“Informasi
hanyalah data semata dan takkan pernah menjadi pengetahuan jika kau
enggan mempertanyakannya.” [Diancuk Modarsono dalam cerpen Sashtra Jinendra Vijnana]
Di sini kita akan mencoba mempraktekkan kutipan di atas dengan mempertanyakan beberapa hal tentang kehidupan kita. Saya mulai dengan pertanyaan, Apakah keputusan-keputusan yang kita ambil selama ini murni pilihan kita? Apakah free will itu ada? Kalau kata Jean Paul Sartre, filosof Perancis, hell is other people. Kitalah yang mengendalikan semua keputusan kita. Tak peduli kita mengikuti perintah, saran dari orang lain atau meninggalkannya. Apakah yang terjadi sebenarnya memang begitu?
Tweet
Follow @tirtanirwana
Di sini kita akan mencoba mempraktekkan kutipan di atas dengan mempertanyakan beberapa hal tentang kehidupan kita. Saya mulai dengan pertanyaan, Apakah keputusan-keputusan yang kita ambil selama ini murni pilihan kita? Apakah free will itu ada? Kalau kata Jean Paul Sartre, filosof Perancis, hell is other people. Kitalah yang mengendalikan semua keputusan kita. Tak peduli kita mengikuti perintah, saran dari orang lain atau meninggalkannya. Apakah yang terjadi sebenarnya memang begitu?
Coba kita simulasikan. Misalnya kita mau menentukan definisi, apa itu
cantik dan tampan? Bagaimana menurut kebanyakan orang, cantik dan tampan
itu? Berkulit putih, berambut hitam-lurus, berhidung mancung. Lalu
apakah cantik dan tampan itu benar murni pendapat mereka, atau [meniru]
hasil bentukan iklan-iklan?
Keputusan ini mempengaruhi barang yang kita konsumsi. Kalau cantik/ tampan adalah seperti yang didefinisikan itu, maka agar saya cantik/ tampan saya harus menggunakan kosmetik merk ini. Harus memakai shampoo ini, harus oprasi plastik untuk memancungkan hidung. Pernahkah kita bertanya siapa yang memproduksi barang-barang yang kita konsumsi setiap hari? Jadi siapa yang menentukan cantik dan tampan?
Kita maju lagi, oke kita mau pakai barang kosmetik, shampoo, dll. Di mana kita bisa mendapatkannya? Apa yang membuat kita memilih tempat belanja? Kenapa kita lebih memilih mall, swalayan daripada pasar atau sebaliknya? Sekali lagi apakah pilihan kita ini murni pendapat kita atau kita terbujuk trend?
Kita coba lebih sedikit serius. Tentang pemilu, misalnya pemilihan gubernur dan wakil gubenur jakarta beberapa waktu yang lalu. Kenapa Jokowi bisa menang mengalahkan Foke? Apa yang membuat rakyat jakarta lebih memilih Jokowi ketimbang Foke? Apakah itu murni karena rakyat tahu bahwa jokowi itu lebih layak jadi pemimpin mereka atau jangan-jangan karena bosan kepada kumis birokrasi saja? Akhirnya rakyat lebih simpatik kepada Jokowi yang datang dengan tampang yang tampaknya berbeda?
Kalau kita naikkan lagi, kita bisa mempertanyakan juga, kenapa kita memilih agama Islam sebagai agama kita? Apa karena kita ini benar-benar memilihnya atau karena memang kita dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islam sehingga kita mau tidak mau harus beragama Islam? Apakah anda bisa menjamin anda akan beragama Islam seandainya anda dilahirkan dan dididik dalam lingkungan non-muslim.
Lalu kalau islam kita gara-gara keturunan, sahkah Islam kita? Padahal termasuk rukun islam itu harus syahadat? Apakah kita benar-benar sudah menyaksikan kebenaran Islam atau asal manut saja? Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam konteks kehidupan anda. Anda sendiri yang bisa menjawabnya dan mempelajarinya kembali. Saya hanya membantu membuat anda gelisah.
Boleh tidak mempertanyakan keimanan sendiri? menjadi murtadkah kita? Lho emangnya kita sudah mu’min/ beriman, lha wong pertanyaan tadi belum bisa kita jawab? Sekalipun kita sudah beriman, kita tetap harus mempertanyakan kembali iman kita. Nabi bersabda “jaddiduu imanakum” (al-hadits). Selalu perbaharui iman kalian. Bukankah syarat untuk memperbaharui itu menganggap yang lama tidak berlaku? Contohnya dalam teori sains. Dahulu kala orang beranggapan bumi itu datar. Kemudian anggapan dimentahkan oleh teori bahwa bumi itu bulat. Karena ketika seorang penjelajah berjalan lurus terus akan kembali ke tempat semula. Lalu muncul lagi teori geosentris bahwa seluruh benda langit itu mengitari bumi didasari oleh penafsiran dari injil. Ternyata itu pun disalahkan lagi karena menurut teori heliosentris sebenarnya bumi lah yang mengitari matahari. Adapun matahari yang terbit bergerak dari timur dan tenggelam ke barat, adalah gerak semu matahari. Bukan matahari yang bergerak tapi karena bumi yang berputar pada porosnya.
Semakin dewasa, seharusnya semakin menambah pemahaman baru dan semakin mengerti bahwa apa yang selama iini diyakini benar adalah sementara. Kalau mau radikal seperti kata Nietzsche “kebenaran adalah semacam kekeliruan yang harus ada.” Begitu juga seyogyanya kita dalam beragama. Kita harus tinggalkan semua kepercayaan lama kita. Berhijrah menuju iman yang baru. Dan harus selalu begitu. Nah masalahnya adalah banyak di antara kita berhenti untuk selalu mempertanyakan. Kemudian dia merasa apa yang dia percayai itu adalah satu-satunya yang benar. Maka yang lain adalah salah dan sesat sehingga harus diluruskan.
Saya ajukan pertanyaan lagi, Islam itu tujuan atau jalan? Islam adalah jalan dan satu-satunya tujuan hanyalah Allah. Kalau begitu kita tidak boleh menyalahkan orang yang menempuh jalan yang berbeda dengan kita. Karena toh kita juga belum tentu sampai kepada tujuan. Hati saya terkadang miris melihat orang-orang yang dengan yakin-seyakin-yakinnya menganggap dirinya yang paling benar dan atas nama Tuhan meng-kafir-kafirkan, bahkan melakukan tindakan anarki kepada orang lain. Apakah orang yang mengkafir-kafirkan itu benar-benar murni patuh pada perintah Tuhan atau merasa terancam kehilangan identitasnya? Kalau saya sih tidak masalah dituduh kafir, memang saya masih kafir (ingat kita belum jawab pertanyaan tentang islam keturunan).
“jangan-jangan kita ini terlalu takut untuk tegak berdiri sehingga perlu motivasi-motivasi.
jangan-jangan kita ini tidak percaya diri sehingga butuh kosmetik-kosmetik untuk mempercantik diri.
orang-orang berebut ingin diakui sedangkan mereka sendiri kehilangan jati diri.
mereka memuja kebebasan, sehingga mereka terseret derasnya arus kehancuran.
apa masih disebut bebas jika pilihannya sudah ditentukan?
[si]apa yang mengendalikan saat kita membuat keputusan?
kesadarankah, akal pikirankah, hatikah, perasaankah, terpaksakah?
jangan-jangan kita telah didekte iklan-iklan?
lalu dimana kita “letakkan” Tuhan?”
Keputusan ini mempengaruhi barang yang kita konsumsi. Kalau cantik/ tampan adalah seperti yang didefinisikan itu, maka agar saya cantik/ tampan saya harus menggunakan kosmetik merk ini. Harus memakai shampoo ini, harus oprasi plastik untuk memancungkan hidung. Pernahkah kita bertanya siapa yang memproduksi barang-barang yang kita konsumsi setiap hari? Jadi siapa yang menentukan cantik dan tampan?
Kita maju lagi, oke kita mau pakai barang kosmetik, shampoo, dll. Di mana kita bisa mendapatkannya? Apa yang membuat kita memilih tempat belanja? Kenapa kita lebih memilih mall, swalayan daripada pasar atau sebaliknya? Sekali lagi apakah pilihan kita ini murni pendapat kita atau kita terbujuk trend?
Kita coba lebih sedikit serius. Tentang pemilu, misalnya pemilihan gubernur dan wakil gubenur jakarta beberapa waktu yang lalu. Kenapa Jokowi bisa menang mengalahkan Foke? Apa yang membuat rakyat jakarta lebih memilih Jokowi ketimbang Foke? Apakah itu murni karena rakyat tahu bahwa jokowi itu lebih layak jadi pemimpin mereka atau jangan-jangan karena bosan kepada kumis birokrasi saja? Akhirnya rakyat lebih simpatik kepada Jokowi yang datang dengan tampang yang tampaknya berbeda?
Kalau kita naikkan lagi, kita bisa mempertanyakan juga, kenapa kita memilih agama Islam sebagai agama kita? Apa karena kita ini benar-benar memilihnya atau karena memang kita dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islam sehingga kita mau tidak mau harus beragama Islam? Apakah anda bisa menjamin anda akan beragama Islam seandainya anda dilahirkan dan dididik dalam lingkungan non-muslim.
Lalu kalau islam kita gara-gara keturunan, sahkah Islam kita? Padahal termasuk rukun islam itu harus syahadat? Apakah kita benar-benar sudah menyaksikan kebenaran Islam atau asal manut saja? Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam konteks kehidupan anda. Anda sendiri yang bisa menjawabnya dan mempelajarinya kembali. Saya hanya membantu membuat anda gelisah.
Boleh tidak mempertanyakan keimanan sendiri? menjadi murtadkah kita? Lho emangnya kita sudah mu’min/ beriman, lha wong pertanyaan tadi belum bisa kita jawab? Sekalipun kita sudah beriman, kita tetap harus mempertanyakan kembali iman kita. Nabi bersabda “jaddiduu imanakum” (al-hadits). Selalu perbaharui iman kalian. Bukankah syarat untuk memperbaharui itu menganggap yang lama tidak berlaku? Contohnya dalam teori sains. Dahulu kala orang beranggapan bumi itu datar. Kemudian anggapan dimentahkan oleh teori bahwa bumi itu bulat. Karena ketika seorang penjelajah berjalan lurus terus akan kembali ke tempat semula. Lalu muncul lagi teori geosentris bahwa seluruh benda langit itu mengitari bumi didasari oleh penafsiran dari injil. Ternyata itu pun disalahkan lagi karena menurut teori heliosentris sebenarnya bumi lah yang mengitari matahari. Adapun matahari yang terbit bergerak dari timur dan tenggelam ke barat, adalah gerak semu matahari. Bukan matahari yang bergerak tapi karena bumi yang berputar pada porosnya.
Semakin dewasa, seharusnya semakin menambah pemahaman baru dan semakin mengerti bahwa apa yang selama iini diyakini benar adalah sementara. Kalau mau radikal seperti kata Nietzsche “kebenaran adalah semacam kekeliruan yang harus ada.” Begitu juga seyogyanya kita dalam beragama. Kita harus tinggalkan semua kepercayaan lama kita. Berhijrah menuju iman yang baru. Dan harus selalu begitu. Nah masalahnya adalah banyak di antara kita berhenti untuk selalu mempertanyakan. Kemudian dia merasa apa yang dia percayai itu adalah satu-satunya yang benar. Maka yang lain adalah salah dan sesat sehingga harus diluruskan.
Saya ajukan pertanyaan lagi, Islam itu tujuan atau jalan? Islam adalah jalan dan satu-satunya tujuan hanyalah Allah. Kalau begitu kita tidak boleh menyalahkan orang yang menempuh jalan yang berbeda dengan kita. Karena toh kita juga belum tentu sampai kepada tujuan. Hati saya terkadang miris melihat orang-orang yang dengan yakin-seyakin-yakinnya menganggap dirinya yang paling benar dan atas nama Tuhan meng-kafir-kafirkan, bahkan melakukan tindakan anarki kepada orang lain. Apakah orang yang mengkafir-kafirkan itu benar-benar murni patuh pada perintah Tuhan atau merasa terancam kehilangan identitasnya? Kalau saya sih tidak masalah dituduh kafir, memang saya masih kafir (ingat kita belum jawab pertanyaan tentang islam keturunan).
“jangan-jangan kita ini terlalu takut untuk tegak berdiri sehingga perlu motivasi-motivasi.
jangan-jangan kita ini tidak percaya diri sehingga butuh kosmetik-kosmetik untuk mempercantik diri.
orang-orang berebut ingin diakui sedangkan mereka sendiri kehilangan jati diri.
mereka memuja kebebasan, sehingga mereka terseret derasnya arus kehancuran.
apa masih disebut bebas jika pilihannya sudah ditentukan?
[si]apa yang mengendalikan saat kita membuat keputusan?
kesadarankah, akal pikirankah, hatikah, perasaankah, terpaksakah?
jangan-jangan kita telah didekte iklan-iklan?
lalu dimana kita “letakkan” Tuhan?”
#tulisan yang disampaikan dalam diskusi bersama remaja masjid at-Taqwa, Sekayu, Semarang Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar