Pages

Sabtu, 02 Januari 2010

Naskah Resensi Rintihan Tuhan di balik Jeruji Manusia

Naskah Resensi
Rintihan Tuhan di balik Jeruji Manusia
Judul buku : Tuhan yang Terpenjara, Relasi Misterius Tuhan, Alam, dan Manusia
Penulis : Mohammad Nurfatoni
Penerbit : Kanzun Books, Sidoarjo, Jawa Timur
Tebal : xii + 156 halaman
Cetakan : pertama, September 2008
Peresensi : Warih Firdausi*

"Tuhan sudah mati!" seru seorang filosof besar bernama Nietzsche. Ungkapan keputus-asaan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Mungkin hal ini bisa dimaklumi di saat melihat rakyat yang selalu dipelintir, diperas tanpa belas, dilindas oleh kepentingan-kepeningan para pemegang kekuasaan. Sedangkan apa yang telah diperbuat Tuhan kalau memang Dia belum mati? Jangan-jangan Dia malah dengan santainya "leyeh-leyeh", bersulang meminum anggur surga dengan dilayani oleh bidadari-bidadari sembari tertawa-terkekeh melihat hasil karya-Nya yang Maha Liar Biasa. Tak peduli sudah seberapa banyak darah umatnya yang mengalir membentuk sungai anyir di atas bumi ciptaan-Nya. Mungkin itulah yang ada di benak orang seperti Nietzsche.
Memang benar, tatkala kita sebagai manusia sudah mulai sibuk dengan materi dan urusan duniawi, kita acapkali melalaikan sisi religius dan batiniyah kita. Kita cenderung egois dan kapitalis, bahkan dengan teganya "memakan" saudara sendiri. Kita lebih memilih untuk membutakan mata dan menulikan telinga rapat-rapat, tak mau melihat penderitaan orang lain, enggan mendengar nasehat orang lain, bahkan suara hati yang bersumber dari God Spot (meminjam istilah Ary Ginanjar) kita abaikan.
Menurut buku Tuhan yang Terpenjara, di saat seperti inilah sebenarnya kita telah "memenjarakan" Tuhan. Kita menganggap Tuhan hanya ada dan berkuasa di dalam masjid-masjid dan tempat-tempat ibadah saja, dan seakan kita juga mengakui keberadaan-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Maraknya razia klub-klub malam dan tempat-tempat maksiat lainnya pada bulan puasa merupakan sebagian kecil contohnya. Sedangkan di luar waktu dan tempat tersebut kita seolah membatasi kekuasaan-Nya. Bahkan kita menganggap Tuhan tak berhak mengatur kita di luar daerah kekuasaan-Nya. Maka dengan bebasnya kita "mbijik sana-sini" melakukan segala macam cara untuk mendapatkan yang kita inginkan, tanpa peduli siapa saja yang menjadi korban.
Jika dilihat dari judulnya, sepintas memang terkesan agak liberal, bahkan salah satu sub babnya ada yang berjudul "Tuhan kok ditolong". Mungkin penulis buku ini terinspirasi oleh statemen liberal yang dilontarkan Gus Dur "Tuhan tak perlu dibela, belalah kaum yang tertindas!" Disamping itu, penulis juga sering mengutip beberapa statemen dari tokoh-tokoh liberal lainnya seperti Nur Cholis Madjid dan Ulil Abshar-Abdalla. Penulis juga sependapat dengan Ulil dalam masalah bolehnya nikah beda agama. Namun isi buku ini tidak sepenuhnya setuju dengan doktrin liberalisme, meskipun di sisi lain pola berfikir penulis juga bertolak belakang dengan kaum konvensional. Bahkan dalam bukunya, penulis juga menolak konsep pluralisme beragama yang menyama-ratakan semua agama (hal 52). Buku ini sarat akan kisah-kisah inspiratif, bahan refleksi dan pencerahan bagi kehidupan beragama manusia.
Mungkin pola pikir semacam ini dipengaruhi oleh background penulis. Beliau dilahirkan dan dibesarkan oleh tokoh Muhammadiyah lokal dan mendapatkan mertua seorang kyai NU lokal. Bisa jadi hal inilah yang membentuk mindset penulis yang semi liberal-fundamental. Suatu paduan corak pikir yang harmonis terdapat pada diri penulis. Setidaknya penulis dapat memandang suatu problem dan ideologi berfikir masyarakat secara lebih obyektif.

Kedewasaan Beragama
Buku karya Mas Fatoni ini mengajak kita merenungkan kembali sikap beragama kita dalam kehidupan sehari-hari. Sudahkah kita dewasa dalam beragama? Jangan-jangan kita ini masih "kekanak-kanakan" dalam beragama. Kita masih mengharapkan "iming-iming" Tuhan untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, layaknya anak kecil yang mengharapkan upah dari orang tuanya atas pekerjaannya membelikan rokok untuk ayahnya misalnya. Barangkali rasa takut kita pada ancaman Tuhan juga masih seperti bocah cilik yang ditakut-takuti Buto Ijo agar dia tidak keluar rumah malam-malam?
Buku ini juga berusaha menyegarkan kembali nalar beragama kita. Penulis menyindir mereka yang hanya "taqlid buta", bahkan mengkultuskan seseorang dalam beragama. Tak peduli siapa yang dikultuskan, apakah itu wali, kyai, ustadz, presiden, ketua partai atau siapa pun yang mempunyai karisma. Karena ketika manusia mengkultuskan seseorang atau sesuatu, sebetulnya dia telah menuhankannya. Padahal yang patut untuk dikultuskan hanyalah Tuhan YME. Sebenarnya hal semacam inilah yang menghambat kemajuan suatu agama.
Namun, sayangnya dalam buku ini terdapat sedikit kefanatikan penulis terhadap agamanya. Sehingga, jika buku ini dibaca oleh pembaca yang non-muslim mungkin mereka akan merasa agak tersinggung. Akan lebih baik jika kefanatikannya itu tidak ditampakkan dalam tulisannya.
Terlepas dari semua itu, buku ini tetap baik dan layak untuk dibaca oleh siapa pun yang dahaga akan nilai-nilai luhur dalam beragama dan ingin selamat dari sindiran Tuhan karena (pura-pura) tak yakin tentang kehadiran-Nya yang begitu dekat. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan Nietzsche yang sudah tak percaya lagi terhadap Tuhan? Mungkin saja kita lebih sadis darinya, kita malah berani menghalalkan segala cara dengan mengatas-namakan Tuhan. Tidak dengarkah kita akan "rintihan Tuhan" di balik jeruji yang kita buat untuk-Nya?

2 komentar:

  1. Terima kasih telah meresensi buku saya.
    Semoga bermanfaat.

    Ada satu catatan, dikatakan saya setuju tentang nikah beda agama seperti Mas Ulul. Jika dibaca tulisan tentang "Satu Rumah Banyak Agama?" justru saya mengkritiknya.

    Namun secara keseluruhan saya memberi apresiasi atas resensi ini.

    BalasHapus
  2. Oh ya, saya minta ijin untuk saya postkan di blog atau fb saya.

    Terimakasih

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...