Pages

Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Januari 2013

Ulasan Lagu Jalan Sunyi-Emha Ainun Nadjib

  



Awal saya menegenal nama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ) adalah ketika saya duduk di bangku MI (tepatnya kelas berapa saya lupa). Waktu itu, bapak membeli kaset tape yang berisi musik Kyai Kanjeng . Pertama kali mendengarnya, telinga saya merasa bising. Iki musik cap apa? kok mbrebeki kuping. Untung saya belum kenal kata diancuuk. Lalu saya sering melihatnya di televisi memberi petuah-petuah tentang kenegaraan. Entah mungkin karena kualat, saya mulai menggemari dia saat pertama kali bersentuhan dengan bukunya yang berjudul "Slilit Sang Kyai" yang saya temukan di perpus sekolah MA NU RAUDLATUL MUALLIMIN WEDUNG . Edan tenan orang ini, dia bisa mengemas tulisan yang seringkali berat dengan bahasa yang sangat nakal. Sepulang ke rumah saya cari kaset yang dibeli bapak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya tidak ketemu. Akhirnya kerinduan saya terlampiaskan setelah berkenalan dengan internet. Saya bisa mendownload lagu-lagunya, tulisan-tulisannya, dan ceramah-ceramahnya.
Yang saya kagumi dari Cak Nun bukan saja pemikiran dan humornya, terlebih lelaku hidupnya yang konsisten. Berbagai gelar dan julukan disematkan padanya. Kyai, sastrawan, budayawan, pemikir, tokoh reformasi. Tapi Cak Nun tidak peduli semua sebutan-sebutan itu. Dia hanya nyaman sebagai manusia biasa. Dia mampu menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah banyak orang yang karena kedudukannya menjadi kehilangan kemanusiaannya. Kalau sudah menjadi kyai tak mau lagi nongkrong di warung kopi. Sudah menjadi pejabat malu kalau tidak pakai jas berdasi. Emha tak segan berkaos oblong, tak sungkan lungguh lesehan berjam-berjam bersama rakyat merayakan kemanuisaan. dia tak terusik dengan pujian dan makian yang dialamatkan padanya karena dia sudah memuji dan memaki-maki dirinya sendiri.
Namun kini, beliau sepertinya sudah mengundurkan diri dari gemerlap media. Dia meneguhkan lelaku hidupnya yang tercermin dalam puisinya yang kemudian dijadikan lagu berjudul “Jalan Sunyi.”
Dalam tulisan ini saya tidak menafsirkan lirik lagunya. Saya hanya berusaha memahami dan menyimpulkan puisinya berdasarkan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang pernah saya baca dan saya dengar.

Jalan sunyi

 

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan


-------------

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Sepertinya lirik ini menceritakan keputus-asaan seseorang menghadapi kehidupan duniawi. Baik yang telah mendapatkan dan merasakan seluruh gemerlap kenikmatannya, atau pun yang gagal, tidak mampu mencapainya. Bagi yang sudah pernah merasakan segala kenikmatan dunia, dunia ini terasa membosankan. Kekayaan, kemasyhuran, segala keberlimpahan tak mampu membuatnya bahagia. Akhirnya dia tahu borok-borok dunia. Orang-orang yang memujinya tak sepenuhnya tulus, mereka menyimpan kepentingan. Dia hanya dijadikan alat pemuas nafsu mereka. Bagi yang gagal mencapainya, dia kecewa, ternyata dunia selalu menipunya. Semua usahanya tak dihargai, karyanya tak diakui, cintanya tak pernah diterima. Hanya duka dan luka yang ia derita. Akhirnya dia memilih menempuh jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui kebanyakan orang. Jalan sejati. Jalan untuk lebih mengenal dan akrab dengan yang inti, yang hakiki. Jalan ilahi.
Jalan sunyi itu seperti lelaku puasa. Melawan mainstream. Ada makanan tak dimakan. Ada minuman tak diminum. Ada banyak wanita hanya satu yang dipilih. Ada kursi tak diduduki. Ada kekuasaan tak dijabat. bernyanyi tak berbunyi, menangis tak didengarkan, menjerit tak diperhatikan. berkarya tak dihargai, ada tak diakui, mencintai malah dibenci, hadir tak pernah menjadi. Kita tahan dan tangguhkan semua itu demi menuju Makan sejati.

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

Bait ini adalah ungkapan kekecewaan kepada dunia. Penyairnya seolah-olah berkata kepada dunia, “wahai dunia kalau memang engkau tak mampu menemukan arti kehadiranku. Engkau tak bisa mengerti dan memahami usahaku untukmu, tidak apa-apa. tak mengapa, tidak masalah bagiku. Biarlah aku saja yang terus menghormatimu, terus melayanimu, terus mempelajarimu. Bahkan kalau pun engkau sebenarnya sudah mengetahui arti kehadiranku, tapi engkau tetap tak bersedia menghormati dan menghargai semua yang kulakukan untukmu, biarlah, biarlah. Aku tidak peduli, nothing to lose. Aku Rak Pethe’en. Biarlah Tuhan dan kekasih-Nya yang selalu menyayangiku, selalu memanjakan diriku, selalu menuntun jalanku.”
Dalam bahasa
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ya dunya ghurri ghairi laqad thallaqtuki tsalatsan.” Wahai dunia, rayulah selain aku, sungguh aku sudah jatuhkan talak tiga kepadamu. Namun kita tak perlu se-ekstrim itu, kita ganti saja berkata, wahai dunia aku mencintai gemerlap kenikmatanmu. Tapi jangan harap kamu menjadi pengantinku. Karena kamu hanyalah jembatan yang mengantarkanku kepada pengantin yang sejati, dia yang inti, yang hakiki. Dunia jangan kita masukkan dalam hati. Kalau dunia kita biarkan bersemayam dalam hati, dia akan jadi raja dan kita menjadi budaknya. Taruh dia di tangan kita, maka kita akan dengan mudah mempermainkannya.

Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

Mungkin kehidupan duniawi ini memang selalu menipu. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan, wamal hayatud dunya illa mata’ul-ghurur. Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Dia selalu memanfaatkan kita. Sepertinya tangan lembutnya mengusap-usap, padahal dia mencabik-cabik dengan kukunya. Seolah-olah dia memeluk kita, tapi sekaligus menggigit leher kita. Kelihatannya dia mengulurkan bantuan ternyata untuk meraih keuntungan pribadi yang lebih besar. Namun sang penyair berkata biarlah, karena aku sudah menempuh jalan sunyi, engkau mau apa dariku, ambillah, engkau mau emas freeport silahkan habiskan, kamu ingin reog ponorogo, silahkan dipatenkan. Kalian pingin pulau ambalat, silahkan caplok, kita masih punya ribuan pulau lagi. Kamu pingin menang piala AFF, sak karepmu, kita memang sedang berpuasa juara, buat apa menang kalau melukai hati yang kalah. Kita orang jawa punya slogan menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang lain). Kamu ingin minyak dan seluruh hasil bumi Indonesia, mangga disedot gan... Tidak apa, bangsa kita kan punya kesadaran tasawuf tingkat tinggi. Memang sangat tipis bedanya antara jadi orang sufi dan orang sableng. Makanya ada seorang sufi yang dijulkuki majnun (si gila).
Lirik ini senada dengan yang dikatakan Mawlana Jalal ad-Din RumiTake away what i want. Take away what i do, Take away what i need. Take away everything what take me from you. Ambillah apa yang kuinginkan, ambillah [hasil] yang kulakukan, ambillah yang kubutuhkan, ambillah semua yang mengambilku darimu. Ambillah semua yang menjauhkanku darimu.
Kalau sudah mampu bersikap demikian kita akan sampai pada yang dikatakan Bayazid Bastami بايزيد بسطامىwhen he without all, he with all.” Ketika seseorang sudah tanpa apa-apa, dia punya segalanya. Kita tak lagi merasa memiliki dan kehilangan, walaupun semua datang dan pergi dari kita. Apanya yang hilang kalau kita tidak [merasa] memiliki apa-apa. Bahkan kita tidak memiliki diri kita sendiri. Bukankah semua ini milik-Nya, bukankah semua yang melekat pada kita hanya titipan saja?


#tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.

Senin, 24 Januari 2011

ibu, air mata, telanjang



seorang ibu menjejalkan kata

dalam tangis bayinya

air mata muncrat memandikan sang ayah

yang terkapar telanjang berpeluh nikmat



25122010;0738

Minggu, 06 Juni 2010

DUKAMU DUKAKU, DERITAMU DERITAKU

Neng Lub, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Tsamratul Lubbiyyah kami sapa. Siapa yang menyangka dalam anugrah wajah yang anggun, teduh menawan, selalu menyunggingkan senyum manis kepada setiap yang memandangnya, sehingga mungkin hanya orang buta yang tak terpikat oleh pesonanya, dan juga tuli karena jika kau amati secara seksama, bahkan daun-daun pun ikut merunduk lirih jika mendengar tutur lembut dari indah suaranya, seolah mentasbihkan pencipta senandung merdu yang sedang berkidung itu, ternyata tergaris nasib derita tak terperi dan pahit-getir kehidupan yang menyayat hati akibat sebuah sistem kekuasaan imperial yang mentradisi sehingga menjadi semacam dogma dalam kehidupannya.
Neng Lub memang berbeda. Dia adalah putri bungsu kyai kami. Usianya selisih satu tahun lebih muda dariku walaupun dalam sekolah kami satu kelas. Selain cantik dan pintar (ma’af bukan cerdas), ia juga rendah hati, tidak merasa sok putri kyai. Menurut cerita-cerita gunjingan anak-anak putri pesantren kami yang kami dengar dari para pacar mereka, neng Lub tak segan makan senampan bahkan juga ikut memasak dan tidur bersama mereka. Dan ia lebih senang dipanggil oleh mereka dengan sebutan Mbak, bukan Neng. Sudah cantik, pinter, tidak sombong pula. Betul-betul cermin wanita shalihah, sebaik-baik perhiasan dunia bukan?
Tentu saja tak hanya para santri dan gus-gus, bahkan bajingan sekalipun pasti punya hasrat untuk memilikinya. Mulai dari alasan nafsu bejat hinggga alasan yang entah itu tawadhu’, tafa’ul[1] atau sekedar apologi untuk menutupi alasan yang pertama, “ngalap berkah.” Apapun motifnya, sungguh beruntung sekali lelaki yang bisa mendapatkan putri bungsu KH. Zarkasyi ini. Maka tidak salah dan tidak asing jika setelah shalat berjama’ah, terdengar di sela-sela doa-doa kami pekikan kecil dari seseorang atau beberapa santri “jodohkan aku dengan Neng Lub ya Allaah.” Dan para santri lain pun menyahut dengan keras “Aaamiiin...” Tak terkecuali aku.

* * * *

Adalah Gus Dullah dan kang Tohar. Mereka adalah teman-teman terdekatku. Dulu ketika kami sedang tongkrongan di warung mie ayam mak Juma’inah merayakan kemenangan kang Tohar dalam lomba qira’ah se-kabupaten, kami sempat membuat semacam taruhan kecil-kecilan. Barang siapa yang mampu mendapatkan hati neng Lub akan ditrkatir mie ayam, rokok, es teh sepuasnya oleh dua orang yang kalah. Taruhan khas pesantren.
Kendati aku pingen sekali mendapatkan hati neng Lub, rasanya tidak mungkin bersaing dengan kedua sahabatku ini. Meskipun tampangku tak kalah saing dengan mereka, namun dalam segi ras keturunan Gus Dullah pasti lebih unggul. Apalagi kalau harus saingan sama kang Tohar. Dia itu satu kali baca bait alfiah[2] langsung melekat di otaknya. Macam lem alteko otaknya itu.
“Lek, siap-siap aja mie ayamnya, baru saja aku luncurkan surat cintaku kepada neng Lub tersayang. Dia pasti langsung klepek-klepek baca puisiku. Hahaha..” kang Tohar mulai bertingkah.
“eit, jangan merasa di atas angin dulu kang.” Gus Dullah menyerobot.
“neng Lub itu sudah tak pagari pake pake wa alqaitu.”[3]
Aku mencoba mematahkan bualan Gus Dullah sembari menghibur diri, “Ah, mental gus mahabbahmu, wong abah Zarkasyi itu jadugnya sudah tersohor sak propinsi. Kecuali kalau sampean berani bilang langsung sama abah sampean. Pasti langsung dilamarken. Tapi apa iya sampean sudah berani? Lha wong alfiah dapat separo aja belum.”
“Hahaha… “ kami pun tertawa dengan pikiran masing-masing.
Sebenarnya sekarang aku sudah ingin melenyapkan rasaku terhadap neng Lub. Aku teringat pesan ibuku satu bulan lalu di ambang ajalnya. Beliau berpesan kepadaku untuk istqomah belajar. Jangan berpikiran yang macam-macam dulu, termasuk wanita. Kasihan bapak yang kerja sendirian membiayai sekolahku dan adik-adiku. Apa ndak punya hati, bapak di rumah jungkir balik memeras keringat supaya anak-anaknya jadi orang semua, di pondok aku malah enak-enakan pacaran. Ah mungkin ibuku khawatir usia remaja sepertiku biasanya sudah tercemar virus pacaran. Ya naluri keibuan selalu saja mengkhawatirkan anaknya. Dan ternyata memang terbukti kekhawatirannya itu.
Semenjak tiga puluh hari terakhir ini ritual sebelum tidurku berubah. Sebelumnya setiap kali merebahkan badan untuk terlelap, selalu saja pikiran ini melayang menerabas tembok besar yang menyekat menjadi batas pondok putra dan putri. Ia mencari suara lirih yang mungkin sedang menyenandungkan kidung surga di pojok kamarnya. Pikiran ini merekam setiap dengung suaranya dan meng-capture setiap gurat lekuk parasnya, juga merasakan degup jantungnya, siapa tahu terselip sekelebat namaku di sana.
Kini pikiran dan hatiku tetap menembus tembok besar itu. Namun ia tak berhenti dan terus melayang menuju Solo lalu mencari dua nisan yang masih kukuh menancap dan menghujam tanah-tanah lemah. Sekarang wajah ibuku yang terus terngiang di benakku. Mengenang setiap waktu yang pernah kami habiskan bersama. Menyesal belum sempat kuseka kedua sudut matanya yang selalu menitikkan harapan dan kecemasan saat mendoakanku. Ia telah lebih dulu menghadap ke haribaan-Nya.
Maka bergantilah penghuni hati ini. Rasa cinta telah tergusur oleh rindu. Bukan kepada neng Lub lagi (walau sesungguhnya hati kecilku masih mendambakannya), melainkan kepada ibu.

* * * *

Semburat cahya matahari kian melunak dan meremang di ambang senja. Siluet sinarnya kini tak lagi garang menyengat, bahkan ia menjelma panorama indah memerah keemasan di ufuk barat. Alunan qira’ sudah meraung-raung dari corong beberapa masjid. Suara murottal imam al-Ghomidi yang disetel dari kaset masjid raya desa ini ibarat alarm yang mengingatkanku untuk segera kembali ke pesantren. Maghrib sudah menjelang, aku harus menyudahi khalwat (menyepi) rutinku di makam mbah Ibrahim ini.
Ketika hampir memasuki gerbang pesantren, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil oleh suara halus berasal dari koperasi pesantren kami yang letaknya tepat di seberang gerbang pesantren disamping ndalem-nya Abah.. Hatiku sempat berdesir sebentar. Ah, ternyata bukan suara neng Lub. Entah kenapa ada sedikit perasaan lega tercampur sembelit kecewa.
“Ada apa mba Fat? Mau ngasih bancaan nih?” gurauku sambil menghampirinya.
“Ya mas Malek, ini lho bancaan dari mba Lub, katanya buat sampean,”
“Mba Lub?”
“Iya, neng Lub maksudnya, wah gayanya sok gak kenal” jawabnya mesam-mesem.
“Ini khususon apa buat bancaan rame-rame?”
“Ya terserah sampean kalau mau buat rame-rame, yang penting suratnya buat sampean.” Ia melirihkan penggalan kalimat terakhirnya.
“Surat? Surat apa?” sergahku heran.
“Halah lagakmu lho mas kok mbodoni gitu toh? Buka aja, nanti kan tau sendiri!”
Sesampai di pondok, kubagikan bancaan tadi kepada kang Tohar dan Gus Dullah yang baru saja selesai main bola. Lantas kubuka sesobek kertas yang dikatakan surat tadi. Isinya singkat, lugu dan sederhana “terima kasih kiriman puisinya mas, indah sekali saya sangat suka. Maukah mas Malik membuatkannya lagi untukku?”
Aku tertegun heran. Bukankah kemarin yang mengirim surat dan puisi kepada neng Lub itu kang Tohar, bukan aku? Masa neng Lub salah nulis nama, atau barangkali...
“Kang Tohar… langsung saja kupanggil ia yang sedang bersama Gus Dullah duduk bertelekan bersandar dinding depan kamar.
“Kenapa Lek?”
“Kemarin sampean kan yang nulis surat dan puisi ke neng Lub to?”
“Ya, betul.”
“Lho kok aku yang dapat balasannya ya?”
“Emang balasannya gimana?” selidiknya penasaran.
“Nih baca sendiri.”
“AlhamduliLlaaah, misi kita berhasil gus Dul...” kang Tohar berteriak kegirangan.
Gus Dullah yang mendengar teriakan kang Tohar akhirnya masuk kamar dan ikut nimbrung.
“Selamat ya Lek.” Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“lho apa-apaan ini. Yang berhasil kan kang Tohar bukan aku?” sergahku tambah heran.
“Jadi begini,” kang Tohar mulai bertutur sok dewasa. Setelah menghela nafas sejenak, memberi jeda seolah agar aku penasaran ia melanjutkan,
“Sebenarnya aku dan gus Dullah yang mengirimkan surat dan puisi itu atas namamu. Sebab kami tahu kau sangat mencintai neng Lub dan kami juga tahu dari gelagatnya Neng Lub yang kami perhatikan saat sekolah dan mengaji, agaknya dia pun memendam perasaan yang sama kepadamu. Makanya kami mengalah saja dan memutuskan nyomblangin kalian berdua.”
“Apa? Oh jadi sampean-sampean ini berkomplot toh. Kurang ajar, komplot gak ngajak-ngajak.” Kutinju pelan perut buncit gus Dul.
“Lha terus puisi yang sampean kirimkan itu... nah, berarti sampean berdua bertanggung jawab harus membuatkannya lagi ya.”
“Yo moh, wong itu puisi puisimu sendiri. Aku sama kang Tohar nyontek dari tulisan semrawut di pintu gothakanmu[4] . Selanjutnya kau tanggung sendiri Lek. Hahaha… jangan lupa nanti malam kau nraktir kita berdua. Soalnya dirimu kan cuman kayak bos gak ngapa-ngapain. Kita berdua yang repot.”
“Wah masa’ gitu sih, kan gak ada kesepakatannya?
“Yo diniati syukaran lah Lek.” Sahut kang Tohar sembari tiba-tiba dengan gaya kampungannya berdiri merentangkan kedua tangannya dan berhambur kepadaku sambil berteriak
“Neng Lub,, kemarilah kupeluk dirimu…”
Aku pun tak sempat menghindar, ia memelukku erat hampir mematahkan seluruh sendiku.
“Selamat ya Lek, akhirnya kau dapatkan juga pujaan hatimu. jangan pernah kau permainkan dan sakiti hatinya” bisiknya lirih bergetar menahan pilu.
Aku hanya bisa berkata “Kang, keringetmu kecut, mandi dulu geh.”

* * * *

“Maukah kubenamkan kau ke sedalam-dalamnya lembah hatiku? Agar kau bisa selalu damai bertapa di sana tanpa perlu mencari tempat sunyi untuk menyepi. Karena aku belum pernah menemukan bagian tersenyap di muka bumi ini selain di sana. Jadilah penghuni lembah hati senyap ini supaya ia bisa mengenal setidaknya sepercik peradaban cinta.”
Tak kusangka dengan sebuah coretan yang kurangkai di ujung fajar sambil menunggu jama’ah subuh itu mampu meluluhkan hati neng Lub.
Siang itu siang yang mungkin akan sulit kulupakan. Detak jarum jam menunjukkan pukul dua seperempat. Di saat para santri menghempaskan lelahnya di masjid dan kamar masing-masing, aku beranjak menuju koperasi pesantren. Kurelakan tidur siangku untuk memenuhi permintaan sang ratu hati. Langkahku menderap mantab dengan sedikit berjingkrat mengekspresikan kegirangan.
Ah, itu dia neng Lub sudah menunggu di dalam koperasi sembari tersenyum. Tak kusadari ternyata dari tadi ia memperhatikanku. Namun entah kenapa dapat kurasakan senyum itu lebih menyerupai senyum getir bukan senyum karena lucu. Aku jadi salah tingkah. Gugup. Baru pertama kali aku bertatap muka sedekat ini dengannya.
“Assalamu ‘alaikum.” Aku mencoba menyapa duluan.
“Wa’alaikumus salam warahmatuLlah” suara merdunya serasa menusuk kalbu.
Hening sejenak, kemudian kuberanikan diriku menggerakkan bibir lagi
“Emm… ini pesanan neng Lub kemarin. Mohon maaf jika tak seindah seperti yang diinginkan.” Selalu saja aku merasa bodoh dan tolol di hadapannya.
“Terima kasih” jari-jari lentiknya menarik selembar kertas yang kusodorkan di atas kaca etalase. Aku suka sekali cara mengambilnya, lembut dan elegan.
Ia baca sejenak coretanku tadi pagi. Kulihat matanya sayu dan hampir menitikkan air mata.
“Kenapa Neng? Apakah tulisanku berdebu sehingga membuat matamu berair” entah kenapa tiba-tiba pertanyaan konyol seperti itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Ia tersenyum dan sekali lagi sangat getir. Ah, aku merasa tambah bersalah.
“Mas Malik…” ah, sekali lagi aku suka cara ia memanggil namaku dengan ejaan ma-lik (bukan ma-lek seperti panggilan teman-teman kepadaku) terasa lebih halus dan renyah di kuping.
“Sebenarnya sungguh aku tak sanggup menolak rasa yang sampean tawarkan. Namun mohon beribu-ribu maaf mas,” suaranya kini semakin tersedu seakan tersumbat di tenggorokan, membuatku semakin kikuk dan khawatir was-was.
“Apa boleh dikata, tadi sebelum shalat zhuhur abah memanggilku. Abah mau menjodohkanku dengan seseeorang yang dahulu pernah menjadi muridnya.” pecah juga isaknya setelah menyelesaikan kalimat ini.
“Apa?” pekikku namun hanya dalam hati. Tak kuasa aku berkata keras di hadapan neng Lub. Su’ul adab (adab tercela) namanya. Baru saja kemarin malam aku tersungkur bersujud syukur kemudian mentraktrir kang Tohar dan Gus Dullah atas hasil jerih payah dan pengorbanan mereka, tapi ternyata sekarang… akh, sekali lagi kuberanikan diri bertanya kepadanya
“Kalau boleh tahu, siapakah gerangan lelaki beruntung yang akan dijodohkan dengan sampean Neng?
Ia diam sejenak, menghela nafas seolah mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaanku, kemudian menatapku dalam-dalam dan berkata dengan nada bergetar,
“Ustadz Subki dari Solo, bapak sampean mas.”
Aku tercekat tak mampu berucap walau hanya sekecap. Tanpa kusadari butir-butir air mata yang sudah dari tadi susah payah kubendung kini tumpah membasahi wajah. Sempat kurasakan setetes yang menyelinap ke dalam bibirku. Tahukah kau? Sungguh rasanya tak lagi asin melainkan pahiit sekali.


Semarang, 14052010.
Ibu, selain dan setelah kepada Tuhan,
di saat-saat seperti ini sungguh aku benar-benar merindu
menumpahkan segala keluh kesahku kepadamu.


End notes
1. Tafa’ul diambil dari bahasa arab yang secara istilah santri artinya mengharap mendapatkan sesuatu yang sama dengan yang ditafa’uli. Maka jika tafa’ulnya kepada Neng Lub ini harapannya dapat memiliki anak yang seperti dirinya.
2. Kitab nahwu (gramatika arab) yang berisi 1002 bait. Biasanya menjadi kitab nahwu standar di pesantren-pesantren untuk dikaji dan dihafalkan.
3. Sepenggal kata dari al-Qur’an yang biasanya dijadikan mahabah, menarik hati pasangan. Istilah kasarnya pelet ala pesantren.
4. Gothakan, bhs jawa cara melafalkannya dengan dihilangkan huruf “k”-nya (gota-an). Artinya lemari.

Sabtu, 01 Mei 2010

risalah rindu (aforisme status update (part 4))


habis gelap, terang tak terbit-terbit. gelap tak habis-habis menghabiskan terang. terbitlah penghabisan. terangilah kegelapan.
kalau kau benar-benar sudah menolak hadirku, kenapa kau selalu mengusik mimpi-mimpiku? benarkah begitu?
entah seketika diamku memecah keheningan, menerkam senyap hati, mencekam sukma, mendengungkan bising rindu, mendedahkan isi setiap gelombang saraf. sampai tiba-tiba bayangmu muncul secara berkelindan dengan nostalgia monolog memporak-porandakan dan meningkatkan ritme setiap aktivitas penghuni heningku. owh owh... hingga sadarku tak mampu mengejar kecepatan mereka.
130420100106 tertelan tertimbun tersumbat tercerabut terbuai tersentuh tergeletar terjengkang tertawan terperosok terperangkap terpasung terbelenggu terpencil tercekat terlunta termenung terpelanting terdampar terserak terhambur tersadar tanpa sedikitpun me- sama sekali.
mendekatlah, mendekatlah... dengarkan kebisingan hati ini yang dalam kesunyian selalu memekikkan gelisah kerinduan. atau intiplah ia dari nanar mataku agar kau bisa melihat bagaimana tegarnya ia menghadapi badai kecemburuan. jika kau tak mau mendengar atau melihat, maka mendekatlah saja supaya kalbu ini sedikit bisa membasahi dahaga rindunya.
kini mungkin kau takkan lagi pernah sekedar menyapaku. sekedar untuk kau ketahui meski rasanya tak mungkin bisa kau tahu itu, aku akan mengelus dada dan berucap "all iz well, all iz well, all iz well..."
dan saat kau tunjukan semua kelemahan dan kehinaanku. lalu kau pamerkan segala ke-Maha-an-Mu. maka betapa aku ingin tersungkur penuh kemaluan dan penyesalan. bahwa ternyata hanya kecongkakanku semata yang menggelayuti kalbu. sehingga membuat daya yang teramat sangat kerdil sekali ini merasa besar melebihi kekuasaan-Mu. betapa aku ingin menikmati segala keterhinaan ini.
saat tiba-tiba keheningan itu benar-benar sungguh memekakkan telinga, sehingga aku dapat mendengar bahkan setiap bising dengungan gelombang neuron-neuron yang mengalir dari seantero badan ini memusat ke kepala. dengungan itu membuatku bergidik. bunyinya sungguh mirip sekali dengan neraka yang sedang telah ditempa puluhan ribu tahun lamanya.
aku harus membelalakkan diri bahwa sungguh aku ingin memiliki rasa ketakutan akan rasa memiliki dan bangga yang selama ini benar-benar telah menjajah dan mengebiri potensi kebebasan hati ini. ternyata sesungguhnya engkaulah yang layak memiliki dan dibanggakan. bukan aku!!
ternyata untuk melipat bumi tak perlu dengan sapu angin. aku nyaris melintasi berbagai bililk dimensi hingga hampir kujelajahi seluruh benua. cukup memejamkan mata dan kukikis habis alam sadar, hingga aku tersesat dalam rimba-rimba dejavu. kutemui baik yang pernah kujumpai maupun yang sama sekali tak pernah bersua dalam kasunyatan. sungguh betapa nikmat segala keterpelantingan ini.
entah apa jadinya jika sebuah kebenaran menjadi gengsi tak mau bersanding dengan "kesalahan-kesalahan"? entah apakah ia lupa atau belum tahu bahwa ia menjadi benar karena ada yang salah? entah bisakah ia disebut kebenaran bila ia lupa atau belum tahu? entah apa jadinya jika kebenaran menjadi sok suci menjajah najis-najis tak berdaya? entah masihkah dapat disebut kebenaran jika ia menyembah kesombongan? entahlah...
tengoklah terus diriku agar dapat kuhempaskan rindu. tengoklah seperti tadi malam dan siang ini walau tak selama dulu ketika kita bebas bercengkrama. setidaknya sekecap suaramu memuaskan dahaga kering hati ini. tahukah kau? aku rindu mencari uban di kepalamu
bahkan aku seperti tidak bermimpi melihat dan mendengar kembali kau bercakap tentangku tadi malam di ujung sadarku. akh, mengingatmu membuatku mulai merindu kepada kata rindu yang tak kutuliskan baru sehari dari kemarin.
dan diantara tanda-tanda yang kau pamerkan, aku sungguh tak berdaya. logikaku tumpul mengiris walau satu tanda. sementara untuk meraih dzauq aku terengah menggalinya hingga saat aku menyerah terhempas, aku harus puas cukup dengan menggores sedikit misterimu.
"wa ammaa bini'mati rabbika fahaddits". bagaimana aku harus mengabarkan setiap hembus nafas, setiap degup jantung, denyut nadi sementara sepanjang hari aku terus menggenggamkan tangan? bahkan ingat kepada-Nya pun hanya sekelebat detik. astaghfiruLlaah al-'azhim...
sungguh setiap potongan sel di sekujur tubuhku meneriakkan kerinduan kepadamu. dengan kejam mulut-mulut berisik mereka dibungkam oleh kebengisan ego dan kepentingan hasratku. aku merindukan kesejukan setetes air mata agar dapat meluruhkan karat-karat busuk yang menyelimuti hati. supaya sang hati memimpin semua molekul tubuh ini bebas berdemokrasi menyuarakan dzikir tasbihnya.
apabila nanti aku telah lelah merindu aku takut tersesat pada selainmu biarlah tercerabut hati ini jika karena lukanya dapat melanggengkan ingatanku kepadamu, daripada kau sembuhkan rinduku lalu kau lenyapkan kenangan indah bersamamu. karena aku telah tercandu dalam dan oleh ekstase rindu.
ternyata bukan pukulanmu yang membuatku sakit. tapi kebencianmu terhadapku membuat air mata ini tak mau berhenti menitik.
sudahkah kukatakan kepadamu? aku sungguh sangat teramat rinduuuu sekali. kataku sudah habis termakan rindu ternyata ia sangat serakah menguras porsi kata yang tersedia dalam kecil benakku sekian, aku mau kulaan dulu untuk memuaskanmu.
senja... senja itu waktu sebentar sebelum malam menjejakkan kegelapan. senja... burung-burung kembali ke peraduan mensyukuri siang hari mereka senja... tempat menyesalkan pagi bagi para penceroboh waktu senja... hingga sampai senja usiaku aku takkan menyesal menunggumu. aku takkan bertaubat karena rindu kepadamu kuhaturkan sebuah kalimat untuk senjaku "maaf hadirmu tak mengada dalam kamus hidupku"
if you understand... why sunset always reddish its rays be no more fierce and be softer if you understand... you will get the answer of my keeping silent do you understand?
ternyata panas sengat matahari tak mampu meleburkan beku hatiku pun ganasnya deburan angin malam tak kuasa untuk memadamkan kobaran api rinduku. pernahkah kalian menggigil rindu kawan? selimut hati jenis apa yang mampu menghangatkannya?
kwan q mndptkan rmus bru bhwa nlai dn ukran itu dpt dtntukan klau ada pmbandingny. mk hndkny qt brtrmksh kpd pmbnding qt
terkadang kita harus mengabaikan harapan agar dapat ikhlas menerima kenyataan.
tolong ambilkan secarik kertas suci itu...!!! biar kugunakan untuk menampar kesombongan yang meledak dalam hatiku. agar ia sadar bahwa cukup secarik kertas saja sudah bisa membuatnya tersedu.
bila hanya cukup sebilah pedang untuk membunuhku, maka takkan cukup kau gunakan sejuta rudal untuk dapat sekedar menggerogoti rinduku. jika hanya dengan sepatah kata telah mampu mengucilkan nyaliku, maka walaupun kau hadapkan seribu singa takkan menggentarkan semilipun langkahku untuk sekedar mengintipmu.
jika hanya tentang rindu jangan pernah kau ragukan untuk mempertanyakannya padaku aku pasti selalu dan akan terus merindu. tapi jangan pernah juga kau bertanya tentang setia... sungguh sulit aku untuk sekedar menjaganya apalagi mendawamkannya. ohh.. andai bisa kutebus setia itu dengan rinduku...
saat kutitipkan rinduku pada angin ia merasa tak sanggup bahkan untuk sekedar menerpanya. aku berlari ke gunung, gunung pun menolak tak kuasa menahan beratnya. ketika ingin kuhamburkan ke samudra, samudra seolah terbelah karena takut getirnya. sebegitu malangkah rindu ini? kupendam kau sedalam2nya dalam curam jurang kalbuku. meledaklah disana agar porak-poranda segala kegalauan tanpa harus mencemari semesta alam
ketika dua kepentingan, misi dan tujuan saling bertumbukan, dan mereka bersikukuh atas posisinya maka suilt sekali mencapai indahnya kebersamaan. terserah kalian mau apa... aku akan keluar dari medan impuls dan momentum yang kalian ciptakan. aku tak mau membenturkan diri hanya karena beda kepentingan. lebih baik kembali ke masyuk hatiku yang penuh cinta dan kerinduan.
adakah secercah inspirasi menyelinap ke otakku, supaya aku dapat setidaknya merangkai sebuah kalimat untuk kutorehkan sekedar untuk melampiaskan sembelit rindu ini kepadamu
bagaimana jika bumi tempatmu berpijak tak kuasa lagi menopang pijakan lembut kakimu? sementara kau masih dengan gemulai melangkah gontai. bukan tak kuat menahan bebanmu, hanya tak kuasa mereka menahan diri untuk berebut menopang pijakan kakimu. maka pijakkanlah kakimu di sini saja. melangkahlah sepuasmu di lapang hatiku, agar mereka tak bisa berebut jejakmu.
kata-kataku takkan habis hanya untuk memujamu kendati sesungguhnya segala pujian itu pun takkan sanggup menggambarkan kesempurnaanmu. aku hanya akan tercekat jika kau paksa aku untuk memakimu meski aku tak punya walau sepatah kata untuk itu, kecacatanmu pun tak kunjung muncul dalam benakku. baiklah, aku akan mencacimu dengan sanjungan...
kaukah itu? menyelinap tanpa permisi masuk ke gubug hatiku lalu duduk merajai singgasananya sembari mempermainkan kerajaan hatiku kaukah itu? setelah kau ambil sebongkah mutiara cinta dari sana lalu kau menghilang tanpa jejak? kaukah itu? sang pencuri hati? kalau kau mau kembali ke sini akan kuberikan semuanya untukmu. hatiku tak ikhlas kau curi tapi harus kau miliki
kenapa malu bilang "aku tresno sliramu"? apakah "i love you" lebih gagah bagimu? atau mungkin "uhibbuki fillah" lebih mengangkat derajatmu? ketahuilah kawan, saya bertobat untuk mengucapkan "uhibbuki fiLlah" mandat apa yang telah saya terima untuk mengatas namakan Ia? padahal iblis sangat lihai dalam mengaburkan cinta ...sungguh saya bertobat.
maukah kubenamkan kau ke sedalam-dalamnya lembah hatiku? agar kau bisa selalu damai bertapa di sana tanpa perlu kau mencari tempat menyepi karena aku belum pernah menemukan bagian tersenyap di muka bumi ini selain di sana jadilah penghuni lembah hati senyap ini supaya ia bisa mengenal setidaknya sepercik peradaban cinta.
my heart still vibrated since reading her name there is still a pleasant constipation that is suffered by my heart when seeing her face.. oh.. what a brittle my own heart... it's so easy to be fooled by an emotion. yeah.. fool me, fool me again, keep fooling me... I'd like to be fooled by you. a foolish man, am i?
akan kutimbun rinduku dengan segunung kesibukan hingga hati tak mampu lagi menjangkaunya entah jika ia berontak menghentak di tengah sibukku niscaya luluh-lantaklah segunung aktifitas terkacaukan cukup oleh sebenih kerinduan yang meledak terhimpit sesak kepenatan oh.. siapakah yang mampu menjinakkan sebenih rinduku?
a night to remember... how many i spend my time i never almost bring the awareness of you what an immoral i am. a night to remember... what a beautiful you are how i can't describe your affection in every mistakes i did, your love never dry to give me forgiveness a night to remember... i'll always try to remember you...
sungguh aku telah mencapai puncak kegilaan dan ketololanku di tengah gegap gempita pujian bisu mereka dengan lantang aku mencacimu memang gila itu bemacam-macam.
biar remuk redam badan tergilas keras kerja hati tersayat oleh ucapan-ucapan sumbang upah tak sepadan dengan apa yang telah dikerjakan dengan tersenyum kau berikan uangmu kepadaku "biarlah kugadaikan semuanya untuknya" katamu
kuhampiri kau dengan segunung kerinduan kutumpahkan air mata dari mata gersang sang pendosa kita bercengkrama seperti dulu saat kau masih bersamaku ku memperlakukanmu sangat berbeda dari yang dulu pernah kulakukan sebersit memori lenyap dari ingatanmu aku pun tak mau mengungkap bahwa kau pernah berpisah dariku karena a...ku yakin selalu kita memang tak pernah berpisah ya seringlah berkunjung.. aku selalu merindukanmu.
aku sengaja bermain lumpur kubiarkan badanku begelimang dalam kubangan lumpur itu tak kuhiraukan kau menatapku tajam meski kutahu, gerak-geriku tak luput dari pengawasanmu aku hanya ingin setelah puas bermain lumpur, kau akan memandikanku dalam telaga segarmu kau bilas tubuhku dengan lembut tangan kasihmu. entah jika kau telah berubah kejam mungkin aku harus rela kau kuliti dengan api murkamu.
melihat mereka bersliweran masuk rumahmu timbul hasratku tuk sekedar mengintip apa dayaku kau sudah memblokirku bahkan dari sekedar tamu sebenarnya aku bisa mengirim kepadamu sepucuk surat aku takut malah membuatmu terganggu baiklah aku harus rela memuaskan diriku hanya dengan melihatmu dari kejauhan menyambut para pengunjungmu datang.
kenapa kau hanya diam membisu? ku kira itu bukan kau sungguh aku rindu suaramu. suara tanpa kebohongan. suara penuh keikhlasan. kendati tanpa penghantar, suaramu kan masih menghentak, tak perlu udara, kabel, fiber ataupun cyber, suaramu kan terngiang selalu di gendang telingaku dan takkan berhenti menggema dalam senyap tuliku. akan kurekam suara abadimu dalam pita kaset hidupku.
apakah aku mengidap sebuah kesintingan baru jika aku senang melihat orang lain bercinta denganmu? sungguh aku menikmati setiap adegan yang ia lakukan bersamamu. tak sedikitpun ada cemburu, bahkan menantangku untuk melakukanya beramai-ramai kepadamu. jangan salahkan kami, pesonamu membuat kami tak kuasa menahan hasrat untuk memperkosamu. "kemarilah kalian semua... aku rela kalian perkosa" sahutmu.
aku menyesal telah mengotori cinta dan namamu dengan ceroboh kataku hingga jika kau timpakan atasku hukuman kesendirian aku tak berhak menolaknya biarlah aku terkutuk asal dengan cintamu kutuklah aku dengan cinta
aku memberondongnya dengan seribu pertanyaan "............apa guna telinga jika sudah mendengar apa guna mata jika sudah melihat apa guna kata jika sudah faham apa guna makan jika sudah kenyang apa guna puasa jika sudah lapar apa guna mendekat jika sudah menyatu?" lalu dia balik bertanya "lantas apakah kau ini berguna?"
Remind me to forget you. my mind was filled by image of you. Memories about you will not go away. I'll try every day without you i can stay see.. i will try not to talk about you not to think of you to have freedom from you hey, what the fucking i said? Remind me to forget you....
kusandarkan asaku pada rapuh hatimu biarlah ia merubuhkanmu sekaligus atau hilang asaku tertimbun janji tertiup waktu.
bilamanakah engkau merindu? apakah jika kau telah bosan merapal namaku? maka kau mejelmakannya lalu kau ajak ia bercinta? sungguh untuk menikmati rindu itu butuh kesabaran. niscaya kau dapat merasakan betapa nikmatnya setiap tusukan rindu itu menghujam kalbu. dan tak usah bertemu.

Rabu, 10 Maret 2010

???!!!………..GURUKU ANJING……...!!!???

Warih Firdausi

Aku akan selalu mengingat awal perjumpaan kita. Di persimpangnan jalan itu matamu tak mau beranjak menatapku tajam. Seakan tahu sebuah kegetiran yang tersimpan rapi tersembunyi dalam lubuk hatiku. Ketika itu pula aku langsung terpikat pesona auramu.
Maka gayung pun bersambut, kau terima aku untuk singgah meski sejenak dalam jejak akhir ukiran kehidupanmu. Aku takkan melupakanmu. Kendati es tak mau lagi mencair, meski bunga enggan bermekar, bahkan bila bumi pun telah bosan berotasi, kenangan bersamamu takkan mencair dari otakku, jejak-jejakmu akan selalu mekar dalam hidupku dan aku takkan pernah bosan mendaras ajaranmu.
Pelajaran termula yang kau ajarkan adalah meluluh-lantakkan segala input doktrin-doktrin yang telah masuk ke otakku. Kau suruh aku untuk menghancurkan semua masukan-masukan yang telah mencemari mindsetku. Maka ketika otakku sudah kosong dan “suci” mulailah kau hembuskan nafas pengetahuanmu hingga mendarah daging ke tubuhku. Aku masih ingat pengetahuan yang kau tanamkan pertamakali itu. Kau berkata “kau lihat diriku terpekur? kau lihat berkas sinar cahaya temaram? kau dengar gemricik air berisik bergunjing? semilir bayu yang mendayu? melambai daun-daun tergerak pasrah? adakah tercerap olehmu sebuah serat kehidupan? adakah seutas benang merah menyulam indah aneka realita dan fenomena alam? pernahkah segodam intuisi menghantam logika empirismu hingga kau sadar yang tampak olehmu hanya lautan fatamorgana? rasakanlah bukankah hanya ada satu realita saja?
Maka setelah aku faham akan abadinya sebuah realita tunggal, kau lanjutkan pengetahuan kedua tentang pengakuan dan menghormati terhadap adanya pemahaman lain diluar pemahaman kita. Lalu kau cercap urat leherku, kau hembuskan nafas pengetahuanmu maka aku pun menjadi tahu apa yang kau tahu. Ternyata jika kau sudah tahu maka sesungguhnya tak ada perbedaan antara satu, dua, tiga karena itu hanya bilangan yang kau cipta. Maka tak perlu mendebatkan tentang trinitas, dualisme atau keesaan. Dia melampaui semua yang kau nisbatkan, tak terbatas oleh sempitnya bilangan-bilangan yang kau buat. Biarlah Dia tetap tak terjangkau menebarkan pesona lewat hijab abadinya
Seperti biasa pagi itu kau berpetuah tentang hakekat kehidupan. Mungkin inilah pengetahuan terakhir yang hendak engkau hembuskan padaku. Di pagi itu kau memanggilku ke ruang pribadimu. Kau mulai pembicaraan pagi itu seperti biasanya dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Selalu pertanyaan yang tak mampu kujawab dan dirimulah yang pada akhirnya menjelaskan semua itu sedetil-detilnya kepadaku.
“Nir… tahukah kau akan arti cinta itu?”
“Tuhan dan dirimulah yang lebih tahu guru” jawabku tunduk.
“Dengarlah! Bahwa setiap apapun di dunia ini pasti punya potensi cinta (magnet), bahkan sampai molekul terkecil dari sebuah sel-pun terkandung motif cinta. Karena kau tahu? Cinta tak lain adalah daya tarik menarik. Semua tatanan di dunia ini dapat teratur sedemikian tertibnya karena dikendalikan oleh cinta (daya tarik-menarik) yang memiliki kapasitas besar tertentu yang terkandung oleh setiap planet beserta bintangnya dalam semua kumpulan tatasurya dan nebula di jagad raya ini. Dan ketahuilah, mereka semua itu berjalan sesuai kodratnya karena tertarik oleh Sang Maha Daya Magnet. Maka bila suatu saat Dia ingin memadamkan daya tariknya terhadap dunia ini, niscaya terjadilah kegemparan yang Maha Dahsyat. Masing-masing kocar kacir karena kehilangan Daya Magnet Terbesar. Maka saling berbenturan dan berhantaman lah semuanya mencari Daya Tarik yang mampu mengendalikan mereka yang saat itu telah dicabut oleh-Nya. Itulah yang orang-orang bilang sebagai kiamat. Ia tak bukan hanyalah kehendak Sang Maha Daya Magnet untuk memudarkan daya tariknya atas alam cosmo ini.”
“Nir.. sudahkah kau rasakan sebuah daya magnet yang kupancarkan terhadapmu?”
“Semenjak pertama kali kita bertemu guru.”
“Betul sekali, lalu menurutmu sanggupkah sebuah benda menolak daya tarik dari sebuah magnet?”
“Jika posisinya sudah teramat dekat, hal itu sangat mustahil guru.”
“lantas menurutmu sudahkah posisimu itu teramat dekat denganku?”
“saya kira sampai saat ini hanya akulah yang cukup amat dekat denganmu guru.”
“kalau begitu berarti kau takkan bisa menolak daya tarikku bukan?”
“Benar guru.”
“jawablah pertanyaanku Nir, lebih nikmat mana bagi sebuah benda, apakah ia terhanyut dalam daya tarik sang magnet atau ia tolak daya tarik itu?”
“Tentu sangat sakit sekali menolak daya tarik itu guru, lebih baik terhanyut kedalamnya meski nantinya terbentur keras oleh sang magnet. Namun menurutku itulah puncak klimaks kenikmatan dalam kulminasi penyatuan.”
“Oleh karena itu Nir, sekarang bukalah seluruh pakainmu, seperti yang kulakukan ini.” katamu sambil memlorotkan gaun dan segala yang kau kenakan.
“untuk apa guru?”
“bukannya kau tadi mengatakan kau takkan sanggup menolak daya tarikku dan memilih untuk menyatu dengan sang magnet? Bukankah aku ini magnetmu? Sekarang tanggalkanlah segala hijab agar kita dapat terbentur sangat keras dan menyatu tak terpisahkan.”
“maaf guru aku kira itu hanya sebatas hal yang bersifat non-fisik/ metafisik, ternyata maksudmu meliputi fisik juga, aku belum begitu paham guru. Bukankah sudah cukup penyatuan nama dan sifat tanpa harus ada penyatuan dzat?”
“Itu katamu, bukankah lebih baik menyatu segala-galanya? Sehingga tak ada lagi adamu melainkan hanya ada adanya sang magnet? Karena saat itu eksistensimu telah melebur kedalam eksistensinya. Sekarang apakah kau akan menolak daya tarikku atau akan pasrah terhanyut dalam nikmatnya daya tarik sang magnet? Terserah kau, aku pun tak rugi oleh apapun jawabmu. Karena sang magnet telah cukup dengan dirinya walau tak ada yang tertarik dayanya.”
Di tengah kebimbangan dan kemantapanku kusahut tanyamu “baiklah, akan kutanggalkan semuanya untukmu.”
Setelah kita telanjang bersama, kau mulai berseloroh “ciumlah sandalku agar dapat kau rasakan betapa nikmatnya bercinta denganku.”
Saat aku mulai bosan mencium sandal busukmu kucoba tuk merengkuh eksotis tubuhmu. Lalu kau tampar pipiku keras-keras membuatku semakin bernafsu akan imajinasi erotis lekuk indahmu. Haruskah aku kembali mencium sandalmu? Kutunggu jawabmu.
Setelah berfikir sejenak kau pun mengangguk dan berujar “baiklah tutuplah matamu dan dan menyatulah kepadaku, namun jangan perdulikan apapun yang terjadi. Karena hanya akulah tujuanmu.”
Jawabmu itu membuat semangat konakku menggebu. Entah, aku tak lagi mendengar syarat yang kau ajukan, karena perhatianku hanya tersita oleh jawab iyamu. Aku pun berlari menujumu hendak kutubruk dan kulumat semua pemandangan sensual di depan mataku. Belum sampai tanganku merangkul sempurna tubuhmu, aku dikejutkan oleh teriakan orang-orang yang mengolok-olokku.
“Hei… Nir… mau kau apakan anjing betina itu? Dia itu anjing gila mau kau kena rabiesnya?”
Tersentak mataku terbelalak mendengar teriakan itu. Kulihat tubuh sensualmu tadi seketika berubah menjadi seekor anjing yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya tepat di depan wajahku.
“Anjing…!!! Anjing…???”
Tubuh eksotismu yang baru saja hendak kupeluk lenyap entah kemana. Sosok yang memancarkan aura penuh pesona yang dulu memikatku menjelma menjadi seekor anjing rabies. Entah memang mataku yang buta atau bermimpikah aku pernah bertemu denganmu? atau aku sedang bermimpi tidak menemukanmu?
“***” umpatku. Aku baru sadar. Aku tak lulus ujian terakhirmu. Kini sesalku kubawa kemana-mana. Kecewaku terhampar ke alam semesta. Ku tak sanggup lagi memutar bahkan walau sedetik pun. Mungkin hanya tamanni dan khayal yang menghias otak untuk dapat memutar kesempatan lagi.
Sungguh ketiadaan akan dirimu meninggalkan sayatan yang mandalam bagiku. Kau terlanjur menghujamkan kisah hidupmu di sini. Maka tercerabutlah hatiku bersama kepergianmu. Kini aku berusaha menumbuhkan kembali sisa-sisa jejakmu. Jejak yang takkan pernah lekang dan kan selalu abadi.
Akan kuingat selalu kenanganku bersamamu. Tentang lidahmu yang selalu menjulur disertai liur yang tak kenal lelah menetes membasahi liang mulutmu tak menyurutkan hasratmu untuk terus memberikan secercah pengetahuan akan arti sebuah fana kehidupan. Setiap hari kau curahkan sathohat-sathohat gilamu sehingga orang menuduhmu tak waras. Sementara aku dengan penuh takjub dan khidmat menyimak senandung kidungmu. Mungkin pendapat mereka salah tentangmu atau aku yang sudah ikut gila seperti dirimu.
Di sisa akhir hidupku aku ingin membuat komitmen terhadap diriku sendiri. Jika aku jadi cermin, aku tak ingin menjadi cembung atau cekung. Aku tak ingin membacamu lebih kecil atau lebih besar, apalagi mencerminkanmu terbalik. Aku tak ingin kau kerepotan mencari jarak menakar arah yang sempurna untuk bercermin. Aku ingin menjadi cermin datar agar kau bisa memandang sempurna dirimu sehingga kau bisa tersenyum menikmati indah wajahmu, dan aku pun ikut tersenyum menjadi bayangan sempurnamu.
Semenjak itu, setiap ada gendang ditabuh, seruling ditiup memori tentangmu semakin tampak jelas di depan kedua pelupuk mataku. Di tiap hentakan kutiupkan seruling kerinduan, di tiap tabuhan kutitipkan salam, tabuhan itu semakin menghentak kalbu. Tak kuasa ku menahan dentuman-dentuman rindu. Meledaklah isak tersenggal di kerongkongan, kelenjar air mata tak mampu lagi membendung isinya. Salam ta'zhim salam rindu, ditengah gersangnya kepentingan penuh keegoisan, tak kutemukan lagi hadirmu menebar kasih sayang.
Semoga kau mau menjemputku di akhir perjaalanan sesatku. Salam rindu kuhaturkan untukmu selalu.




berangkat dari sebuah kegalauan dan kegelisahan hati seorang pendaki nirwana...
090310/24031431
Seperti biasa semua tulisanku selalu kupersembahkan untukmu
Semoga bahagia di sana

Sabtu, 02 Januari 2010

Kacamata Wasiat

KACAMATA WASIAT
cerpen Warih Firdausi*

Sambil mengernyitkan dahinya, Usup terus membalik halaman buku yang dibacanya. Mencoba memahami tiap kata yang tertuang, menyibak makna yang belum tersingkap. Terkadang ia tersenyum sendiri, tak jarang pula air matanya meleleh membentuk sungai-sungai kecil pada jenjang halus pipinya. Seakan dia sudah benar-benar ekstase dalam bacaannya.
"Sup, diangkat kepalanya kalau lagi baca, jangan tunduk-tunduk!" seru ibunya sambil menina-bobokan adik Usup yang rewel akibat perubahan cuaca yang mendadak.
"Ya Bu…" jawab Usup tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun. Bukan bermaksud mengabaikan perintah ibunya, tapi Usup memang benar-benar tak bisa baca jika harus mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi. Meski baru berusia 11 tahun matanya sudah min dua. Bapaknya hanya sempat memeriksakannya. Sementara untuk membelikannya kacamata, bapak kira belum saatnya, karena adiknya sudah rewel ingin keluar dari rahim ibunya. Resikonya, di sekolah, Usup selalu menyontek catatan temannya jika materi pelajarannya ditulis di papan tulis. Bahkan, ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah cewek yang kata teman-temannya paling cantik di sekolahnya.
Namun, Usup pun tak protes. Dia paham kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Bapaknya hanya pedagang pakaian eceran di pasar. Penghasilannya dari pasar pun tak bisa diandalkan. Karena orang yang mau beli pakaian tak setiap hari ada seperti orang membeli beras, gula dan bahan pokok lainnya. Ditambah lagi sekarang banyak pendatang dari Medan menjual pakaian yang masih bagus-bagus secara obral. Jelas, bapak kalah saing dengan mereka. Lebih-lebih beberapa minggu lagi bayi dalam kandungan ibunya akan keluar. Dia juga tak habis pikir, kenapa orang tuanya begitu produktif memberikan ia adik. Apakah hanya karena doktrin agama yang sering kali disalah-artikan? Tapi ia pikir, bapaknya juga tak sekolot itu pemikirannya.
Rumah yang ditinggali Usup bersama keluarganya pun adalah tanah milik mushalla. Dulu, sebelum meregang nyawa, yang empumya tanah berwasiat agar bapak mengurus mushalla itu. Akhirnya bapak juga ditunjuk sekaligus sebagai imamnya.
Sebelum tidur, Usup berdoa, "Ya Allah, betapa indahnya bila aku dapat melihat hasil karya-Mu yang Maha Agung dengan jelas. Tapi tak mengapa, aku sudah cukup bersyukur dengan kondisi seperti ini. Biarlah inderaku lemah, tak peka pada ciptaan-Mu, mungkin ini adalah kelemahanku. Namun setidaknya Engkau beri aku kepekaan akal-pikiran biar dapat mengimbangi sisi lemahku itu. Amin…"
Senyapya malam semakin hening mencekam, semilir angin berhembus menerpa dedaunan, seolah menyoraki mereka agar terus menari-melambai menyambut hujan yang sesaat lagi akan turun membawa air kehidupan. Seketika suhu menurun drastis membuat kebanyakan orang memilih untuk berselimut memeluk guling masing-masing berharap dan menanti hujan akan reda esok pagi.

################

"Usup! bisa gak ngerjain sendiri!" bentak Bu Tutik, guru matematika Usup yang terkenal killer.
Usup pun kaget setengah mati, seakan separo dari nyawanya telah lepas dari wadahnya. Jantungnya berdebam keras, hatinya berdesir kencang. Sambil mengatur nafasnya ia berujar "Maaf Bu, saya cuma lihat soalnya saja."
"Lho emang belum Ibu tuliskan di papan tulis?" sentak bu Tutik semakin garang.
"Tulisan Afif lebih mudah dibaca Bu." jawabnya agak gugup. Dia tak mau mengaku kalau dia min. Rasa malunya mengalahkan kejujurannya, walaupun sebenarnya ia tidak bohong.
"Oh, jadi sudah berani melawan sekarang? jangan-jangan nilaimu selama ini bagus gara-gara nyontek terus ya?" kata Bu Tutik sinis.
"Tidak Bu, tapi saya… saya…" Usup tak mampu melanjutkan kata-katanya. Lidahnya kelu, serasa dicekoki bratawali. Kalimat Bu Tutik yang terakhir bagai belati yang menembus kupingnya masuk menusuk ulu hatinya. Kepalanya tertunduk. Matanya menatap tajam buku tulisnya. Marah dan malu berkecamuk-bersetubuh dalam dadanya. Gigi-giginya yang mungil saling gemretakan menahan perih-pilu hatinya yang panas mendidihkan empedu sehingga mencairkan kelenjar air matanya. Sekuat tenaga, kelopak matanya menahan agar cairan asin itu tak pecah dari kandungannya. Baru kali ini Usup ketahuan "nyontek soal" milik temannya.
"Sudah, tak ada alasan lagi! Afif, sekarang kamu pindah ke bangku belakang!"
Bagai kerbau yang dicunguk hidungnya, Afif pun manut saja, ia takut malah ia yang kena damprat.
"Teeet…teeet…teeet…" bel tanda pulang sekolah menjerit panjang, melekik-pekik tak tega melihat anak-anak yang dikurung dalam kelas terkuras tenaga dan pikirannya. Anak-anak pun berhamburan keluar bak semut yang keluar dari sarangnya.

###############

Jam menunjukkan pukul 08.00, seorang ibu hamil sambil menggendong anaknya yang masih balita dengan selendang kain, tergopoh-gopoh menggiring sampah-sampah jalanan di depan sebuah kantor perusahaan dengan sebatang sapu lidi yang digenggamnya. Hari ini adalah hari terakhir ia bekerja sebagai cleaning service di perusahaan tersebut. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak sebulan yang lalu. Setelah melalui tawar-menawar yang alot nan rumit, akhirnya ia diterima juga bekerja hanya untuk sebulan saja. Suaminya pun tak tahu-menahu tentang pekerjaannya ini. Ia memang berniat memberitahukannya setelah keluar dari pekerjaannya.
Karena hujan deras yang mengguyur bumi semalaman, banyak sekali daun-daun dan sampah-sampah yang enggan untuk digiring ke tempat pembuangan layaknya para gelandangan yang bersikeras tak mau meninggalkan rumah kardusnya kendati pemerintah telah berkali-kali menggusur mereka. Hari ini juga, Siti, ibunya Usup akan mendapatkan hasil jerih-payahnya selama sebulan. Hanya satu yang ia inginkan, membelikan anaknya kacamata. Hanya sebab itulah ia rela menyelinap keluar setelah suaminya berangkat kerja ke pasar. Ia juga rela dalam keadaan hamil tua, termenyek-menyek menggendong Adit, adik si Usup, bergelut dengan sampah dan debu-debu jalanan. Ia berharap semoga anaknya tak kesulitan lagi dalam belajar, tak perlu menyontek catatan temannya seperti yang selalu ia keluhkan kepadanya. Ia berharap, Usup bisa jadi anak yang pinter dan sholeh berguna bagi nusa bangsa dan agama. Ia tak mau anaknya-anaknya bodoh seperti dirinya yang nasibnya selalu susah. Apalagi jadi sampah masyarakat! Na'udzubillah…!
Maka, sehabis pulang kerja, ia pun langsung mampir ke toko optik yang bisa ditempuh lima menit berjalan kaki dari tempat kerjanya. Setelah mendapatkan kacamata yang menurutnya cocok buat Usup, ia pun bergegas menuju rumahnya. Matahari sudah tergelincir dari puncak gerak semunya seolah akan jatuh ke belahan bumi bagian barat. Jamaah shalat zhuhur di mushalla wasiat juga sudah beranjak pulang. Baru kali ini ia pulang terlambat.
Sebenarnya ia sudah siap menghadapi segala resiko atas tindakannya. Tetapi sesampai di depan pintu rumahnya, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Pandangannya kini kabur, ia melihat banyak kunang-kunang di depan matanya. Tangan kanannya menggeragap mencari barang yang dapat ia jadikan untuk bertelekan. Karena tak mendapatkan apa yang ia inginkan, ia pun limbung, jatuh dengan perut bagian kanannya menghantam tanah. Sedangkan perut bagian kirinya tertindih oleh Adit yang digendongnya. Sontak, ia menjerit-pekik ibarat hewan kurban yang disembelih oleh tukang jagal.
Orang-orang pun berhamburan menuju sumber suara. Ustadz Slamet yang sedang takbiratul ihram untuk shalat ba'diyah zhuhur langsung membatalkan shalatnya, bergegas menuju jeritan istrinya. Sesampainya di TKP, beliau pun terkejut terperangah melihat darah segar mengalir keluar dari dalam rok istrinya membasahi sekujur kakinya.
Usup yang baru saja pulang sekolah heran melihat orang-orang berkerumun di depan rumahnya seperti nanggap topeng monyet. Setibanya di rumah, betapa shock nya ia. Ternyata ibunya terbaring lemas di atas meja yang biasa ia gunakan tidur.
"Ibu…"
"Dari tadi ibumu nunggu kamu Sup, dia gak mau dibawa ke rumah sakit." ucap bapak Usup dengan nada berat sambil menggendong Adit yang masih nangis terus.
"Usup…" lirih ibunya.
"Ya Bu, Usup udah di sini."
"Sup tolong ambilkan tas ibu!"
"Ini Bu…"
"Usup, tadi ibu mampir ke toko optik, terus ibu nemu kacamata yang bagus buat kamu. Nih, cepet kamu pake! Ibu pengin lihat anaknya keren pake kacamata."
Rasa ibanya pada sang ibu membuat Usup lebih terharu daripada merasa kaget dan bahagia karena mendapat surprise dari ibunya. Demi menyenangkan ibunya, ia pun memakai kacamata pemberian ibunya.
Kini Usup dapat memandang dunia lebih terang. Masya-allah, ia melihat wajah ibunya ternyata lebih cantik daripada yang selama ini ia lihat, meskipun di wajah ibunya sekarang bisa ia temukan keriput yang sudah muncul sedikit demi sedikit. Ia pun melihat sebuah senyuman manis tersungging di paras cantik ibunya.
"Bapak, selama ini aku lancang tak minta izin padamu kalau selama ini aku bekerja, maafkan aku ya!" suara ibunya Usup kini kian memelas.
"Bapak sudah halalkan semuanya Bu." ucap Ustadz Slamet penuh haru.
"Alhamdu-lillah, terima kasih Pak! "
"Usup _ _ _belajar yang rajin, …..jangan kayak ibu yang bodo ini. Di mana-mana, orang bodo itu hidupnya susah…….Jadi anak yang sholeh, pinter,_ _ _ biar bisa bermanfaat buat yang lain. Inget,… ketidak-sempurnaan bukanlah halangan untuk menjadi yang terbaik."
Suara ibu semakin pelan dan terbata-bata. Kini, tinggal kelopak matanya yang berkedip diiringi air matanya yang keluar di sudut matanya dan seulas senyum yang terkulum manis di bibirnya. Sesaat, suasana hening, suara tangis Adit pun mendadak diam. Tiba-tiba aura ruang tamu menjadi mencekam seolah seluruh orang di sana terhipnotis tak sadarkan diri. Sedetik kemudian bagai tersadar dari lamunannya, tersentak Ustadz Slamet memegang pergelangan tangan istrinya, telinga beliau didekatkan ke hidung istrinya. Dengan suara serak dan terputus-putus beliau berucap "Innaa-lillahi wa innaa-ilaihi raaji'uun…"
Suasana kembali gemuruh bising oleh isak tangis. Adit pun menangis lagi. Suaranya yang nyaring membahana keluar rumah menembus langit tujuh membuat para malaikat trenyuh, tak kuasa membendung air matanya sehingga jatuh membasahi bumi yang baru saja kering.
"Allahumma-ghfirlahaa warhamhaa wa 'aafihaa wa'fu 'anhaa…"


22 Desember 2008.
Kupersembahkan untuk ibunda tercinta, Siti pada Hari Ibu tahun ini.
Seiring ucapan maafku yang tak pernah sempat
memberimu kado di hari ulang tahunmu.