Pages

Selasa, 12 Januari 2010

Mengukuhkan Kembali Kesetaraan Hak-Hak Laki-Laki dan Perempuan dalam Ranah Sosial


Bagi kaum feminis tidak sulit untuk mencari bukti bahwa dalam agama manapun, tak terkecuali islam yang hidup tidak ramah terhadap perempuan. Dari khitab Tuhan yang khusus untuk laki-laki, bagi waris yang mendapat separoh dari laki-laki, korban poligami, larangan menikah dengan non muslim, masa ‘iddah, masalah kesaksian, tak bisa menikahkan dirinya sendiri, berpakaian yang diatur sedemikian rumitnya, bahkan untuk beribadah perempuan harus dibatasi ruangnya. Dengan begitu, perempuan dalam agama manapun tak terkecuali Islam sebenarnya invisible, ada namun tak tampak.
Untuk memprotes realitas agama yang sangat tidak ramah terhadap perempuan ini, dalam al-Qur’an menceritakan bagaimana Ummu Salamah dengan lantang menggugat Tuhan dan menyatakan “apakah Tuhan pikir yang harus beribadah dan membutuhkan Tuhan itu laki-laki saja?” akhirnya lahirlah surat al-Ahzhab:35 di mana Allah telah meletakkan posisi laki-laki dan perempuan secara setara, yang membedakan adalah amal ibadahnya.
Dengan penjelasan seperti itu, kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Islam tidak membenci perempuan dan mendiskreditkannya. Bahkan islam menghargai dan memuliakan wanita sehingga menempatkannya setara dengan laki-laki. Namun nampaknya setelah berselang lama Nabi meninggalkan umatnya, dalam realitas kehidupan tetap saja perempuan yang invisible.
Invisbilitas perempuan ini menyebabkan kehadiran mereka tidak diperhitungkan, dan tentu saja akan berdampak sulitnya kaum perempuan untuk memperoleh hak-hak mereka. Sehingga seakan telah menjadi rumus kehidupan bahwa tugas dan peran wanita hanyalah terbatas wilayah domestik saja. Dalam rangka mengcounter steriotipe tesebut, tulisan singkat ini bermaksud untuk mengungkap hak-hak perempuan di bidang sosial yang telah tereduksi oleh kepentingan-kepentingan sepihak kaum lelaki.

Faktor Penyebab dan Contoh Timbulnya Bias Gender dalam Bidang Sosial
1. Sistem keluarga yang patriarkhi.
Inilah faktor utama yang menyebabkan timbulnya kesenjangan hak antara laki-laki dan perempuan. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan tidak mendapatkan waris, sementara jika cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat waris. Seolah yang dapat meneruskan keturunan hanyalah laki-laki saja. Anehnya hal semacam ini berlaku juga dalam keluarga habaib. Putri mereka jika nantinya menikah selain dengan habib, maka anaknya tidak disebut habib.
Sistem patriarkhi yang masih melekat dan dianut oleh sebagian besar umat islam ini harus segera diruntuhkan. Karena sebenarnya Nabi sendiri berjihad untuk menghapuskan sistem yang seperti ini. Ketika putra Nabi yang bernama Ibrahim meninggal dunia, maka orang-orang munafik mengolok-olok Nabi sebagai orang yang terputus keturunannya karena tidak memliki anak laki-laki lagi. Maka Allah pun menurunkan surat al-Kautsar untuk merubah tradisi Arab yang patriarkhi tersebut. Ali Syariati menyatakan Sayidah Fathimah ra. adalah satu-satunya ahli waris Nabi. Bahkan Allah menyatakan dalam ayat ketiga dari surat al-Kautsar bahwa orang-orang yang menghina Nabi lah yang sebenarnya terputus meskipun memiliki keturunan laki-laki.
2. Kesalah-fahaman dalam menafsirkan teks-teks agama.
Riffat Hasan memastikan bahwa akar dari semua misoginitas masyarakat muslim adalah teologi. Tak jarang kita menemukan nash-nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang misoginis. Misalnya ayat al-Qur’an “al-rijaalu qawwamuuna ‘ala al-nisaa’, atau hadits yang berbunyi “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, “Aku tak menyaksikan orang yang kurang akal dan agamanya, dibanding perempuan,” Lalu, seorang perempuan bertanya, “Apa kekurangan kami ?” “Kekurangan akalnya, karena kesaksian dua orang wanita dinilai sama seperti kesaksian seorang pria. Kekurangan agamanya, karena seorang di antara kamu tak puasa di bulan Ramadhan (akibat haid), dan beberapa hari diam tanpa shalat.” (HR Abu Dawud).
Selain hadis-hadis “populer” tadi, hadis-hadis yang banyak beredar adalah hadis-hadis yang hanya difokuskan kepada perempuan, misalnya “Bila perempuan telah menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan, menjaga kehormatan dan mentaati suami, maka dikatakanlah kepadanya; masuklah ke dalam sorga, dari pintu mana yang kamu suka.” (HR Ahmad dan At-Thabrani). Lalu bagaimana dengan laki-laki? Mengapa jarang beredar (dengan arti: para ulama jarang menyebarluaskannya) hadis-hadis tentang kewajiban laki-laki untuk berperilaku baik kepada istrinya atau bersikap sabar kepada istri.
Hadis-hadis dan riwayat mengenai Rasulullah SAW yang menjahit sendiri sandalnya yang robek, Imam Ali a.s. yang membantu Sayyidah Fathimah sa. mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Imam Khomeini yang mengambil sendiri makanannya di dapur dan mencuci piringnya sendiri, seolah-olah lenyap begitu saja dalam lembaran-lembaran sejarah.
Padahal jika diteliti secara mendalam teks-teks yang secara literal tampak misoginis, sebenarnya tidak bermaksud seperti itu jika dikaji secara kontekstual. Bahkan, ada hadits yang disampaikan secara terpotong, Misalnya, hadits, “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, sesungguhnya masih ada lanjutannya: Seseorang lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang dimaksud dengan menuruti?” Rasulullah menjawab, “Yaitu, bila suami memperbolehkan istrinya pergi ke kolam renang, pesta perkawinan, perayaan, dan ke tempat orang meninggal, dengan menggunakan pakaian tipis dan sangat halus.” Dengan demikian, jelaslah bahwa “menuruti” di sini adalah mengizinkan perempuan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat. Mengenakan pakaian tipis keluar rumah memang jelas-jelas dilarang syariat. Namun karena tidak disampaikan secara utuh, hadis ini seolah-olah melarang laki-laki menuruti permintaan atau saran dari istri secara keseluruhan.
3. Taqlid buta terhadap pendapat ulama’ salaf.
Dengan tidak bermaksud menyalahkan ijtihad ulama salaf, sebaiknya kita umat Islam mulai merekonstruksi rumusan hukum hasil ijtihad mereka. Karena produk hukum pada zaman tersebut menjadi tidak relevan jika dipraktekkan dalam konteks masa kini. Sebagai contoh, Abu Hayyan al-Andalusi menuliskan pendapat ulama tentang perempuan yang menolak berhubungan intim dengan suaminya (Tafsir al-Bahr al-Muhith, III/252): “Untuk mengatasi isteri yang nusyuz [tidak mentaati suami]; pertama kali dinasihati dengan perkataan lembut, baru perkataan kasar, jika tidak bisa maka hindari tidur seranjang, kemudian bisa berpaling dan menjauh sepenuhnya, kalau masih juga tidak kembali baru boleh memukul dengan lembut, lalu dengan agak kasar seperti menempeleng dan menonjok tetapi tidak membuatnya terluka, kalau juga tidak sadar; bias mengambil cemeti atau kayu yang bisa sedikit menyakiti tetapi tidak sampai mengucurkan darah, kalau juga masih tidak kembali taat; suami bisa mengikatnya dengan tali ke suatu tempat, kemudian memaksakan hubungan intim [jima] denganya. Ini bisa dilakukan, karena suami berhak melakukan itu semua”.
Bahkan Imam al-Ghazali dalam magnum opusnya “Ihya ‘Ulumiddin” (1994: II/93) yang menjadi rujukan ulama dunia terutama Indonesia, menggambarkan perempuan yang baik seperti pernyataan berikut, bahwa semestinya perempuan itu duduk tinggal di dalam rumah saja, memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah, tidak banyak berbicara, tidak banyak bergerak naik ke atas atau turun ke bawah, tidak banyak melakukan kontak dengan laki-laki, selalu menyenangkan suami, menjaga diri, berhias dan selalu siap dalam setiap waktu untuk bisa dinikmati suami, tidak keluar rumah tanpa izin suami, jika terpaksa keluar setelah memperoleh izin tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, menjauhkan diri dari kerumunan dan keramaian, tidak mengenalkan diri kepada siapapun, yang harus selalu dipikirkan perempuan adalah kesucian dirinya, urusan rumah tangga, kemudian kewajiban shalat dan puasanya. Pernyataan ini banyak juga dikutip beberapa ulama lain, seperti Imam Nawawi al-Bantani dalam Syarh Uqûd al-Lujjain dan Syekh Nefzawi dalam The Parfumed Garden.
Mungkin aturan-aturan tersebut masih relevan untuk zaman mereka, mengingat kondisi perempuan pada masa itu masih lemah, dalam hegemoni kaum lelaki dan didukung oleh beberapa pemikir muslim yang ternyata juga masih terpengaruh oleh budaya patriarkhi yang hanya berorientasi pada laki-laki. Jika hukum-hukum tersebut masih dipraktekkan pada zaman modern seperti sekarang ini, maka bukan salah mereka melahirkan hukum-hukum seperti itu melainkan kesalahan kita yang mandul untuk menghasilkan produk hukum yang sesuai dan relevan pada zamannya.
4. Kenyamanan dan kepasrahan perempuan dalam menikmati keterpurukan mereka
Disadari atau tidak, banyak juga perempuan yang merasa nyaman berada di bawah ketiak laki-laki. Ironisnya, mereka sendiri ikut mendukung paradigma tersebut. Contoh mudahnya, anak laki-laki akan dibelikan mainan mobil-mobilan oleh ibunya, sementara anak perempuan dibelikan mainan “masak-masakan”. Pulang sekolah, anak laki-laki boleh bebas bermain, sementara anak perempuan harus membantu ibu di dapur.

Menakar Solusi dari Opsi-Opsi
Untuk konteks sekarang, perempuan tidak mungkin lagi menggugat Tuhan seperti yang dilakukan oleh Ummu Salamah karena kesempatan untuk melakukannya sudah tertutup bersamaan dengan wafatnya Nabi. Mungkin yang dapat dilakukan perempuan saat ini adalah merebut tafsir yang selama ini berada di bawah otoritas kaum laki-laki. Munculnya tokoh-tokoh wanita seperti Fatimah Mernissi, Amina Wadud dan Binti Shathi’ seharusnya bisa memberikan stimulus untuk mendukung terciptanya adil gender dalam masyarakat.
Menurut analisis Ziba Mir Hossein, seorang aktivis dan intelektual Muslim perempuan dari Iran, penguatan perempuan dalam dunia Islam bisa dikategorikan menjadi tiga level. Pertama level teks agama (sacred text), kedua level politik lokal (local politic), ketiga level pengalaman hidup (lived experience) perempuan. Pada level pertama yang terjadi adalah debat yang tiada akhirnya, dan biasanya ulama konservatif punya wibawa lebih dalam opini masyarakat. Sedangkan pada level kedua seringkali agenda penguatan perempuan tenggelam begitu saja tanpa ada perhatian, termasuk oleh politisi perempuan sendiri. Hal ini mungkin dikarenakan pembentukan citra heroik bagi oposan lebih menarik daripada agenda penguatan perempuan. Menurut Mir Hossein, level ketiga yaitu pengalaman hidup perempuan menjadi sangat penting dan utama untuk menjadi dasar penguatan perempuan.
Pengalaman hidup perempuan; keterpurukan, tanpa perlindungan, hak-hak yang selama ini terabaikan jika dimunculkan ke hadapan para ulama mungkin akan lebih menggugah kesadaran mereka untuk mereinterpretasi teks-teks agama bagi pembelaan hak-hak perempuan. Pada akhirnya para kyai-kyai sendrilah yang akan membela perempuan melalui basis agama. Saat ini ada Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur, yang terdiri dari para nyai dan kyai, yang menggeluti kajian kitab-kitab kuning dengan perspektif keadilan gender.

Penutup
Sebenarnya untuk memahami konsep gender, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang pembedaan antara nature dan nurture. Sehingga tidak menimbulkan stereotype yang negatif terhadap perempuan. Apalagi jika sudah masuk dalam diskursus teologi. Sebelum membahas gender perspektif Islam, merupakan sebuah keniscayaan untuk mempunyai pre-understanding bahwa semangat (moral idea) dari Islam adalah pembebasan dan keadilan. Jika hal tersebut terpenuhi, tidak akan dijumpai dalam perspetif Islam kesenjangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang apapun. Bukankah Allah tidak pernah membedakan hamba-hamba-Nya berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, ras dan bangsa. Allah hanya memandang hamba-Nya berdasarkan ketakwaan seorang hamba terhadap Tuhannya.
waLlahu a’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...