Pages

Minggu, 06 Juni 2010

DUKAMU DUKAKU, DERITAMU DERITAKU

Neng Lub, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Tsamratul Lubbiyyah kami sapa. Siapa yang menyangka dalam anugrah wajah yang anggun, teduh menawan, selalu menyunggingkan senyum manis kepada setiap yang memandangnya, sehingga mungkin hanya orang buta yang tak terpikat oleh pesonanya, dan juga tuli karena jika kau amati secara seksama, bahkan daun-daun pun ikut merunduk lirih jika mendengar tutur lembut dari indah suaranya, seolah mentasbihkan pencipta senandung merdu yang sedang berkidung itu, ternyata tergaris nasib derita tak terperi dan pahit-getir kehidupan yang menyayat hati akibat sebuah sistem kekuasaan imperial yang mentradisi sehingga menjadi semacam dogma dalam kehidupannya.
Neng Lub memang berbeda. Dia adalah putri bungsu kyai kami. Usianya selisih satu tahun lebih muda dariku walaupun dalam sekolah kami satu kelas. Selain cantik dan pintar (ma’af bukan cerdas), ia juga rendah hati, tidak merasa sok putri kyai. Menurut cerita-cerita gunjingan anak-anak putri pesantren kami yang kami dengar dari para pacar mereka, neng Lub tak segan makan senampan bahkan juga ikut memasak dan tidur bersama mereka. Dan ia lebih senang dipanggil oleh mereka dengan sebutan Mbak, bukan Neng. Sudah cantik, pinter, tidak sombong pula. Betul-betul cermin wanita shalihah, sebaik-baik perhiasan dunia bukan?
Tentu saja tak hanya para santri dan gus-gus, bahkan bajingan sekalipun pasti punya hasrat untuk memilikinya. Mulai dari alasan nafsu bejat hinggga alasan yang entah itu tawadhu’, tafa’ul[1] atau sekedar apologi untuk menutupi alasan yang pertama, “ngalap berkah.” Apapun motifnya, sungguh beruntung sekali lelaki yang bisa mendapatkan putri bungsu KH. Zarkasyi ini. Maka tidak salah dan tidak asing jika setelah shalat berjama’ah, terdengar di sela-sela doa-doa kami pekikan kecil dari seseorang atau beberapa santri “jodohkan aku dengan Neng Lub ya Allaah.” Dan para santri lain pun menyahut dengan keras “Aaamiiin...” Tak terkecuali aku.

* * * *

Adalah Gus Dullah dan kang Tohar. Mereka adalah teman-teman terdekatku. Dulu ketika kami sedang tongkrongan di warung mie ayam mak Juma’inah merayakan kemenangan kang Tohar dalam lomba qira’ah se-kabupaten, kami sempat membuat semacam taruhan kecil-kecilan. Barang siapa yang mampu mendapatkan hati neng Lub akan ditrkatir mie ayam, rokok, es teh sepuasnya oleh dua orang yang kalah. Taruhan khas pesantren.
Kendati aku pingen sekali mendapatkan hati neng Lub, rasanya tidak mungkin bersaing dengan kedua sahabatku ini. Meskipun tampangku tak kalah saing dengan mereka, namun dalam segi ras keturunan Gus Dullah pasti lebih unggul. Apalagi kalau harus saingan sama kang Tohar. Dia itu satu kali baca bait alfiah[2] langsung melekat di otaknya. Macam lem alteko otaknya itu.
“Lek, siap-siap aja mie ayamnya, baru saja aku luncurkan surat cintaku kepada neng Lub tersayang. Dia pasti langsung klepek-klepek baca puisiku. Hahaha..” kang Tohar mulai bertingkah.
“eit, jangan merasa di atas angin dulu kang.” Gus Dullah menyerobot.
“neng Lub itu sudah tak pagari pake pake wa alqaitu.”[3]
Aku mencoba mematahkan bualan Gus Dullah sembari menghibur diri, “Ah, mental gus mahabbahmu, wong abah Zarkasyi itu jadugnya sudah tersohor sak propinsi. Kecuali kalau sampean berani bilang langsung sama abah sampean. Pasti langsung dilamarken. Tapi apa iya sampean sudah berani? Lha wong alfiah dapat separo aja belum.”
“Hahaha… “ kami pun tertawa dengan pikiran masing-masing.
Sebenarnya sekarang aku sudah ingin melenyapkan rasaku terhadap neng Lub. Aku teringat pesan ibuku satu bulan lalu di ambang ajalnya. Beliau berpesan kepadaku untuk istqomah belajar. Jangan berpikiran yang macam-macam dulu, termasuk wanita. Kasihan bapak yang kerja sendirian membiayai sekolahku dan adik-adiku. Apa ndak punya hati, bapak di rumah jungkir balik memeras keringat supaya anak-anaknya jadi orang semua, di pondok aku malah enak-enakan pacaran. Ah mungkin ibuku khawatir usia remaja sepertiku biasanya sudah tercemar virus pacaran. Ya naluri keibuan selalu saja mengkhawatirkan anaknya. Dan ternyata memang terbukti kekhawatirannya itu.
Semenjak tiga puluh hari terakhir ini ritual sebelum tidurku berubah. Sebelumnya setiap kali merebahkan badan untuk terlelap, selalu saja pikiran ini melayang menerabas tembok besar yang menyekat menjadi batas pondok putra dan putri. Ia mencari suara lirih yang mungkin sedang menyenandungkan kidung surga di pojok kamarnya. Pikiran ini merekam setiap dengung suaranya dan meng-capture setiap gurat lekuk parasnya, juga merasakan degup jantungnya, siapa tahu terselip sekelebat namaku di sana.
Kini pikiran dan hatiku tetap menembus tembok besar itu. Namun ia tak berhenti dan terus melayang menuju Solo lalu mencari dua nisan yang masih kukuh menancap dan menghujam tanah-tanah lemah. Sekarang wajah ibuku yang terus terngiang di benakku. Mengenang setiap waktu yang pernah kami habiskan bersama. Menyesal belum sempat kuseka kedua sudut matanya yang selalu menitikkan harapan dan kecemasan saat mendoakanku. Ia telah lebih dulu menghadap ke haribaan-Nya.
Maka bergantilah penghuni hati ini. Rasa cinta telah tergusur oleh rindu. Bukan kepada neng Lub lagi (walau sesungguhnya hati kecilku masih mendambakannya), melainkan kepada ibu.

* * * *

Semburat cahya matahari kian melunak dan meremang di ambang senja. Siluet sinarnya kini tak lagi garang menyengat, bahkan ia menjelma panorama indah memerah keemasan di ufuk barat. Alunan qira’ sudah meraung-raung dari corong beberapa masjid. Suara murottal imam al-Ghomidi yang disetel dari kaset masjid raya desa ini ibarat alarm yang mengingatkanku untuk segera kembali ke pesantren. Maghrib sudah menjelang, aku harus menyudahi khalwat (menyepi) rutinku di makam mbah Ibrahim ini.
Ketika hampir memasuki gerbang pesantren, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil oleh suara halus berasal dari koperasi pesantren kami yang letaknya tepat di seberang gerbang pesantren disamping ndalem-nya Abah.. Hatiku sempat berdesir sebentar. Ah, ternyata bukan suara neng Lub. Entah kenapa ada sedikit perasaan lega tercampur sembelit kecewa.
“Ada apa mba Fat? Mau ngasih bancaan nih?” gurauku sambil menghampirinya.
“Ya mas Malek, ini lho bancaan dari mba Lub, katanya buat sampean,”
“Mba Lub?”
“Iya, neng Lub maksudnya, wah gayanya sok gak kenal” jawabnya mesam-mesem.
“Ini khususon apa buat bancaan rame-rame?”
“Ya terserah sampean kalau mau buat rame-rame, yang penting suratnya buat sampean.” Ia melirihkan penggalan kalimat terakhirnya.
“Surat? Surat apa?” sergahku heran.
“Halah lagakmu lho mas kok mbodoni gitu toh? Buka aja, nanti kan tau sendiri!”
Sesampai di pondok, kubagikan bancaan tadi kepada kang Tohar dan Gus Dullah yang baru saja selesai main bola. Lantas kubuka sesobek kertas yang dikatakan surat tadi. Isinya singkat, lugu dan sederhana “terima kasih kiriman puisinya mas, indah sekali saya sangat suka. Maukah mas Malik membuatkannya lagi untukku?”
Aku tertegun heran. Bukankah kemarin yang mengirim surat dan puisi kepada neng Lub itu kang Tohar, bukan aku? Masa neng Lub salah nulis nama, atau barangkali...
“Kang Tohar… langsung saja kupanggil ia yang sedang bersama Gus Dullah duduk bertelekan bersandar dinding depan kamar.
“Kenapa Lek?”
“Kemarin sampean kan yang nulis surat dan puisi ke neng Lub to?”
“Ya, betul.”
“Lho kok aku yang dapat balasannya ya?”
“Emang balasannya gimana?” selidiknya penasaran.
“Nih baca sendiri.”
“AlhamduliLlaaah, misi kita berhasil gus Dul...” kang Tohar berteriak kegirangan.
Gus Dullah yang mendengar teriakan kang Tohar akhirnya masuk kamar dan ikut nimbrung.
“Selamat ya Lek.” Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“lho apa-apaan ini. Yang berhasil kan kang Tohar bukan aku?” sergahku tambah heran.
“Jadi begini,” kang Tohar mulai bertutur sok dewasa. Setelah menghela nafas sejenak, memberi jeda seolah agar aku penasaran ia melanjutkan,
“Sebenarnya aku dan gus Dullah yang mengirimkan surat dan puisi itu atas namamu. Sebab kami tahu kau sangat mencintai neng Lub dan kami juga tahu dari gelagatnya Neng Lub yang kami perhatikan saat sekolah dan mengaji, agaknya dia pun memendam perasaan yang sama kepadamu. Makanya kami mengalah saja dan memutuskan nyomblangin kalian berdua.”
“Apa? Oh jadi sampean-sampean ini berkomplot toh. Kurang ajar, komplot gak ngajak-ngajak.” Kutinju pelan perut buncit gus Dul.
“Lha terus puisi yang sampean kirimkan itu... nah, berarti sampean berdua bertanggung jawab harus membuatkannya lagi ya.”
“Yo moh, wong itu puisi puisimu sendiri. Aku sama kang Tohar nyontek dari tulisan semrawut di pintu gothakanmu[4] . Selanjutnya kau tanggung sendiri Lek. Hahaha… jangan lupa nanti malam kau nraktir kita berdua. Soalnya dirimu kan cuman kayak bos gak ngapa-ngapain. Kita berdua yang repot.”
“Wah masa’ gitu sih, kan gak ada kesepakatannya?
“Yo diniati syukaran lah Lek.” Sahut kang Tohar sembari tiba-tiba dengan gaya kampungannya berdiri merentangkan kedua tangannya dan berhambur kepadaku sambil berteriak
“Neng Lub,, kemarilah kupeluk dirimu…”
Aku pun tak sempat menghindar, ia memelukku erat hampir mematahkan seluruh sendiku.
“Selamat ya Lek, akhirnya kau dapatkan juga pujaan hatimu. jangan pernah kau permainkan dan sakiti hatinya” bisiknya lirih bergetar menahan pilu.
Aku hanya bisa berkata “Kang, keringetmu kecut, mandi dulu geh.”

* * * *

“Maukah kubenamkan kau ke sedalam-dalamnya lembah hatiku? Agar kau bisa selalu damai bertapa di sana tanpa perlu mencari tempat sunyi untuk menyepi. Karena aku belum pernah menemukan bagian tersenyap di muka bumi ini selain di sana. Jadilah penghuni lembah hati senyap ini supaya ia bisa mengenal setidaknya sepercik peradaban cinta.”
Tak kusangka dengan sebuah coretan yang kurangkai di ujung fajar sambil menunggu jama’ah subuh itu mampu meluluhkan hati neng Lub.
Siang itu siang yang mungkin akan sulit kulupakan. Detak jarum jam menunjukkan pukul dua seperempat. Di saat para santri menghempaskan lelahnya di masjid dan kamar masing-masing, aku beranjak menuju koperasi pesantren. Kurelakan tidur siangku untuk memenuhi permintaan sang ratu hati. Langkahku menderap mantab dengan sedikit berjingkrat mengekspresikan kegirangan.
Ah, itu dia neng Lub sudah menunggu di dalam koperasi sembari tersenyum. Tak kusadari ternyata dari tadi ia memperhatikanku. Namun entah kenapa dapat kurasakan senyum itu lebih menyerupai senyum getir bukan senyum karena lucu. Aku jadi salah tingkah. Gugup. Baru pertama kali aku bertatap muka sedekat ini dengannya.
“Assalamu ‘alaikum.” Aku mencoba menyapa duluan.
“Wa’alaikumus salam warahmatuLlah” suara merdunya serasa menusuk kalbu.
Hening sejenak, kemudian kuberanikan diriku menggerakkan bibir lagi
“Emm… ini pesanan neng Lub kemarin. Mohon maaf jika tak seindah seperti yang diinginkan.” Selalu saja aku merasa bodoh dan tolol di hadapannya.
“Terima kasih” jari-jari lentiknya menarik selembar kertas yang kusodorkan di atas kaca etalase. Aku suka sekali cara mengambilnya, lembut dan elegan.
Ia baca sejenak coretanku tadi pagi. Kulihat matanya sayu dan hampir menitikkan air mata.
“Kenapa Neng? Apakah tulisanku berdebu sehingga membuat matamu berair” entah kenapa tiba-tiba pertanyaan konyol seperti itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Ia tersenyum dan sekali lagi sangat getir. Ah, aku merasa tambah bersalah.
“Mas Malik…” ah, sekali lagi aku suka cara ia memanggil namaku dengan ejaan ma-lik (bukan ma-lek seperti panggilan teman-teman kepadaku) terasa lebih halus dan renyah di kuping.
“Sebenarnya sungguh aku tak sanggup menolak rasa yang sampean tawarkan. Namun mohon beribu-ribu maaf mas,” suaranya kini semakin tersedu seakan tersumbat di tenggorokan, membuatku semakin kikuk dan khawatir was-was.
“Apa boleh dikata, tadi sebelum shalat zhuhur abah memanggilku. Abah mau menjodohkanku dengan seseeorang yang dahulu pernah menjadi muridnya.” pecah juga isaknya setelah menyelesaikan kalimat ini.
“Apa?” pekikku namun hanya dalam hati. Tak kuasa aku berkata keras di hadapan neng Lub. Su’ul adab (adab tercela) namanya. Baru saja kemarin malam aku tersungkur bersujud syukur kemudian mentraktrir kang Tohar dan Gus Dullah atas hasil jerih payah dan pengorbanan mereka, tapi ternyata sekarang… akh, sekali lagi kuberanikan diri bertanya kepadanya
“Kalau boleh tahu, siapakah gerangan lelaki beruntung yang akan dijodohkan dengan sampean Neng?
Ia diam sejenak, menghela nafas seolah mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaanku, kemudian menatapku dalam-dalam dan berkata dengan nada bergetar,
“Ustadz Subki dari Solo, bapak sampean mas.”
Aku tercekat tak mampu berucap walau hanya sekecap. Tanpa kusadari butir-butir air mata yang sudah dari tadi susah payah kubendung kini tumpah membasahi wajah. Sempat kurasakan setetes yang menyelinap ke dalam bibirku. Tahukah kau? Sungguh rasanya tak lagi asin melainkan pahiit sekali.


Semarang, 14052010.
Ibu, selain dan setelah kepada Tuhan,
di saat-saat seperti ini sungguh aku benar-benar merindu
menumpahkan segala keluh kesahku kepadamu.


End notes
1. Tafa’ul diambil dari bahasa arab yang secara istilah santri artinya mengharap mendapatkan sesuatu yang sama dengan yang ditafa’uli. Maka jika tafa’ulnya kepada Neng Lub ini harapannya dapat memiliki anak yang seperti dirinya.
2. Kitab nahwu (gramatika arab) yang berisi 1002 bait. Biasanya menjadi kitab nahwu standar di pesantren-pesantren untuk dikaji dan dihafalkan.
3. Sepenggal kata dari al-Qur’an yang biasanya dijadikan mahabah, menarik hati pasangan. Istilah kasarnya pelet ala pesantren.
4. Gothakan, bhs jawa cara melafalkannya dengan dihilangkan huruf “k”-nya (gota-an). Artinya lemari.