Pages

Sabtu, 02 Januari 2010

Kacamata Wasiat

KACAMATA WASIAT
cerpen Warih Firdausi*

Sambil mengernyitkan dahinya, Usup terus membalik halaman buku yang dibacanya. Mencoba memahami tiap kata yang tertuang, menyibak makna yang belum tersingkap. Terkadang ia tersenyum sendiri, tak jarang pula air matanya meleleh membentuk sungai-sungai kecil pada jenjang halus pipinya. Seakan dia sudah benar-benar ekstase dalam bacaannya.
"Sup, diangkat kepalanya kalau lagi baca, jangan tunduk-tunduk!" seru ibunya sambil menina-bobokan adik Usup yang rewel akibat perubahan cuaca yang mendadak.
"Ya Bu…" jawab Usup tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun. Bukan bermaksud mengabaikan perintah ibunya, tapi Usup memang benar-benar tak bisa baca jika harus mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi. Meski baru berusia 11 tahun matanya sudah min dua. Bapaknya hanya sempat memeriksakannya. Sementara untuk membelikannya kacamata, bapak kira belum saatnya, karena adiknya sudah rewel ingin keluar dari rahim ibunya. Resikonya, di sekolah, Usup selalu menyontek catatan temannya jika materi pelajarannya ditulis di papan tulis. Bahkan, ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah cewek yang kata teman-temannya paling cantik di sekolahnya.
Namun, Usup pun tak protes. Dia paham kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Bapaknya hanya pedagang pakaian eceran di pasar. Penghasilannya dari pasar pun tak bisa diandalkan. Karena orang yang mau beli pakaian tak setiap hari ada seperti orang membeli beras, gula dan bahan pokok lainnya. Ditambah lagi sekarang banyak pendatang dari Medan menjual pakaian yang masih bagus-bagus secara obral. Jelas, bapak kalah saing dengan mereka. Lebih-lebih beberapa minggu lagi bayi dalam kandungan ibunya akan keluar. Dia juga tak habis pikir, kenapa orang tuanya begitu produktif memberikan ia adik. Apakah hanya karena doktrin agama yang sering kali disalah-artikan? Tapi ia pikir, bapaknya juga tak sekolot itu pemikirannya.
Rumah yang ditinggali Usup bersama keluarganya pun adalah tanah milik mushalla. Dulu, sebelum meregang nyawa, yang empumya tanah berwasiat agar bapak mengurus mushalla itu. Akhirnya bapak juga ditunjuk sekaligus sebagai imamnya.
Sebelum tidur, Usup berdoa, "Ya Allah, betapa indahnya bila aku dapat melihat hasil karya-Mu yang Maha Agung dengan jelas. Tapi tak mengapa, aku sudah cukup bersyukur dengan kondisi seperti ini. Biarlah inderaku lemah, tak peka pada ciptaan-Mu, mungkin ini adalah kelemahanku. Namun setidaknya Engkau beri aku kepekaan akal-pikiran biar dapat mengimbangi sisi lemahku itu. Amin…"
Senyapya malam semakin hening mencekam, semilir angin berhembus menerpa dedaunan, seolah menyoraki mereka agar terus menari-melambai menyambut hujan yang sesaat lagi akan turun membawa air kehidupan. Seketika suhu menurun drastis membuat kebanyakan orang memilih untuk berselimut memeluk guling masing-masing berharap dan menanti hujan akan reda esok pagi.

################

"Usup! bisa gak ngerjain sendiri!" bentak Bu Tutik, guru matematika Usup yang terkenal killer.
Usup pun kaget setengah mati, seakan separo dari nyawanya telah lepas dari wadahnya. Jantungnya berdebam keras, hatinya berdesir kencang. Sambil mengatur nafasnya ia berujar "Maaf Bu, saya cuma lihat soalnya saja."
"Lho emang belum Ibu tuliskan di papan tulis?" sentak bu Tutik semakin garang.
"Tulisan Afif lebih mudah dibaca Bu." jawabnya agak gugup. Dia tak mau mengaku kalau dia min. Rasa malunya mengalahkan kejujurannya, walaupun sebenarnya ia tidak bohong.
"Oh, jadi sudah berani melawan sekarang? jangan-jangan nilaimu selama ini bagus gara-gara nyontek terus ya?" kata Bu Tutik sinis.
"Tidak Bu, tapi saya… saya…" Usup tak mampu melanjutkan kata-katanya. Lidahnya kelu, serasa dicekoki bratawali. Kalimat Bu Tutik yang terakhir bagai belati yang menembus kupingnya masuk menusuk ulu hatinya. Kepalanya tertunduk. Matanya menatap tajam buku tulisnya. Marah dan malu berkecamuk-bersetubuh dalam dadanya. Gigi-giginya yang mungil saling gemretakan menahan perih-pilu hatinya yang panas mendidihkan empedu sehingga mencairkan kelenjar air matanya. Sekuat tenaga, kelopak matanya menahan agar cairan asin itu tak pecah dari kandungannya. Baru kali ini Usup ketahuan "nyontek soal" milik temannya.
"Sudah, tak ada alasan lagi! Afif, sekarang kamu pindah ke bangku belakang!"
Bagai kerbau yang dicunguk hidungnya, Afif pun manut saja, ia takut malah ia yang kena damprat.
"Teeet…teeet…teeet…" bel tanda pulang sekolah menjerit panjang, melekik-pekik tak tega melihat anak-anak yang dikurung dalam kelas terkuras tenaga dan pikirannya. Anak-anak pun berhamburan keluar bak semut yang keluar dari sarangnya.

###############

Jam menunjukkan pukul 08.00, seorang ibu hamil sambil menggendong anaknya yang masih balita dengan selendang kain, tergopoh-gopoh menggiring sampah-sampah jalanan di depan sebuah kantor perusahaan dengan sebatang sapu lidi yang digenggamnya. Hari ini adalah hari terakhir ia bekerja sebagai cleaning service di perusahaan tersebut. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak sebulan yang lalu. Setelah melalui tawar-menawar yang alot nan rumit, akhirnya ia diterima juga bekerja hanya untuk sebulan saja. Suaminya pun tak tahu-menahu tentang pekerjaannya ini. Ia memang berniat memberitahukannya setelah keluar dari pekerjaannya.
Karena hujan deras yang mengguyur bumi semalaman, banyak sekali daun-daun dan sampah-sampah yang enggan untuk digiring ke tempat pembuangan layaknya para gelandangan yang bersikeras tak mau meninggalkan rumah kardusnya kendati pemerintah telah berkali-kali menggusur mereka. Hari ini juga, Siti, ibunya Usup akan mendapatkan hasil jerih-payahnya selama sebulan. Hanya satu yang ia inginkan, membelikan anaknya kacamata. Hanya sebab itulah ia rela menyelinap keluar setelah suaminya berangkat kerja ke pasar. Ia juga rela dalam keadaan hamil tua, termenyek-menyek menggendong Adit, adik si Usup, bergelut dengan sampah dan debu-debu jalanan. Ia berharap semoga anaknya tak kesulitan lagi dalam belajar, tak perlu menyontek catatan temannya seperti yang selalu ia keluhkan kepadanya. Ia berharap, Usup bisa jadi anak yang pinter dan sholeh berguna bagi nusa bangsa dan agama. Ia tak mau anaknya-anaknya bodoh seperti dirinya yang nasibnya selalu susah. Apalagi jadi sampah masyarakat! Na'udzubillah…!
Maka, sehabis pulang kerja, ia pun langsung mampir ke toko optik yang bisa ditempuh lima menit berjalan kaki dari tempat kerjanya. Setelah mendapatkan kacamata yang menurutnya cocok buat Usup, ia pun bergegas menuju rumahnya. Matahari sudah tergelincir dari puncak gerak semunya seolah akan jatuh ke belahan bumi bagian barat. Jamaah shalat zhuhur di mushalla wasiat juga sudah beranjak pulang. Baru kali ini ia pulang terlambat.
Sebenarnya ia sudah siap menghadapi segala resiko atas tindakannya. Tetapi sesampai di depan pintu rumahnya, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Pandangannya kini kabur, ia melihat banyak kunang-kunang di depan matanya. Tangan kanannya menggeragap mencari barang yang dapat ia jadikan untuk bertelekan. Karena tak mendapatkan apa yang ia inginkan, ia pun limbung, jatuh dengan perut bagian kanannya menghantam tanah. Sedangkan perut bagian kirinya tertindih oleh Adit yang digendongnya. Sontak, ia menjerit-pekik ibarat hewan kurban yang disembelih oleh tukang jagal.
Orang-orang pun berhamburan menuju sumber suara. Ustadz Slamet yang sedang takbiratul ihram untuk shalat ba'diyah zhuhur langsung membatalkan shalatnya, bergegas menuju jeritan istrinya. Sesampainya di TKP, beliau pun terkejut terperangah melihat darah segar mengalir keluar dari dalam rok istrinya membasahi sekujur kakinya.
Usup yang baru saja pulang sekolah heran melihat orang-orang berkerumun di depan rumahnya seperti nanggap topeng monyet. Setibanya di rumah, betapa shock nya ia. Ternyata ibunya terbaring lemas di atas meja yang biasa ia gunakan tidur.
"Ibu…"
"Dari tadi ibumu nunggu kamu Sup, dia gak mau dibawa ke rumah sakit." ucap bapak Usup dengan nada berat sambil menggendong Adit yang masih nangis terus.
"Usup…" lirih ibunya.
"Ya Bu, Usup udah di sini."
"Sup tolong ambilkan tas ibu!"
"Ini Bu…"
"Usup, tadi ibu mampir ke toko optik, terus ibu nemu kacamata yang bagus buat kamu. Nih, cepet kamu pake! Ibu pengin lihat anaknya keren pake kacamata."
Rasa ibanya pada sang ibu membuat Usup lebih terharu daripada merasa kaget dan bahagia karena mendapat surprise dari ibunya. Demi menyenangkan ibunya, ia pun memakai kacamata pemberian ibunya.
Kini Usup dapat memandang dunia lebih terang. Masya-allah, ia melihat wajah ibunya ternyata lebih cantik daripada yang selama ini ia lihat, meskipun di wajah ibunya sekarang bisa ia temukan keriput yang sudah muncul sedikit demi sedikit. Ia pun melihat sebuah senyuman manis tersungging di paras cantik ibunya.
"Bapak, selama ini aku lancang tak minta izin padamu kalau selama ini aku bekerja, maafkan aku ya!" suara ibunya Usup kini kian memelas.
"Bapak sudah halalkan semuanya Bu." ucap Ustadz Slamet penuh haru.
"Alhamdu-lillah, terima kasih Pak! "
"Usup _ _ _belajar yang rajin, …..jangan kayak ibu yang bodo ini. Di mana-mana, orang bodo itu hidupnya susah…….Jadi anak yang sholeh, pinter,_ _ _ biar bisa bermanfaat buat yang lain. Inget,… ketidak-sempurnaan bukanlah halangan untuk menjadi yang terbaik."
Suara ibu semakin pelan dan terbata-bata. Kini, tinggal kelopak matanya yang berkedip diiringi air matanya yang keluar di sudut matanya dan seulas senyum yang terkulum manis di bibirnya. Sesaat, suasana hening, suara tangis Adit pun mendadak diam. Tiba-tiba aura ruang tamu menjadi mencekam seolah seluruh orang di sana terhipnotis tak sadarkan diri. Sedetik kemudian bagai tersadar dari lamunannya, tersentak Ustadz Slamet memegang pergelangan tangan istrinya, telinga beliau didekatkan ke hidung istrinya. Dengan suara serak dan terputus-putus beliau berucap "Innaa-lillahi wa innaa-ilaihi raaji'uun…"
Suasana kembali gemuruh bising oleh isak tangis. Adit pun menangis lagi. Suaranya yang nyaring membahana keluar rumah menembus langit tujuh membuat para malaikat trenyuh, tak kuasa membendung air matanya sehingga jatuh membasahi bumi yang baru saja kering.
"Allahumma-ghfirlahaa warhamhaa wa 'aafihaa wa'fu 'anhaa…"


22 Desember 2008.
Kupersembahkan untuk ibunda tercinta, Siti pada Hari Ibu tahun ini.
Seiring ucapan maafku yang tak pernah sempat
memberimu kado di hari ulang tahunmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...