Pages

Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2013

Cinta; Dari Perasaan Hingga Keyakinan



Laqad shaara qalbi qaabilan kulla shuurah/ fa mar'an li ghazlan wa diirun li ruhban
Wa baitun li awtsan wa ka'batu Thaif/ wa alwaahu tawrat wa mushhaafu-quran
Adinu bi diinil-hubb anni tawajjahtu/ rakaa'ibahu fal-hubb diinii wa iimanii

Sungguh! Hatiku telah sanggup menerima segala rupa/ ia adalah padang rumput bagi kijang dan biara bagi rahib
Kuil bagi penyembah berhala dan Ka'bah bagi yang bertawaf/ ia adalah lembaran-lembaran taurat sekaligus mushaf Al-Quran
Aku memeluk agama cinta, kuhadapkan dan kuserahkan diriku/ pada perjalanannya, Sungguh! cinta adalah agama dan imanku.
~Ibnu Arabi


Cinta selalu menjadi perbincangan menarik. Ribuan puisi, sajak, buku, lagu, film, selalu tak pernah luput membahas masalah cinta. Tapi ketika ditanya apa itu cinta, banyak orang biasanya terdiam sejenak. Ada yang bingung, dan kalau pun menjawab, jawaban mereka seringkali seputar pengorbanan, kesetiaan, dan hal-hal lain yang terkait dengan perasaan. Bagi orang skeptis, apalagi mereka yang trauma oleh pengkhianatan, perbincangan tentang cinta adalah semacam omong kosong berbau busuk. Bak bunga bangkai tak terbingkai namun orang selalu ingin menjenguk. Setelah melihat film Habibi Ainun, mereka baru percaya cinta sejati itu ada.
Namun sayangnya, cinta sejati dinilai dari sekadar romantisme. Sehingga makna cinta dikebiri menjadi hubungan gombal picisan. Kesetiaan sekarang menjadi satu-satunya kata kunci dalam mengartikan cinta. Nasib cinta kini seperti puisi yang kehilangan permenungan filosofis. Cinta hanya dirasakan tak pernah sampai menjadi keyakinan.

Cinta dan Agama

Setiap agama membawa ajaran tentang cinta. Agama kristen misalnya yang seringkali menggunakan jargon cinta kasih. Konsep ini mendominasi semua ajaran agamanya. Yang paing masyhur adalah ungkapan “kalau kamu ditampar pipi kirimu, berikan pipi kananmu.” Atau dalam kisah orang yang tertangkap berzina kemudian diajukan kepada Yesus agar dihukum rajam. Apa kata Yesus? Bagi yang merasa tidak punya dosa, silahkan melempar duluan. Makanya banyak sekali missionaris yang menyebarkan agamanya melalui pelayanan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.
Dalam agama Budha cinta diyakini secara universal kepada seluruh ciptaan Tuhan. Artinya cinta kita kepada hewan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya harus sama dengan cinta kita kepada sesama manusia. Bahkan tidak boleh mencintai seseorang lebih dari cintanya kepada yang lain. Kalau cintamu terpenjara hanya pada satu sosok makhluk saja, maka ia menjadi hijab untuk mencapai pencerahan. Keyakinan ini berkaitan dengan hukum karma dan reinkarnasi dalam kepercayaan mereka. Makanya para biksu dilarang makan daging. Jangankan memakan, membunuh hewan saja tidak boleh. Bisa jadi hewan yang kita bunuh dahulu adalah saudara kita di kehidupan sebelumnya.
Islam sendiri mempunyai slogan terkenal, rahmatan lil-‘aalamiin yang dikutip dari ayat al-qur’an wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) (QS. 21: 107). Kata rahm mempunyai makna yang lebih luas dari cinta yang lumrah kita pahami. Biasanya ia diartikan kasih sayang. Konsep rahmatan lil-‘alamin ini berbeda dengan cinta universal dalam agama Budha. Porsi cinta tidak harus sama, tapi harus terintegralkan dalam dasar cinta kepada Tuhan.

Cinta dalam Sufisme

Membincang cinta dalam agama Islam akan lebih menarik jika kita menilik konsep cinta dalam sufisme. Konsep cinta dalam tasawuf dipopulerkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah. Menurutnya hubungan ideal antara hamba dan Tuhannya adalah seperti pencinta dan kekasihnya. Kamu jangan beribadah karena menginginkan surga atau takut siksa neraka. Beribadahlah karena murni cintamu kepada pemilik keduanya. Bahkan dalam sebuah riwayat, Rabi’ah pernah berdoa;

Wahai Tuhanku,
Bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat di surga, maka tutuplah pintu surga selamanya bagiku
Tetapi apabila daku menyembah-Mu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap keindahan-Mu yang abadi.

Kemudian konsep cinta dalam tasawuf berkembang setelahnya. Muncul para sufi seperti al-Hallaj dengan hulul-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya, Ibnu Arabi dengan wihdatul wujud-nya, Jalaluddin Rumi dengan kosmologi cintanya. Mereka mengenalkan konsep cinta secara lebih filosofis. Secara  global, cinta yang mereka konsepsikan bisa dibilang hampir mirip. Hanya terdapat perbedaan pada  penggunaan istilah dan masalah-masalahl detilnya.
Yang menarik dari konsep mereka adalah cinta tidak lagi difahami sebagai pengorbanan. Cinta bukan lagi tentang romantisme picisan. Cinta adalah segala tentang peniadaan diri untuk “menyatu” dengan sang kekasih. Tidak ada lagi dualitas antara kau dan aku. Karena hubungan antara dua entitas adalah transaksi, bukan cinta sejati. Tidak ada lagi separuh kau dan aku, karena segala aku telah luruh melebur kedalam seluruh kamu. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ungkapan mereka yang terkenal. Al-Hallaj memproklamirkan "ana al-haqq" (akulah Sang Maha Kebenaran, Abu Yazid berseru, “subhaani u’buduuni” (maha suci Aku, sembahlah Aku). Ibnu Arabi bersenandung dalam syairnya, “fama nazhrat ‘ainayya ila ghairi wajhihi/ wama sami’at udzunayya siwaa kalaamihi” (maka kedua mataku tidak memandang selain wajah-Nya/ dan kedua telingaku tidak mendengar kecuali ucapan-Nya).
Semua ungkapan ini rentan untuk disalah-fahami. Bagi mereka yang menelan mentah-mentah akan menganggap para tokoh sufi itu telah kurang ajar bahkan murtad sebagaimana Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Ada pula yang mencurigai sebagai paham inkarnasi seperti ajaran kristiani tentang avatar Tuhan yang menitis kepada Yesus Kristus. Namun Jalaluddin Rumi punya pemahaman yang menarik mengenai sathahat-sathahat sufistik tersebut. Menurutnya ungkapan tersebut adalah puncak kerendah-hatian seorang hamba. Mereka telah meniadakan keakuannya. Di sana tak ada lagi dua entitas; aku dan Allah. Jika masih ada dualitas, berarti ia masih menonjolkan keakuannya. Sedangkan mereka telah meniadakan diri dan memasrahkannya kepada Sang Kekasih. Dengan penuh kesadaran mereka mengakui bahwa tiada wujud sejati selain Allah. Aku dengan segala eksistensiku adalah tiada. Aku bukan apa-apa.
Filosofi cinta mereka ternyata juga mempengaruhi beberapa penyair kontemporer. Taufiq Ismail misalnya yang menterjemahkan puisi cinta Rabi’ah. Dia juga menulis lirik lagu “jika surga dan neraka tak pernah ada” yang dinyanyikan oleh Chrisye dan Ahmad Dhani. Kita juga bisa menemukan filosofi Ibnu Arabi dalam penggalan sajak “Satu” Sutardji Calzoum Bachrie di bawah ini

kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminku.
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku.”

Jika kita mendengar lagu “larut” dan “satu”-nya grup band Dewa, melihat video klip “permintaan hati” dan “senyumanmu”-nya Letto, disana pun kita bisa menemukan nuansa cinta sufistik terasa kental sekali. Dalam dua lagunya itu, Ahmad Dhani cenderung memakai diksi yang banyak diambil dari konsep hulul-nya al-Hallaj. Sedangkan dalam lirik permintaan hati letto lebih bernuansa wihdatul wujud Ibnu Arabi dan menggunakan gaya cinta Rumi dalam lagu senyumanmu.

Cinta dan Keseimbangan Alam

Di antara para tokoh sufi tersebut, yang paling populer pemikirannya tentang cinta adalah Jalaluddin Rumi. Bahkan pasca tragedi WTC, orang barat banyak yang tertarik mempelajari Islam, dan Rumi diklaim sebagai duta Islam di dunia barat. Mereka terkesan dengan syair-syair dan pemikirannya tentang cinta sehingga merubah prejudies/ prasangka mereka tentang Islam.
Konsepnya tentang cinta berkaitan erat dengan kosmologi. Menurutnya cinta adalah yang menjadi dasar segala ciptaan. Cinta mengada mendahului rasionalitas dan hukum. Untuk lebih memasuki teori cinta Rumi, saya akan ajukan beberapa pertanyaan. Apa yang membuat sebuah benda bergerak? Dalam fisika kita akan menemukan jawabannya: Gaya. Apa inti gaya itu? Tarikan dan dorongan. Jika kita membuka pelajaran fisika salah satu macam gaya adalah gravitasi (daya tarik planet). Kalau kita memakai teori cinta Rumi, hal itu menjadi terbalik, karena gravitasi lah yang menyebabkan keseimbangan gerak benda. Semua benda di sekitar kita punya potensi gravitasi, namun ia terkendali oleh daya gravitasi yang lebih besar yakni; bumi. Gerak bumi pun terkendali oleh daya gravitasi matahari. Matahari terkendali oleh gravitasi pusat galaksi. Dan semua galaksi di cakrawala semesta ini pasti bergerak dalam kendali gravitasi yang Maha Kuat (al-Qawiyyu). Apa inti gravitasi? Daya tarik. Itu dia cinta; tarikan. Jadi, seluruh semesta ini dijadikan Tuhan berdasarkan tarikan cinta dari Dzat yang Maha Mencintai. Fenomena ini sesuai dengan hadits Qudsi, kuntu kanzan makhfiyan fa-ahbabtu an u’arrifa. Dahulu Aku adalah harta tersembunyi, lalu aku berhasrat (cinta) untuk dikenali.
Berdasarkan cinta Allah ini, terpancarlah nur muhammad atau haqiqatul muhammadiyyah menurut isltilah al-Hallaj. Sedangkan dalam filasafat faidh (emanasi), dinamakan akal pertama. Kalau teori bigbang benar, bisa jadi itulah manifestasi awal nur muhammad. Maka hadits qudsi “lawlaaka lawlaaka lammaa khalaqtul-aflaak” (kalau tidak ada kamu, kalau tidak karena kamu (Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta), dapat kita temukan relevansinya disini.
Pada nur muhammad inilah tercermin segala sifat Tuhan secara sempurna. Akhirnya makhluk berkembang menjadi banyak, dan sifat-sifat Tuhan pun terbagi sesuai keterbatasan masing-masing. Karena sifat Tuhan yang tercermin dalam nur muhammad telah terpecah dan terbagi ke berbagai bentuk, harus ada satu quthb (poros) yang mewakili keutuhan atribut nur muhammad sebagai penyeimbang kelangsungan hidup alam semesta. Maka Allah mewujudkan esensi nur muhammad ke dalam diri Adam sebagai khalifatullah. Khalifatullah berperan sebagai “wakil” pengganti Allah yang bertugas menjaga keseimbangan dunia. Dia harus menjadi adi manusia, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jili menyebutnya al-Insan al-Kamil. Manusia yang mampu menyerap dan memanifestasikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupannya. Nur muhammad terus berpindah dari Adam ke keturunannya. Dan Insan Kamil yang paling sempurna menyerap dan mencerminkan sifat-sifat Tuhan adalah Nabi Muhammad Saw.
Bila datang suatu masa dimana tidak ada satu pun manusia yang mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan, maka terjadilah kekacauan di antara tarikan-tarikan. Karena setiap tarikan di dunia telah kehilangan kutubnya. Semua tarikan itu, Rumi menyebutnya cinta. Bilamana cinta telah sirna maka kiamat sudah tiba waktunya.

Yawma yafirrul-mar’u min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shahibatihi wa baniihi (Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya). (QS. 80: 34-36)
Yawma tarawnahaa tadzhalu kullu murdhi’atin ‘amma ardha’at wa tadha’u kullu dzaati hamlin hamlahaa (Pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil). (QS. 22: 2)
Yawma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuuts, wa takuunul-jibaalu kal-‘ihnil-manfuusy (Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan). (QS. 101: 4-5)
Idzas-samaa`u-(i)nfatharat, wa idzal-kawaakibu-(i)ntasyarat, wa idzal-bihaaru fujjirat (Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap). (QS. 82: 1-3)

Bukankah semua itu menunjukkan tarikan-tarikan yang telah kehilangan kutubnya? Bukan-kah semua itu merupakan gambaran bahwa cinta sudah lenyap dari hati setiap makhluk-Nya?



This is love: to fly toward a secret sky, to cause a hundred veils to fall each moment. First to let go of life. Finally, to take a step without feet.”

“Inilah cinta: terbang di langit rahasia, menyebabkan seratus hijab luruh setiap saat. Pertama membiarkan pergi kehidupan. Akhirnya, menjangkah tanpa kaki.”
                                                                                   ~Mawlana Rumi



Jumat, 04 Januari 2013

Ulasan Lagu Jalan Sunyi-Emha Ainun Nadjib

  



Awal saya menegenal nama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ) adalah ketika saya duduk di bangku MI (tepatnya kelas berapa saya lupa). Waktu itu, bapak membeli kaset tape yang berisi musik Kyai Kanjeng . Pertama kali mendengarnya, telinga saya merasa bising. Iki musik cap apa? kok mbrebeki kuping. Untung saya belum kenal kata diancuuk. Lalu saya sering melihatnya di televisi memberi petuah-petuah tentang kenegaraan. Entah mungkin karena kualat, saya mulai menggemari dia saat pertama kali bersentuhan dengan bukunya yang berjudul "Slilit Sang Kyai" yang saya temukan di perpus sekolah MA NU RAUDLATUL MUALLIMIN WEDUNG . Edan tenan orang ini, dia bisa mengemas tulisan yang seringkali berat dengan bahasa yang sangat nakal. Sepulang ke rumah saya cari kaset yang dibeli bapak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya tidak ketemu. Akhirnya kerinduan saya terlampiaskan setelah berkenalan dengan internet. Saya bisa mendownload lagu-lagunya, tulisan-tulisannya, dan ceramah-ceramahnya.
Yang saya kagumi dari Cak Nun bukan saja pemikiran dan humornya, terlebih lelaku hidupnya yang konsisten. Berbagai gelar dan julukan disematkan padanya. Kyai, sastrawan, budayawan, pemikir, tokoh reformasi. Tapi Cak Nun tidak peduli semua sebutan-sebutan itu. Dia hanya nyaman sebagai manusia biasa. Dia mampu menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah banyak orang yang karena kedudukannya menjadi kehilangan kemanusiaannya. Kalau sudah menjadi kyai tak mau lagi nongkrong di warung kopi. Sudah menjadi pejabat malu kalau tidak pakai jas berdasi. Emha tak segan berkaos oblong, tak sungkan lungguh lesehan berjam-berjam bersama rakyat merayakan kemanuisaan. dia tak terusik dengan pujian dan makian yang dialamatkan padanya karena dia sudah memuji dan memaki-maki dirinya sendiri.
Namun kini, beliau sepertinya sudah mengundurkan diri dari gemerlap media. Dia meneguhkan lelaku hidupnya yang tercermin dalam puisinya yang kemudian dijadikan lagu berjudul “Jalan Sunyi.”
Dalam tulisan ini saya tidak menafsirkan lirik lagunya. Saya hanya berusaha memahami dan menyimpulkan puisinya berdasarkan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang pernah saya baca dan saya dengar.

Jalan sunyi

 

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan


-------------

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Sepertinya lirik ini menceritakan keputus-asaan seseorang menghadapi kehidupan duniawi. Baik yang telah mendapatkan dan merasakan seluruh gemerlap kenikmatannya, atau pun yang gagal, tidak mampu mencapainya. Bagi yang sudah pernah merasakan segala kenikmatan dunia, dunia ini terasa membosankan. Kekayaan, kemasyhuran, segala keberlimpahan tak mampu membuatnya bahagia. Akhirnya dia tahu borok-borok dunia. Orang-orang yang memujinya tak sepenuhnya tulus, mereka menyimpan kepentingan. Dia hanya dijadikan alat pemuas nafsu mereka. Bagi yang gagal mencapainya, dia kecewa, ternyata dunia selalu menipunya. Semua usahanya tak dihargai, karyanya tak diakui, cintanya tak pernah diterima. Hanya duka dan luka yang ia derita. Akhirnya dia memilih menempuh jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui kebanyakan orang. Jalan sejati. Jalan untuk lebih mengenal dan akrab dengan yang inti, yang hakiki. Jalan ilahi.
Jalan sunyi itu seperti lelaku puasa. Melawan mainstream. Ada makanan tak dimakan. Ada minuman tak diminum. Ada banyak wanita hanya satu yang dipilih. Ada kursi tak diduduki. Ada kekuasaan tak dijabat. bernyanyi tak berbunyi, menangis tak didengarkan, menjerit tak diperhatikan. berkarya tak dihargai, ada tak diakui, mencintai malah dibenci, hadir tak pernah menjadi. Kita tahan dan tangguhkan semua itu demi menuju Makan sejati.

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

Bait ini adalah ungkapan kekecewaan kepada dunia. Penyairnya seolah-olah berkata kepada dunia, “wahai dunia kalau memang engkau tak mampu menemukan arti kehadiranku. Engkau tak bisa mengerti dan memahami usahaku untukmu, tidak apa-apa. tak mengapa, tidak masalah bagiku. Biarlah aku saja yang terus menghormatimu, terus melayanimu, terus mempelajarimu. Bahkan kalau pun engkau sebenarnya sudah mengetahui arti kehadiranku, tapi engkau tetap tak bersedia menghormati dan menghargai semua yang kulakukan untukmu, biarlah, biarlah. Aku tidak peduli, nothing to lose. Aku Rak Pethe’en. Biarlah Tuhan dan kekasih-Nya yang selalu menyayangiku, selalu memanjakan diriku, selalu menuntun jalanku.”
Dalam bahasa
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ya dunya ghurri ghairi laqad thallaqtuki tsalatsan.” Wahai dunia, rayulah selain aku, sungguh aku sudah jatuhkan talak tiga kepadamu. Namun kita tak perlu se-ekstrim itu, kita ganti saja berkata, wahai dunia aku mencintai gemerlap kenikmatanmu. Tapi jangan harap kamu menjadi pengantinku. Karena kamu hanyalah jembatan yang mengantarkanku kepada pengantin yang sejati, dia yang inti, yang hakiki. Dunia jangan kita masukkan dalam hati. Kalau dunia kita biarkan bersemayam dalam hati, dia akan jadi raja dan kita menjadi budaknya. Taruh dia di tangan kita, maka kita akan dengan mudah mempermainkannya.

Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

Mungkin kehidupan duniawi ini memang selalu menipu. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan, wamal hayatud dunya illa mata’ul-ghurur. Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Dia selalu memanfaatkan kita. Sepertinya tangan lembutnya mengusap-usap, padahal dia mencabik-cabik dengan kukunya. Seolah-olah dia memeluk kita, tapi sekaligus menggigit leher kita. Kelihatannya dia mengulurkan bantuan ternyata untuk meraih keuntungan pribadi yang lebih besar. Namun sang penyair berkata biarlah, karena aku sudah menempuh jalan sunyi, engkau mau apa dariku, ambillah, engkau mau emas freeport silahkan habiskan, kamu ingin reog ponorogo, silahkan dipatenkan. Kalian pingin pulau ambalat, silahkan caplok, kita masih punya ribuan pulau lagi. Kamu pingin menang piala AFF, sak karepmu, kita memang sedang berpuasa juara, buat apa menang kalau melukai hati yang kalah. Kita orang jawa punya slogan menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang lain). Kamu ingin minyak dan seluruh hasil bumi Indonesia, mangga disedot gan... Tidak apa, bangsa kita kan punya kesadaran tasawuf tingkat tinggi. Memang sangat tipis bedanya antara jadi orang sufi dan orang sableng. Makanya ada seorang sufi yang dijulkuki majnun (si gila).
Lirik ini senada dengan yang dikatakan Mawlana Jalal ad-Din RumiTake away what i want. Take away what i do, Take away what i need. Take away everything what take me from you. Ambillah apa yang kuinginkan, ambillah [hasil] yang kulakukan, ambillah yang kubutuhkan, ambillah semua yang mengambilku darimu. Ambillah semua yang menjauhkanku darimu.
Kalau sudah mampu bersikap demikian kita akan sampai pada yang dikatakan Bayazid Bastami بايزيد بسطامىwhen he without all, he with all.” Ketika seseorang sudah tanpa apa-apa, dia punya segalanya. Kita tak lagi merasa memiliki dan kehilangan, walaupun semua datang dan pergi dari kita. Apanya yang hilang kalau kita tidak [merasa] memiliki apa-apa. Bahkan kita tidak memiliki diri kita sendiri. Bukankah semua ini milik-Nya, bukankah semua yang melekat pada kita hanya titipan saja?


#tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.

Sabtu, 17 November 2012

Sashtra Jinendra Vijnana*


cerpen Warih Firdausi

Persepsi I: Perkenalan itu…
Facebook bagiku bukan dunia maya. Hanya orang yang kurang kerjaan saja yang menganggapnya begitu. Banyak bisnis yang terjadi melalui facebook, pernikahan yang bermula dari facebook. Mencari teman atau bahkan anggota keluarga yang hilang pernah juga terjadi dengan bantuan facebook. Meskipun ada juga kasus pemerkosaan, penipuan akibat berhubungan dengan orang tak dikenal di facebook. Menurutku semua itu merupakan bagian episode dari dunia yang sebenarnya. Maka aku pun menuliskan info di profilku sebagaimana adanya diriku.
Aku termasuk orang yang selektif menerima pertemanan di facebook. Aku hanya menerima permintaan teman orang yang secara pribadi aku mengenalnya, dan mereka yang update postingnya kurasa bermanfaat. Kau mungkin sudah tahu, banyak profil di facebook yang menggunakan nama-nama account yang aneh, nyleneh, lebay, alay, bahkan jorok. Dalam kasus ini aku berpendirian untuk tidak berteman dengan mereka. Dari namanya saja sudah tidak mampu menghargai dirinya sendiri, apalagi menghargai orang lain? Biasanya aku langsung ignore permintaan mereka.
Suatu saat, ada satu account facebook yang meminta pertemanan dengan nama Diancuk Modarsono dengan cover photo seorang wanita berpose nyaris telanjang. Tubuh polosnya hanya berbalut air susu yang ia tuangkan dari atas mulutnya mengalir membentuk rompi sampai kedua pahanya. Dengan angle dari belakang 30° ke kanan, gambar itu tampak sensual, eksotis dan artistik. Entah kenapa aku tertarik dengan account yang satu ini. Aku buka timeline-nya. Aku tak bisa melihat dia berteman dengan siapa saja. Pengaturan privacy-nya boleh juga. Tidak mencantumkan tempat, tanggal lahir dan jenis kelamin. Semoga saja masih punya kemaluan dan rasa malu. Pendidikannya alam semesta. Sama sepertiku juga, pembelajar sejati. Pekerjaannya pelayan keseimbangan. Aku belum faham. Dalam infonya ia menulis bio tentang dirinya,
“Aku seperti bawang yang terus dikuliti, dimana segala nama dan atribut adalah kulit bawang yang berlapis-lapis. Apa yang kalian ketahui dan kenali tentang diriku hanyalah kulit yang kalian kupas sendiri. Semakin kalian mengupasnya, kalian akan tahu bahwa aku yang sejati sebenarnya tiada.”
Aku suka kalimat mistikus ini. Setelah membaca tulisan itu tanganku tak tahan lagi untuk mengklik link accept friend request. Untuk pertama kali aku mengkhianati prinsipku sendiri. Ah, tidak juga, yang ini kan beda, unique, sepertinya akan banyak bermanfaat kalau aku berteman dengannya. Beginilah kebiasaanku bila sudah jatuh hati pada pembacaan pertama, aku teruskan menjelajahi timeline-nya.
Status update terbarunya “Tuhan, izinkan aku sejenak merasakan betapa indahnya memandang kecantikan wajah-Mu dari neraka.”
Aku tulis komentar, “hanya orang gila yang meminta  neraka.“
Tidak beberapa lama masuk satu notifikasi baru, Diancuk Modarsono commented on their status, “saya memang orang gila. :)
”“Selera humor anda bagus juga."
”Sayangnya, saya sedang tidak melawak."
“Hha. saya suka gaya anda.”
“Karena Alhamdulillahi (segala puji hanya milik Allah), maka sudah seharusnya saya berdoa a’udzubillahi minal-hamdi (saya berlindung kepada Allah dari segala pujian).”
“Senang berkenalan dengan Anda.”
“Senang, sedih jika datangnya dari luar diri sama seperti rasa lainnya, manis, pahit, asin, dll. Mereka bersifat sementara.”
Aku semakin penasaran dengannya. Aku lihat di chatroom tak tercantum namanya. Aku ingin melakukan percakapan secara pribadi dengannya.



Persepsi II: Terpukau oleh cermin Tuhan
Aku suka dunia maya. Dia tak pernah berbohong atas kesemuan dan kesementaraannya. Karena bagiku tidak ada yang namanya dunia nyata. Tak salah bila orang Hindu menyebut dunia sebagai mayapada, semuanya semu dan sementara. Fakta adalah sandiwara fiktif sebuah perspektif. Oleh karena itu aku suka karya sastra dan seni. Selain seni, tidak ada yang mampu melampaui sekat realitas dan imajinasi. Sastra merupakan gagasan ketuhanan yang dibalut dengan seni menyusun kata dan cerita. Bahasa sastra juga tak pernah berdusta bahwa ia metafora. Dalam facebook pun aku menyukai halaman-halaman “artist” (pekerja seni, bukan selebritis) dan bergabung dalam grup-grup sastra.
Dalam sebuah grup sastra, tak sengaja kutemukan sebuah nama akun facebook yang menarik perhatianku, Sintha Kesini. Aku langsung teringat dua tokoh perempuan dalam Ramayana. Sintha, wanita setia nan jelita, istri Rama. Dan Kesini, ibunda Rahuvana, perempuan yang haus akan pengetahuan sejati. Ah, apalah arti sebuah nama. Orang dikenang bukan karena makna harfiah dari namanya. Namun, nama seseorang akan terpatri abadi di hati orang-orang yang mengenalnya sebab sikap dan perilakunya.
Aku lihat foto profilnya, sesosok wanita cantik. Kau tahu kan, banyak orang memasang foto wanita cantik sebagai foto profilnya. Untuk membuktikan kejujurannya (atau konsistensi sandiwaranya?), aku telusuri semua album fotonya. Foto wajahnya mendominasi. Ku cermati status-statusnya, menurutku, ia tipikal camera obscura, menyampaikan sesuatu sama dengan apa yang direkam oleh indranya. Akhirnya kuputuskan menambahkannya sebagai teman. Aku suka wanita cantik. Wanita adalah cermin dari citra kecantikan (jamaliyah) Tuhan.


Persepsi III: Usaha melepas ke[te]la[n]jangan
Ada satu pesan baru masuk, dari Diancuk Modarsono. Dia membalas pesanku,
“Apalah arti sebuah nama, nama hanyalah penanda dari pribadi seseorang, untuk menandai satu sama lain.
Aku menukas, “bukankah nama itu sebuah doa dan harapan?”
“Benar. Itu harapan bagi yang menamainya. Padahal harapan orang lain adalah beban bagi penyandang nama.”
“Lalu apakah dengan nama yang kau sandang itu, lantas kau merasa bebas dari beban? Bukankah kau malah menanggung beban lebih berat? Tentu butuh waktu cukup lama untuk terbiasa rela menerima caci-maki dari mereka yang menganggap nama sebagai representasi pribadi.” Entah kenapa aku sudah merasa dekat dengannya sehingga mengganti kata Anda dengan kau.
“Kata Newton, “and to every action there is always an equal and opposite or contrary.” Setiap aksi pasti bekonsekuensi reaksi, ada yang mendukung, ada pula yang beroposisi. Kalau sudah tahu dan faham rumusnya kenapa harus sakit hati? Bagi mereka yang sudah mampu mengatasi segala caci-maki, namaku adalah pujian atas kejujuran yang selama ini hilang. Kejujuran akan naluri manusia yang selalu rindu untuk urakan. Namaku adalah sayup-sayup keberanian untuk merendahkan dan meremehkan diri di tengah bisingnya ketakutan orang-orang yang bersembunyi di balik image building/ pencitraan.”
Kata-katanya seperti anak panah yang menghujam jantung kesadaranku. Jangan-jangan aku termasuk orang yang takut. Takut dianggap bodoh, takut tak terlihat cantik, takut terbongkar semua kelemahan dan sifat burukku. Aku semakin suka orang ini. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. “Kalau boleh tahu, berapa usiamu? Dengan pengetahuanmu yang luas, aku tidak yakin kau masih muda." :)
“Hahaha. Kesempatan orang untuk memperoleh informasi itu sama. Di hadapan pengetahuan, tua-muda sama saja. Informasi hanyalah data semata dan takkan pernah menjadi pengetahuan jika kau enggan mempertanyakannya. Seperti kata Einstein, pembagian waktu: masa lalu, kini, dan yang akan datang itu ilusi. Pernahkah kau mempertanyakan, kenapa sekarang hari kamis, jam delapan, malam? Waktu yang sebenarnya itu absolute, tak berpangkal, tak berujung. Namun, untuk menguasainya manusia membuat kesepakatan dengan mengiris-irisnya hingga menjadi kalender. Tak sadarkah kau bahwa setiap individu punya ukuran masing-masing, mengenai ruang dan waktu? Betapa indahnya jika sejenak melebur dalam kemutlakan waktu, sehingga masa silam dan masa depan bisa terjadi sekarang.”
Gila, dia memporak-porandakan pola pikirku selama ini. Di hadapannya, aku selalu merasa kerdil. Kecerdasanku tumpul tak berdaya. Kecantikan yang kubanggakan tak mampu menyihirnya. Aku mulai berfikir, jangan-jangan dialah sebenarnya yang kucari-cari selama ini. Orang yang telah lama kurindukan. Orang yang menilai sesuatu tidak sebatas lahiriyah semata. Orang yang dapat menyingkapkan padaku misteri-misteri yang tak kunjung kufahami.


Persepsi IV: Tuah sashtra jinendra vijnana
Sejak menangkap adanya indikasi dia punya perasaan kepadaku, aku bingung. Dia selalu meminta untuk kopi darat denganku. Biar kuberitahu padamu salah satu rahasiaku, berbincang-bincang secara tatap muka langsung dengan perempuan secantik itu, bagiku seperti melihat penampakan wajah Tuhan. Mungkin aku bisa seperti Musa yang langsung jatuh pingsan akibat meminta melihat wajah Tuhan. Aku belum siap. Aku selalu mencari alasan untuk terus menunda pertemuan itu.
Hingga suatu saat, di beranda facebookku muncul satu permintaan. Shinta Kesini mengajukan permintaan untuk menjalin hubungan denganku. Diancuk, modar aku. Sudah kukatakan padanya aku ini tidak istimewa. Kau bisa cari ratusan orang sepertiku. Di dunia maya tak ada yang namanya copy right. Kini sudah zamannya right to copy. Nothing of me is original, I’m just a copy of a copy of a copy.
Kau tahu kan, cinta memang selalu rumit. Aku hanya bisa memberinya status hubungan: complicated. Aku berusaha tak lagi menjawab komentar, pesan, ataupun kiriman dindingnya. Bahkan aku takut update status lagi.Aku merasa sangat bersalah. Aku sudah membiarkan dia terlalu dalam mengupas kulit bawang. Aku khawatir sekali dia akan amat kecewa karena terlalu percaya. Maukah kau berjanji menjaga rahasia ini jika kuberitahu kepadamu hal yang sebenarnya? Aku mohon jangan pernah kau katakan hal ini kepadanya. Sesungguhnya akun facebook dengan nama Diancuk Modarsono adalah fake profile (akun palsu) yang kubuat-buat. Diancuk Modarsono tidak pernah ada sosoknya. Kini aku sudah menon-aktifkannya. Aku tidak mau Diancuk Modarsono menjadi sesuatu yang nyata bagi Sintha Kesini.


Semarang, 15092012/1111


*) Sashtra jinendra vijnana adalah istilah dalam agama Hindu untuk menyebut pengetahuan rahasia yang menyingkap hakikat segala realitas di dunia. Dalam dunia tasawuf Islam dikenal dengan wahdatul wujud. Keyakinan akan adanya satu wujud semata yang nyata. Segala yang tampak (mawjud) hanyalah medium penampakan citra yang bersifat maya dan sementara dari Dzat Tunggal Tuhan Yang Maha Tak Bertepi, Yang Maha Tak Terperi, Maha Tak Terpikirkan, Maha Segala Maha.