Pages

Jumat, 08 Februari 2013

Salah Kaprah dalam Membaca Naskah Keagamaan



Naskah-naskah keagamaan, khususnya islam yang menggunakan bahasa arab, seringkali mengalami bias pemahaman yang keliru setelah ditransformasikan ke dalam bahasa kita. Hal ini di sebabkan karena setiap bahasa mempunyai gaya bahasa, stilistika, idiom yang khas. Maka tak mudah untuk menterjemahkannya ke bahasa lain. Misalanya untuk menjawab ucapan terima kasih, dalam bahasa arab memakai kata ‘afwan, bahasa inggris you’re welcome. Kalau diartikan leterleg kan jadi janggal dan wagu. Karena kesulitan inilah akhirnya timbul penafsiran penerjemah dalam memahami teks. Apabila penerjemah memilki kapasitas yang baik dalam menguasai kedua bahasa, maka kemungkinan bias makna akan bisa teratasi.
Berikut ini saya akan mencoba mengurai beberapa contoh kesalah-kaprahan yang terjadi dalam membaca naskah-naskah keagamaan.

Kita mulai dengan contoh yang ringan,
"waladatka ummuka baakiyan wan-naasu hawlaka dhaahika[n]. fajhad linafsika an takuuna idzaa baaku yawma mawtika dhaahikan masrura[n]."
"kamu dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis dan orang-orang disekitarmu tertawa bahagia. maka berjuanglah agar ketika mereka menangis di hari kematianmu, kamu bisa tersenyum bahagia."

Konon kutipan itu berasal dari syair Arab, ada juga yang mengatakan dari sahabat Ali. Tidak ada yang salah pada ungkapan diatas. tapi seringkali kita memahaminya keliru. Selama ini kita hanya fokus pada kata "mereka menangis di hari kematianmu," sehingga kita sibuk untuk membuat orang terkesan dengan kita. Kita ingin dikenang setelah meninggal. Menurut saya, ini adalah heroisme kekanak-kanakan. Maka semua yang kita kerjakan adalah palsu. Kita berbuat karena ingin dilihat, tidak murni dari lubuk hati. Padahal lafazh “idzaa baaku yawma mawtika” adalah menceritakan keadaan ketika kita mati. Sebetulnya yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat orang-orang merasa kehilangan setelah kita tiada. Namun bagaimana kita bisa puas terhadap kehidupan yang telah kita jalani sehingga menghadapi maut dengan senang hati, tanpa perlu memusingkan bagaimana orang menilai yang telah kita perbuat. Mau banyak yang layat silahkan, sedikit pun juga tak mengapa. Biarlah Allah saja mengetahui dan membalas segala amal perbuatan kita.

Contoh kedua, hadits tentang memilih wanita yang akan dinikahi:
 تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَات الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ2
“wanita dinikahi karena 4 hal, hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah wanita yang beragama niscaya kamu akan beruntung.”

Banyak orang salah kaprah membaca hadits ini. Mereka mengira perintah rasul dalam mencari jodoh adalah yang memenuhi keempat syarat tersebut. Jika tidak terpenuhi semuanya, baru yang penting agamanya. Padahal kalau kita cermati, rasul menggunakan kata berita pada awal hadits tersebut. Kata “tunkahu al mar`atu” adalah fi’il madhi bina’ majhul, kata kerja pasif yang menunjukkan masa lampau (past tense). Rasul menceritakan bahwa biasanya wanita itu dipilih menjadi pasangan hidup adalah karena 4 faktor (hartanya, nasab keturunannya, kecantikannya, agamanya). Nah, baru setelah menjelaskan berita itu, perintah utama rasul adalah “fazhfar bidzatid-dien” maka pilihlah wanita yang beragama.
Salah kaprah kedua dalam memahami hadits ini adalah tentang kata “dien.” Banyak orang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bidzatid-dien itu yang pintar dalam masalah agama. Sehingga mereka beramai-ramai mencari pasangan yang pintar membaca al-qur’an, rajin ke masjid, faham ilmu fiqh, lulusan pesantren. Inilah ironi bahwa agama difahami hanya sebatas ritual dan ilmu pengetahuan. Padahal dien/ agama  adalah sistem kehidupan yang dituntun oleh Tuhan melalui Nabi-Nya. Maka bidzatid-dien, menurut saya tidak harus pandai ilmu agama, tidak mesti yang lulusan pesantren, tapi dia yang benar-benar mengikatkan diri pada Tuhan-Nya.

Ayat al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

Berdasarkan ayat ini orang banyak beranggapan bahwa kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Kesalah-kaprahan ini sudah agak fatal. karena menyangkut tujuan hidup manusia. Padahal dalam masalah akhirat Allah menggunakan kata perintah, “wabtghi” carilah, sedangkan untuk masalah dunia Dia mengatakan “jangan dilupakan.” Kalau orang tua anda berkata "bekerja keraslah, atau belajarlah, tapi jangan lupa istirahat," apakah itu berarti bekerja/ belajar porsinya seimbang dengan istirahatnya?
Bahkan ada seorang pengusaha, tokoh nasional, yang beberapa bulan lalu terus diiklankan bukunya, dia bilang kalau rakyat indonesia ini rata-rata miskin adalah salah para ulama dan tokoh agama yang selalu menganjurkan terus mencari akhirat mengesampingkan dunia. Menurut saya ini ucapan orang yang belum paham apa itu dunia-akhirat, malah menyalahkan orang lain. Masalah kemiskinan rakyat indonesia itu bukan salah kyai atau pemuka agama, rakyat miskin karena dimiskinkan. Kebijakan pemerintahan yang selalu menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas kakap tetapi merugikan rakyat jelata.

Jadi bisa saya simpulkan beberapa contoh kesalah-kaprahan dalam membaca teks keagamaan adalah
1.      Kerancuan dalam membedakan mana kalimat berita atau perintah
2.      Reduksi makna atas kata yang sebenarnya memiliki arti lebih luas
3.      Ketidak-tahuan mana yang menjadi prioritas
4.      Silahkan tambahkan dan teruskan sendiri

Beberapa kesalah-kaprahan ini bisa menjadi berbahaya ketika hal tersebut diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan Tuhan. Apalagi kalau dia hanya mendengar dan membaca informasi itu tanpa berfikir kembali. Maka apa yang sebenarnya hasil pemikiran terhadap teks keagamaan menjadi dogma yang harus diyakini kebenarannya. Sehingga barang siapa yang bebeda pendapat dianggap telah melawan Tuhan, kafir dan sesat.

Oleh karena itu, mari jangan pernah berhenti belajar

*tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama Ukrimat Masjid Sekayu, Semarang Tengah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...