Pages

Jumat, 11 Januari 2013

Remah-Remah Rumah




apa yang pekak,
hening
apa yang kelu,
pekik
apa yang ngilu,
                        rindu
apa yang nyeri,
                        sepi
apa yang apa,
                        bagaimana
apa yang aku,
                        kamu
apa yang menikam,
                        ingatan

tentang makan. tentang bagaimana kita berebut warna piring. tentang piring terbang. tentang tutup ember bekas cat yang saling kita lempar. tentang koleksi mobil-mobilan, kelereng dan kartu bergambar. kini aku mengoleksi koneksi. apa yang sekarang kamu koleksi? koreksi!

Aku selalu tersenyum mengenang bagaimana kita saling bersaing. Menghitung berapa langkah jarak antara rumah dan tempat mengaji. Karena kata ibu, setiap langkah kaki kanan, mendapat satu pahala, langkah kaki kiri menghapus dosa. Aku menang, karena langkahku kupendekkan.
Jika salah satu kita ketahuan curang, mulailah saling ejek-mengejek, mungkin dengan nama “pacar,” atau nama olokan. Kamu memanggilku wedus, aku memanggilmu gembus. Jika salah satu di antara kita sudah kehilangan kesabaran, meletuslah pertengkaran, berawal dari pukul-pukulan ringan, saling jambak, hingga cakar-cakaran tak beraturan.

Aku selalu merasa sangat bersalah, ketika melihat kamu akhirnya berdarah, kerna kulempar kerikil. Masih ingatkah dahulu ketika kita saling berebut mainan plastik yang dapat saling disambungkan? Kepala kerasmu itu membentur lingiran tembok langgar. Darrr...Darah segar bercucuran, kulihat kentalnya seperti bekas gayung atau hanger yang seringkali kita bakar. Kamu menangis kencang, aku kebingungan. Seperti bingungku sewaktu pulang sekolah, kita jatuh dari sepeda yang kamu pinjam dari teman sebab uang saku habis, tak bisa umbal. kamu pingsan. Katamu kamu tidak makan siang. Ah, kamu memang selalu berkilah kalau kalah. atau memang kamu mengalah? Entahlah.

Tapi aku juga tidak selalu menang. Aku selalu kalah dalam hal gila-gilaan. Karena kamu memang gila. Aku kalah saat kamu tantang menghisap tegesan rokok yang kita pungut di jalanan, menyedot es campur lewat hidung, menelan sobekan kertas dari buku tulis kita, berlama-lama memandang matahari dengan mata telanjang. Dan beberapa hal yang aku memang takut. Seperti ketika kau ajak aku berenang. Aku tidak bisa berenang.
“Katanya di sorga banyak kolam-kolam, bagaimana nanti kalau kamu tidak bisa berenang?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab. jika kamu bertanya lagi hal yang sama, akan kujawab “akan kuminta Tuhan mengeluarkanmu dari neraka, untuk mengajariku berenang.”

Semoga kamu juga tidak lupa kalau kita pernah nakal bersama. Saat subuhan yang telat sebab bangun kesiangan. Kita coba buka gembok langgar dengan biting sapu lidi. Berlagak bak james bond, meskipun aku belum tahu ada tukang kebon bernama james. Atau james memang sering ngebon nasi rames. Bitingnya patah di dalam lobang. Ketika waktu bedug tiba tanpa suara beduk, jamaah geger menjebol gembok langgar.

Oh betapa kenangan terasa begitu dekat. Sedang yang terkenang ternyata telah jauh terlewat....

Kalau kamu sekarang sedang akan tidur, cobalah tangkupkan kedua tapak tangan. Buka telapak yang kanan. Biarkan kedua jempol berdiri tegak. Lihat bayangannya di dinding. Goyang-goyangkan sambil bernyanyi”

Kidang, talung
Mangan kacang talung
Milketemil milketemil
Si kidang mangan lembayung....

Masih ingat kan? itu lagu yang sering dinyanyikan ibu sebelum mengantar kita tidur. Apakah kamu juga menyanyikannya untuk anakmu?

Betapa mudahnya hubungan kita patah seperti biting dalam gembok. Kenapa untuk menyambungnya kembali tak semudah menyambung mainan plastik? Berapa langkah kita telah saling berpisah? Bagaimana pula menghitungnya? James bond pasti juga tidak bisa.

apa yang retak,
                        ikatan
apa yang hilang,
                                                kemesraan
apa yang  haus,
                                                                        keinginan
apa yang salah,
                                                                                                amarah
apa yang bajingan,
diam



Jumat, 04 Januari 2013

Ulasan Lagu Jalan Sunyi-Emha Ainun Nadjib

  



Awal saya menegenal nama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ) adalah ketika saya duduk di bangku MI (tepatnya kelas berapa saya lupa). Waktu itu, bapak membeli kaset tape yang berisi musik Kyai Kanjeng . Pertama kali mendengarnya, telinga saya merasa bising. Iki musik cap apa? kok mbrebeki kuping. Untung saya belum kenal kata diancuuk. Lalu saya sering melihatnya di televisi memberi petuah-petuah tentang kenegaraan. Entah mungkin karena kualat, saya mulai menggemari dia saat pertama kali bersentuhan dengan bukunya yang berjudul "Slilit Sang Kyai" yang saya temukan di perpus sekolah MA NU RAUDLATUL MUALLIMIN WEDUNG . Edan tenan orang ini, dia bisa mengemas tulisan yang seringkali berat dengan bahasa yang sangat nakal. Sepulang ke rumah saya cari kaset yang dibeli bapak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya tidak ketemu. Akhirnya kerinduan saya terlampiaskan setelah berkenalan dengan internet. Saya bisa mendownload lagu-lagunya, tulisan-tulisannya, dan ceramah-ceramahnya.
Yang saya kagumi dari Cak Nun bukan saja pemikiran dan humornya, terlebih lelaku hidupnya yang konsisten. Berbagai gelar dan julukan disematkan padanya. Kyai, sastrawan, budayawan, pemikir, tokoh reformasi. Tapi Cak Nun tidak peduli semua sebutan-sebutan itu. Dia hanya nyaman sebagai manusia biasa. Dia mampu menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah banyak orang yang karena kedudukannya menjadi kehilangan kemanusiaannya. Kalau sudah menjadi kyai tak mau lagi nongkrong di warung kopi. Sudah menjadi pejabat malu kalau tidak pakai jas berdasi. Emha tak segan berkaos oblong, tak sungkan lungguh lesehan berjam-berjam bersama rakyat merayakan kemanuisaan. dia tak terusik dengan pujian dan makian yang dialamatkan padanya karena dia sudah memuji dan memaki-maki dirinya sendiri.
Namun kini, beliau sepertinya sudah mengundurkan diri dari gemerlap media. Dia meneguhkan lelaku hidupnya yang tercermin dalam puisinya yang kemudian dijadikan lagu berjudul “Jalan Sunyi.”
Dalam tulisan ini saya tidak menafsirkan lirik lagunya. Saya hanya berusaha memahami dan menyimpulkan puisinya berdasarkan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang pernah saya baca dan saya dengar.

Jalan sunyi

 

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan


-------------

Akhirnya kutempuh/ jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya

Sepertinya lirik ini menceritakan keputus-asaan seseorang menghadapi kehidupan duniawi. Baik yang telah mendapatkan dan merasakan seluruh gemerlap kenikmatannya, atau pun yang gagal, tidak mampu mencapainya. Bagi yang sudah pernah merasakan segala kenikmatan dunia, dunia ini terasa membosankan. Kekayaan, kemasyhuran, segala keberlimpahan tak mampu membuatnya bahagia. Akhirnya dia tahu borok-borok dunia. Orang-orang yang memujinya tak sepenuhnya tulus, mereka menyimpan kepentingan. Dia hanya dijadikan alat pemuas nafsu mereka. Bagi yang gagal mencapainya, dia kecewa, ternyata dunia selalu menipunya. Semua usahanya tak dihargai, karyanya tak diakui, cintanya tak pernah diterima. Hanya duka dan luka yang ia derita. Akhirnya dia memilih menempuh jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui kebanyakan orang. Jalan sejati. Jalan untuk lebih mengenal dan akrab dengan yang inti, yang hakiki. Jalan ilahi.
Jalan sunyi itu seperti lelaku puasa. Melawan mainstream. Ada makanan tak dimakan. Ada minuman tak diminum. Ada banyak wanita hanya satu yang dipilih. Ada kursi tak diduduki. Ada kekuasaan tak dijabat. bernyanyi tak berbunyi, menangis tak didengarkan, menjerit tak diperhatikan. berkarya tak dihargai, ada tak diakui, mencintai malah dibenci, hadir tak pernah menjadi. Kita tahan dan tangguhkan semua itu demi menuju Makan sejati.

kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

Bait ini adalah ungkapan kekecewaan kepada dunia. Penyairnya seolah-olah berkata kepada dunia, “wahai dunia kalau memang engkau tak mampu menemukan arti kehadiranku. Engkau tak bisa mengerti dan memahami usahaku untukmu, tidak apa-apa. tak mengapa, tidak masalah bagiku. Biarlah aku saja yang terus menghormatimu, terus melayanimu, terus mempelajarimu. Bahkan kalau pun engkau sebenarnya sudah mengetahui arti kehadiranku, tapi engkau tetap tak bersedia menghormati dan menghargai semua yang kulakukan untukmu, biarlah, biarlah. Aku tidak peduli, nothing to lose. Aku Rak Pethe’en. Biarlah Tuhan dan kekasih-Nya yang selalu menyayangiku, selalu memanjakan diriku, selalu menuntun jalanku.”
Dalam bahasa
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ya dunya ghurri ghairi laqad thallaqtuki tsalatsan.” Wahai dunia, rayulah selain aku, sungguh aku sudah jatuhkan talak tiga kepadamu. Namun kita tak perlu se-ekstrim itu, kita ganti saja berkata, wahai dunia aku mencintai gemerlap kenikmatanmu. Tapi jangan harap kamu menjadi pengantinku. Karena kamu hanyalah jembatan yang mengantarkanku kepada pengantin yang sejati, dia yang inti, yang hakiki. Dunia jangan kita masukkan dalam hati. Kalau dunia kita biarkan bersemayam dalam hati, dia akan jadi raja dan kita menjadi budaknya. Taruh dia di tangan kita, maka kita akan dengan mudah mempermainkannya.

Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

Mungkin kehidupan duniawi ini memang selalu menipu. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan, wamal hayatud dunya illa mata’ul-ghurur. Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Dia selalu memanfaatkan kita. Sepertinya tangan lembutnya mengusap-usap, padahal dia mencabik-cabik dengan kukunya. Seolah-olah dia memeluk kita, tapi sekaligus menggigit leher kita. Kelihatannya dia mengulurkan bantuan ternyata untuk meraih keuntungan pribadi yang lebih besar. Namun sang penyair berkata biarlah, karena aku sudah menempuh jalan sunyi, engkau mau apa dariku, ambillah, engkau mau emas freeport silahkan habiskan, kamu ingin reog ponorogo, silahkan dipatenkan. Kalian pingin pulau ambalat, silahkan caplok, kita masih punya ribuan pulau lagi. Kamu pingin menang piala AFF, sak karepmu, kita memang sedang berpuasa juara, buat apa menang kalau melukai hati yang kalah. Kita orang jawa punya slogan menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang lain). Kamu ingin minyak dan seluruh hasil bumi Indonesia, mangga disedot gan... Tidak apa, bangsa kita kan punya kesadaran tasawuf tingkat tinggi. Memang sangat tipis bedanya antara jadi orang sufi dan orang sableng. Makanya ada seorang sufi yang dijulkuki majnun (si gila).
Lirik ini senada dengan yang dikatakan Mawlana Jalal ad-Din RumiTake away what i want. Take away what i do, Take away what i need. Take away everything what take me from you. Ambillah apa yang kuinginkan, ambillah [hasil] yang kulakukan, ambillah yang kubutuhkan, ambillah semua yang mengambilku darimu. Ambillah semua yang menjauhkanku darimu.
Kalau sudah mampu bersikap demikian kita akan sampai pada yang dikatakan Bayazid Bastami بايزيد بسطامىwhen he without all, he with all.” Ketika seseorang sudah tanpa apa-apa, dia punya segalanya. Kita tak lagi merasa memiliki dan kehilangan, walaupun semua datang dan pergi dari kita. Apanya yang hilang kalau kita tidak [merasa] memiliki apa-apa. Bahkan kita tidak memiliki diri kita sendiri. Bukankah semua ini milik-Nya, bukankah semua yang melekat pada kita hanya titipan saja?


#tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.