Pages

Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Januari 2016

Alangkah Lucunya Tuhan Ini

Mungkin terbersit dalam benak sebagian anda bagaimana mungkin atribut lucu dinisbatkan kepada Tuhan? Tidak pernah ada baik asmaul-husna maupun sifat wajib Tuhan kok yang Maha Jenaka. Sebentar-sebentar, kalau saya bilang Tuhan Maha Lucu jangan buru-buru marah dulu, terus menuduh saya melecehkan Tuhan. Emang saya sedang mlorotin roknya Tuhan? aya-aya wae sampean ini. Memahami humor (Tuhan) memang butuh kepekaan bukan kepekokan. Makanya jangan pekok-pekok amat lah. kasihanilah saya kalau sampai ada yang bertanya "adakah humor yang lebih garing dari tulisanmu ini?" kan saya sungkan kalau harus jawab "yang lebih pekok banyak." na'udzubillah, jadi ga tawadhu' kan? Argumen saya begini: bagaimana mungkin Tuhan sanggup menciptakan pelawak kalau Dia sendiri tidak bisa melucu? apa ga tambah lucu? lalu siapa yang memberi ilham kelucuan di pikiran para pelawak itu? setan? baiklah anggap saja setan yang membisikkan ide-ide kontol itu? astaghfirullahal'azhim, maksud saya konyol. mohon maaf efek dari latah pelisetan, halah meneh, plesetan maksudnya. Kembali ke laptop, terus setan dapet ide itu dari mana? mikir sendiri? buat ilmu sendiri? adakah di dunia ini sesuatu yang di luar ilmu (pengetahuan) Tuhan? kalau sampean masih ngeyel, masa Tuhan nglucu? silahkan sampean pikir sendiri, adakah sesuatu yang tidak berasal dariNya? jangan maido saya kalau sampai mbledos ndasmu belum juga ketemu. Benar, Tuhan tidak pernah guyonan dalam menciptakan sesuatu. sehingga semua ciptaanNya pasti ada fungsi dan manfaatnya, bagi yang mau memikirkan dan menelitinya. Tuhan pun tetap konsisten terhadap apa saja yang diputuskannya. Tidak terkecuali humor. Tuhan pasti juga serius ketika berhumor, tidak main-main. Humor Tuhan merupakan salah satu manifestasi rahman rahimNya. Saya menafsirkan humor Tuhan sebagai wujud kemesraan antara Khaliq dengan makhlukNya. beberapa orang dapat mabuk spiritual gara-gara meneguk nilai-nilai uluhiyah yang mengejawantah dalam kehidupan. Misalnya, melihat anjing yang menyelamatkan bayi manusia, kita bisa sesenggukan. Namun, sepertinya untuk menemukan "kemanusiaan" Tuhan butuh kepekaan yang lebih daripada menemukan percikan keilahian dalam ciptaanNya. Bukankah alangkah "manusiawi"nya Dia ketika "tertawa" menyaksikan seseorang yang bingung mendapati orang yang membunuhnya masuk surga sebagaimana dia yang dibunuh. saya membayangkan Tuhan menjawab (untuk tidak mengatakan "kalau saya yang jadi tuhan) "selera humormu kurang kang, mungkin kamu kebanyakan baca situs-situs garis lurus. Setelah membunuhmu dia bertobat kang. Kalau Tidak Kuterima tobatnya apa bedanya Aku dengan mantan presiden yang ga sembuh-sembuh jutakan itu? Personifikasi (entah bagaimana membahasakannya) yang dinisbatkan kepada Tuhan sengaja saya kasih tanda kutip. nanti kalau tanda kutipnya dibuang saya dituduh mujassimat? padahal di naskah haditsnya yang berbahasa arab tidak ada tanda kutipnya. rempong ya kalau nurutin penilaian orang. jangan-jangan al-Hallaj dipengggal gara-gara tak pernah pake tanda kutip? Sebenarnya bagi orang yang agak peka saja, tanpa tanda kutip pun mestinya sudah paham. misalnya Tuhan tertawa, jangan pamer pekok dengan berlogika berarti untuk tertawa Tuhan harus punya mulut sebagaimana saya punya cangkem. demikian pula jangan sok tahu dengan mena'wilkan seenaknya lalu nyocot bahwa Tuhan pasti tidak punya mulut. Kecuali sampean minimal pernah besanan sama Gusti Allah. Mungkin sebab cangkem-cinangkem berbalas cocot-cinocot inilah ilmu teologi juga dinamakan ilmu kalam. wallahu a'lam. ya Allah, saya memilih itba' Nabi Yesus aja "ta'lamu maa fii nafsii wa laa a'lamu maa fii nafsik." Bagaimana mungkin utek saya yang cupet ini memahami Dia yang Maha Unlimited. Terserah Dia lah mau tertawa pake mulut atau tidak, wong Dia Maha Kuasa. Semau-mau Tuhan lah. Analogi bodo saya: Dia bikin manusia melalui perkenthuan sudah biasa, tanpa ada kontak kelamin pun bagiNya mudah-mudah saja. Oh ya kalau sampean menagih, "sekarang mana contoh lucunya tuhan? mana? dari tadi mumpluk rak jelas." sabarlah kawan, saya tidak mau meremehkan nalar cerdas panjenengan semua. lagi pula jika saya beri contoh humornya tuhan, nanti ada yang nuding berarti saya sudah bisa menemukan sisi kemanusiaan Tuhan yang katanya lebih sulit dicerna itu? wah siapa saya? modar lah saya kalau ngaku-ngaku bisa. saya ceritakan saja kisah yang mengilhami tulisan ini. di sepertiga terakhir malam pernah Rasulullah saw keluar menuju masjid. disana ada beberapa sahabat yang shalat malam. Diantaranya Abu bakar , Ali , Mu'adz bin Jabal, Bilal bin Rabbah radhiyallahu 'anhum. Mereka menangis tersedu hingga tak mampu melanjutkan ayat yang dibaca dalam shalatnya. Rasulullah saw pun terharu hingga ikut menitikkan air mata. Esok harinya mereka ditanya satu-satu oleh Rasulullah saw, apa gerangan yang membuat mereka menangis sampai tak sanggup melanjutkan bacaan ayatnya. sahabat Abu Bakar menjawab "ketika membaca ayat: إِنَّاللَّه َاشْتَرَى مِن َالْمُؤْمِنِين َأَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَن َّلَهُمُ الْجَنة "sesunguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka." bagaimana aku tidak menangis? padahal Allah telah membeli jiwa para hamba. Jika hamba itu cacat, pasti dia tidak akan dibeli. Atau jika tampak cacatnya setelah dibeli pastilah akan dikembalikan. Jika ternyata aku cacat ketika dibeli, atau ketahuan cacat setelah dibeli maka tentulah aku akan masuk ke neraka, karena itulah aku menangis.” lanjut Abu Bakar. Entah mengapa justru sense of humor saya menangkap sinyal kelucuan di ayat yang membuat sahabat Abu Bakar menangis ini. "Ya Allah maafkan hamba kalau belum bisa menangis sebagaimana sayyidina Abu Bakar. bukannya tanpa alasan ya Allah. Panjenengan niku dos pundi, nggawe gawe dewe dituku tuku dewe? hahaha." Tiba-tiba mak jleg, saya merinding walau belum sampai mbrambang. "Ya Allah ampuni hamba, yok apa kula niki, hamba ini sudah hina, jangan terlalu Engkau tambah hina. sebegitu pelitkah hamba kok sampai panjenengan kamanungsan membeli jiwa hamba? padahal tanpa mesti membeli, Panjenengan berhak memerintah kami untuk begitu dan begini. ya Allah, betapa Engkau Maha Dermawan, sedangkan hamba alangkah sangat kurangajar..."

Sabtu, 27 Juni 2015

Keledai Membaca Al-Qur’an


رُبَّ تَالٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنَهُ
“Banyak orang yang membaca al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an melaknatnya.”
Dua kali saya mendengar atsar (tapi seringkali dianggap hadits) yang disandarkan kepada sahabat Anas bin Malik ra. ini diartikan sebagai pentingnya membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid. Pertama, saya dengar dari bapak saya setelah mendengar bacaan al-qur’an seorang yang shalat di mushalla sebuah SPBU. Kedua dari taushiyyah seorang ustadz setelah tadarusan tadi malam. Akibat pemahaman seperti ini adalah jika membaca al-qur’an tanpa tajwid bisa-bisa al-qur’an malah melaknat pembacanya. Mungkin maksud mereka mengartikannya demikian adalah untuk memberi motivasi (walau dengan menakut-nakuti?) agar orang mau belajar al-qur’an.
Dalam memahami sesuatu, saya lebih suka mengaitkannya dengan hal lain yang berkaitan. Jadi, setiap teks adalah clue untuk teks lainnya. Walau dalam menyusun pemahaman mungkin belum sempurna, minimal sebuah potongan puzzle telah menemukan pasangan terdekatnya. Sehingga kita bisa melihat gambarnya dengan lebih jelas. Bagi saya, ini menjadi seperti game yang mengasyikkan.
Arab dan  Indonesia itu jauh jaraknya. Bahasa dan dialeknya pun pasti berbeda. Rasulullah saw. pernah bersabda “saya adalah orang yang paling fasih melafadzkan huruf dhad (ض).” Ini menjadi bukti bahwa bahkan bacaan al-Qur’an orang Arab pun tidak semuanya bagus. Maka bayangkan bagaimana kesulitan orang bukan Arab? Kalau setiap orang harus fasih dan benar bertajwid dalam membaca al-Qur’an, maka bukankah hanya Rasulullah saja yang tidak dilaknat? Terus buat apa baca al-Qur’an kalau malah mendapat laknat?
Adalah terburu-buru menyimpulkan bahwa atsar tersebut berkaitan dengan tajwid. Karena tidak ada qarinah  yang mengarahkan maksud ke sana. Apalagi ada hadits yang berbunyi
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِى يَقْرَؤُهُ وَيَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, dia berada bersama para malaikat yang terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala,”
Sabda Rasul ini semakin meyakinkan saya bahwa perkataan sahabat Anas ra. bukan tentang tajwid. Bagaimana mungkin orang yang Allah memberinya penghargaan dua kali bisa mendapatkan laknat al-Qur’an?
Lalu apakah perkataan sahabat Anas ra. salah karena bertentangan dengan hadits Rasul atau bagaimana? Menganggap sahabat Anas salah itu juga terburu-buru. Tidak ada pertentangan di sini. Sebab jika kita membaca surat al-Jumu’ah ayat 5, mungkin kita akan lebih memahami maksud sahabat Anas ra.
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“ Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Saya merinding membacanya. Orang-orang yang membawa kitabullah tapi tidak mengamalkannya dihina Allah seperti keledai. Bagaimana nasib saya yang membaca al-Qur’an masih kulitnya saja, betapa jauh dari memahaminya, apalagi sampai mengamalkannya. Apa bedanya saya dengan keledai Nasruddin Hoja ketika disuruh tuannya membaca kitab tetapi cuma menjilati dan membolak-balik lembarannya? Lalu mau ditaruh ke mana muka saya ketika membaca al-Qur’an sampai pada ayat “ ألا لعنة الله على الظالمين , (sesungguhnya laknat Allah diberikan kepada orang-orang zalim(, “ ألا لعنة الله على المكذبين (sesunguhnya laknat  Allah ditimpakan  kepada para pendusta). Modar aku... betapa masih sering saya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Betapa masih sering saya meninggalkan kewajiban dan melanggar perintah-perintah yang Allah sampaikan dalam al-Qur’an?
Sekarang Ramadhan memasuki hari ke 10. Tadarusmu sudah dapat berapa juz? Atau malah sudah khatam berapa kali? Setelah membaca al-Qur’an, saya malah jadi takut bercermin.




Jumat, 22 Maret 2013

Transformasi Dunia dan Akhirat


"i'mal lidunyaka kaannaka ta'isyu abada[n], wa'mal liakhiratika kaannaka tamutu ghada[n]."
"bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya. bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok."

banyak orang menganggap "hadits" di atas adalah anjuran untuk menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. mereka menafsirkan "bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya" adalah motivasi agar terus mengumpulkan bekal untuk urusan dunia. saya bertobat pernah menafsirkannya begitu. kini saya mendapatkan pemahaman baru. kalau sedang mengerjakan urusan dunia, mbok ya jangan ngoyo. sampai direwangi sikut kanan-kiri bahkan dengan menghalalkan segala cara, seolah kok tidak ada waktu lagi. bukankah Tuhan sudah menjamin rizki tiap makhluk-Nya. hidupmu masih panjang, kalau sekarang belum dapat, insya Allah besok masih ada waktu.



apa gunanya bekal dunia kalau besok kita mati sedangkan kita belum menyediakan bekal ke akhirat? maka para kaum sufi menganjurkan marilah kita transformasikan dunia kita menjadi akhirat. kita ubah setiap materi menjadi ruhani dengan alat niat (niat yang ihsan/ mengabdi pada Tuhani). karena niat dapat mengubah urusan duniawi menjadi ukhrawi dan begitu pula sebaliknya.

Nabi saw bersabda "kam min 'amalin yatashawwaru bishurati 'amali ahlid-dunya fayashiru bihusnin-niyyati min 'amalil-akhirah. wakam min 'amalin yatashawwaru bi'amalil-akhirati fayashiru min 'amalid-dunya bisu'in-niyyah."
"berapa banyak amal yang kelihatan seperti perbuatan dunia tetapi dikarenakan kebaikan niatnya perbuatan dunia tersebut menjadi amal akhirat. dan berapa banyak perbuatan yang kelihatan seperti amal akhirat tapi perbuatan tersebut menjadi amal dunia, dikarenakan keburukan niatnya."


Jumat, 08 Februari 2013

Salah Kaprah dalam Membaca Naskah Keagamaan



Naskah-naskah keagamaan, khususnya islam yang menggunakan bahasa arab, seringkali mengalami bias pemahaman yang keliru setelah ditransformasikan ke dalam bahasa kita. Hal ini di sebabkan karena setiap bahasa mempunyai gaya bahasa, stilistika, idiom yang khas. Maka tak mudah untuk menterjemahkannya ke bahasa lain. Misalanya untuk menjawab ucapan terima kasih, dalam bahasa arab memakai kata ‘afwan, bahasa inggris you’re welcome. Kalau diartikan leterleg kan jadi janggal dan wagu. Karena kesulitan inilah akhirnya timbul penafsiran penerjemah dalam memahami teks. Apabila penerjemah memilki kapasitas yang baik dalam menguasai kedua bahasa, maka kemungkinan bias makna akan bisa teratasi.
Berikut ini saya akan mencoba mengurai beberapa contoh kesalah-kaprahan yang terjadi dalam membaca naskah-naskah keagamaan.

Kita mulai dengan contoh yang ringan,
"waladatka ummuka baakiyan wan-naasu hawlaka dhaahika[n]. fajhad linafsika an takuuna idzaa baaku yawma mawtika dhaahikan masrura[n]."
"kamu dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis dan orang-orang disekitarmu tertawa bahagia. maka berjuanglah agar ketika mereka menangis di hari kematianmu, kamu bisa tersenyum bahagia."

Konon kutipan itu berasal dari syair Arab, ada juga yang mengatakan dari sahabat Ali. Tidak ada yang salah pada ungkapan diatas. tapi seringkali kita memahaminya keliru. Selama ini kita hanya fokus pada kata "mereka menangis di hari kematianmu," sehingga kita sibuk untuk membuat orang terkesan dengan kita. Kita ingin dikenang setelah meninggal. Menurut saya, ini adalah heroisme kekanak-kanakan. Maka semua yang kita kerjakan adalah palsu. Kita berbuat karena ingin dilihat, tidak murni dari lubuk hati. Padahal lafazh “idzaa baaku yawma mawtika” adalah menceritakan keadaan ketika kita mati. Sebetulnya yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat orang-orang merasa kehilangan setelah kita tiada. Namun bagaimana kita bisa puas terhadap kehidupan yang telah kita jalani sehingga menghadapi maut dengan senang hati, tanpa perlu memusingkan bagaimana orang menilai yang telah kita perbuat. Mau banyak yang layat silahkan, sedikit pun juga tak mengapa. Biarlah Allah saja mengetahui dan membalas segala amal perbuatan kita.

Contoh kedua, hadits tentang memilih wanita yang akan dinikahi:
 تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَات الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ2
“wanita dinikahi karena 4 hal, hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah wanita yang beragama niscaya kamu akan beruntung.”

Banyak orang salah kaprah membaca hadits ini. Mereka mengira perintah rasul dalam mencari jodoh adalah yang memenuhi keempat syarat tersebut. Jika tidak terpenuhi semuanya, baru yang penting agamanya. Padahal kalau kita cermati, rasul menggunakan kata berita pada awal hadits tersebut. Kata “tunkahu al mar`atu” adalah fi’il madhi bina’ majhul, kata kerja pasif yang menunjukkan masa lampau (past tense). Rasul menceritakan bahwa biasanya wanita itu dipilih menjadi pasangan hidup adalah karena 4 faktor (hartanya, nasab keturunannya, kecantikannya, agamanya). Nah, baru setelah menjelaskan berita itu, perintah utama rasul adalah “fazhfar bidzatid-dien” maka pilihlah wanita yang beragama.
Salah kaprah kedua dalam memahami hadits ini adalah tentang kata “dien.” Banyak orang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bidzatid-dien itu yang pintar dalam masalah agama. Sehingga mereka beramai-ramai mencari pasangan yang pintar membaca al-qur’an, rajin ke masjid, faham ilmu fiqh, lulusan pesantren. Inilah ironi bahwa agama difahami hanya sebatas ritual dan ilmu pengetahuan. Padahal dien/ agama  adalah sistem kehidupan yang dituntun oleh Tuhan melalui Nabi-Nya. Maka bidzatid-dien, menurut saya tidak harus pandai ilmu agama, tidak mesti yang lulusan pesantren, tapi dia yang benar-benar mengikatkan diri pada Tuhan-Nya.

Ayat al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

Berdasarkan ayat ini orang banyak beranggapan bahwa kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Kesalah-kaprahan ini sudah agak fatal. karena menyangkut tujuan hidup manusia. Padahal dalam masalah akhirat Allah menggunakan kata perintah, “wabtghi” carilah, sedangkan untuk masalah dunia Dia mengatakan “jangan dilupakan.” Kalau orang tua anda berkata "bekerja keraslah, atau belajarlah, tapi jangan lupa istirahat," apakah itu berarti bekerja/ belajar porsinya seimbang dengan istirahatnya?
Bahkan ada seorang pengusaha, tokoh nasional, yang beberapa bulan lalu terus diiklankan bukunya, dia bilang kalau rakyat indonesia ini rata-rata miskin adalah salah para ulama dan tokoh agama yang selalu menganjurkan terus mencari akhirat mengesampingkan dunia. Menurut saya ini ucapan orang yang belum paham apa itu dunia-akhirat, malah menyalahkan orang lain. Masalah kemiskinan rakyat indonesia itu bukan salah kyai atau pemuka agama, rakyat miskin karena dimiskinkan. Kebijakan pemerintahan yang selalu menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas kakap tetapi merugikan rakyat jelata.

Jadi bisa saya simpulkan beberapa contoh kesalah-kaprahan dalam membaca teks keagamaan adalah
1.      Kerancuan dalam membedakan mana kalimat berita atau perintah
2.      Reduksi makna atas kata yang sebenarnya memiliki arti lebih luas
3.      Ketidak-tahuan mana yang menjadi prioritas
4.      Silahkan tambahkan dan teruskan sendiri

Beberapa kesalah-kaprahan ini bisa menjadi berbahaya ketika hal tersebut diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan Tuhan. Apalagi kalau dia hanya mendengar dan membaca informasi itu tanpa berfikir kembali. Maka apa yang sebenarnya hasil pemikiran terhadap teks keagamaan menjadi dogma yang harus diyakini kebenarannya. Sehingga barang siapa yang bebeda pendapat dianggap telah melawan Tuhan, kafir dan sesat.

Oleh karena itu, mari jangan pernah berhenti belajar

*tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.






Jumat, 04 Januari 2013

Ulasan Lagu Jalan Sunyi-Emha Ainun Nadjib

  



Awal saya menegenal nama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ) adalah ketika saya duduk di bangku MI (tepatnya kelas berapa saya lupa). Waktu itu, bapak membeli kaset tape yang berisi musik Kyai Kanjeng . Pertama kali mendengarnya, telinga saya merasa bising. Iki musik cap apa? kok mbrebeki kuping. Untung saya belum kenal kata diancuuk. Lalu saya sering melihatnya di televisi memberi petuah-petuah tentang kenegaraan. Entah mungkin karena kualat, saya mulai menggemari dia saat pertama kali bersentuhan dengan bukunya yang berjudul "Slilit Sang Kyai" yang saya temukan di perpus sekolah MA NU RAUDLATUL MUALLIMIN WEDUNG . Edan tenan orang ini, dia bisa mengemas tulisan yang seringkali berat dengan bahasa yang sangat nakal. Sepulang ke rumah saya cari kaset yang dibeli bapak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya tidak ketemu. Akhirnya kerinduan saya terlampiaskan setelah berkenalan dengan internet. Saya bisa mendownload lagu-lagunya, tulisan-tulisannya, dan ceramah-ceramahnya.
Yang saya kagumi dari Cak Nun bukan saja pemikiran dan humornya, terlebih lelaku hidupnya yang konsisten. Berbagai gelar dan julukan disematkan padanya. Kyai, sastrawan, budayawan, pemikir, tokoh reformasi. Tapi Cak Nun tidak peduli semua sebutan-sebutan itu. Dia hanya nyaman sebagai manusia biasa. Dia mampu menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah banyak orang yang karena kedudukannya menjadi kehilangan kemanusiaannya. Kalau sudah menjadi kyai tak mau lagi nongkrong di warung kopi. Sudah menjadi pejabat malu kalau tidak pakai jas berdasi. Emha tak segan berkaos oblong, tak sungkan lungguh lesehan berjam-berjam bersama rakyat merayakan kemanuisaan. dia tak terusik dengan pujian dan makian yang dialamatkan padanya karena dia sudah memuji dan memaki-maki dirinya sendiri.
Namun kini, beliau sepertinya sudah mengundurkan diri dari gemerlap media. Dia meneguhkan lelaku hidupnya yang tercermin dalam puisinya yang kemudian dijadikan lagu berjudul “Jalan Sunyi.”
Dalam tulisan ini saya tidak menafsirkan lirik lagunya. Saya hanya berusaha memahami dan menyimpulkan puisinya berdasarkan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang pernah saya baca dan saya dengar.

Jalan sunyi

 

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan


-------------

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Sepertinya lirik ini menceritakan keputus-asaan seseorang menghadapi kehidupan duniawi. Baik yang telah mendapatkan dan merasakan seluruh gemerlap kenikmatannya, atau pun yang gagal, tidak mampu mencapainya. Bagi yang sudah pernah merasakan segala kenikmatan dunia, dunia ini terasa membosankan. Kekayaan, kemasyhuran, segala keberlimpahan tak mampu membuatnya bahagia. Akhirnya dia tahu borok-borok dunia. Orang-orang yang memujinya tak sepenuhnya tulus, mereka menyimpan kepentingan. Dia hanya dijadikan alat pemuas nafsu mereka. Bagi yang gagal mencapainya, dia kecewa, ternyata dunia selalu menipunya. Semua usahanya tak dihargai, karyanya tak diakui, cintanya tak pernah diterima. Hanya duka dan luka yang ia derita. Akhirnya dia memilih menempuh jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui kebanyakan orang. Jalan sejati. Jalan untuk lebih mengenal dan akrab dengan yang inti, yang hakiki. Jalan ilahi.
Jalan sunyi itu seperti lelaku puasa. Melawan mainstream. Ada makanan tak dimakan. Ada minuman tak diminum. Ada banyak wanita hanya satu yang dipilih. Ada kursi tak diduduki. Ada kekuasaan tak dijabat. bernyanyi tak berbunyi, menangis tak didengarkan, menjerit tak diperhatikan. berkarya tak dihargai, ada tak diakui, mencintai malah dibenci, hadir tak pernah menjadi. Kita tahan dan tangguhkan semua itu demi menuju Makan sejati.

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

Bait ini adalah ungkapan kekecewaan kepada dunia. Penyairnya seolah-olah berkata kepada dunia, “wahai dunia kalau memang engkau tak mampu menemukan arti kehadiranku. Engkau tak bisa mengerti dan memahami usahaku untukmu, tidak apa-apa. tak mengapa, tidak masalah bagiku. Biarlah aku saja yang terus menghormatimu, terus melayanimu, terus mempelajarimu. Bahkan kalau pun engkau sebenarnya sudah mengetahui arti kehadiranku, tapi engkau tetap tak bersedia menghormati dan menghargai semua yang kulakukan untukmu, biarlah, biarlah. Aku tidak peduli, nothing to lose. Aku Rak Pethe’en. Biarlah Tuhan dan kekasih-Nya yang selalu menyayangiku, selalu memanjakan diriku, selalu menuntun jalanku.”
Dalam bahasa
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ya dunya ghurri ghairi laqad thallaqtuki tsalatsan.” Wahai dunia, rayulah selain aku, sungguh aku sudah jatuhkan talak tiga kepadamu. Namun kita tak perlu se-ekstrim itu, kita ganti saja berkata, wahai dunia aku mencintai gemerlap kenikmatanmu. Tapi jangan harap kamu menjadi pengantinku. Karena kamu hanyalah jembatan yang mengantarkanku kepada pengantin yang sejati, dia yang inti, yang hakiki. Dunia jangan kita masukkan dalam hati. Kalau dunia kita biarkan bersemayam dalam hati, dia akan jadi raja dan kita menjadi budaknya. Taruh dia di tangan kita, maka kita akan dengan mudah mempermainkannya.

Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

Mungkin kehidupan duniawi ini memang selalu menipu. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan, wamal hayatud dunya illa mata’ul-ghurur. Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Dia selalu memanfaatkan kita. Sepertinya tangan lembutnya mengusap-usap, padahal dia mencabik-cabik dengan kukunya. Seolah-olah dia memeluk kita, tapi sekaligus menggigit leher kita. Kelihatannya dia mengulurkan bantuan ternyata untuk meraih keuntungan pribadi yang lebih besar. Namun sang penyair berkata biarlah, karena aku sudah menempuh jalan sunyi, engkau mau apa dariku, ambillah, engkau mau emas freeport silahkan habiskan, kamu ingin reog ponorogo, silahkan dipatenkan. Kalian pingin pulau ambalat, silahkan caplok, kita masih punya ribuan pulau lagi. Kamu pingin menang piala AFF, sak karepmu, kita memang sedang berpuasa juara, buat apa menang kalau melukai hati yang kalah. Kita orang jawa punya slogan menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang lain). Kamu ingin minyak dan seluruh hasil bumi Indonesia, mangga disedot gan... Tidak apa, bangsa kita kan punya kesadaran tasawuf tingkat tinggi. Memang sangat tipis bedanya antara jadi orang sufi dan orang sableng. Makanya ada seorang sufi yang dijulkuki majnun (si gila).
Lirik ini senada dengan yang dikatakan Mawlana Jalal ad-Din RumiTake away what i want. Take away what i do, Take away what i need. Take away everything what take me from you. Ambillah apa yang kuinginkan, ambillah [hasil] yang kulakukan, ambillah yang kubutuhkan, ambillah semua yang mengambilku darimu. Ambillah semua yang menjauhkanku darimu.
Kalau sudah mampu bersikap demikian kita akan sampai pada yang dikatakan Bayazid Bastami بايزيد بسطامىwhen he without all, he with all.” Ketika seseorang sudah tanpa apa-apa, dia punya segalanya. Kita tak lagi merasa memiliki dan kehilangan, walaupun semua datang dan pergi dari kita. Apanya yang hilang kalau kita tidak [merasa] memiliki apa-apa. Bahkan kita tidak memiliki diri kita sendiri. Bukankah semua ini milik-Nya, bukankah semua yang melekat pada kita hanya titipan saja?


#tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.