Pages

Tampilkan postingan dengan label hulul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hulul. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2013

Cinta; Dari Perasaan Hingga Keyakinan



Laqad shaara qalbi qaabilan kulla shuurah/ fa mar'an li ghazlan wa diirun li ruhban
Wa baitun li awtsan wa ka'batu Thaif/ wa alwaahu tawrat wa mushhaafu-quran
Adinu bi diinil-hubb anni tawajjahtu/ rakaa'ibahu fal-hubb diinii wa iimanii

Sungguh! Hatiku telah sanggup menerima segala rupa/ ia adalah padang rumput bagi kijang dan biara bagi rahib
Kuil bagi penyembah berhala dan Ka'bah bagi yang bertawaf/ ia adalah lembaran-lembaran taurat sekaligus mushaf Al-Quran
Aku memeluk agama cinta, kuhadapkan dan kuserahkan diriku/ pada perjalanannya, Sungguh! cinta adalah agama dan imanku.
~Ibnu Arabi


Cinta selalu menjadi perbincangan menarik. Ribuan puisi, sajak, buku, lagu, film, selalu tak pernah luput membahas masalah cinta. Tapi ketika ditanya apa itu cinta, banyak orang biasanya terdiam sejenak. Ada yang bingung, dan kalau pun menjawab, jawaban mereka seringkali seputar pengorbanan, kesetiaan, dan hal-hal lain yang terkait dengan perasaan. Bagi orang skeptis, apalagi mereka yang trauma oleh pengkhianatan, perbincangan tentang cinta adalah semacam omong kosong berbau busuk. Bak bunga bangkai tak terbingkai namun orang selalu ingin menjenguk. Setelah melihat film Habibi Ainun, mereka baru percaya cinta sejati itu ada.
Namun sayangnya, cinta sejati dinilai dari sekadar romantisme. Sehingga makna cinta dikebiri menjadi hubungan gombal picisan. Kesetiaan sekarang menjadi satu-satunya kata kunci dalam mengartikan cinta. Nasib cinta kini seperti puisi yang kehilangan permenungan filosofis. Cinta hanya dirasakan tak pernah sampai menjadi keyakinan.

Cinta dan Agama

Setiap agama membawa ajaran tentang cinta. Agama kristen misalnya yang seringkali menggunakan jargon cinta kasih. Konsep ini mendominasi semua ajaran agamanya. Yang paing masyhur adalah ungkapan “kalau kamu ditampar pipi kirimu, berikan pipi kananmu.” Atau dalam kisah orang yang tertangkap berzina kemudian diajukan kepada Yesus agar dihukum rajam. Apa kata Yesus? Bagi yang merasa tidak punya dosa, silahkan melempar duluan. Makanya banyak sekali missionaris yang menyebarkan agamanya melalui pelayanan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.
Dalam agama Budha cinta diyakini secara universal kepada seluruh ciptaan Tuhan. Artinya cinta kita kepada hewan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya harus sama dengan cinta kita kepada sesama manusia. Bahkan tidak boleh mencintai seseorang lebih dari cintanya kepada yang lain. Kalau cintamu terpenjara hanya pada satu sosok makhluk saja, maka ia menjadi hijab untuk mencapai pencerahan. Keyakinan ini berkaitan dengan hukum karma dan reinkarnasi dalam kepercayaan mereka. Makanya para biksu dilarang makan daging. Jangankan memakan, membunuh hewan saja tidak boleh. Bisa jadi hewan yang kita bunuh dahulu adalah saudara kita di kehidupan sebelumnya.
Islam sendiri mempunyai slogan terkenal, rahmatan lil-‘aalamiin yang dikutip dari ayat al-qur’an wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) (QS. 21: 107). Kata rahm mempunyai makna yang lebih luas dari cinta yang lumrah kita pahami. Biasanya ia diartikan kasih sayang. Konsep rahmatan lil-‘alamin ini berbeda dengan cinta universal dalam agama Budha. Porsi cinta tidak harus sama, tapi harus terintegralkan dalam dasar cinta kepada Tuhan.

Cinta dalam Sufisme

Membincang cinta dalam agama Islam akan lebih menarik jika kita menilik konsep cinta dalam sufisme. Konsep cinta dalam tasawuf dipopulerkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah. Menurutnya hubungan ideal antara hamba dan Tuhannya adalah seperti pencinta dan kekasihnya. Kamu jangan beribadah karena menginginkan surga atau takut siksa neraka. Beribadahlah karena murni cintamu kepada pemilik keduanya. Bahkan dalam sebuah riwayat, Rabi’ah pernah berdoa;

Wahai Tuhanku,
Bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat di surga, maka tutuplah pintu surga selamanya bagiku
Tetapi apabila daku menyembah-Mu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap keindahan-Mu yang abadi.

Kemudian konsep cinta dalam tasawuf berkembang setelahnya. Muncul para sufi seperti al-Hallaj dengan hulul-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya, Ibnu Arabi dengan wihdatul wujud-nya, Jalaluddin Rumi dengan kosmologi cintanya. Mereka mengenalkan konsep cinta secara lebih filosofis. Secara  global, cinta yang mereka konsepsikan bisa dibilang hampir mirip. Hanya terdapat perbedaan pada  penggunaan istilah dan masalah-masalahl detilnya.
Yang menarik dari konsep mereka adalah cinta tidak lagi difahami sebagai pengorbanan. Cinta bukan lagi tentang romantisme picisan. Cinta adalah segala tentang peniadaan diri untuk “menyatu” dengan sang kekasih. Tidak ada lagi dualitas antara kau dan aku. Karena hubungan antara dua entitas adalah transaksi, bukan cinta sejati. Tidak ada lagi separuh kau dan aku, karena segala aku telah luruh melebur kedalam seluruh kamu. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ungkapan mereka yang terkenal. Al-Hallaj memproklamirkan "ana al-haqq" (akulah Sang Maha Kebenaran, Abu Yazid berseru, “subhaani u’buduuni” (maha suci Aku, sembahlah Aku). Ibnu Arabi bersenandung dalam syairnya, “fama nazhrat ‘ainayya ila ghairi wajhihi/ wama sami’at udzunayya siwaa kalaamihi” (maka kedua mataku tidak memandang selain wajah-Nya/ dan kedua telingaku tidak mendengar kecuali ucapan-Nya).
Semua ungkapan ini rentan untuk disalah-fahami. Bagi mereka yang menelan mentah-mentah akan menganggap para tokoh sufi itu telah kurang ajar bahkan murtad sebagaimana Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Ada pula yang mencurigai sebagai paham inkarnasi seperti ajaran kristiani tentang avatar Tuhan yang menitis kepada Yesus Kristus. Namun Jalaluddin Rumi punya pemahaman yang menarik mengenai sathahat-sathahat sufistik tersebut. Menurutnya ungkapan tersebut adalah puncak kerendah-hatian seorang hamba. Mereka telah meniadakan keakuannya. Di sana tak ada lagi dua entitas; aku dan Allah. Jika masih ada dualitas, berarti ia masih menonjolkan keakuannya. Sedangkan mereka telah meniadakan diri dan memasrahkannya kepada Sang Kekasih. Dengan penuh kesadaran mereka mengakui bahwa tiada wujud sejati selain Allah. Aku dengan segala eksistensiku adalah tiada. Aku bukan apa-apa.
Filosofi cinta mereka ternyata juga mempengaruhi beberapa penyair kontemporer. Taufiq Ismail misalnya yang menterjemahkan puisi cinta Rabi’ah. Dia juga menulis lirik lagu “jika surga dan neraka tak pernah ada” yang dinyanyikan oleh Chrisye dan Ahmad Dhani. Kita juga bisa menemukan filosofi Ibnu Arabi dalam penggalan sajak “Satu” Sutardji Calzoum Bachrie di bawah ini

kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminku.
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku.”

Jika kita mendengar lagu “larut” dan “satu”-nya grup band Dewa, melihat video klip “permintaan hati” dan “senyumanmu”-nya Letto, disana pun kita bisa menemukan nuansa cinta sufistik terasa kental sekali. Dalam dua lagunya itu, Ahmad Dhani cenderung memakai diksi yang banyak diambil dari konsep hulul-nya al-Hallaj. Sedangkan dalam lirik permintaan hati letto lebih bernuansa wihdatul wujud Ibnu Arabi dan menggunakan gaya cinta Rumi dalam lagu senyumanmu.

Cinta dan Keseimbangan Alam

Di antara para tokoh sufi tersebut, yang paling populer pemikirannya tentang cinta adalah Jalaluddin Rumi. Bahkan pasca tragedi WTC, orang barat banyak yang tertarik mempelajari Islam, dan Rumi diklaim sebagai duta Islam di dunia barat. Mereka terkesan dengan syair-syair dan pemikirannya tentang cinta sehingga merubah prejudies/ prasangka mereka tentang Islam.
Konsepnya tentang cinta berkaitan erat dengan kosmologi. Menurutnya cinta adalah yang menjadi dasar segala ciptaan. Cinta mengada mendahului rasionalitas dan hukum. Untuk lebih memasuki teori cinta Rumi, saya akan ajukan beberapa pertanyaan. Apa yang membuat sebuah benda bergerak? Dalam fisika kita akan menemukan jawabannya: Gaya. Apa inti gaya itu? Tarikan dan dorongan. Jika kita membuka pelajaran fisika salah satu macam gaya adalah gravitasi (daya tarik planet). Kalau kita memakai teori cinta Rumi, hal itu menjadi terbalik, karena gravitasi lah yang menyebabkan keseimbangan gerak benda. Semua benda di sekitar kita punya potensi gravitasi, namun ia terkendali oleh daya gravitasi yang lebih besar yakni; bumi. Gerak bumi pun terkendali oleh daya gravitasi matahari. Matahari terkendali oleh gravitasi pusat galaksi. Dan semua galaksi di cakrawala semesta ini pasti bergerak dalam kendali gravitasi yang Maha Kuat (al-Qawiyyu). Apa inti gravitasi? Daya tarik. Itu dia cinta; tarikan. Jadi, seluruh semesta ini dijadikan Tuhan berdasarkan tarikan cinta dari Dzat yang Maha Mencintai. Fenomena ini sesuai dengan hadits Qudsi, kuntu kanzan makhfiyan fa-ahbabtu an u’arrifa. Dahulu Aku adalah harta tersembunyi, lalu aku berhasrat (cinta) untuk dikenali.
Berdasarkan cinta Allah ini, terpancarlah nur muhammad atau haqiqatul muhammadiyyah menurut isltilah al-Hallaj. Sedangkan dalam filasafat faidh (emanasi), dinamakan akal pertama. Kalau teori bigbang benar, bisa jadi itulah manifestasi awal nur muhammad. Maka hadits qudsi “lawlaaka lawlaaka lammaa khalaqtul-aflaak” (kalau tidak ada kamu, kalau tidak karena kamu (Muhammad) tidak akan Aku ciptakan alam semesta), dapat kita temukan relevansinya disini.
Pada nur muhammad inilah tercermin segala sifat Tuhan secara sempurna. Akhirnya makhluk berkembang menjadi banyak, dan sifat-sifat Tuhan pun terbagi sesuai keterbatasan masing-masing. Karena sifat Tuhan yang tercermin dalam nur muhammad telah terpecah dan terbagi ke berbagai bentuk, harus ada satu quthb (poros) yang mewakili keutuhan atribut nur muhammad sebagai penyeimbang kelangsungan hidup alam semesta. Maka Allah mewujudkan esensi nur muhammad ke dalam diri Adam sebagai khalifatullah. Khalifatullah berperan sebagai “wakil” pengganti Allah yang bertugas menjaga keseimbangan dunia. Dia harus menjadi adi manusia, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jili menyebutnya al-Insan al-Kamil. Manusia yang mampu menyerap dan memanifestasikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupannya. Nur muhammad terus berpindah dari Adam ke keturunannya. Dan Insan Kamil yang paling sempurna menyerap dan mencerminkan sifat-sifat Tuhan adalah Nabi Muhammad Saw.
Bila datang suatu masa dimana tidak ada satu pun manusia yang mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan, maka terjadilah kekacauan di antara tarikan-tarikan. Karena setiap tarikan di dunia telah kehilangan kutubnya. Semua tarikan itu, Rumi menyebutnya cinta. Bilamana cinta telah sirna maka kiamat sudah tiba waktunya.

Yawma yafirrul-mar’u min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shahibatihi wa baniihi (Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya). (QS. 80: 34-36)
Yawma tarawnahaa tadzhalu kullu murdhi’atin ‘amma ardha’at wa tadha’u kullu dzaati hamlin hamlahaa (Pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil). (QS. 22: 2)
Yawma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuuts, wa takuunul-jibaalu kal-‘ihnil-manfuusy (Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan). (QS. 101: 4-5)
Idzas-samaa`u-(i)nfatharat, wa idzal-kawaakibu-(i)ntasyarat, wa idzal-bihaaru fujjirat (Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap). (QS. 82: 1-3)

Bukankah semua itu menunjukkan tarikan-tarikan yang telah kehilangan kutubnya? Bukan-kah semua itu merupakan gambaran bahwa cinta sudah lenyap dari hati setiap makhluk-Nya?



This is love: to fly toward a secret sky, to cause a hundred veils to fall each moment. First to let go of life. Finally, to take a step without feet.”

“Inilah cinta: terbang di langit rahasia, menyebabkan seratus hijab luruh setiap saat. Pertama membiarkan pergi kehidupan. Akhirnya, menjangkah tanpa kaki.”
                                                                                   ~Mawlana Rumi



Kamis, 02 Agustus 2012

Konsep Insan Kamil Al-Jili (versi bahasa Indonesia)

Oleh: Warih Firdausi

Lawlaaka lawlaaka lamaa khalaqtu al-aflaak, walawlaaka, lamaa azhhartu ilaahi rububiyyati.
(Al-hadis al-Qudsi)

A. Biografi Singkat al-Jili
Abd al-Karim Qutbuddin bin Ibrahim al-Jīlī lahiri pada 1365/1366 AD, dan mungkin dia wafat kira-kira 1406 sampai 1417M, tapi beberapa sumber mengatakan dia meninggal pada 1424M. Dia juga Syeikh, seorang keturunan Abdul Qadir Al-Jilani. Ia belajar di Yaman 1393-1403 dan menulis lebih dari tiga puluh karya. Tulisannya sangat dipengaruhi oleh Ibn al-Araby, seoarang mistikus Spanyol dari abad ke-13. tulisan Jili telah mempengaruhi banyak orang di dunia Muslim termasuk Allama Iqbal, seorang penyair muslim dari India. Yang paling terkenal dari opus-nya adalah al Insan Kamil Fima'rifat al-Awaakhir wa al-Awaail. Sebenarnya, Insan Kamil (Manusia Sempurna) adalah kontinuitas dari ajaran Ibnu al-Arabi pada struktur realitas dan kesempurnaan manusia meskipun usia gagasan ini setua tasawwuf itu sendiri.(1) Ini dianggap salah satu karya sastra sufi yang menjadi haknya sendiri.
Dalam bukunya, lebih dari sekali ia menyebut 'Abd al-Qadir sebagai "tuan kami" (Syaikhuna). Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Jili adalah salah satu anggota thariqah-nya. Para penulis biografi Muslim tidak memberikan banyak perhatian untuk dia, tapi dia menyatakan dia tinggal di Zabid, Yaman bersama dengan gurunya, Syaraf al-Din Ismail bin Ibrahim al-Jabarti, dan sebelum itu ia mengunjungi India.
Sebagai penulis, dia tidak bisa dikatakan tidak berbakat, meskipun karya-karyanya lebih mirip dengan karya mistik daripada literatur sastra. Selain beberapa puisi yang dia suka, dia juga memperkenalkan maqaamas dalam prosa lirik dan perumpamaan (mitsaal) tentang mitologi Plato.

B. Konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna)
1. Definisi
Nabi bersabda "Khalaqa al-Rahmanu Adama bishuratihi" Tuhan menciptakan Adam (manusia) menurut citra-Nya." Dan Alam semesta diciptakan dalam citra manusia.(2) Pernyataan ini adalah argumentasi akan adanya Manusia Sempurna. Kata Insan berasal dari berbagai turunan kata. Ada yang mengatakan ia berasal dari uns (cinta), mungkin juga berasal dari nas, (lupa), karena kehidupan di bumi dimulai pada lupa dan berakhir pada lupa. Ada yang mengatakan berasal dari 'Ayn san, (seperti mata), Manusia adalah mata yang melaluinya Allah dapat melihat sifa-sifat dan Asma-asma-Nya dalam batasan-batasan tertentu. Insan al-Kamil, dengan demikian merupakan cermin di mana sifat-sifat Allah dan Asma-Nya sepenuhnya tercermin.(3) Mudahnya, Insan Kamil adalah manusia yang mencerminkan semua nama Allah dan sifat-sifat-Nya dalam segala aspek kehidupannya.

2. Penjelasan lebih lanjut
Al-Jili termasuk ke dalam golongan yang memiliki pemikiran dan keyakinan bahwa yang ada adalah satu (wihdatul wujud), dan semua variasi yang tampak adalah modus, aspek dan aktualisasi realitas, bahkan fenomena adalah ekspresi eksternal dari "ada yang nyata." Ia mendefinisikan esensi sebagai sesuatu dimana atribut dan nama dinisbatkan kepadanya. maka esensi bisa berwujud (maujud) atau non-wujud (mumtani 'al-maujud) yang ada hanya namanya seperti burung al-Anqa'.(4) Kemudian, esensi yang memiliki wujud dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah wujud murni (Pure Being/ Wajib al-maujud), yaitu Tuhan, dan yang kedua adalah ada yang bercampur kemungkinannya dengan ketiadaan (mumkin al-maujud), yaitu dunia makhluk.
Al-Jili hampir mengulangi apa yang Ibnu 'Arabi dan al-Hallaj katakan, bahwa esensi inti dari Tuhan adalah Cinta. Sebelum penciptaan, Tuhan mencintai diri-Nya dalam kesatuan mutlak. Dan melalui cinta Ia membuat diri-Nya terlihat dari ketiadaan (al-'Amaa) tanpa asma 'dan sifat. Proses ini adalah apa yang al-Jili sebut dengan langkah Ahadiyyah/ tajalliyatuLlah pertama. Kemudian, karena kehendak-Nya untuk melihat bahwa cinta dalam kesendirian tidak memerlukan keserbalainan dan dualitas sebagai subjek eksternal,(5) Dia munculkan citra-Nya dari ketiadaan yang padanya Dia berikan semua atribut-Nya dan nama-Nya (Huwiyyah / langkah kedua). Allah menunjukkan Asma-Nya 'dan sifat bagi semua makhluk-Nya. Di antara seluruh makhluk-Nya, citra Allah yang terbaik adalah Adam (manusia) yang merupakan tempat dan sarana manifestasi Allah. maka sifat ke-ilahian terobyeksikan dalam kemanusiaan. Namun demikian, tajalli-Nya untuk manusia bervariasi, dan tajalliyatuLlah yang paling sempurna adalah Insan al-Kamil (Aniyah / langkah terakhir).
Semua makhluk adalah cermin, tempat untuk mencerminkan Kecantikan Absolut. Apa yang kita sebut dunia tidak lain hanyalah manifestasi Allah. hanya yang Allah hadir dan ada dalam kekekalan ('Azali) di Dark Mist/ kabut kegelapan ( Amaa ') yang juga disebut dengan Realitasnya realitas, harta Tersembunyi dan Putih (Murni) cempaka, jadi sekarang Dia hadir dalam segala hal tanpa inkarnasi (hulul ) dan campuran (imtizaj). Ia mewujud kedalam setiap bagian atom dari fenomena dunia tanpa menjadi banyak.(6)
keburukan mempunyai tempat yang sama di struktur eksistensi sebagaimana keindahan, keduanya sama-sama berada dalam kesempurnaan ilahi. Dengan demikian, kejahatan juga relatif. Kafir dan dosa adalah dampak dari kegiatan Allah dan bahkan merupakan sesuatu yang memperkuat kesempurnaan-Nya. Bahkan, setan juga memuliakan Allah, karena pemberontakan itu berada dalam kekuasaan Allah. Namun, Allah menunjukkan diriNya kurang sempurna dalam beberapa aspek dalam Iblis seperti Keagungan dan Kemarahan yang bertentangan dengan sifat-Nya yang lain seperti Kecantikan dan Kasih.(7)
Al-Jili menyebut Insan Kamil sebagai wali (penjaga) alam semesta, Qutb atau poros orbit dimana ada (being) berputar dari awal sampai akhir. Dia adalah penyebab utama penciptaan, ia adalah media Tuhan untuk melihat-Nya, karena nama-nama ilahi (Asma ') dan atribut (sifat) tidak bisa dilihat sepenuhnya kecuali dalam Insan Kamil. Karena itu, ia menjadi mediator dan kuasa kosmis yang menyatukan antara The Plural (yang jamak) dan The One (Maha Tunggal). Oleh karena itu viabilitas (kelangsungan hidup) alam ada tergantung padanya. Jadi, ia benar-benar menjadi khalifatuLlah fi al-ardh yang mengontrol keseimbangan dunia. Jika tidak ada Insan al-Kamil di dunia, niscaya tibalah waktu akhir sejarah dunia ini.
Semua orang berpotensi menjadi sempurna, tetapi sedikit dari mereka yang benar-benar sempurna. Mereka yang sempurna dalam aktualisasi adalah nabi dan orang suci (wali). Namun, karena variasi kesempurnan yang mereka miliki, masing-masing memiliki kemampuan yang berbeda untuk menerima pencerahan. Jadi, salah satu dari mereka harus ada yang lebih tinggi dari yang lain. Dan Manusia Sempurna yang Absolute menurut Al-Jili adalah Nabi Muhammad SAW. Dia juga menjelaskan bahwa Insan al-Kamil selamanya adalah manifestasi eksternal dari esensi Muhammad (haqiqah al-Muhammadiyyah) yang memiliki kekuatan untuk memiliki bentuk apa pun ia inginkan secara kondisional di setiap waktu. Al-Jili mengakui bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi dalam bentuk gurunya Syaraf al-Din Ismail al-Jabarti.

3. Cara untuk mencapai Insan al-Kamil
Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai riil dirinya menjadi Manusia Sempurna dengan melakukan pelatihan spiritual dan pendakian mistis. Dan pada saat yang sama, The Absolute (yang Maha Mutlak) akan turun dalam dirinya melalui beberapa tingkatan. Ada empat tingkat yang harus dilalui oleh seorang Sufi untuk menjadi Insan Kamil:
1. Meditasi dalam aksi/ af'al (pencerahan tindakan). Pada tahap ini, ia merasa bahwa Allah menembus seluruh obyek dunia. Adalah Dia yang menggerakkan mereka dan pada akhirnya Dia juga bertanggung jawab atas istirahat (diamnya) mereka.
2. Meditasi dalam nama (pencerahan nama). Sufi menerima misteri yang disampaikan oleh setiap nama Allah, dan ia sangat menyatu ke nama-nama itu, karena itu ia menjawab setiap doa-doa orang-orang yang memanggil nama itu. sebagaimana jika sang pecinta mendengar nama kekasihnya disebut ia akan menyahut "siapa tadi yang memanggilku?"
3. Meditasi dalam atribut (pencerahan sifat). Ia melebur di dalamnya, dalam esensi ke-ilahiyah-an yang memiliki beberapa sifat seperti: kehidupan, pengetahuan, kekuatan, keinginan dan lain-lain. misalnya apabila ia telah mendapatkan pencerahan sifat berupa pengetahuan, niscaya ia akan mengetahui apapun baik yang telah terjadi dan akan terjadi.
4. pencerahan esensi. Pada tahap ini ia menjadi sempurna mutlak. Semua atribut itu menghilang, dan kemudian Sang Absolute datang ke dalam dirinya sendiri. Kemudian matanya adalah mata Tuhan, kata-katanya adalah kata-kata Tuhan, hidupnya adalah hidup Allah. Dia telah benar-benar menjadi Manusia Sempurna sejati.

C. Penutup
Meskipun begitu, bagi Insan Kamil, Tuhan bukanlah sama dengan makhluk-Nya. begitu juga makhluk bukan persamaan pencipta-Nya.(8) ia hanyalah pengetahuan kita bahwa kita adalah bayangan dari-Nya dan Dia adalah Obyek abadi yang kita cerminkan. Ini bukan persamaan dan inkarnasi. Allah adalah Allah dan hamba adalah hamba. Tuhan tidak pernah menjadi hamba dan hamba tidak pernah menjadi Allah. Bahkan, Insan al-Kamil hanya sebuah kenyataan (haqq) bukan yang Realitas yang sesungguhnya (Al-Haqq). Tapi, ia menunjukkan dirinya di cermin kesadaran sebagai Tuhan dan Manusia.

D. Catatan Akhir
(1) Karena hampir setiap sufi memiliki konsep tertentu tentang Insan al-Kamil seperti Abu Yazid al-Busthami, Abd al-Qadir al-Jailani dan lain-lain. bahkan tokoh filsafat seperti Nietzsche pun memiliki gambaran mansia ideal yang ia sebut sebagai Ubermensch. Lihat: RA Nicholson, Tasawuf Cinta, Studi Atas Ttga Sufi: Ibnu Abi Al-Khair, Al-Jili Dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan Studi di Atas Tasawuf Islam. Bandung: Mizan 2003. hal: 115.
(2)Ibid. hal: 161.
(3) Studies in Tasawwuf, Khan Sahib Khan Khaja. Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978. hal: 78.
(4) Al-Anqa 'adalah burung mitos Arab. Beberapa orang mengatakan itu raja seluruh burung. Yang lainnya sering mengatakan al-Anqa' mencuri anak-anak untuk makan mereka. Kita bisa membandingkannya dengan Buto Ijo atau Nyi Roro Kidul dalam budaya Jawa.
(5) alasan ini menurut saya bertentangan dengan sumber lain yang diambil dari hadits, Allah adalah "harta tersembunyi" dan Dia ingin dikenal karena itu ia menciptakan makhluk sebagai layar dari Dia sendiri.
(6) a History of Muslim Philosophy hal: 845.
(7) Mungkin, dari pandangan inilah muncul konsep wihdatul adyan (kesatuan agama-agama). Al-Jili mengatakan bahwa orang-orang Paganis (penyembah berhala) sebenarnya juga memuliakan Tuhan. tetapi mereka tersesat ketika melihat potret Tuhan yang terefleksi pada selain-Nya, maka mereka tidak lagi menyembah Tuhan yang sebetulnya melainkan sesuatu yang mereka lihat sebagai cerminan Tuhan. jadi sebetulnya mereka adalah dewa bagi diri mereka sendiri. Namun, Al-Jili masih berpendapat bahwa penyembahan yangi sempurna adalah ibadah agama Islam dan kemudian agama Samawi lainnya.
(8) Dari pernyataan itu jelas menyatakan perbedaan konsep wihdatul wujud dari materialisme dan naturalisme yang menganggap Allah adalah alam semesta itu sendiri.


E. Referensi

- Khaja Khan, Khan Sahib. Studies in Tasawwuf, Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978.
- Nicholson, R.A. Tasawuf Cinta, Studi Atas Ttga Sufi: Ibnu Abi Al-Khair, Al-Jili Dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan Studi di Atas Tasawuf Islam. Bandung, Mizan: 2003.
- A History of Muslim Philosophy

Sabtu, 27 Maret 2010

Al-Jili (The Concept of Insan al-Kamil) ~english version

By: Warih Firdausi (074211037)

Lawlaaka lawlaaka lamaa khalaqtu al-aflaak, walawlaaka lamaa azhhartu ilaahi rububiyyati. (al-hadith al-Qudsi)

A. His Short Biography
Abd al-Karīm Qutbuddin ibn Ibrāhīm al-Jīlī was born in 1365/1366 AD, and perhaps he was dead about 1406 till 1417AD, but some sources said he passed away in 1424AD. He was also Syeikh, a descendant of Abdul Qadir Al-Gilani. He studied in Yaman from 1393 to 1403 and wrote more than thirty works. His writing is greatly influenced by Ibn al-Araby, the Spanish mystic of the 13th century. Jili’s writings had influenced many people in the Muslim world including Allama Iqbal, a muslim poet from India. The most famous of his opus is Insan al Kamil Fima’rifat al Awakhir wa al Awail. Actually, Insan Kamil (the Perfect Man) is a continuity of Ibnu al-Arabi’s teaching on the structure of reality and human perfection despite the age of this idea as old as tasawwuf itself . It’s held to be one of masterpieces of Sufi literature in its own right.
In his book, more than once he called ‘Abd al-Qadir as the “our master” (Syaikhuna). This indicates that Al-Jili is one of the members of his thariqah. The Muslim biography writers give no much attention for him, but he said he live in Zabid, Yaman together with his master, Syaraf al-Din Isma’il ibn Ibrahim al-Jabarti, and before that he was visited India.
As a writer, he hasn’t nothing talent, although his works more similar with mysticism than belles letters. Beside some poems which he likes, he also introduces maqaamas in lyric prose and parable (mitsaal) about Platonic mythology.

B. The Concept of Insan Kamil (The Perfect Man)
1. Definition
The Prophet said “Khalaqa al-Rahmanu adama bishuratihi.” God made Adam (human) in his own image.” And the universe is created in human image. This statement is the argumentation for the existent of Perfect Man. The word Insan is variously derived. Some derive it from uns, love; some derive it from nas, forgetfulness, because life in earth begins in forgetfulness and ends in forgetfulness. Some say the word comes from ‘ayn san, “Like the eye.” Man is the eye with which God beholds His sifat and asma’ in limitation; Insan al-Kamil is thus the mirror in which God’s sifat and asma’ are fully reflected. Easily, Insan Kamil is a man who represent all of God’s names and His attributes in all of his life aspects.

The more explanation
Al-Jili is included into whom has thought and belief that existent is one (wihdatul wujud), and all visible variation are mode, aspect and actualization of reality, even phenomenon is external expression of real existent. He defined essence as something which attribute and name refer to, it could be being (maujud) or non-being (mumtani’ al-maujud) that’s only exist in its name like bird al-Anqa’. Then, the essence which has an existent is divided into two kinds. The first is pure being (wajib al-maujud), that’s God, and the second is being that mingled with nothingness (mumkin al-maujud), that’s world of creature.
Al-Jili almost repeats what al-Hallaj and Ibnu al’Arabi said, the core essence of God is Love. Before creation, God love Himself in an absolute unity and through love He made Himself visible from nothingness (al-‘Amaa) without asma’ and sifat. This process is what al-Jili calls it by Ahadiyyah/ the first step of tajalliyatuLlah. Then, because of His wish to see that love in alones doesn’t need otherness and duality as external subject, He emerge His own image from nothingness which He give it all of His attributes and His names (Huwiyyah/ the second step). God show His asma’ and sifat to all His creatures. Among His entire creature, the best God’s image is Adam (human) that is place and medium of God manifestation. The divine is being objected in humanity. Nevertheless, His tajalli to human is variation, and the perfect of tajalliyatuLlah is Insan al-Kamil (Aniyah/ the last step).
All the creatures are mirror, the place to reflect the Absolute Beauty. What we call the world is nothing but manifestation of God. Just as God was present in eternity (‘azali) in the Dark Mist (‘Amaa’) which is also called by Reality of realities, Hidden treasure and White (Pure) Chrysolite, so is He present now in all things without incarnation (hulul) and mixture (imtizaj). He is manifested in the parts and atoms of phenomenal world without becaming many.
Bad thing has same place in existence structure as beautiful, both of them in divine perfection. Thereby, the crime is also relative. Infidel and sin are effect of God’s activity and something strength His perfection. Even, the devil also glorifies God, because his rebellion is under God’s authority. However, God show Himself imperfectly in some aspects in Satan like the Glory and the Angriness against with other aspects like the Beauty and the Affection.
Al-Jili called The Perfect Man as universe guardian, Quthb or axis on which sphere of existent revolves from first to last. He is the main cause of creation; he is God’s medium to see Him, because divine names (asma’) and attributes (sifat) couldn’t be seen totally except in The Perfect Man. Because of that, he became mediator and cosmic power who unite between The Plural and The One. Therefore the viability of nature existent is depended on him. Thus, he became the real khalifatuLlah fi al-ardh who controls the balance of world. If there is not Insan al-Kamil in the world, that’s time to the end of this world history.
Everyone potentially is perfect, but little of them are actually perfect. They who perfect in actualization are prophets and holy man (wali). However, because of their perfect variation, they have different capabilities to accept brightness. So, one of them must be higher than others. And The Absolute Perfect Man for Al-Jili is the Prophet Muhammad SAW. He also explain that Insan al-Kamil forever is external manifestation of Muhammad essence (haqiqah al-Muhammadiyyah) that has power to have whatever shape he wish conditionally in every time. Al-Jili admits that he ever met the Prophet in the shape of his teacher Syaraf al-Din Isma’il al-Jabarti.

3. The way to reach Insan al-Kamil
For Al-Jili, human can reach the real of himself to be the Perfect Man by doing spiritual training and mystical climbing. And in the same time, The Absolute will go down in himself through some levels. There are four levels that Sufi have to through it to be Insan Kamil:
1. Meditation in action (action brightness). At this stage, he feels that God permeates all object of the world. It’s He who moves them and is ultimately responsible for their rest.
2. Meditation in names (names brightness). The Sufi receives mystery delivered by every name of God, and he extremely unites into those names, therefore he responds every people’s prayers by calling that name.
3. Meditation in attributes (attributes brightness). He fused in them, in divine essence which has some attributes: life, knowledge, power, wish and etc.
4. Essential brightness. In this step he became absolute perfect. All attributes were disappeared, and then The Absolute comes down into himself. Then his eye is God’s eye, his words are God’s words, his life is God’s life. He trully became a Perfect Man.

C. Closing
After all, to Insan al-Kamil God isn’t a screen from His creator, and creature isn’t a screen from the Creator. It’s only our knowledge that we are Him and He is us. It’s not equation and incarnation. God is God and slave is slave. God never became slave and slave never became God. Even, Insan al-Kamil is just a reality (haqq) not the real of Reality (Al-Haqq). But, he shows himself in his consciousness mirror as God and Human.

D. End notes
Because almost Sufi has certain concept about Insan al-Kamil such as Abu Yazid al-Busthami, Abd al-Qadir al-Gilani and etc. See: R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta, Studi atas Ttga Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan atas Study in Islamic Mysticism. Bandung: 2003 Mizan. p: 115.
Ibid. p: 161.
Studies in Tasawwuf, Khan Sahib Khaja Khan. Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978. p: 78.
Al-Anqa’ is the Arabian mythos bird. Some people said it’s the king of entire bird. The other said al-Anqa’ often abducts children to eat them. We could compare it with something like Buto Ijo or Nyi Roro Kidul in Javanese culture.
This reason –in my opinion- is contradictive with other source that taken from hadith, God is “burried treasure” and He wants to be known therefore he created creature as screen from Himself.
A History of Muslim Philosophy, p:845.
Perhaps, from this view appears the concept of wihdatul adyan. Al-Jili said that idolate (paganist people) in the fact also glorify God because they didn’t find the god of their idol except themselves, so they are the “real god” for themselves. However, Al-Jili still believes that the perfect adoration is Islamic worship and then other samawi religions.
From this statement it’s clearly declare the difference of wihdatul wujud concept from materialism and naturalism that consider the God is universe itself.


E. References

- Khaja Khan, Khan Sahib. Studies in Tasawwuf, Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978.
- Nicholson, R.A. Tasawuf Cinta, Studi atas Ttga Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan atas Study in Islamic Mysticism. Bandung, Mizan: 2003.
- A History of Muslim Philosophy.