Pages

Senin, 10 Desember 2012

memori tentang mubadzir

 
apakah anda selalu menghabiskan makanan dan minuman anda? ketika saya melihat di pesta-pesta, atau suguhan tamu-tamu, seringkali saya melihat mereka tidak menghabiskan makanan atau minumannya. saya teringat kejadian semasa sekolah aliyah dulu. saya mengamati beberapa teman, entah apa motifnya sering memubadzirkan makanan dan atau minuman. kalau pas jajan, seringkali makanan/ minuman tidak dihabiskan. pernah saya melihat seorang teman makan gorengan baru beberapa gigit, langsung ia buang. yang paling parah sewaktu pulang sekolah, saya lihat kakak kelas, setelah makan sambil membawa es teh yang belum habis, ia menuju ke belakang warung yang langsung tembus ke sungai. dia kencing di sana. setelah melepas hajatnya dia pamerkan ke teman-temannya bagaimana ia cebok pake es teh.
"bajingan, wong edan tenan iki, bocah aliyah kok ga paham fikih." batinku.
hingga suatu hari, saat istirahat, saya menemani teman saya jajan di kantin sekolah. dia jajan beberapa makanan ringan dan es minuman instan. baru beberapa sedot dia telan minuman itu, dia sudah sia-siap membuangnya ke tempat sampah. dengan gaya robot, akhirnya dia lepaskan minuman dalam plastik itu. beberapa detik sebelum minuman itu benar-benar jatuh ke tempat sampah, tangan saya menyambarnya. minuman itu selamat berada di genggaman saya.
"daripada kamu buang, mending tak minum aja." kata saya kepadanya.
teman saya malah muji-muji saya, "wuiizz edyan, gerakanmu kaya jetli ngono mas."

saat ini saya berpikir, gerakan itu kalau dibuat slow motion bagus kali ya. saya sendiri lupa caranya. disuruh mengulanginya lagi mungkin saya ga bisa. atau itu mungkin karena sangking hausnya saya saja. hahaha...

Selasa, 04 Desember 2012

Tafsir atas Sandaran Hati – Letto; “Tawakal dalam Ke-Tawhid-an”*


Menurut saya letto adalah salah satu dari sedikit band Indonesia yang punya idealisme. Pemilihan nama letto tidak dimaksudkan merujuk pada arti apapun. Letto adalah kata yang tidak punya arti/ makna. Pemilihan nama tanpa makna merupakan langkah tidak populer dalam arus mainstream. Letto mendekosntruksi tatanan nama dan makna. Dimana makna menjadi logosentrisme dari sebuah nama. Letto tidak memilih nama berdasarkan kata yang sudah terdefinisi. Para personilnya justru ingin membuat makna Letto dengan apa yang mereka lakukan. Singkatnya, Letto berarti apa dan bagaimana mereka berkreasi.
Dalam kesempatan kali ini saya hanya mencoba menafsirkan lirik lagu sandaran hati. Saya tidak membahas kualitas musikalitas mereka, karena saya belum paham musik :). Menariknya, penulis lirik lagunya (Sabrang Mowo Damar Panuluh/ Noe) tidak ingin memonopoli makna atas lagunya. Dia membebaskan setiap penikmat lagu memberi arti berdasarkan pengalamannya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada pemikiran para filosof postmodern, seperti Heidegger dan Derrida. “Matinya” sang pengarang (author) menjadi trend baru dalam memahami teks.



Sandaran Hati:

Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam gelapnya/ Malam hariku

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

-----

Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku

Lirik ini mengajak kita mempertanyakan keberadaan diri. Mempertanyakan menjadi jurus jitu dalam hal menanam gagasan. Pendengar tidak disuguhi bahasa yang langsung jadi. Dia harus mengolahnya lagi melalui kontemplasi. Dimanakah kita saat ini? Dalam filsafat emanasi, ruang dan waktu adalah mutlak. Segala sesuatu bereksistensi dalam keduanya. Ukuran adalah keterbatasan manusia memahami fenomena. Lirik ini tidak memaksa kita mempercayai emanasi, justru mengajak kita mempertanyakannya kembali. Benarkah kita dalam hampa yang tak bertepi? Lalu dimana engkau Tuhan, asal segala kejadian, sebab setiap akibat? Bolehkah aku mendengar [kabar] tentang-Mu?
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu.... 
Menghadapi  realitas kehidupan, berbagai perasaan seperti senang, sedih, gembira, takut, cemas, galau mengisi hati silih berganti. Seringkali kita tak mampu mengendalikan semua emosi itu. Kita terkadang merasa ingin lepas dari segala kepenatan itu. Namun, adalah kepastian bahwa kita terlahir di dunia dibekali dengan emosi (perasaan). Kita tak bisa bersembunyi menghindarinya. Di saat seperti inilah betapa setiap kerinduan membuncah kepada Dia yang selalu memberi ketentraman.
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku.
Dalam keterpurukan kita mengarungi kehidupan, dimana sebagian besar manusia memilih menghalalkan segala cara demi memperturutkan nafsunya, kesepian-lah yang kita tempuh karena memilih berjalan sesuai aturan-Nya. Namun yakinlah, selama kita berada dalam jalan-Nya, Dia selalu menemani kita di setiap kita melangkah.

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandaran hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Pada zaman azali, Tuhan meminta persaksian diri “alastu birabbikum (bukankah Aku ini Tuhanmu)?” kita bersama semua manusia serentak menjawab “iya.”  Bukankah itu berarti kita sudah terikat perjanjian dengan Tuhan? Berjanji untuk mengakui Dia sebagai satu-satunya tujuan, sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dunia sekedar jalan yang kita tempuh, yang meski sebentar harus tetap kita lalui dan lampaui dengan sungguh-sungguh. Apalah artinya penderitaan jika hati telah bersandar hanya kepada-Nya yang akan menebus setiap sedih dengan segala kasih.

Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam gelapnya/ Malam hariku

Dalam lirik ini terdapat pembedaan antara mau (kehendak) dan jalan. Kehendak Allah, menurut Ibnu Arabi terbagi menjadi dua: amr tawqify, amr taklify. yang pertama adalah perintah (baca: kehendak) Allah yang telah dia tetapkan sejak zaman azali berkaitan dengan hukum alam yang kemudian dalam istilah arab kita sebut sunnatullah. contoh Allah membuat setiap makhluk itu berpasang-pasangan. ada baik ada buruk, ada iman ada kufur, ada aksi dan reaksi. Yang kedua adalah kehendak (perintah) Allah yang dibebankan kepada manusia melalui nabi-nabi-Nya. Kehendak Allah ini sering juga disebut dengan syari'at-Allah. Dan amr taklify inilah berkonsekuensi pahala dan dosa.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat “walillahi yasjudu man fis-samawati wal-ardhi thaw'an wa karhan wa zhilaa-luhum bil-ghuduwwi wal-ashaal.” ini artinya semua ciptaan Tuhan bersujud kepada-Nya dengan ta'at ataupun terpaksa. Jadi walaupun orang kafir menentang Allah dan tidak mau tunduk dalam syari'at-Nya, sebenarnya dia tunduk patuh kepada perintah Allah yang pertama (amr tawqify). Sebagai orang yang mengaku beriman, kita harus tawakkal berserah dan memasrahkan diri menuju pada jalan Allah yang kedua (hanyalah engkau yang ku tuju). Pasrah pada syari'at-Nya. Bukan sekedar pasrah pada hukum alam (amr tawqify)
Jika sudah demikian maka berkenanlah cinta Tuhan jatuh kepadanya seperti disebutkan dalam hadits qudsi, “fa-idzaa ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi kuntu ‘ainahu allati yubshiru biha kuntu lisaanahu alladzi yanthiqu bihi kuntu rijlahu allati yabthisyu biha.” Ketika Aku sudah mencintainya, maka telinganya adalah telngakku, matanya mataku, lidahnya lidahku, kakinya kakiku.
Tanpa hadirnya Tuhan dalam jiwa, bagaimana bisa kita berada dan mengada? Apa yang tidak mengabarkan tentang Dia? Setiap gerak adalah energi dari pancaran quwwah-Nya. La haula wala quwwata illa billah. Maka absennya Tuhan dalam kehidupan diibaratkan gelapnya malam. Karena Dial ah yang menerangi setiap sudut langit dan bumi. Allahu nurus-samawati wal-ardhi...
Ketika engkau sudah pasrah total, maka kehendakmu sendiri lenyap, aku-mu hilang. semua menyatu dalam kehendak dan keakuannya. seperti daun yang hanyut di alir air, daun itu memang tampak bergerak tapi gerak sejati adalah gerak aliran air. daun tak mampu bergerak tanpa didorong oleh arus air. Maka tawakkal sejati adalah pasrah ber-Tawhid kepada-Nya.

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Siapakah sandaran hati kita selama ini?


"ketika kau terus mencari tetapi tak kunjung ketemu. Kalau kau telah lelah berusaha namun berhasil nihil. jika kau senantiasa berdoa dan merasa tak pernah dikabulkan. Kau pun sudah tabah menahan derita berkepanjangan. Pasrahlah. seperti pasrahnya dawai yang dipetik, seperti seruling yang ditiup, seperti biola yang digesek, seperti drum yang digebuk. Lalu dengarlah betapa indah melodi yang Dia mainkan."


*tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja masjid at-Taqwa, Sekayu, Semarang Tengah.