatnya apa bedanya Aku dengan mantan presiden yang ga sembuh-sembuh jutakan itu?
Personifikasi (entah bagaimana membahasakannya) yang dinisbatkan kepada Tuhan sengaja saya kasih tanda kutip. nanti kalau tanda kutipnya dibuang saya dituduh mujassimat? padahal di naskah haditsnya yang berbahasa arab tidak ada tanda kutipnya. rempong ya kalau nurutin penilaian orang. jangan-jangan al-Hallaj dipengggal gara-gara tak pernah pake tanda kutip?
Sebenarnya bagi orang yang agak peka saja, tanpa tanda kutip pun mestinya sudah paham. misalnya Tuhan tertawa, jangan pamer pekok dengan berlogika berarti untuk tertawa Tuhan harus punya mulut sebagaimana saya punya cangkem. demikian pula jangan sok tahu dengan mena'wilkan seenaknya lalu nyocot bahwa Tuhan pasti tidak punya mulut. Kecuali sampean minimal pernah besanan sama Gusti Allah.
Mungkin sebab cangkem-cinangkem berbalas cocot-cinocot inilah ilmu teologi juga dinamakan ilmu kalam. wallahu a'lam. ya Allah, saya memilih itba' Nabi Yesus aja "ta'lamu maa fii nafsii wa laa a'lamu maa fii nafsik." Bagaimana mungkin utek saya yang cupet ini memahami Dia yang Maha Unlimited. Terserah Dia lah mau tertawa pake mulut atau tidak, wong Dia Maha Kuasa. Semau-mau Tuhan lah. Analogi bodo saya: Dia bikin manusia melalui perkenthuan sudah biasa, tanpa ada kontak kelamin pun bagiNya mudah-mudah saja.
Oh ya kalau sampean menagih, "sekarang mana contoh lucunya tuhan? mana? dari tadi mumpluk rak jelas." sabarlah kawan, saya tidak mau meremehkan nalar cerdas panjenengan semua. lagi pula jika saya beri contoh humornya tuhan, nanti ada yang nuding berarti saya sudah bisa menemukan sisi kemanusiaan Tuhan yang katanya lebih sulit dicerna itu? wah siapa saya? modar lah saya kalau ngaku-ngaku bisa.
saya ceritakan saja kisah yang mengilhami tulisan ini. di sepertiga terakhir malam pernah Rasulullah saw keluar menuju masjid. disana ada beberapa sahabat yang shalat malam. Diantaranya Abu bakar , Ali , Mu'adz bin Jabal, Bilal bin Rabbah radhiyallahu 'anhum. Mereka menangis tersedu hingga tak mampu melanjutkan ayat yang dibaca dalam shalatnya. Rasulullah saw pun terharu hingga ikut menitikkan air mata.
Esok harinya mereka ditanya satu-satu oleh Rasulullah saw, apa gerangan yang membuat mereka menangis sampai tak sanggup melanjutkan bacaan ayatnya. sahabat Abu Bakar menjawab "ketika membaca ayat:
إِنَّاللَّه َاشْتَرَى مِن َالْمُؤْمِنِين َأَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَن َّلَهُمُ الْجَنة
"sesunguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka."
bagaimana aku tidak menangis? padahal Allah telah membeli jiwa para hamba. Jika hamba itu cacat, pasti dia tidak akan dibeli. Atau jika tampak cacatnya setelah dibeli pastilah akan dikembalikan. Jika ternyata aku cacat ketika dibeli, atau ketahuan cacat setelah dibeli maka tentulah aku akan masuk ke neraka, karena itulah aku menangis.” lanjut Abu Bakar.
Entah mengapa justru sense of humor saya menangkap sinyal kelucuan di ayat yang membuat sahabat Abu Bakar menangis ini. "Ya Allah maafkan hamba kalau belum bisa menangis sebagaimana sayyidina Abu Bakar. bukannya tanpa alasan ya Allah. Panjenengan niku dos pundi, nggawe gawe dewe dituku tuku dewe? hahaha."
Tiba-tiba mak jleg, saya merinding walau belum sampai mbrambang. "Ya Allah ampuni hamba, yok apa kula niki, hamba ini sudah hina, jangan terlalu Engkau tambah hina. sebegitu pelitkah hamba kok sampai panjenengan kamanungsan membeli jiwa hamba? padahal tanpa mesti membeli, Panjenengan berhak memerintah kami untuk begitu dan begini. ya Allah, betapa Engkau Maha Dermawan, sedangkan hamba alangkah sangat kurangajar..."
tirta nirwana
setiap yang mewujud mempunyai perannya tersendiri dalam kesatuan universal
Kamis, 28 Januari 2016
Sabtu, 26 Desember 2015
MULTIMEDIA UNTUK MAPEL AGAMA
Banyaknya kasus tawuran antar pelajar, tindakan asusila, dan maraknya
peredaran narkoba di lingkungan sekolah membuat prihatin pemerintah.
Keprihatinan tersebut diwujudkan dengan menambah alokasi waktu untuk mata
pelajaran agama. Dari dua jam setiap minggu menjadi tiga jam dalam sepekan.
Dengan demikian, penambahan jam mapel agama diharapkan mampu mendandani
moral generasi muda.
Kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri
bagi para guru agama. Dengan bertambahnya alokasi jam dan (otomatis) gaji,
sanggupkah mereka mempertanggujawabkannya? Tolok ukur keberhasilan mereka tidak
lagi dilihat dari ketuntasan nilai akademik anak didiknya semata. Mereka juga
dituntut bertanggung jawab secara moral atas perilaku pelajar yang diasuhnya.
Sayangnya materi agama yang diajarkan sampai sekarang tak beranjak
jauh dari tema-tema semacam cara bersuci, sembahyang, dan membaca kitab suci.
Kurikulum mata pelajaran agama di sekolah selama ini masih didominasi oleh
materi tentang ritual-ritual keagamaan. Disamping materi pelajaran yang terus
diulang-ulang, penyampaian materi juga masih berkutat pada ceramah dan praktek
ibadah.
Fenomena ini semakin membuat mapel agama semakin menjemukan. Ditambah
dampak teknologi yang membawa banjir informasi yang mampu diakses oleh siapa
pun. Generasi muda dihadapkan oleh berbagai sajian menu yang tak pandang bulu. Kini
kreatifitas guru agama sedang benar-benar diuji. Mampukah mereka menumbuhkan
kembali pesona agama yang kian pudar? Sanggupkah mereka menanamkan nilai-nilai
luhur agama ke peserta didik mereka?
Informasi dan Teknologi
Agama dan sains saat ini memang sedang dibenturkan. Disinilah kepekaan
terhadap perkembangan informasi dan teknologi harus dikuasai oleh tenaga
pendidik. Sehingga prejudies sains versus agama dapat dipatahkan.
Dan agama mampu membuktikan jargonnya shalihun likulli zaman wa makan, selalu
relevan di berbagai masa dan tempat. Guru agama harus up to date untuk
dapat mengambil manfaat melalui perkembangan tekologi. Salah satunya adalah
memberikan tugas berupa pembuatan video (film) pendek bertema agama.
Pembuatan video ini tergolong mudah. Para peserta didik diminta untuk
menguasai materi yang akan dibuat. Mereka bisa berdiskusi bersama dan tentunya
didampingi oleh arahan guru agar materi sesuai dengan target yang diharapkan. Pengambilan
video dapat menggunakan digital camera atau fitur kamera di gadget yang
kemudian diatur dengan rapi dengan menggunakan software yang tersedia dalam
PC.
Di sini kemampuan peserta didik akan diasah untuk melaksanakan dan
menyampaikan materi dengan baik. Selain materi agama, akan muncul pula pembelajaran
pembentukan karakter (character building) yang sedang digalakkan. Diantaranya
kerjasama antar individu, kekompakan tim, tanggung jawab untuk menjadi icon.
Dengan begitu diharapkan mereka mampu melaksanakan, menerapkan dan menghayati
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil video para siswa-siwi dapat
di-upload ke media-media sosial online seperti youtube
atau facebook. Sehingga manfaat materi dapat disebarluaskan secara
optimal. Diskusi agama pun terus berlanjut, tidak berhenti dan terbatas di
ruang kelas.
Selasa, 01 Desember 2015
Kalau Engkau Marah Padaku, Lalu Mau Apa Aku?
Cobaan apa yang belum pernah dialami Rasululah saw dalam berdakwah? Beliau dihina, disiksa sampai diboikot segala. Ditambah dengan meninggalnya pamanda Abu Thalib dan Khadijah istrinya. Dua orang tercinta yang senantiasa berkorban dan menemaninya.
Masih dalam suasana duka baginda Nabi ditemani budaknya, Zaid bin Haritsah pergi ke Thaif, siapa tahu dakwahnya disambut baik oleh bani Tsaqif. Sesampai di sana Rasulullah saw mendatangi para pemuka suku. Beliau beranggapan dengan tergugahnya hati para tokoh, pengaruh dakwahnya akan lebih signifikan.
Namun yang terjadi jauh panggang daripada api. Alih-alih menerima, justru Rasullah saw dihina, dicacimaki, disuruh agar lekas angkat kaki. Bahkan mereka memprovokasi penduduk untuk mengusir beliau. Baginda Nabi lari dengan dihujani tidak cuma dengan pisuhan bahkan batu sungguhan. Sampai-sampai telapak kaki mulia beliau berdarah membasahi terompahnya. Zaid mati-matian pasang badan menjadi tameng hidup kanjeng Nabi. Bukan main pengorbanannya hingga harus rela kepalanya terkena lemparan mereka. Penduduk Thaif terus meneriaki dan mele mpari keduanya. Hujan makian dan lemparan baru reda setelah beliau berdua masuk kebun milik 'Utbah dan Syaibah, dua anak Rabi'ah.
Jarak kebun itu dari tempat awal beliau dilempari tak kurang dari 5 km. Beliau berdua menempuh jarak itu dengan jalan kaki atau bisa jadi harus merangkak tak hanya sesekali. Dengan tubuh penuh luka, dan entah bagaimana hatinya, di kebun itu beliau berteduh di bawah pohon anggur. Kalau hal ini terjadi pada selain baginda Muhammad, mungkin inilah saat yang tepat untuk sambat dengan mengumpat-umpat. tapi manusia satu ini bukan sembarang manusia. dia laksana berlian di antara bebatuan. memang beliau sambat tapi tanpa mengumpat:
"اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك ، أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك"[ابن هشام 1/ 420]
“Ya Allah, kepadaMu lah aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah tuhan kaum yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau akan menyerahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada musuh yang Engkau kuasakan kepadanya urusanku? asalkan Engkau tidak murka kepadaku, (apapun yang terjadi) aku tidak peduli. sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya WajahMu yang menyinari segala kegelapan, yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menimpakan kemurkaanMu kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Engkau ….!!!"
Beberapa saat kemudian malaikat Jibril turun. dia mengabarkan kalau Kanjeng Nabi mau, Allah sudah menyiapkan malaikat untuk menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif. Pribadi agung ini menjawab dengan doa yang masyhur itu: اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون ya Allah berilah petunjuk pada kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengerti." ---- innallaaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan-naby yaa ayyuhal-ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wasallimuu tasliimaa...
Masih dalam suasana duka baginda Nabi ditemani budaknya, Zaid bin Haritsah pergi ke Thaif, siapa tahu dakwahnya disambut baik oleh bani Tsaqif. Sesampai di sana Rasulullah saw mendatangi para pemuka suku. Beliau beranggapan dengan tergugahnya hati para tokoh, pengaruh dakwahnya akan lebih signifikan.
Namun yang terjadi jauh panggang daripada api. Alih-alih menerima, justru Rasullah saw dihina, dicacimaki, disuruh agar lekas angkat kaki. Bahkan mereka memprovokasi penduduk untuk mengusir beliau. Baginda Nabi lari dengan dihujani tidak cuma dengan pisuhan bahkan batu sungguhan. Sampai-sampai telapak kaki mulia beliau berdarah membasahi terompahnya. Zaid mati-matian pasang badan menjadi tameng hidup kanjeng Nabi. Bukan main pengorbanannya hingga harus rela kepalanya terkena lemparan mereka. Penduduk Thaif terus meneriaki dan mele mpari keduanya. Hujan makian dan lemparan baru reda setelah beliau berdua masuk kebun milik 'Utbah dan Syaibah, dua anak Rabi'ah.
Jarak kebun itu dari tempat awal beliau dilempari tak kurang dari 5 km. Beliau berdua menempuh jarak itu dengan jalan kaki atau bisa jadi harus merangkak tak hanya sesekali. Dengan tubuh penuh luka, dan entah bagaimana hatinya, di kebun itu beliau berteduh di bawah pohon anggur. Kalau hal ini terjadi pada selain baginda Muhammad, mungkin inilah saat yang tepat untuk sambat dengan mengumpat-umpat. tapi manusia satu ini bukan sembarang manusia. dia laksana berlian di antara bebatuan. memang beliau sambat tapi tanpa mengumpat:
"اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك ، أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك"[ابن هشام 1/ 420]
“Ya Allah, kepadaMu lah aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah tuhan kaum yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau akan menyerahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada musuh yang Engkau kuasakan kepadanya urusanku? asalkan Engkau tidak murka kepadaku, (apapun yang terjadi) aku tidak peduli. sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya WajahMu yang menyinari segala kegelapan, yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menimpakan kemurkaanMu kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Engkau ….!!!"
Beberapa saat kemudian malaikat Jibril turun. dia mengabarkan kalau Kanjeng Nabi mau, Allah sudah menyiapkan malaikat untuk menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif. Pribadi agung ini menjawab dengan doa yang masyhur itu: اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون ya Allah berilah petunjuk pada kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengerti." ---- innallaaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan-naby yaa ayyuhal-ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wasallimuu tasliimaa...
Kamis, 02 Juli 2015
Wama Fauqaha
di antara kemeriahan pesta
akulah jam dinding kecil
lirih berdetak tanpa hentak
agar tak membuat berisik musik-musik
kangen padamu sayang adalah mencumbui sunyi
di antara keriuhan kata-kata
akulah airmata dalam hening doa
hasrat harapan yang hingar bingar
harus kuredam dalam diam
aku tidak sedang berkorban, cinta
sebagaimana gula dalam kopi yang kau seduh
bagaimana mungkin bersatu jika menolak luruh
segala derita tiba-tiba sirna
karena cinta adalah anugrah
sungguh semua mendadak indah
betapa sebenarnya aku ini jembut
di antara rambut-rambut
walau cuma sejumput
namun sering kau elus lembut
seperti majnun menciumi dinding-dinding kediaman laila
kerinduan tak mengenal berhala
apa saja mengenaimu kasih
bagiku laksana semesta tasbihSabtu, 27 Juni 2015
Keledai Membaca Al-Qur’an
رُبَّ تَالٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنَهُ
“Banyak orang yang membaca al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an
melaknatnya.”
Dua kali saya mendengar atsar (tapi seringkali
dianggap hadits) yang disandarkan kepada sahabat Anas bin Malik ra. ini
diartikan sebagai pentingnya membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid. Pertama,
saya dengar dari bapak saya setelah mendengar bacaan al-qur’an seorang yang shalat
di mushalla sebuah SPBU. Kedua dari taushiyyah seorang ustadz setelah tadarusan
tadi malam. Akibat pemahaman seperti ini adalah jika membaca al-qur’an tanpa
tajwid bisa-bisa al-qur’an malah melaknat pembacanya. Mungkin maksud mereka
mengartikannya demikian adalah untuk memberi motivasi (walau dengan
menakut-nakuti?) agar orang mau belajar al-qur’an.
Dalam memahami sesuatu, saya lebih suka mengaitkannya
dengan hal lain yang berkaitan. Jadi, setiap teks adalah clue untuk teks
lainnya. Walau dalam menyusun pemahaman mungkin belum sempurna, minimal sebuah
potongan puzzle telah menemukan pasangan terdekatnya. Sehingga kita bisa
melihat gambarnya dengan lebih jelas. Bagi saya, ini menjadi seperti game yang
mengasyikkan.
Arab dan Indonesia itu jauh jaraknya. Bahasa dan dialeknya
pun pasti berbeda. Rasulullah saw. pernah bersabda “saya adalah orang yang
paling fasih melafadzkan huruf dhad (ض).” Ini menjadi bukti bahwa bahkan bacaan al-Qur’an orang Arab pun
tidak semuanya bagus. Maka bayangkan bagaimana kesulitan orang bukan Arab? Kalau
setiap orang harus fasih dan benar bertajwid dalam membaca al-Qur’an, maka bukankah
hanya Rasulullah saja yang tidak dilaknat? Terus buat apa baca al-Qur’an kalau
malah mendapat laknat?
Adalah terburu-buru menyimpulkan bahwa atsar
tersebut berkaitan dengan tajwid. Karena tidak ada qarinah yang mengarahkan maksud ke sana. Apalagi ada
hadits yang berbunyi
الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِى يَقْرَؤُهُ
وَيَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
““Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, dia berada
bersama para malaikat yang terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam
membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala,”
Sabda Rasul ini semakin meyakinkan saya bahwa
perkataan sahabat Anas ra. bukan tentang tajwid. Bagaimana mungkin orang yang Allah
memberinya penghargaan dua kali bisa mendapatkan laknat al-Qur’an?
Lalu apakah perkataan sahabat Anas ra. salah karena
bertentangan dengan hadits Rasul atau bagaimana? Menganggap sahabat Anas salah
itu juga terburu-buru. Tidak ada pertentangan di sini. Sebab jika kita membaca
surat al-Jumu’ah ayat 5, mungkin kita akan lebih memahami maksud sahabat Anas
ra.
مَثَلُ
الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ
يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ
اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“ Perumpamaan orang-orang yang
diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak
mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Saya merinding membacanya. Orang-orang yang membawa
kitabullah tapi tidak mengamalkannya dihina Allah seperti keledai. Bagaimana
nasib saya yang membaca al-Qur’an masih kulitnya saja, betapa jauh dari
memahaminya, apalagi sampai mengamalkannya. Apa bedanya saya dengan keledai
Nasruddin Hoja ketika disuruh tuannya membaca kitab tetapi cuma menjilati dan
membolak-balik lembarannya? Lalu mau ditaruh ke mana muka saya ketika membaca
al-Qur’an sampai pada ayat “ ألا لعنة الله على
الظالمين” , (sesungguhnya laknat Allah diberikan
kepada orang-orang zalim(, “ ألا لعنة الله على المكذبين” (sesunguhnya laknat Allah
ditimpakan kepada para pendusta). Modar aku... betapa masih sering
saya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Betapa masih sering saya
meninggalkan kewajiban dan melanggar perintah-perintah yang Allah sampaikan
dalam al-Qur’an?
Sekarang Ramadhan memasuki hari ke 10. Tadarusmu sudah
dapat berapa juz? Atau malah sudah khatam berapa kali? Setelah membaca al-Qur’an,
saya malah jadi takut bercermin.
Langganan:
Postingan (Atom)