Pages

Tampilkan postingan dengan label wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wayang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 November 2012

Sashtra Jinendra Vijnana*


cerpen Warih Firdausi

Persepsi I: Perkenalan itu…
Facebook bagiku bukan dunia maya. Hanya orang yang kurang kerjaan saja yang menganggapnya begitu. Banyak bisnis yang terjadi melalui facebook, pernikahan yang bermula dari facebook. Mencari teman atau bahkan anggota keluarga yang hilang pernah juga terjadi dengan bantuan facebook. Meskipun ada juga kasus pemerkosaan, penipuan akibat berhubungan dengan orang tak dikenal di facebook. Menurutku semua itu merupakan bagian episode dari dunia yang sebenarnya. Maka aku pun menuliskan info di profilku sebagaimana adanya diriku.
Aku termasuk orang yang selektif menerima pertemanan di facebook. Aku hanya menerima permintaan teman orang yang secara pribadi aku mengenalnya, dan mereka yang update postingnya kurasa bermanfaat. Kau mungkin sudah tahu, banyak profil di facebook yang menggunakan nama-nama account yang aneh, nyleneh, lebay, alay, bahkan jorok. Dalam kasus ini aku berpendirian untuk tidak berteman dengan mereka. Dari namanya saja sudah tidak mampu menghargai dirinya sendiri, apalagi menghargai orang lain? Biasanya aku langsung ignore permintaan mereka.
Suatu saat, ada satu account facebook yang meminta pertemanan dengan nama Diancuk Modarsono dengan cover photo seorang wanita berpose nyaris telanjang. Tubuh polosnya hanya berbalut air susu yang ia tuangkan dari atas mulutnya mengalir membentuk rompi sampai kedua pahanya. Dengan angle dari belakang 30° ke kanan, gambar itu tampak sensual, eksotis dan artistik. Entah kenapa aku tertarik dengan account yang satu ini. Aku buka timeline-nya. Aku tak bisa melihat dia berteman dengan siapa saja. Pengaturan privacy-nya boleh juga. Tidak mencantumkan tempat, tanggal lahir dan jenis kelamin. Semoga saja masih punya kemaluan dan rasa malu. Pendidikannya alam semesta. Sama sepertiku juga, pembelajar sejati. Pekerjaannya pelayan keseimbangan. Aku belum faham. Dalam infonya ia menulis bio tentang dirinya,
“Aku seperti bawang yang terus dikuliti, dimana segala nama dan atribut adalah kulit bawang yang berlapis-lapis. Apa yang kalian ketahui dan kenali tentang diriku hanyalah kulit yang kalian kupas sendiri. Semakin kalian mengupasnya, kalian akan tahu bahwa aku yang sejati sebenarnya tiada.”
Aku suka kalimat mistikus ini. Setelah membaca tulisan itu tanganku tak tahan lagi untuk mengklik link accept friend request. Untuk pertama kali aku mengkhianati prinsipku sendiri. Ah, tidak juga, yang ini kan beda, unique, sepertinya akan banyak bermanfaat kalau aku berteman dengannya. Beginilah kebiasaanku bila sudah jatuh hati pada pembacaan pertama, aku teruskan menjelajahi timeline-nya.
Status update terbarunya “Tuhan, izinkan aku sejenak merasakan betapa indahnya memandang kecantikan wajah-Mu dari neraka.”
Aku tulis komentar, “hanya orang gila yang meminta  neraka.“
Tidak beberapa lama masuk satu notifikasi baru, Diancuk Modarsono commented on their status, “saya memang orang gila. :)
”“Selera humor anda bagus juga."
”Sayangnya, saya sedang tidak melawak."
“Hha. saya suka gaya anda.”
“Karena Alhamdulillahi (segala puji hanya milik Allah), maka sudah seharusnya saya berdoa a’udzubillahi minal-hamdi (saya berlindung kepada Allah dari segala pujian).”
“Senang berkenalan dengan Anda.”
“Senang, sedih jika datangnya dari luar diri sama seperti rasa lainnya, manis, pahit, asin, dll. Mereka bersifat sementara.”
Aku semakin penasaran dengannya. Aku lihat di chatroom tak tercantum namanya. Aku ingin melakukan percakapan secara pribadi dengannya.



Persepsi II: Terpukau oleh cermin Tuhan
Aku suka dunia maya. Dia tak pernah berbohong atas kesemuan dan kesementaraannya. Karena bagiku tidak ada yang namanya dunia nyata. Tak salah bila orang Hindu menyebut dunia sebagai mayapada, semuanya semu dan sementara. Fakta adalah sandiwara fiktif sebuah perspektif. Oleh karena itu aku suka karya sastra dan seni. Selain seni, tidak ada yang mampu melampaui sekat realitas dan imajinasi. Sastra merupakan gagasan ketuhanan yang dibalut dengan seni menyusun kata dan cerita. Bahasa sastra juga tak pernah berdusta bahwa ia metafora. Dalam facebook pun aku menyukai halaman-halaman “artist” (pekerja seni, bukan selebritis) dan bergabung dalam grup-grup sastra.
Dalam sebuah grup sastra, tak sengaja kutemukan sebuah nama akun facebook yang menarik perhatianku, Sintha Kesini. Aku langsung teringat dua tokoh perempuan dalam Ramayana. Sintha, wanita setia nan jelita, istri Rama. Dan Kesini, ibunda Rahuvana, perempuan yang haus akan pengetahuan sejati. Ah, apalah arti sebuah nama. Orang dikenang bukan karena makna harfiah dari namanya. Namun, nama seseorang akan terpatri abadi di hati orang-orang yang mengenalnya sebab sikap dan perilakunya.
Aku lihat foto profilnya, sesosok wanita cantik. Kau tahu kan, banyak orang memasang foto wanita cantik sebagai foto profilnya. Untuk membuktikan kejujurannya (atau konsistensi sandiwaranya?), aku telusuri semua album fotonya. Foto wajahnya mendominasi. Ku cermati status-statusnya, menurutku, ia tipikal camera obscura, menyampaikan sesuatu sama dengan apa yang direkam oleh indranya. Akhirnya kuputuskan menambahkannya sebagai teman. Aku suka wanita cantik. Wanita adalah cermin dari citra kecantikan (jamaliyah) Tuhan.


Persepsi III: Usaha melepas ke[te]la[n]jangan
Ada satu pesan baru masuk, dari Diancuk Modarsono. Dia membalas pesanku,
“Apalah arti sebuah nama, nama hanyalah penanda dari pribadi seseorang, untuk menandai satu sama lain.
Aku menukas, “bukankah nama itu sebuah doa dan harapan?”
“Benar. Itu harapan bagi yang menamainya. Padahal harapan orang lain adalah beban bagi penyandang nama.”
“Lalu apakah dengan nama yang kau sandang itu, lantas kau merasa bebas dari beban? Bukankah kau malah menanggung beban lebih berat? Tentu butuh waktu cukup lama untuk terbiasa rela menerima caci-maki dari mereka yang menganggap nama sebagai representasi pribadi.” Entah kenapa aku sudah merasa dekat dengannya sehingga mengganti kata Anda dengan kau.
“Kata Newton, “and to every action there is always an equal and opposite or contrary.” Setiap aksi pasti bekonsekuensi reaksi, ada yang mendukung, ada pula yang beroposisi. Kalau sudah tahu dan faham rumusnya kenapa harus sakit hati? Bagi mereka yang sudah mampu mengatasi segala caci-maki, namaku adalah pujian atas kejujuran yang selama ini hilang. Kejujuran akan naluri manusia yang selalu rindu untuk urakan. Namaku adalah sayup-sayup keberanian untuk merendahkan dan meremehkan diri di tengah bisingnya ketakutan orang-orang yang bersembunyi di balik image building/ pencitraan.”
Kata-katanya seperti anak panah yang menghujam jantung kesadaranku. Jangan-jangan aku termasuk orang yang takut. Takut dianggap bodoh, takut tak terlihat cantik, takut terbongkar semua kelemahan dan sifat burukku. Aku semakin suka orang ini. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. “Kalau boleh tahu, berapa usiamu? Dengan pengetahuanmu yang luas, aku tidak yakin kau masih muda." :)
“Hahaha. Kesempatan orang untuk memperoleh informasi itu sama. Di hadapan pengetahuan, tua-muda sama saja. Informasi hanyalah data semata dan takkan pernah menjadi pengetahuan jika kau enggan mempertanyakannya. Seperti kata Einstein, pembagian waktu: masa lalu, kini, dan yang akan datang itu ilusi. Pernahkah kau mempertanyakan, kenapa sekarang hari kamis, jam delapan, malam? Waktu yang sebenarnya itu absolute, tak berpangkal, tak berujung. Namun, untuk menguasainya manusia membuat kesepakatan dengan mengiris-irisnya hingga menjadi kalender. Tak sadarkah kau bahwa setiap individu punya ukuran masing-masing, mengenai ruang dan waktu? Betapa indahnya jika sejenak melebur dalam kemutlakan waktu, sehingga masa silam dan masa depan bisa terjadi sekarang.”
Gila, dia memporak-porandakan pola pikirku selama ini. Di hadapannya, aku selalu merasa kerdil. Kecerdasanku tumpul tak berdaya. Kecantikan yang kubanggakan tak mampu menyihirnya. Aku mulai berfikir, jangan-jangan dialah sebenarnya yang kucari-cari selama ini. Orang yang telah lama kurindukan. Orang yang menilai sesuatu tidak sebatas lahiriyah semata. Orang yang dapat menyingkapkan padaku misteri-misteri yang tak kunjung kufahami.


Persepsi IV: Tuah sashtra jinendra vijnana
Sejak menangkap adanya indikasi dia punya perasaan kepadaku, aku bingung. Dia selalu meminta untuk kopi darat denganku. Biar kuberitahu padamu salah satu rahasiaku, berbincang-bincang secara tatap muka langsung dengan perempuan secantik itu, bagiku seperti melihat penampakan wajah Tuhan. Mungkin aku bisa seperti Musa yang langsung jatuh pingsan akibat meminta melihat wajah Tuhan. Aku belum siap. Aku selalu mencari alasan untuk terus menunda pertemuan itu.
Hingga suatu saat, di beranda facebookku muncul satu permintaan. Shinta Kesini mengajukan permintaan untuk menjalin hubungan denganku. Diancuk, modar aku. Sudah kukatakan padanya aku ini tidak istimewa. Kau bisa cari ratusan orang sepertiku. Di dunia maya tak ada yang namanya copy right. Kini sudah zamannya right to copy. Nothing of me is original, I’m just a copy of a copy of a copy.
Kau tahu kan, cinta memang selalu rumit. Aku hanya bisa memberinya status hubungan: complicated. Aku berusaha tak lagi menjawab komentar, pesan, ataupun kiriman dindingnya. Bahkan aku takut update status lagi.Aku merasa sangat bersalah. Aku sudah membiarkan dia terlalu dalam mengupas kulit bawang. Aku khawatir sekali dia akan amat kecewa karena terlalu percaya. Maukah kau berjanji menjaga rahasia ini jika kuberitahu kepadamu hal yang sebenarnya? Aku mohon jangan pernah kau katakan hal ini kepadanya. Sesungguhnya akun facebook dengan nama Diancuk Modarsono adalah fake profile (akun palsu) yang kubuat-buat. Diancuk Modarsono tidak pernah ada sosoknya. Kini aku sudah menon-aktifkannya. Aku tidak mau Diancuk Modarsono menjadi sesuatu yang nyata bagi Sintha Kesini.


Semarang, 15092012/1111


*) Sashtra jinendra vijnana adalah istilah dalam agama Hindu untuk menyebut pengetahuan rahasia yang menyingkap hakikat segala realitas di dunia. Dalam dunia tasawuf Islam dikenal dengan wahdatul wujud. Keyakinan akan adanya satu wujud semata yang nyata. Segala yang tampak (mawjud) hanyalah medium penampakan citra yang bersifat maya dan sementara dari Dzat Tunggal Tuhan Yang Maha Tak Bertepi, Yang Maha Tak Terperi, Maha Tak Terpikirkan, Maha Segala Maha.

Selasa, 10 Januari 2012

panca indera

وفي أنفسكم أفلا تبصرون
Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak melihat?



"Open your hidden eyes and see. come, return to the root of the root of yourself. bukalah mata tersembunyimu dan lihat! mari, kembali ke akarnya akar asal dirimu." ~Mawlana Rumi.

Manusia seringkali takjub kepada sesuatu yang ada di luar diri mereka. Mengetahui banyaknya keajaiban-keajaiban di luar sana, membuat manusia seringkali lupa keajaiban dirinya sendiri sebagai miniatur alam semesta, cermin Tuhan yang paling sempurna merefleksikan citra-Nya. Namun, disini, saya tidak membahas keajaiban-keajaiban pada diri manusia. Saya hanya akan fokus pada pengendalian panca indera dan bagaimana menggunakannya untuk bertawajjuh kepada-Nya.
Panca indera adalah pintu. Segala sesuatu harus melaluinya jika akan keluar/ masuk dari/ ke dalam tubuh kita. Artinya, panca indera adalah akses keluar-masuknya informasi, komunikasi dan interaksi antara diri kita dan dunia di luar diri kita/ selain kita.
Segala yang masuk melalui indera dapat mempengaruhi pikiran (prasangka, perspektif, pola pikir), perasaan (susah, senang, sedih, bahagia), yang akhirnya menentukan tindakan (action) kita. Misalnya kita melihat iklan di tv, pikiran mencerna apa yang dilihat, jika iklan tersebut mengandung gagasan yang kuat, kemungkinan besar dapat mempengaruhi pola pikir kita. Lalu kita merasa tertarik (perasaan), dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan (action).
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, kita terikat oleh perjanjian bahwasanya kita diciptakan adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Artinya segala tindakan kita diharapkan sesuai dengan aturan-aturan syariah-Nya. Karena panca indera dapat mempengaruhi tindakan kita, lalu bagaimana kita mengendalikan panca indera agar tindakan kita sesuai dengan kehendak syari'ah-Nya?
Jawabannya mungkin dapat kita dapatkan dari cerita sokrates berikut ini. Suatu hari seseorang datang tergopoh-gopoh menemui Sokrates. Dia berkata "saya membawa berita tentang seseorang untuk Anda."
Sokrates berujar "tunggu dulu, saya ingin mengajukan tiga pertanyaan sebelum Anda mengabarkan berita itu. Pertama, apakah Anda mengetahui sendiri berita itu dan yakin berita itu 100% benar?"
"Saya tidak mengetahuinya sendiri. Saya mengetahuinya dari seseorang sehingga saya tidak tahu kebenarannya."
"Apakah Anda mengenal orang yang akan Anda ceritakan?"
"Tidak. Tapi, saya kira Anda mengenalnya."
"Pertanyaan terakhir, apakah berita itu berakibat posotif atau negatif untuk saya?'
"Negatif."
"Kalau begitu, saya tidak perlu mendengar berita Anda. Bagaimana bisa saya mendengar berita yang Anda sendiri tidak mengetahui kebenarannya, Anda tidak mengenal orang yang Anda ceritakan, dan berakibat buruk terhadap diri saya?"
Dari contoh kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa untuk mengendalikan panca indera, kita harus menginterogasi setiap yang masuk ke dalam panca indera. Apakah itu bermanfaat untuk kita atau tidak, apakah hal tersebut diridhoi oleh-Nya atau tidak. Dengan apa kita mengintrogasinya? Dengan pikiran dan hati. Karena kata imam Ghazali, hati ibarat raja, dan semua anggota tubuh adalah tentaranya. Jadi, mengendalikan pikiran = mengendalikan nafsu = mengendalikan panca indera.
Setelah dapat mengendalikan panca indera, langkah selanjutnya adalah menggunakannya untuk menemui dan bertawajjuh kepada Tuhan. Nabi Isa as. pernah bersabda "tidak perlu kayu dan batu yang kokoh, singgasana yang megah untuk menghadap Tuhan. hanya dengan kamarmulah kamu akan mengetahui." Beliau juga bersabda tentang adab berdoa dan bertawajjuh kepada-Nya, "masuklah ke dalam kamarmu dan tutuplah pintu."
Yang dimaksud dengan kamar adalah ruang yang tersembunyi. Di manakah ruang tersembunyi? masjid, gereja, bahkan kamar pribadimu bukanlah ruang tersembunyi. Karena itu semua masih dapat terlihat. Yang dimaksud dengan ruang tersembunyi adalah "kamar diri". dan pintunya adalah panca indera.
Lantas bagaimana kita bisa masuk kedalam "kamar diri" kita? Saya jadi teringat dengan lakon wayang Bima dan Dewa Ruci. Bima yang disuruh gurunya, Durna untuk mencari tirta merta (air kehidupan) akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci yang berwujud dirinya sewaktu kecil. Lalu Dewa Ruci meminta agar Bima masuk kedalam tubuhnya melalui telinganya. Cerita Bima dan Dewa Ruci ini mungkin merupakan simbol bagaimana manusia (Bima) memasuki "kamar diri"-nya.
Usaha memasuki kamar diri ini dapat kita temukan jawabannya dalam laku para sufi dengan berbagai variasi thariqahnya. Misalnya Syaikh Abdul Qadir Jailani yang terkenal dengan dzikir jahr-nya (dzikir melafazhkan kalimat “laailaaha illallah” dengan suara lantang. ketika mengucap laaa, tarik kesadaran diri dari pusar ke kepala. lalu saat kata ilaaha, hembuskan kesadaran diri dari kepala ke arah kanan. terakhir pada kata illallah, hembuskan ke arah kanan). Lain halnya dengan Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi, beliau memilih dzikir sirri (dzikir mengucapkan lafazh Allah dalam hati, selaras ketukan detak jantung, seirama denyut nadi). sedangkan Mawalna Jalaluddin ar-Rumi memilih berdzikir dengan mendengarkan musik sambil menari berputar-putar sebagaimana putaran orang thawaf mengelilingi ka'bah, elektron yang mengitari ini atom, bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari bersama bintang-bintang galaksi lainnya berputar mengelilingi pusat tata surya. Yang kesemuanya bergerak atas kehendak-Nya.
Setelah berhasil memasuki kamar diri, maka tutuplah pintu. Tutuplah semua panca inderamu. Karena kata pepatah “jika salah satu indera tak berfungsi maka fungsi indera yang lain akan menguat.” ex: lumba-lumba dan kelelawar yang rabun matanya namun tajam suara dan pendengarannya. nah, apabila kita menon-aktifkan kelima indera kita, maka indera yang tersembunyi akan menguat.
Bayangkan diri kita tak dapat melihat, mendengar, mencium dan merasa. Tidak tahu mana depan-belakang, kiri-kanan, atas-bawah, mana timur dan barat. Kita tak tahu ada dimana. Semuanya hampa, fana. Niscaya indera tersembunyi kita akan meronta-ronta mencari Dia. Maka saat itu, diamlah, jangan bicara. lidah ini telah terlalu banyak berdusta. Diamlah. Bukankah Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui setiap isi hati kita?

:: Mawlana Rumi berkata "aku mencari Tuhan di antara orang-orang Kristen dan salibnya, tapi tak kutemukan Dia. Aku pergi ke kuil-kuil kuno pemujaan berhala, tak ada jejak-Nya disana. Aku masuki gua hira, tapi Tuhan belum juga kutemukan. Kudaki puncak gunung Kaukasus, yang kutemui hanya sarang burung Anqa'. Lalu kualihkan pencarianku ke Ka'bah, bahkan Tuhan juga tak di sana. berpindah ke filsafat, aku bertanya tentang Dia dari Ibnu Sina, tapi kutemukan Dia tanpa kerangka. Akhirnya aku menengok ke dalam hatiku sendiri, dan disana aku melihat Dia. Dia tidak kemana-mana. ::


*tulisan yang pernah disampaikan di majlis ta'lim Sabilul Hidayah, Mushalla al-Ihsan dan diskusi IKRIMAT (Ikatan Remaja Masjid at-Taqwa) Sekayu.

terima kasih untuk mas "" atas postingan-postingannya tentang panca indera.

Kamis, 18 Februari 2010

Hegel: Dialectical Culture, the Fading of Traditional Culture

Triadic form of dialectic Hegel that’s thesis-antithesis-synthesis comes from philosophers before Hegel. Antinomy Kantian about numena and phenomena make unfinished opposition. Then Fichte with his theory of knowledge method still emerge controversy even though he rather overstep what Kant explain.
In other side, Hegel dialectic concept also synthesizes subjective idealism type of Fichte’s philosophy and objective idealism type of Schelling’s philosophy. For Hegel, Fichte’s philosophy is named as ‘thesis’ and Schelling’s philosophy is named as ‘antithesis’. Whereas Hegel’s philosophy itself is named as synthesis of both, so the dialectic of Hegel’s philosophy consists of three phases, namely, thesis-antithesis-synthesis. Synthesis as the mediator of thesis and antithesis internally still contains the truth value from thesis and antithesis. The famous proposition which then makes Hegel become more popular is: “all real things are rational and all rational things are real.”
Dialectic is intended also as the thought method to acquire union (synthtesis) of two contradictive things (thesis vs antithesis). With the term aufgehoben, the concept of “being” (thesis), and “nothing” (antithesis) get their union form in the concept of “became” (synthesis). In “became” concept, there are “being” and “nothing” concept, so both of them are canceled or considered nonexistent.
For Hegel, contradictive element is not appearing after we reflect it, but it was exist in object itself. Each thesis has antithesis in its form. Antithesis is included in thesis because both of them idea which related with higher thing. Both are raised and abolished (aufgehoben) in synthesis.
There are three essential elements in Hegel’s dialectic. First, thinking is think inner of himself to himself and by himself. Second, dialectic is result of thought continually about contradiction. Third, the unity of certainty about contradiction is sublimed in unity. That’s the nature of dialectic itself.
When Islam come into Nusantara, many of scholars spread it through culture way. Some of them use local poems, building architecture and include wayang. The first man use wayang as missionary tool is Sunan Kalijaga. At the first time he use wayang golek (wayang/ doll that has three dimensions) as original Javanese culture. However Sunan Giri disagrees with him, because wayang golek is like idol and he afraid what Sunan Kalijogo did will be ally of God. In Islamic teaching (antithesis) make something that is rivaled His creature is forbidden. Finally, based on Sunan Giri advice, wayang is reformed into two dimensions, that’s called by wayang kulit (synthesis).
Along with the progressing time, wayang kulit became thesis because it’s faced by theatrical drama like ketropak and ludruk (antithesis). Then, appear the synthesis one in form of movie. This dialectic will go on never ending. Because while human feel not enough with something he will search and create something new to fulfill the less one, whereas human will not satisfied by what he did and always want get more.
The logical consequence from this dialectical culture is the older tradition/ culture will be faded and leaved. Whereas, in older tradition there are something we couldn’t get it in new tradition. Ironically, we don’t care with our original tradition as our identity. We always prefer the new tradition from foreign country and leave our origin identity tradition. We just aware of it after other people grabbed it from us. In fact, Hegel’s dialectic concept brings the negative effects when it’s applied in society culture.
So, our condition now, based on dialectic concept, we are facing modernity (antithesis) that is impinged by our identity (thesis). Or our modernity habit (thesis) is rammed by our original culture identity. Because everything could be both of them, depend on the point of our view. In the same meaning with what Hegel said contradiction is sublimed in unity. Let’s find the synthesis one of our problem cultures.