Pages

Tampilkan postingan dengan label kyai kanjeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kyai kanjeng. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Januari 2013

Ulasan Lagu Jalan Sunyi-Emha Ainun Nadjib

  



Awal saya menegenal nama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ) adalah ketika saya duduk di bangku MI (tepatnya kelas berapa saya lupa). Waktu itu, bapak membeli kaset tape yang berisi musik Kyai Kanjeng . Pertama kali mendengarnya, telinga saya merasa bising. Iki musik cap apa? kok mbrebeki kuping. Untung saya belum kenal kata diancuuk. Lalu saya sering melihatnya di televisi memberi petuah-petuah tentang kenegaraan. Entah mungkin karena kualat, saya mulai menggemari dia saat pertama kali bersentuhan dengan bukunya yang berjudul "Slilit Sang Kyai" yang saya temukan di perpus sekolah MA NU RAUDLATUL MUALLIMIN WEDUNG . Edan tenan orang ini, dia bisa mengemas tulisan yang seringkali berat dengan bahasa yang sangat nakal. Sepulang ke rumah saya cari kaset yang dibeli bapak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya tidak ketemu. Akhirnya kerinduan saya terlampiaskan setelah berkenalan dengan internet. Saya bisa mendownload lagu-lagunya, tulisan-tulisannya, dan ceramah-ceramahnya.
Yang saya kagumi dari Cak Nun bukan saja pemikiran dan humornya, terlebih lelaku hidupnya yang konsisten. Berbagai gelar dan julukan disematkan padanya. Kyai, sastrawan, budayawan, pemikir, tokoh reformasi. Tapi Cak Nun tidak peduli semua sebutan-sebutan itu. Dia hanya nyaman sebagai manusia biasa. Dia mampu menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah banyak orang yang karena kedudukannya menjadi kehilangan kemanusiaannya. Kalau sudah menjadi kyai tak mau lagi nongkrong di warung kopi. Sudah menjadi pejabat malu kalau tidak pakai jas berdasi. Emha tak segan berkaos oblong, tak sungkan lungguh lesehan berjam-berjam bersama rakyat merayakan kemanuisaan. dia tak terusik dengan pujian dan makian yang dialamatkan padanya karena dia sudah memuji dan memaki-maki dirinya sendiri.
Namun kini, beliau sepertinya sudah mengundurkan diri dari gemerlap media. Dia meneguhkan lelaku hidupnya yang tercermin dalam puisinya yang kemudian dijadikan lagu berjudul “Jalan Sunyi.”
Dalam tulisan ini saya tidak menafsirkan lirik lagunya. Saya hanya berusaha memahami dan menyimpulkan puisinya berdasarkan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang pernah saya baca dan saya dengar.

Jalan sunyi

 

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan


-------------

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Sepertinya lirik ini menceritakan keputus-asaan seseorang menghadapi kehidupan duniawi. Baik yang telah mendapatkan dan merasakan seluruh gemerlap kenikmatannya, atau pun yang gagal, tidak mampu mencapainya. Bagi yang sudah pernah merasakan segala kenikmatan dunia, dunia ini terasa membosankan. Kekayaan, kemasyhuran, segala keberlimpahan tak mampu membuatnya bahagia. Akhirnya dia tahu borok-borok dunia. Orang-orang yang memujinya tak sepenuhnya tulus, mereka menyimpan kepentingan. Dia hanya dijadikan alat pemuas nafsu mereka. Bagi yang gagal mencapainya, dia kecewa, ternyata dunia selalu menipunya. Semua usahanya tak dihargai, karyanya tak diakui, cintanya tak pernah diterima. Hanya duka dan luka yang ia derita. Akhirnya dia memilih menempuh jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui kebanyakan orang. Jalan sejati. Jalan untuk lebih mengenal dan akrab dengan yang inti, yang hakiki. Jalan ilahi.
Jalan sunyi itu seperti lelaku puasa. Melawan mainstream. Ada makanan tak dimakan. Ada minuman tak diminum. Ada banyak wanita hanya satu yang dipilih. Ada kursi tak diduduki. Ada kekuasaan tak dijabat. bernyanyi tak berbunyi, menangis tak didengarkan, menjerit tak diperhatikan. berkarya tak dihargai, ada tak diakui, mencintai malah dibenci, hadir tak pernah menjadi. Kita tahan dan tangguhkan semua itu demi menuju Makan sejati.

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

Bait ini adalah ungkapan kekecewaan kepada dunia. Penyairnya seolah-olah berkata kepada dunia, “wahai dunia kalau memang engkau tak mampu menemukan arti kehadiranku. Engkau tak bisa mengerti dan memahami usahaku untukmu, tidak apa-apa. tak mengapa, tidak masalah bagiku. Biarlah aku saja yang terus menghormatimu, terus melayanimu, terus mempelajarimu. Bahkan kalau pun engkau sebenarnya sudah mengetahui arti kehadiranku, tapi engkau tetap tak bersedia menghormati dan menghargai semua yang kulakukan untukmu, biarlah, biarlah. Aku tidak peduli, nothing to lose. Aku Rak Pethe’en. Biarlah Tuhan dan kekasih-Nya yang selalu menyayangiku, selalu memanjakan diriku, selalu menuntun jalanku.”
Dalam bahasa
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ya dunya ghurri ghairi laqad thallaqtuki tsalatsan.” Wahai dunia, rayulah selain aku, sungguh aku sudah jatuhkan talak tiga kepadamu. Namun kita tak perlu se-ekstrim itu, kita ganti saja berkata, wahai dunia aku mencintai gemerlap kenikmatanmu. Tapi jangan harap kamu menjadi pengantinku. Karena kamu hanyalah jembatan yang mengantarkanku kepada pengantin yang sejati, dia yang inti, yang hakiki. Dunia jangan kita masukkan dalam hati. Kalau dunia kita biarkan bersemayam dalam hati, dia akan jadi raja dan kita menjadi budaknya. Taruh dia di tangan kita, maka kita akan dengan mudah mempermainkannya.

Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

Mungkin kehidupan duniawi ini memang selalu menipu. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan, wamal hayatud dunya illa mata’ul-ghurur. Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Dia selalu memanfaatkan kita. Sepertinya tangan lembutnya mengusap-usap, padahal dia mencabik-cabik dengan kukunya. Seolah-olah dia memeluk kita, tapi sekaligus menggigit leher kita. Kelihatannya dia mengulurkan bantuan ternyata untuk meraih keuntungan pribadi yang lebih besar. Namun sang penyair berkata biarlah, karena aku sudah menempuh jalan sunyi, engkau mau apa dariku, ambillah, engkau mau emas freeport silahkan habiskan, kamu ingin reog ponorogo, silahkan dipatenkan. Kalian pingin pulau ambalat, silahkan caplok, kita masih punya ribuan pulau lagi. Kamu pingin menang piala AFF, sak karepmu, kita memang sedang berpuasa juara, buat apa menang kalau melukai hati yang kalah. Kita orang jawa punya slogan menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang lain). Kamu ingin minyak dan seluruh hasil bumi Indonesia, mangga disedot gan... Tidak apa, bangsa kita kan punya kesadaran tasawuf tingkat tinggi. Memang sangat tipis bedanya antara jadi orang sufi dan orang sableng. Makanya ada seorang sufi yang dijulkuki majnun (si gila).
Lirik ini senada dengan yang dikatakan Mawlana Jalal ad-Din RumiTake away what i want. Take away what i do, Take away what i need. Take away everything what take me from you. Ambillah apa yang kuinginkan, ambillah [hasil] yang kulakukan, ambillah yang kubutuhkan, ambillah semua yang mengambilku darimu. Ambillah semua yang menjauhkanku darimu.
Kalau sudah mampu bersikap demikian kita akan sampai pada yang dikatakan Bayazid Bastami بايزيد بسطامىwhen he without all, he with all.” Ketika seseorang sudah tanpa apa-apa, dia punya segalanya. Kita tak lagi merasa memiliki dan kehilangan, walaupun semua datang dan pergi dari kita. Apanya yang hilang kalau kita tidak [merasa] memiliki apa-apa. Bahkan kita tidak memiliki diri kita sendiri. Bukankah semua ini milik-Nya, bukankah semua yang melekat pada kita hanya titipan saja?


#tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Puasa = Jalan Sunyi


Emha Ainun Najib: Jalan Sunyi

Akhirnya, kutempuh jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu
Sendiri di lubuk hati, puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya (reff)

Kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku
Biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu
Kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku
Biarlah para kekasih rahasia Allah yang mengusap-usap kepalaku

kembali ke reff
Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu
Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu
Ambillah!! Ambillah!!
Akan kumintakan izin kepada Allah yg memilikinya
Sebab toh bukan diriku ini yg kuinginan dan kurindukan

kembali ke reff


-----
  • Puisi dibawah ini mungkin masih berhubungan dengan tembang di atas:
Puasa itu jalan sunyi. Tersedia makanan tapi tak dimakan. Tersedia kursi tapi tak diduduki. Tersedia tanah tapi tak dipagari.
Puasa itu jalan sunyi. Menggambar tapi tak terlihat. Bernyanyi tapi tak terdengar. Menangis tapi tak diperhatikan.
Puasa itu jalan sunyi. Menjadi tanpa eksistensi. Pergi menuju kembali. Hadir tapi tak dikenali. "Menuju Makan Sejati"
~EMHA AINUN NAJIB

  • Puasa = jalan sunyi. Menurut saya, makhluk yang paling berpuasa adalah Iblis. Di belahan bumi manapun ia selalu dicela dan dikutuk sebagai musuh Tuhan karena enggan mentaati perintah-Nya sujud kepada Adam. Padahal, penolakannya adalah kecemburuan tak terperi. Kini ia rela ditakdirkan tuhan sebagai tokoh antagonis semesta. ia menempuh jalan sunyi, selalu mencintai tapi tak henti dibenci.
  • Adakah yang mampu melebihi pengorbanan iblis? ada. Ternyata Tuhan punya sudut pandang lain yang karenanya Dia memuliakan Adam atas segala ciptaan-Nya. Adam lebih mulia karena ia mencintai Sang Kekasih, namun merelakan kekasihnya dimiliki seluruh semesta alam. Di sinilah kesalahan iblis yang menyombongkan kedekatannya dengan Tuhan, seolah-olah hanya dialah yang memiliki [kehendak]-Nya.
  • Berpuasa adalah menempuh jalan sunyi. di tengah-tengah sibuknya para pencinta yang memamerkan rasa cintanya pada Sang Kekasih, ia harus rela menanggung derita tak terkira sebab menyembunyikan cintanya agar tak tercemar oleh rasa bangga di hadapan pecinta lainnya. lalu apakah kita masih perlu bertanya kemuliaannya di sisi Sang Kekasih?
    kullu 'amalibni adama lahu illash-shaumu. fainnahu lii wa ana ajzy bih. (setiap amal anak adam adalah untuknya kecuali puasa. karena sesungguhnya dia [khusus] untukku dan aku sendiri yang akan membalasnya) ~hadits qudsi