Pages

Selasa, 12 Januari 2010

Salam Cinta

SALAM CINTA
Cerpen Warih Firdausi*


“Byuurrr….. “
“Banguunn…!!!” “Males banget sih jadi anak. Kamu tuh dah gede, bentar lagi mo kawin, kerjaannya kok cuma molor terus. Gimana nanti kalo dah punya istri? Mau kamu kasih makan apa dia? Jangan mentang-mentang bapakmu masih mampu kasih kamu duwit, kamu enak-enakkan tidur terus….! Bantuin nyuci, bersih-bersih rumah kek, udah jadi mahasiswa kok males banget sih.!! Kamu mo berangkat kuliah pa nggak?”
Masih terngiang di benakku wajah judes ibu saat melontarkan kata-kata itu beserta sumpah serapahnya ketika beliau marah gara-gara aku susah dibangunin. Kangen juga aku pada suara ibu dan raut mukanya saat beliau memarahi aku habis-habisan. Namun, sayangnya kata-kata itu sekarang takkan pernah lagi kudengar dari mulutnya. Suara ibu musnah bersama jasadnya yang kini telah manunggal ke dalam buwana. Diantara anak-anaknya, mungkin akulah yang sering membuatnya jengkel dan judes. Kini, datanglah sesalku kenapa dulu aku sering membantah perintah-perintahnya. Dan yang paling kusesali adalah tak sempat aku memohon maaf kepadanya. Kini, tak ada lagi bakti yang dapat kulakukan untuknya.
Tanpa kusadari butir-butir air mata telah meleleh dan mengalir, menyapu bersih kukul dan jerawat di pipiku. Karena telah mencapai klimaksnya, aku harus menyudahi ritual melankolis ini. Kuusapkan kedua telapak tanganku ke muka dan bergegas menuju masjid. Aku sudah ketinggalan shalat jamaah bersama teman-temanku.
Disana kudapati seorang temanku yang masih belum selesai shalatnya. Syukur deh masih bisa ikut jamaah. Langsung saja kugelar sajadah dan kupoles kepala temanku itu sambil memonyongkan bibir aku bilang padanya, “jadi imam yang bener ya ndess!”
Terdengar berisik suara jamaah yang menahan ketawa karena melihat tingkahku yang tak wajar. Ah, peduli amat batinku, yang penting tujuannya sama.

***********************

Pada suatu malam setelah makan malam bersama, bapakku mengajakku dan kakakku, Billy bermusyawarah masalah keluarga. Bapakku pun berbasa-basi sebentar. Beliau berkata “Bill, Ary.. Bapak pingin ngomong penting sama kalian. Kalian kan lebih ndolor daripada adik-adik kalian. Tolong kalian pikir baik-baik, gunakan akal jernih kalian, jangan pake emosi dulu.”
“Emang ada apa sih Pak?” tanya kami hampir bersamaan.
“Begini nak, setelah bapak pikir-pikir, pekerjaaan rumah tangga kita ini memang benar-benar berat. Kalian sendiri saja kualahan kan mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan ibumu. Lebih-lebih kamu Ry, molor terus aja kerjaannya, kaya’ orang kesawan aja.”
“Terus rencana Bapak gimana?” selidik kakakku.
“Kemarin waktu Bapak ke Salatiga, bapak diajak mampir ke pesantren yang keadaannya sudah memprihatinkan karena ditinggal wafat oleh kyainya. Santrinya tinggal 8 orang aja. Nah, bu Nyainya itu masih mau nikah lagi dengan harapan suanimya itu dapat meramaikan pesantrennya lagi.”
“Jadi Bapak mau nikah sama bu Nyai itu?” kataku dengan nada agak meninggi.
“Eemm,, ya kira-kira begitu.” jawab bapakku hati-hati.
“Aku tak setuju kalau bapak nikah lagi. Baru saja kemarin kita rayakan 40 hari kepergian Ibu, masa sekarang bapak sudah bernafsu ingin nikah lagi dengan wanita lain?” Rasa hormatku pada bapak kini hilang seperti dulu ketika setiap hari dia membangunkanku dengan marah-marah.
“Ry jaga ucapanmu di hadapan bapak!” ujar kakakku menyentak.
“Jadi, mas juga setuju bapak nikah lagi gitu?”
“Kamu jangan egois, lihat adik-adik kita yang masih kecil! Izam, Ninta. Mereka masih butuh kasih sayang seorang ibu. Jangan samakan dengan kamu yang sudah kenyang dengan kasih sayangnya.”
“Lha emang kita tak bisa menyayangi mereka? Toh belum tentu ibu kita yang baru mampu menyayangi dan memperhatikan mereka seperti anaknya sendiri.”
“Tapi paling tidak bapak juga bisa sedikit istirahat, fokus ke pesantren, tidak kesana kemari yang menguras banyak tenaga. Beliau juga sudah letih tenaganya sebagai tulang punggung keluarga.Apa kamu gak kasihan?”
“Sudah-sudah, ini sudah malam, kalau kalian rebut-ribut terus, bisa ganggu tetangga. Kita teruskan kapan-kapan lagi musyawarahnya.” akhirnya bapakku menyela.
Malam pun kian melarut. Kulihat rumah-rumah tetangga kami, lampu utama di ruang tamu mereka sudah dipadamkan. Inilah saatnya para penjahat-penjahat got beraksi. Para tikus dan werok yang kelaparan mencari mangsa. Mereka masuk rumah-rumah penduduk melalui celah-celah ventilasi atau merambat melalui kabel listrik yang terkadang menyambungkan satu rumah dengan rumah yang lain. Tak jarang pula mereka merongrong tanah, membuat jaringan lubang bawah tanah yang menggerogoti pondasi rumah penduduk. Tak salah jika mereka menjadi obyek untuk menganalogikan para penjahat berdasi yang rakus menggerogoti kekayaan negara sehingga mengakibatkan negara bangkrut.
Angin malam pun berhembus melalui celah-celah ventilasi yang baru saja dimasuki tikus tadi, membawa hawa dingin yang perlahan-lahan menurunkan suhu ruangan rumah kami yang masih panas. Terlebih hatiku yang terbakar amarah.
“Bu, maafkan aku telah bersitegang dengan bapak dan mas Billy. Semoga tempatmu di sana tidak panas seperti hatiku ini.” Ya Allah, siramlah dosa-dosanya dengan air taubat-Mu. Sejukkan tempatnya dengan kebun nirwana-Mu. Amien…”

************

Seminggu setelah kami bersitegang, akhirnya keadaan keluarga kami pulih seperti semula. Sampai pada suatu sore menjelang maghrib, ketika aku dan adik-adikku sedang asyik menonton televisi, tiba-tiba…
“Tut..tut, tut..tut..” hp bapak berdering. Ada sms masuk. Bapak sedang mandi. Kubuka langsung smsnya tanpa permisi seperti biasanya.
“nki snten?”
Ternyata dari bu ‘Iffah, nama yang dikenalkan Bapak sebagai calon ibu baru kami. Aku penasaran apa yang sebenarnya ditulis bapak untuknya, lalu, kubuka sent itemnya.
“Acp-x cnta mmg bta, s’untai kta m’f ats klancngan dri, q lygkan sbwh psn krnduan yg tk trkndali olh hti. Bgaimna, apkh bu Nyai tlah mnemukn “bidadari” pja’n hti? Jk sdh, tlg bri thu sypa “bidadari” tsb. q, sbgy dri yg hna, mskin nan ppa hny bsa mnuggu n brhrp kbaikn hti bu Nyai min tahti turabi na’laik . M’f tlh mnagih jnji.”
Saat selesai aku membaca sms itu, bapak keluar dari kamar mandi. Sontak, kuhampiri dia dan kudamprat bapakku sendiri. Aku belum pernah semarah ini sebelumnya.
“Pak…! Aku kecewa sama bapak. Kenapa sih bapak mau-maunya mengemis cinta kepada wanita lain selain ibu?”
Kakakku Billy yang sedang menanak nasi langsung menghampiri kami.
“Ary…! Kerasukan setan apa sih kamu, sampai hatinya kamu bentak-bentak bapak!”
“Mas, bagaimana aku gak marah, bapak ini telah melukai hati ibu, seandainya beliau masih hidup. Baca smsnya bapak ini mas! Masa dengan teganya bapak mengemis cinta pada perempuan lain. Kepada ibu saja bapak tak pernah seperti ini.”
“Pak, jangan mentang-mentang dia itu bu Nyai dan ibu cuma seorang perempuan ndeso, bapak tega membeda-bedakan mereka.”
“Ry, kamu tenang dulu, bapak melakukan ini kan juga untuk kepentingan keluarga kita.” Bapak yang dari tadi diam mematung kini angkat bicara juga.
“Bener Ry, kamu yang tenang, jangan emosi! Denger dulu penjelasan dari bapak.” Sahut mas Billy.
“Allahu akbar Allahu akbar….” Adzan maghrib berkumandang dari corong masjid terdekat dari rumah kami. Suara merdu mu’adzin yang mengalun, secara perlahan mengikis habis gemuruh sesak bisikan iblis di dalam dada ini. Entah kekuatan apa yang terkandung dalam lafadz takbir sehingga dapat menyejukkan hati yang terbakar oleh hembusan nafas si laknat iblis, padahal tak jarang pula membuat orang terpanggang semangat dan amarahnya.
Adu mulut di petang hari itu pun berakhirlah sudah. Kami harus segera mengambil air wudlu dan shalat berjamaah di masjid.

*********

Tiga bulan sudah ibu meninggalkan kami. Kuliahku yang sudah mulai aktif seminggu lalu sungguh menambah bebanku. Setiap hari aku harus berangkat pagi pulang sore, sampai di rumah aku harus berbagi pekerjaan rumah dengan bapak dan kakakku, apalagi sebulan lagi Mas Billy juga akan KKN. Belum lagi si Ninta setelah ibu wafat manjanya minta ampun, mandi minta dimandiin, makan minta disuapin. Semua keinginannya harus dipenuhi, kalau tidak jurus andalannya keluar, merengek-merengek sembari mengadu kepada bapak. Pusing aku dibuatnya. Tak jarang kujitak dan kupoles kepalanya saking jengkelnya.
Si Izam juga tak kalah bandelnya. Setiap hari selalu adu mulut dan bertengkar dengan Ninta sehingga membuat telingaku semakin panas layaknya mendengar para caleg yang bersilat lidah berebut tepuk tangan para pendukungnya. Lama-lama aku bisa stress kalau begini keadaannya.
Tak bisa kubayangkan begitu sabar dan kuatnya Ibu mengarungi hidup bersama bapak. Menghadapi anak-anak yang rata-rata bandel semuanya, menyelesaikan tugas rumah dengan tangannya sendiri. Tak pernah ibu mengeluh kepada bapak untuk mencari pembantu.
Setelah kupikir-pikir, kasihan juga bapak. Setiap siang setelah pulang dari pasar harus memasak untuk anak-anaknya. Ketika pulang dari TPQ, tak ada lagi yang membuatkan segelas teh hangat untuknya. Aku sebagai anaknya malah selalu bersitegang dengannya, menambah beban pikirannya. Padahal aku juga masih minta uang padanya. Ibuku sudah tiada, pada siapa lagi bakti yang kulakukan kalau bukan padanya?
Iseng, aku bertanya pada adikku Ninta, “Nin, kamu mau gak punya ibu lagi?”
“Mau…”
“Tapi bukan ibu kita yang dulu, gimana?”
“ya gak papa...” sahut Izham.
Tersentak batinku mendengar jawaban mereka. Ternyata benar kata mas Billy, mereka masih haus kasih sayang dan belaian lembut seorang ibu, meski bukan dari ibu kandung mereka sendiri. Benar, aku tidak boleh memenangkan egoku sendiri. Aku juga harus memperhatikan bapak dan adik-adikku. Aku harus rela bapak menikah lagi dengan wanita lain. Ya, aku harus merelakannya, aku harus merelakannya?

**********

Setelah mengetahui ketulusan hati dan keseriusan niat bapak, akhirnya bu ‘Iffah pun luluh hatinya dan mau menerimanya. Sehari sebelum pernikahan mereka, kami sekeluarga ziarah ke makam ibu.
Ternyata aku tidak tahu jika semua yang ditulis bapak kepada bu ‘Iffah adalah pelampiasannya karena luapan rasa rindu dan cintanya kepada ibu kami. Tekadnya yang kuat untuk mendapatkan bu “Iffah disebabkan rasa kasihan pada anak-anaknya yang selalu membutuhkan sosok seorang ibu. Bahkan bisa menjadi jaminan prospek anak-anaknya ke depan.
Disepanjang ziarah, tak henti-hentinya hujan air mata mengucur deras dari sepuluh mata kami. Kami hening dan terlarut delam perasaan kami masing-masing. Aku pun hanya bisa berdoa,
“Ya Allah semoga Engkau gantikan bagi ibu tempat yang lebih baik di sisi-Mu bersanding dengan Nabi-Nabi-Mu dan kekasih-kekasih-Mu. Sampaikan maafku padanya. Aku berjanji semua amal baikku akan selalu kuhadiahkan untuknya, dan semoga engkau menyampaikan pahalanya kepadanya. Amien…”
Diantara tangis-tangis kami, tangis bapaklah yang paling pilu. Aku tak tahu, ternyata bapak pun sebenarnya berat hati untuk menikah lagi dengan wanita selain ibu. Tapi demi empat anak yang dititipkan ibu padanya ia harus rela menduakan istrinya. Ya, benar menduakan istrinya, tapi tidak hatinya. Karena dalam hatinya hanya ada ibuku yang sudah menemani hidupnya selama 23 tahun. Sungguh andai aku tahu doa bapakku ini, mungkin aku tak akan pernah berani membentaknya.
“Untukmu yang selalu terukir dalam hatiku. Bagiku engkau Siti Khadijah di antara zaujaatir Rasul. Meski si jelita ‘Aisyah masuk dalam kisah hidupku, tapi engkaulah yang akan tetap memiliki hatiku. Bagaimana kabarmu di sana? Benarkah kata-kataku? Sudahkah kau bertemu dengan Allah dan Nabi kita? Sudahkah kau sampaikan salamku pada mereka? Sabarlah sayang, tunggu aku di sana!”
“Faqad abaa qalbiy an yuhibba siwaaki”[1]


25 April 2009.
Kupersembahkan untuk
almarhumah ibunda tercinta.
Ibu, ternyata bapak selalu mencintaimu.


[1] sungguh hatiku tak mau mencintai selainmu. penggalan syair Rabi'ah al-Adawiyyah yang diadaptasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...