Pages

Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Desember 2012

Tafsir atas Sandaran Hati – Letto; “Tawakal dalam Ke-Tawhid-an”*


Menurut saya letto adalah salah satu dari sedikit band Indonesia yang punya idealisme. Pemilihan nama letto tidak dimaksudkan merujuk pada arti apapun. Letto adalah kata yang tidak punya arti/ makna. Pemilihan nama tanpa makna merupakan langkah tidak populer dalam arus mainstream. Letto mendekosntruksi tatanan nama dan makna. Dimana makna menjadi logosentrisme dari sebuah nama. Letto tidak memilih nama berdasarkan kata yang sudah terdefinisi. Para personilnya justru ingin membuat makna Letto dengan apa yang mereka lakukan. Singkatnya, Letto berarti apa dan bagaimana mereka berkreasi.
Dalam kesempatan kali ini saya hanya mencoba menafsirkan lirik lagu sandaran hati. Saya tidak membahas kualitas musikalitas mereka, karena saya belum paham musik :). Menariknya, penulis lirik lagunya (Sabrang Mowo Damar Panuluh/ Noe) tidak ingin memonopoli makna atas lagunya. Dia membebaskan setiap penikmat lagu memberi arti berdasarkan pengalamannya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada pemikiran para filosof postmodern, seperti Heidegger dan Derrida. “Matinya” sang pengarang (author) menjadi trend baru dalam memahami teks.



Sandaran Hati:

Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam gelapnya/ Malam hariku

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

-----

Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku

Lirik ini mengajak kita mempertanyakan keberadaan diri. Mempertanyakan menjadi jurus jitu dalam hal menanam gagasan. Pendengar tidak disuguhi bahasa yang langsung jadi. Dia harus mengolahnya lagi melalui kontemplasi. Dimanakah kita saat ini? Dalam filsafat emanasi, ruang dan waktu adalah mutlak. Segala sesuatu bereksistensi dalam keduanya. Ukuran adalah keterbatasan manusia memahami fenomena. Lirik ini tidak memaksa kita mempercayai emanasi, justru mengajak kita mempertanyakannya kembali. Benarkah kita dalam hampa yang tak bertepi? Lalu dimana engkau Tuhan, asal segala kejadian, sebab setiap akibat? Bolehkah aku mendengar [kabar] tentang-Mu?
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku dan nafasku/ Merindukanmu.... 
Menghadapi  realitas kehidupan, berbagai perasaan seperti senang, sedih, gembira, takut, cemas, galau mengisi hati silih berganti. Seringkali kita tak mampu mengendalikan semua emosi itu. Kita terkadang merasa ingin lepas dari segala kepenatan itu. Namun, adalah kepastian bahwa kita terlahir di dunia dibekali dengan emosi (perasaan). Kita tak bisa bersembunyi menghindarinya. Di saat seperti inilah betapa setiap kerinduan membuncah kepada Dia yang selalu memberi ketentraman.
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku.
Dalam keterpurukan kita mengarungi kehidupan, dimana sebagian besar manusia memilih menghalalkan segala cara demi memperturutkan nafsunya, kesepian-lah yang kita tempuh karena memilih berjalan sesuai aturan-Nya. Namun yakinlah, selama kita berada dalam jalan-Nya, Dia selalu menemani kita di setiap kita melangkah.

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandaran hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Pada zaman azali, Tuhan meminta persaksian diri “alastu birabbikum (bukankah Aku ini Tuhanmu)?” kita bersama semua manusia serentak menjawab “iya.”  Bukankah itu berarti kita sudah terikat perjanjian dengan Tuhan? Berjanji untuk mengakui Dia sebagai satu-satunya tujuan, sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dunia sekedar jalan yang kita tempuh, yang meski sebentar harus tetap kita lalui dan lampaui dengan sungguh-sungguh. Apalah artinya penderitaan jika hati telah bersandar hanya kepada-Nya yang akan menebus setiap sedih dengan segala kasih.

Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam gelapnya/ Malam hariku

Dalam lirik ini terdapat pembedaan antara mau (kehendak) dan jalan. Kehendak Allah, menurut Ibnu Arabi terbagi menjadi dua: amr tawqify, amr taklify. yang pertama adalah perintah (baca: kehendak) Allah yang telah dia tetapkan sejak zaman azali berkaitan dengan hukum alam yang kemudian dalam istilah arab kita sebut sunnatullah. contoh Allah membuat setiap makhluk itu berpasang-pasangan. ada baik ada buruk, ada iman ada kufur, ada aksi dan reaksi. Yang kedua adalah kehendak (perintah) Allah yang dibebankan kepada manusia melalui nabi-nabi-Nya. Kehendak Allah ini sering juga disebut dengan syari'at-Allah. Dan amr taklify inilah berkonsekuensi pahala dan dosa.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat “walillahi yasjudu man fis-samawati wal-ardhi thaw'an wa karhan wa zhilaa-luhum bil-ghuduwwi wal-ashaal.” ini artinya semua ciptaan Tuhan bersujud kepada-Nya dengan ta'at ataupun terpaksa. Jadi walaupun orang kafir menentang Allah dan tidak mau tunduk dalam syari'at-Nya, sebenarnya dia tunduk patuh kepada perintah Allah yang pertama (amr tawqify). Sebagai orang yang mengaku beriman, kita harus tawakkal berserah dan memasrahkan diri menuju pada jalan Allah yang kedua (hanyalah engkau yang ku tuju). Pasrah pada syari'at-Nya. Bukan sekedar pasrah pada hukum alam (amr tawqify)
Jika sudah demikian maka berkenanlah cinta Tuhan jatuh kepadanya seperti disebutkan dalam hadits qudsi, “fa-idzaa ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi kuntu ‘ainahu allati yubshiru biha kuntu lisaanahu alladzi yanthiqu bihi kuntu rijlahu allati yabthisyu biha.” Ketika Aku sudah mencintainya, maka telinganya adalah telngakku, matanya mataku, lidahnya lidahku, kakinya kakiku.
Tanpa hadirnya Tuhan dalam jiwa, bagaimana bisa kita berada dan mengada? Apa yang tidak mengabarkan tentang Dia? Setiap gerak adalah energi dari pancaran quwwah-Nya. La haula wala quwwata illa billah. Maka absennya Tuhan dalam kehidupan diibaratkan gelapnya malam. Karena Dial ah yang menerangi setiap sudut langit dan bumi. Allahu nurus-samawati wal-ardhi...
Ketika engkau sudah pasrah total, maka kehendakmu sendiri lenyap, aku-mu hilang. semua menyatu dalam kehendak dan keakuannya. seperti daun yang hanyut di alir air, daun itu memang tampak bergerak tapi gerak sejati adalah gerak aliran air. daun tak mampu bergerak tanpa didorong oleh arus air. Maka tawakkal sejati adalah pasrah ber-Tawhid kepada-Nya.

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati

Siapakah sandaran hati kita selama ini?


"ketika kau terus mencari tetapi tak kunjung ketemu. Kalau kau telah lelah berusaha namun berhasil nihil. jika kau senantiasa berdoa dan merasa tak pernah dikabulkan. Kau pun sudah tabah menahan derita berkepanjangan. Pasrahlah. seperti pasrahnya dawai yang dipetik, seperti seruling yang ditiup, seperti biola yang digesek, seperti drum yang digebuk. Lalu dengarlah betapa indah melodi yang Dia mainkan."


*tulisan yang pernah disampaikan dalam diskusi bersama remaja masjid at-Taqwa, Sekayu, Semarang Tengah.

Senin, 29 Oktober 2012

My Project: (AP)PL[A]YING SOUS RATURE IN AL-QUR’ÂN



In this title i wrote word Applaying with strike out letter “a” and “p.” So this title could be read “playing.” And i also put “second a” in two brackets. It means this title can be read “applying.” Then this title has ambigous  meaning, between applying and playing sous rature in al-Qur’an. Well, what i did to this title is the little sample of sous rature.
Sous rature was first introduced by Heidegger. He always gives "a cross" (Überqueren) the word whose meaning is considered to be inadequate, but still useful. Meanwhile, Husserl, in the same spirit, also introduces a method to put words in brackets (einklamerung). The purpose of einklamerung is suspending while the word or object that is not adequate. This method is used by Derrida radically. Derrida crossing out what he thinks leads to a certain presence.
Hereinafter, The Qur'an which is believed to be the truth (haqq) of God must be exploited in order to produce meaning. In treating the text of Qur’an, many Muslims tend to interpret it according to their ideological interests. The verses of the Qur’an that literally defend them will be swallowed whole. But if the verses contradicted with their ideology, they interpret (doing ta’wil toward) them. So they produce meaning of the Qur'an in accordance with their "ideological passion". This is where the word of God "Nobody touches the Qur'an except the sacred"[1] found its momentum.
People often feel satisfied with the meanings they have acquired, including the Quran. The satisfaction makes them shut out the possibility of another meaning. Meaning that they hold tight became the only presence behind the text. Certainty of meaning is a must for the seeker of truth. Therefore, the truth becomes a major problem of the philosophical discourse.
Many people dispute about what the meaning behind a text. They insisted on their each opinion and blaming each other. Because the thirst for meaning, interpreters often "raping" the text to produce meaning through his thoughts. People too often "read" so that they forgot to "do not read." People too often think that they forget to stop thinking. They argue too much that they forget to be quiet.
As expressed by Heidegger, in silence, we could hear the sound of "Being" (Sein) reveals itself. Silence means "strike out" any pre-understandings that covering our thinking. So, quietly allowing us to feel how the “word moment” happened, like an experience of 'Umar bin Khattab when he read a fragment of surah Thaha.
By sousrature-ing all of our pre-understandings, we try to purify ourselves from the interests of some ideologies before "touching" the Qur’an. To effort gaining something as such (das ding an sich), we should also give a cross to several temporal phenomena which envelop it. Thus, the meaning is not result of our subjectivity, but it’s gained by allowing text (al-Qur’ân) speak itself.
Even as a consequence of sous rature, we also have to "write off" our own meaning that we've gained. Thus, the meaning is not the final outcome. By applying sous rature on the text, it means that we have been involved in neverending games. Because every meaning has a possible of right and wrong, then the interpretation must respect the other interpretations.
Sous rature also help us to find —using Arkoun’s term— "the unthinkable" things in ['Ulumal-Qur'ân. Because according to Arkoun, there must be something reduced each time the text (al-Qur’ân) is transforming.
A little sample indication of sous rature can be applied in al-Qur’ân is at part of seventh verse of surah Ali ‘Imran (3):
وَما يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ  وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا 
In our mushhaf, there is sign of waqf lazim (symbolized by ” ﻤ”) after word “illa-Llâh.” In al-‘ilmu al-tajwid (knowledge that regulate how to recite al-Qur’ân), waqf lazim means we must stop our reciting. Then the word after, that’s “wa al-râsikhûna” must became a new mubtada’ (subject). Based on this reciting, Asy’ariyyah people argue that no one knows the meaning (ta’wîl) of mutasyabihât verses (ambiguous verses) but only Allah ‘azza wa jalla. Well, by applying sous rature on that waqf sign, we should give a cross on that sign. Therefore, word “wa al-râsikhûna” need not to be mubtada’, but it could be ma’thuf (conjuncted word). Consequently, the meaning changes to be “no one knows ta’wîl of mutasyabihât verses but Allah and some people who have very deep knowledge.” And this course was allowed by Wahbah al-Zuhayli in his book, al-Tafsîr al-Munîr.
If so, it means there are some punctuation marks of al-Qur’ân that have character of ijtihady and still debatable. Then. I propose question, in al-Qur’ân, what things that sous rature could be applied on? Is it limited just in waqf sign or can spread to other punctuation marks like dot and harakah or even  ‘Ulum al-Qur’ân as studies to learn al-Qur’ân?


[1] لا يمسّه إلاّ المطهّرون see: QS. Al-Waqi’ah (56): 79

Kamis, 30 Desember 2010

KOMUNISME AGAMA-AGAMA, AGAMA-AGAMA KOMUNIS


Judul buku : Madilog, Materialisme, Dialektika dan Logika

Penulis : Tan Malaka

Penerbit : Narasi, SumberanYogyakarta

Tebal : 568 halaman

Cetakan : pertama, 2010

Peresensi : Warih Firdausi*



Gurita kapitalismedi Indonesia, walaupun telah terbukti borok-boroknya, selama kurang lebih 45 tahun semenjaktumbangya orde lama seolah semakin menggedibal. Agaknya pemegang kuasa negeriini sudah benar-benar ekstase tercandu oleh faham ini. Dengan kepongahan kuasa,mereka menghalalkan segala cara untuk melayani hasrat perut mereka sendiri. Akhirnyakapitalisme mencipta kelas-kelas kasta baru. Borjuis (pemegang modal) danproletar (kaum buruh/ rakyat jelata).

Sesuai prinsip kapitalisme, siapa punya modal dia yang berkuasa. Sadar atau tidak, sebenarnyamereka, para pemimpin negeri ini juga sedang dipermainkan oleh tangan kuasayang lebih besar dari mereka. Bagaimana tidak? Berapa persen penghasilan Negara kita yang katanya gemah ripah loh jinawi,tukul kang sarwo tinandur, sehingga mendapat gelar sebongkah tanah surga, lari ke kantong investor asing? Inilah akibat dari kertergantungan terhadap modal luar negeri. Jika mereka tidak sadar berarti Negara kita ini sedang dipimpin oleh orang-orang yang tolol. Dan parahnya lagi jika mereka melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran, sungguh bejat sekali orang yang tega menjual negaranya demi kepentingan nafsu pribadi.

Dalam kitab (ia menyebutnya begitu) Madilog ini, sebenarnya Tan Malaka (tahun 1942-1943, ketika menulis buku ini) me"ramal"kan bahwa Indonesia kita akan bangkit dan merdeka jika terjadi ledakan kekuatan tersembunyi kaum proletar. Kekuatan tersembunyi ituseperti gaya potensial yang tersimpan dalam pegas yang terus menerus tertekanoleh kebengisan dan ketidakadilan. Maka tatkala pegas ini telah mencapai titik puncak daya tahannya, ia akan meledakkan gaya kinetiknya sekuat-kuatnya yangakhirnya melahirkan revolusi peradaban. Dia percaya Indonesia telah lamamengandung kekuatan tersembunyi itu, sayangnya masyarakat kita masih banyakyang terbuai oleh takhayul dan ilmu akhirat yang tercampur aduk (hal17). Mereka belum insaf untuk melek filsafat dan berfikir logis. Bahkan hingga zaman modernini, mental mistis bangsa Indonesia masih terasa kental sekali. Bagi Tan Malakaselama masyarakat masih berfikir menggunakan "logika mistik" maka ia takkanpernah maju.

Dengan gayabahasa laiknya orang yang sedang bertutur cerita, Tan Malaka membawa pembacamenjelajah pelbagai ilmu pengetahuan dari matematika, logika, fisika,astronomi, sejarah sampai filsafat yang beraliran dialektika materialis yang banyak dipengaruhi oleh Frederich Engel dan bapak Sosialisme, Karl Marx. Inilahyang menjadi kelebihan sekaligus kelemahannya (untuk zaman sekarang). Di satusisi hal ini menegaskan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tetapidi sisi lain terkadang pembaca (zaman sekarang) merasa tak jauh beda denganmembaca buku pelajaran sekolah, hanya saja dengan contoh yang berbeda dan lebihkonkrit. Yang patut dihargai dan mungkin disayangkan pula, penyunting buku inihanya sempat membenahi ejaan hurufnya saja, sedangkan gaya bahasa dan diksikitab Madilog masih seperti gaya bahasa jadul sehingga terkadang membuatpembaca harus membaca berulang kali agar mendapatkan pemahaman yang sempurna.

Di bagian akhir buku ini, Tan Malaka menyinggung sejarah agama-agama, khususnya monotheis. Iamenjelaskan bagaimana agama-agama tersebut saling berseluk-beluk,masuk-memasuki dan saling membawa pengaruh satu sama lain. Sehingga tak adagunanya memperuncing perbedaan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Bahkan imbuhnya, tiga agama monotheis,Yahudi, Nasrani dan Islam yang nota bene paling kerap berkonflik menurutnyaadalah tiga sejiwa. Karena mereka lahir dari satu bangsa, bangsa Semit (Yahudidan Arab) yang mempunyai ujung yang sama yakni Nabi Ibrahim. Ketiganya jugamempunyai persamaan jiwa dan persamaan sari yang berinti pada satu Tuhan (hal460).

Dia jugamenganggap bahwa ketiga agama tersebut memiliki unsur-unsur pembebasan,egaliter, dan kominisme. Ia menggambarkan bagaimana ketegaran Nabi Musamemperjuangkan dan membela hak kaum budak bani Israil melawan tirani Fir'aunyang maha kejam. Bahkan dalam agama Kristen yang sekarang menjadi pengamal kapitalismeterbesar di dunia, menurut Tan Malaka mereka mengamalkan teori komunismesederhana ketika dulu Yesus masih hidup (hal478). Nabi Isa dengan berlandaskan ajaran kasihnya terhadap sesama tetap teguh memegang asasnya sampai nafas terakhir.

Begitu puladalam agama Islam, bagi Tan Malaka Nabi Muhammad adalah Rasul terbesar danparipurna bagi monotheisme yang menyempurnakan ajaran keesaan agama-agamasebelumnya sebagaimana Einstein menyempurnakan teori pamungkas Relativitas.Maka pesan ke-egaliteran Islam sebagai agamanya pun paling jelas. Islam mengajarkan persamaan semua manusia di mata Tuhan. Setiap manusia bisa langsung berhubungan dengan Tuhannya tanpa melalui kasta rabi atau pendeta sebagaiperantara atau cukong dan tengkulak antara hubungan manusia dengan Tuhan. Danprinsip ini seharusnya juga berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, tetapsaja setiap zaman mempunyai metode tersendiri untuk menghadapi problematikanya.Meminjam istilah Ayu Utami, apa yangmendesak sekarang belum tentu penting di kala lampau dan kala depan. Melihat kuasa logika dan teknologi yang pada kenyataannya juga membawa dampak negatif,seperti mutlaknya kebenaran dan dekadensi moral, lantas apakah paradigmaMadilog cocok untuk kondisi bangsa Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawabannya silakan membaca Kitab Madilog secara sempurna.