Pages

Minggu, 21 Oktober 2012

Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Pendidikan


Menurut anda, apakah pendidikan itu penting? Kalau penting, sepenting apakah pendidikan dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah anda mendapat manfaat dari hasil pendidikan anda? Baiklah, kita anggap, kita sepakat pendidikan itu penting dan bermanfaat. Setidaknya, dunia pendidikan menyediakan lapangan pekerjaan yang lumayan banyak. Saya ajukan pertanyaan lagi, Apa bedanya pendidikan dengan pengajaran? Kenapa juga harus dibedakan?


Menurut saya selama ini yang terjadi di Indonesia kebanyakan hanyalah pengajaran (transfer of knowledge/ ta’lim) belum sampai pada taraf pendidikan (tarbiyyah/ education) yang seharusnya lebih banyak berkecimpung dalam ranah akhlak. Jujur, saya mendapatkan pendidikan yang sebenarnya bukan dari sekolah formal, tapi dari pesantren. Di pesantren tempat saya mondok dulu, seluruh aktivitas santri diawasi paling tidak oleh pengurus kamar. Ada ma’murat-manhiyyat (perundang-undangan) yang sanksinya jelas. Misalnya meninggalkan shalat jama’ah, tidak ngaji, atau pacaran, maka dita’zir (dihukum) sujud hingga beberapa menit. Jadi, diantara kami kalau ada yang keningnya hitam itu belum tentu dia rajin sembahyang, bisa jadi rajin ta’ziran. Ini bukan berarti saya mengharuskan setiap anak masuk pesantren. Tradisi di pesantren itu hanya salah satu kearifan lokal saja.
Tak bisa dipungkiri tujuan orang tua yang menyekolahkan anaknya sekarang adalah agar kelak ia mendapat kehidupan ekonomi yang layak. Pola pikir masyarakat seperti ini merupakan hasil dari standardisasi ijazah pendidikan formal sebagai syarat melamar pekerjaan. Jika ingin mendapat pekerjaan yang layak minimal lulus SMA atau S1 lah. Dengan demikian, sistem pendidikan telah menyimpang dari tujuan asal, yakni mencerdaskan dan membangun moral bangsa. Sehingga saya tidak heran kalau hasil “pendidikan" di Indonesia menjadi sekacau ini. Tidak hanya murid yang saling mecontek saat ujian nasional, para guru pun berkolusi menghalalkan segala cara agar sekolahnya tidak menanggung malu. Jika pada tingkat pelajar saja sudah diajari berlaku korup, maka jangan heran kalau lembaga-lembaga negara menjadi sarang para koruptor.
Bangsa kita sekarang ini memang sedang menderita yang namanya syndrome kesesatan. Kesesatan ini menjangkiti pola pikir kita. Kalau dari cara berfikirnya saja sudah sesat, pasti melahirkan pemikiran yang sesat, tidakan yang juga sesat. Contoh, buatlah angket yang menanyakan, apa pelajaran yang paling anda benci semasa sekolah? Jawaban terbanyak pasti matematika. Saya tidak paham bagaimana kebanyakan pelajar bisa benci pelajaran matematika. Maka timbul pertanyaan lagi, ini yang salah gurunya atau cara pengajarannya, atau memang muridnya? Padahal matematika mengajarkan kepada kita konsistensi logika. Tidak ada pelajaran yang sekonsisten matematika. Opini siapa pun tidak bisa berpengaruh  terhadap teori-teorinya.
Mungkin karena banyak yang benci matematika, logika bangsa kita ini jadi tidak konsisten. 1 juta + 1 juta seharusnya 2 juta, tapi karena saking canggihnya pemikiran bangsa Indonesia tidak mesti dua juta, tergantung anda maunya berapa, nanti bisa lah kita rundingkan rumusnya sendiri.
Beberapa minggu lalu kakak saya pergi ke kantor kecamatan mengurus KTP bapak saya yang hilang. Namun ternyata dia “diusir” gara-gara pake celana pendek ¾. Batin saya yang ngusir ini matematikanya jelek. Wong dia saja pake rok mini ¾. Bukannya saya mendukung ketua DPR yang melarang wanita pake rok mini. Yang saya persoalkan sama sekali tidak masalah aurat. Karena banyak perdebatan pendapat mengenai hal itu. Saya malah lebih senang kalau dia tidak pake rok, hehe. Namun masalahnya adalah bagaimana pegawai kecamatan itu berlaku adil dan konsisten cara berfikirnya.
Inkonsistensi logika/ kesesatan berfikir yang sedemikian parahnya ternyata juga menjangkiti sikap keberagamaan. Bukan karena banyaknya muncul aliran sesat, tetapi justru karena sikap umat beragama dalam menghadapi mereka yang dianggap sesat. sudah tahu orang tersesat kok malah digebukin? Orang mencoba berfikir menggunakan akalnya dalam menfsirkan naskah-naskah agama malah dianggap kafir. Padahal bukankah anjuran berdzikir dan berfikir dalam kitab suci itu berbanding lurus?

Lalu apa yang harus kita perbuat?
Kalau boleh saya menganalogikan, ibarat air dalam sebuah gelas, negara ini telah berisi air yang mutanajjis. Moral manusia-manusianya telah tercemar. Dalam ilmu fiqh, untuk mensucikan air yang mutanajis itu ada beberapa opsi. Pertama, kita buang seluruh isinya, kita cuci gelasnya dan menuangkan air suci yang baru. Jika kita menerapkan opsi ini berarti kita harus "membunuh" generasi-generasi tua yang telah tercemar dan menggantinya dengan generasi baru yang masih bersih. Berarti harus ada revolusi. Pada tahun 1998 kita sudah melakukannya. Tapi apa hasilnya? Sama saja. Kita gagal revolusi karena ternyata bangsa ini belum betul-betul siap untuk berubah. Bangsa kita belum menyiapkan generasi pengganti yang benar-benar bersih.
Opsi kedua adalah mengubah air tersebut dengan alat bantu, penyulingan misalnya. Dengan syarat alat bantu itu juga suci. Alat bantu apa kira-kira yang mampu membuat koruptor-koruptor dan para pelaku kejahatan benar-benar bertobat? Penjara ternyata tidak efektif untuk membuat jera. Panti rehabilitasi baru tersedia bagi pecandu narkoba. Padahal kita perlu merehabilitasi moral bangsa. Ceramah-ceramah keagamaan, termasuk training ESQ terasa seperti orang jualan. Padahal alat bantu itu harus suci dari kepentingan-kepentingan duniawi.
Mungkin kita hanya bisa mengandalkan pilihan pamungkas. Kita tuangkan air yang benar-benar suci kedalam gelas itu secara kontinyu. Sehingga air lama yang mutanajjis tumpah tergantikan oleh air suci yang baru sampai hilang segala sifat najis yang disandangnya. Dengan demikian, mulai sekarang kita harus memproduksi generasi yang bersih. Biarlah generasi tua yang kotor mati dengan sendirinya. Dan kita tidak boleh menjadi penerus lingkaran setan. Kita harus tetap bersih dan terus memproduksi generasi yang bersih. Bila perlu kita dandani dan cuci alat bantu yang masih rusak dan kotor tadi.
“Mungkin sumber dari perubahan itu berasal dari salah satu, dua, atau tiga orang dari kita... Namun, dia bagai virus yang gampang sekali menyebar bak virus flu di musim pancaroba... Mulai dari diri sendiri. Mulai dari hal yang paling kecil. Mulai dari sekarang.”

*) Sebagian ide dari tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi bersama IKRIMAT (Ikatan Remaja Masjid at-Taqwa) Sekayu, Semarang Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...