Pages

Rabu, 10 Maret 2010

???!!!………..GURUKU ANJING……...!!!???

Warih Firdausi

Aku akan selalu mengingat awal perjumpaan kita. Di persimpangnan jalan itu matamu tak mau beranjak menatapku tajam. Seakan tahu sebuah kegetiran yang tersimpan rapi tersembunyi dalam lubuk hatiku. Ketika itu pula aku langsung terpikat pesona auramu.
Maka gayung pun bersambut, kau terima aku untuk singgah meski sejenak dalam jejak akhir ukiran kehidupanmu. Aku takkan melupakanmu. Kendati es tak mau lagi mencair, meski bunga enggan bermekar, bahkan bila bumi pun telah bosan berotasi, kenangan bersamamu takkan mencair dari otakku, jejak-jejakmu akan selalu mekar dalam hidupku dan aku takkan pernah bosan mendaras ajaranmu.
Pelajaran termula yang kau ajarkan adalah meluluh-lantakkan segala input doktrin-doktrin yang telah masuk ke otakku. Kau suruh aku untuk menghancurkan semua masukan-masukan yang telah mencemari mindsetku. Maka ketika otakku sudah kosong dan “suci” mulailah kau hembuskan nafas pengetahuanmu hingga mendarah daging ke tubuhku. Aku masih ingat pengetahuan yang kau tanamkan pertamakali itu. Kau berkata “kau lihat diriku terpekur? kau lihat berkas sinar cahaya temaram? kau dengar gemricik air berisik bergunjing? semilir bayu yang mendayu? melambai daun-daun tergerak pasrah? adakah tercerap olehmu sebuah serat kehidupan? adakah seutas benang merah menyulam indah aneka realita dan fenomena alam? pernahkah segodam intuisi menghantam logika empirismu hingga kau sadar yang tampak olehmu hanya lautan fatamorgana? rasakanlah bukankah hanya ada satu realita saja?
Maka setelah aku faham akan abadinya sebuah realita tunggal, kau lanjutkan pengetahuan kedua tentang pengakuan dan menghormati terhadap adanya pemahaman lain diluar pemahaman kita. Lalu kau cercap urat leherku, kau hembuskan nafas pengetahuanmu maka aku pun menjadi tahu apa yang kau tahu. Ternyata jika kau sudah tahu maka sesungguhnya tak ada perbedaan antara satu, dua, tiga karena itu hanya bilangan yang kau cipta. Maka tak perlu mendebatkan tentang trinitas, dualisme atau keesaan. Dia melampaui semua yang kau nisbatkan, tak terbatas oleh sempitnya bilangan-bilangan yang kau buat. Biarlah Dia tetap tak terjangkau menebarkan pesona lewat hijab abadinya
Seperti biasa pagi itu kau berpetuah tentang hakekat kehidupan. Mungkin inilah pengetahuan terakhir yang hendak engkau hembuskan padaku. Di pagi itu kau memanggilku ke ruang pribadimu. Kau mulai pembicaraan pagi itu seperti biasanya dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Selalu pertanyaan yang tak mampu kujawab dan dirimulah yang pada akhirnya menjelaskan semua itu sedetil-detilnya kepadaku.
“Nir… tahukah kau akan arti cinta itu?”
“Tuhan dan dirimulah yang lebih tahu guru” jawabku tunduk.
“Dengarlah! Bahwa setiap apapun di dunia ini pasti punya potensi cinta (magnet), bahkan sampai molekul terkecil dari sebuah sel-pun terkandung motif cinta. Karena kau tahu? Cinta tak lain adalah daya tarik menarik. Semua tatanan di dunia ini dapat teratur sedemikian tertibnya karena dikendalikan oleh cinta (daya tarik-menarik) yang memiliki kapasitas besar tertentu yang terkandung oleh setiap planet beserta bintangnya dalam semua kumpulan tatasurya dan nebula di jagad raya ini. Dan ketahuilah, mereka semua itu berjalan sesuai kodratnya karena tertarik oleh Sang Maha Daya Magnet. Maka bila suatu saat Dia ingin memadamkan daya tariknya terhadap dunia ini, niscaya terjadilah kegemparan yang Maha Dahsyat. Masing-masing kocar kacir karena kehilangan Daya Magnet Terbesar. Maka saling berbenturan dan berhantaman lah semuanya mencari Daya Tarik yang mampu mengendalikan mereka yang saat itu telah dicabut oleh-Nya. Itulah yang orang-orang bilang sebagai kiamat. Ia tak bukan hanyalah kehendak Sang Maha Daya Magnet untuk memudarkan daya tariknya atas alam cosmo ini.”
“Nir.. sudahkah kau rasakan sebuah daya magnet yang kupancarkan terhadapmu?”
“Semenjak pertama kali kita bertemu guru.”
“Betul sekali, lalu menurutmu sanggupkah sebuah benda menolak daya tarik dari sebuah magnet?”
“Jika posisinya sudah teramat dekat, hal itu sangat mustahil guru.”
“lantas menurutmu sudahkah posisimu itu teramat dekat denganku?”
“saya kira sampai saat ini hanya akulah yang cukup amat dekat denganmu guru.”
“kalau begitu berarti kau takkan bisa menolak daya tarikku bukan?”
“Benar guru.”
“jawablah pertanyaanku Nir, lebih nikmat mana bagi sebuah benda, apakah ia terhanyut dalam daya tarik sang magnet atau ia tolak daya tarik itu?”
“Tentu sangat sakit sekali menolak daya tarik itu guru, lebih baik terhanyut kedalamnya meski nantinya terbentur keras oleh sang magnet. Namun menurutku itulah puncak klimaks kenikmatan dalam kulminasi penyatuan.”
“Oleh karena itu Nir, sekarang bukalah seluruh pakainmu, seperti yang kulakukan ini.” katamu sambil memlorotkan gaun dan segala yang kau kenakan.
“untuk apa guru?”
“bukannya kau tadi mengatakan kau takkan sanggup menolak daya tarikku dan memilih untuk menyatu dengan sang magnet? Bukankah aku ini magnetmu? Sekarang tanggalkanlah segala hijab agar kita dapat terbentur sangat keras dan menyatu tak terpisahkan.”
“maaf guru aku kira itu hanya sebatas hal yang bersifat non-fisik/ metafisik, ternyata maksudmu meliputi fisik juga, aku belum begitu paham guru. Bukankah sudah cukup penyatuan nama dan sifat tanpa harus ada penyatuan dzat?”
“Itu katamu, bukankah lebih baik menyatu segala-galanya? Sehingga tak ada lagi adamu melainkan hanya ada adanya sang magnet? Karena saat itu eksistensimu telah melebur kedalam eksistensinya. Sekarang apakah kau akan menolak daya tarikku atau akan pasrah terhanyut dalam nikmatnya daya tarik sang magnet? Terserah kau, aku pun tak rugi oleh apapun jawabmu. Karena sang magnet telah cukup dengan dirinya walau tak ada yang tertarik dayanya.”
Di tengah kebimbangan dan kemantapanku kusahut tanyamu “baiklah, akan kutanggalkan semuanya untukmu.”
Setelah kita telanjang bersama, kau mulai berseloroh “ciumlah sandalku agar dapat kau rasakan betapa nikmatnya bercinta denganku.”
Saat aku mulai bosan mencium sandal busukmu kucoba tuk merengkuh eksotis tubuhmu. Lalu kau tampar pipiku keras-keras membuatku semakin bernafsu akan imajinasi erotis lekuk indahmu. Haruskah aku kembali mencium sandalmu? Kutunggu jawabmu.
Setelah berfikir sejenak kau pun mengangguk dan berujar “baiklah tutuplah matamu dan dan menyatulah kepadaku, namun jangan perdulikan apapun yang terjadi. Karena hanya akulah tujuanmu.”
Jawabmu itu membuat semangat konakku menggebu. Entah, aku tak lagi mendengar syarat yang kau ajukan, karena perhatianku hanya tersita oleh jawab iyamu. Aku pun berlari menujumu hendak kutubruk dan kulumat semua pemandangan sensual di depan mataku. Belum sampai tanganku merangkul sempurna tubuhmu, aku dikejutkan oleh teriakan orang-orang yang mengolok-olokku.
“Hei… Nir… mau kau apakan anjing betina itu? Dia itu anjing gila mau kau kena rabiesnya?”
Tersentak mataku terbelalak mendengar teriakan itu. Kulihat tubuh sensualmu tadi seketika berubah menjadi seekor anjing yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya tepat di depan wajahku.
“Anjing…!!! Anjing…???”
Tubuh eksotismu yang baru saja hendak kupeluk lenyap entah kemana. Sosok yang memancarkan aura penuh pesona yang dulu memikatku menjelma menjadi seekor anjing rabies. Entah memang mataku yang buta atau bermimpikah aku pernah bertemu denganmu? atau aku sedang bermimpi tidak menemukanmu?
“***” umpatku. Aku baru sadar. Aku tak lulus ujian terakhirmu. Kini sesalku kubawa kemana-mana. Kecewaku terhampar ke alam semesta. Ku tak sanggup lagi memutar bahkan walau sedetik pun. Mungkin hanya tamanni dan khayal yang menghias otak untuk dapat memutar kesempatan lagi.
Sungguh ketiadaan akan dirimu meninggalkan sayatan yang mandalam bagiku. Kau terlanjur menghujamkan kisah hidupmu di sini. Maka tercerabutlah hatiku bersama kepergianmu. Kini aku berusaha menumbuhkan kembali sisa-sisa jejakmu. Jejak yang takkan pernah lekang dan kan selalu abadi.
Akan kuingat selalu kenanganku bersamamu. Tentang lidahmu yang selalu menjulur disertai liur yang tak kenal lelah menetes membasahi liang mulutmu tak menyurutkan hasratmu untuk terus memberikan secercah pengetahuan akan arti sebuah fana kehidupan. Setiap hari kau curahkan sathohat-sathohat gilamu sehingga orang menuduhmu tak waras. Sementara aku dengan penuh takjub dan khidmat menyimak senandung kidungmu. Mungkin pendapat mereka salah tentangmu atau aku yang sudah ikut gila seperti dirimu.
Di sisa akhir hidupku aku ingin membuat komitmen terhadap diriku sendiri. Jika aku jadi cermin, aku tak ingin menjadi cembung atau cekung. Aku tak ingin membacamu lebih kecil atau lebih besar, apalagi mencerminkanmu terbalik. Aku tak ingin kau kerepotan mencari jarak menakar arah yang sempurna untuk bercermin. Aku ingin menjadi cermin datar agar kau bisa memandang sempurna dirimu sehingga kau bisa tersenyum menikmati indah wajahmu, dan aku pun ikut tersenyum menjadi bayangan sempurnamu.
Semenjak itu, setiap ada gendang ditabuh, seruling ditiup memori tentangmu semakin tampak jelas di depan kedua pelupuk mataku. Di tiap hentakan kutiupkan seruling kerinduan, di tiap tabuhan kutitipkan salam, tabuhan itu semakin menghentak kalbu. Tak kuasa ku menahan dentuman-dentuman rindu. Meledaklah isak tersenggal di kerongkongan, kelenjar air mata tak mampu lagi membendung isinya. Salam ta'zhim salam rindu, ditengah gersangnya kepentingan penuh keegoisan, tak kutemukan lagi hadirmu menebar kasih sayang.
Semoga kau mau menjemputku di akhir perjaalanan sesatku. Salam rindu kuhaturkan untukmu selalu.




berangkat dari sebuah kegalauan dan kegelisahan hati seorang pendaki nirwana...
090310/24031431
Seperti biasa semua tulisanku selalu kupersembahkan untukmu
Semoga bahagia di sana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...