Menulis membuatku kehilangan imajinasi. Setiap kata yang kutuliskan mewujud dalam kasunyatan. Aku tulis sendok muncul sendok. Aku tulis bidadari, datanglah wanita cantik bagai peri. Aku tuliskan cerita peperangan, berkobarlah pertempuran persis seperti yang kutuliskan. Lalu apakah masih disebut imajinasi jika semua telah terealisasi?
Aku sudah hancurkan segala berhala. Sehingga tak perlu lagi manusia menyembah apa dan siapa. Aku sudah bakar surga dan neraka. Kini tinggal bumi yang kau huni. Jika tak ada yang abadi maka tak ada pula yang tak kembali. Semua berulang dan terus berulang, bereinkarnasi. Sejarah mengalir seperti sirkulasi darah. Lama dan baru hanya ilusi persepsi, mengenai masa yang merentang, tentang ruang yang terbentang.
Apa yang kau harapkan dari hamparan lautan yang tak berdaratan? Maka cintailah semua bagian dari samudra itu sebagaimana panglima mencintai tiap inchi peperangan. Seperti matematikawan yang menikmati kerumitan setiap hitungan. Tak ada kehidupan seindah perang. Manusia tak boleh mengalah pada ketenang-tentraman. Ketenang-tentraman adalah berhala paling berbahaya. Ia melemahkan segala daya kemampuan yang dimilki manusia.
Suatu saat kutulis Tuhan sudah mati. Tiba-tiba semilir angin menancapkan dingin yang menusuk sampai sumsum tulang. Gelap menyergap. Aku hilang ditelan bayang hitam.
Tweet Follow @tirtanirwana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar