رُبَّ تَالٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنَهُ
“Banyak orang yang membaca al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an
melaknatnya.”
Dua kali saya mendengar atsar (tapi seringkali
dianggap hadits) yang disandarkan kepada sahabat Anas bin Malik ra. ini
diartikan sebagai pentingnya membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid. Pertama,
saya dengar dari bapak saya setelah mendengar bacaan al-qur’an seorang yang shalat
di mushalla sebuah SPBU. Kedua dari taushiyyah seorang ustadz setelah tadarusan
tadi malam. Akibat pemahaman seperti ini adalah jika membaca al-qur’an tanpa
tajwid bisa-bisa al-qur’an malah melaknat pembacanya. Mungkin maksud mereka
mengartikannya demikian adalah untuk memberi motivasi (walau dengan
menakut-nakuti?) agar orang mau belajar al-qur’an.
Dalam memahami sesuatu, saya lebih suka mengaitkannya
dengan hal lain yang berkaitan. Jadi, setiap teks adalah clue untuk teks
lainnya. Walau dalam menyusun pemahaman mungkin belum sempurna, minimal sebuah
potongan puzzle telah menemukan pasangan terdekatnya. Sehingga kita bisa
melihat gambarnya dengan lebih jelas. Bagi saya, ini menjadi seperti game yang
mengasyikkan.
Arab dan Indonesia itu jauh jaraknya. Bahasa dan dialeknya
pun pasti berbeda. Rasulullah saw. pernah bersabda “saya adalah orang yang
paling fasih melafadzkan huruf dhad (ض).” Ini menjadi bukti bahwa bahkan bacaan al-Qur’an orang Arab pun
tidak semuanya bagus. Maka bayangkan bagaimana kesulitan orang bukan Arab? Kalau
setiap orang harus fasih dan benar bertajwid dalam membaca al-Qur’an, maka bukankah
hanya Rasulullah saja yang tidak dilaknat? Terus buat apa baca al-Qur’an kalau
malah mendapat laknat?
Adalah terburu-buru menyimpulkan bahwa atsar
tersebut berkaitan dengan tajwid. Karena tidak ada qarinah yang mengarahkan maksud ke sana. Apalagi ada
hadits yang berbunyi
الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِى يَقْرَؤُهُ
وَيَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
““Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, dia berada
bersama para malaikat yang terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam
membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala,”
Sabda Rasul ini semakin meyakinkan saya bahwa
perkataan sahabat Anas ra. bukan tentang tajwid. Bagaimana mungkin orang yang Allah
memberinya penghargaan dua kali bisa mendapatkan laknat al-Qur’an?
Lalu apakah perkataan sahabat Anas ra. salah karena
bertentangan dengan hadits Rasul atau bagaimana? Menganggap sahabat Anas salah
itu juga terburu-buru. Tidak ada pertentangan di sini. Sebab jika kita membaca
surat al-Jumu’ah ayat 5, mungkin kita akan lebih memahami maksud sahabat Anas
ra.
مَثَلُ
الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ
يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ
اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“ Perumpamaan orang-orang yang
diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak
mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Saya merinding membacanya. Orang-orang yang membawa
kitabullah tapi tidak mengamalkannya dihina Allah seperti keledai. Bagaimana
nasib saya yang membaca al-Qur’an masih kulitnya saja, betapa jauh dari
memahaminya, apalagi sampai mengamalkannya. Apa bedanya saya dengan keledai
Nasruddin Hoja ketika disuruh tuannya membaca kitab tetapi cuma menjilati dan
membolak-balik lembarannya? Lalu mau ditaruh ke mana muka saya ketika membaca
al-Qur’an sampai pada ayat “ ألا لعنة الله على
الظالمين” , (sesungguhnya laknat Allah diberikan
kepada orang-orang zalim(, “ ألا لعنة الله على المكذبين” (sesunguhnya laknat Allah
ditimpakan kepada para pendusta). Modar aku... betapa masih sering
saya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Betapa masih sering saya
meninggalkan kewajiban dan melanggar perintah-perintah yang Allah sampaikan
dalam al-Qur’an?
Sekarang Ramadhan memasuki hari ke 10. Tadarusmu sudah
dapat berapa juz? Atau malah sudah khatam berapa kali? Setelah membaca al-Qur’an,
saya malah jadi takut bercermin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar