Pages

Kamis, 30 Desember 2010

MENYIBAK DODOT MANUSIAWI*

*cerpen ini pernah dimuat di Surabaya Post


Leyeh-leyeh menghisap mbako lintingan. Merebahkan lelah pada dipan. Bersiul sembari menatap laku zaman yang semakin edan. Menghitung laba mengakali rugi.

“asu asu… uangku lidis untuk menyuap polisi.”

Tiba-tiba benak ini teringat sebuah cincin. Cincin yang kutemukan di samping hape pada ventilasi pintu wc. Kuamati setiap lekuk busurnya. Indah sekali. Satu busurnya dari besi. Busur yang lain dari kuningan mengkilap. Matanya mutiara bundar tergores sepasang segitiga yang saling berpangutan. Sungguh mesranya mereka bercinta gaya 69. Mereka berpadu saling tumpu dan berikatan membentuk heksagram. Bintang simetris bersudut enam. Di kelilingi oleh empat intan permata gemerlap.

Kupasangkan cincin itu ke jari kiri. Kuamati lekat-lekat. Pas sekali. Ah, aku ingin sejenak terlelap, bermimpi menjadi Sulaiman. Raja digdaya nan kaya raya. Kan kuperbudak jin dan manusia, kupersunting beratus ratu sejagad, kujadikan selir beribu miss universe sepanjang zaman.








* * * *



“auuu... wong wong wong…” kudengar asu milik singkek depan langgar menyalak seperti mengejekku.

“wong wong wong…” kudengar asu itu juga memisuh. Menguntabkan kekesalan dan keterzhaliman.

“wong wong wong…“ bahkan kudengar ia memaki kawannya. Menghinakan dan mengumpat sesamanya dengan sebutan “wong”

“Wong wong wong…” itu juga yang kusimak saat pencuri masuk ke rumah tuannya. Tak kudengar umpatan lainnya seperti jancuuk, anjrit, diampuut, bahkan celeng. Lama-lama aku jengkel,

“assuu koe suu…”

“ah tenyata baginda juga sudah tercemar konstruksi budaya pisuhan bangsa ini. Hamba kira baginda Sulaiman tak bisa misuh.”

“eee.. eee… tak ingatkah kau ketika akan kusembelih hudhud? Pisuhan, umpatan itu manusiawi. Bahkan semulia-mulia manusia, kanjeng Nabi Muhammad pun pernah sesekali memisuhi kabilah Lihyan, Ri’l, Zakwan dan ‘Usaiyah.”

“Ya manusiawi tapi bukan insani tuan. Yang membuat hamba serik adalah bangsa ini memisuh dengan nama hamba. Bukan hanya itu, terlebih kami tak lagi menemukan makhluk terbejat yang pantas untuk dijadikan pisuhan selain wong.“Wong wong wong…”

“Beraninya lagi kau memisuhi dan menghina makhluk ahsani taqwiim. Mau kupenggal kau nanti?”

“Ampun baginda, tapi sudah terlalu banyak manusia yang terjerembap ke jurang asfalas safiliin. Kuping mereka budeg, mata mereka picek, tangan mereka sudah buntung. Mereka sudah kehilangan nurani. Setiap hembusan nafas berbau curiga dan prasangka. Akhirnya dada mereka sesak dengan kebencian. Mereka sudah tidak punya tepo slira, tidak tanggap ing sasmita, apalagi rasa tresno. Mereka relakan kemanusiaan mereka untuk menjadi sekedar binatang.”

“Lho, lha kok nglunjak koe su.. Pantes kanjeng Nabi Agung menajiskan dan mengharamkanmu, seperti najisnya celeng titisan yahudi terlaknat. Tak salah bangsa ini menjadikan namamu sebagai pisuhan.”

“Sekali lagi ampun baginda, lupakah baginda akan makna haram itu? Setahu kami, itu karena kanjeng Nabi memuliakan kami. Mungkin beliau tahu nenek moyang kami dulu adalah titisan dewa yang akhirnya dihukum menjadi si Tumang. Ayahanda si Sangkuriang yang bejat karena ingin menikahi ibundanya, Dayang Sumbi. Entah kenapa sepeninggal beliau, tiba-tiba umatnya begitu membenci kami. Jangankan tubuh kami masuk masjid, lha wong hanya nama kami saja yang keluar dari mulut bocah tak berdosa langsung ditampar oleh imam mesjid.”

“Alah su.. su, Masa ada kanjeng Nabi percaya sama yang namanya dewa. Syirik murokkab namanya, kontradiktif sekali bualanmu itu. Kau ini memang minal dobolin wal gedebusin.”

“Memang beliau tidak percaya, tapi beliau sangat menghargai budaya lokal sebuah bangsa.”

“Buss… Lebih baik kau ini nrimo ing pandum wae su.. Takdirmu menjadi asu ya sudah jangan bermimpi jadi dewa.”

“Lho hamba ini nrima tuanku, kurang nrimo bagaimana? Bahkan hamba bangga jadi asu. Menjadi pengawal dan tunggangannya dewa Syiwa.”

“lah wis murtad kamu su…”

“Ampun baginda, tak ada kata murtad dalam kamus kehidupan kami. Murtad hanya berlaku bagi manusia bukan binatang seperti kami. Baginda juga jangan menjustifikasi syirik kepada kami. Kami percaya pada Gusti Allah melampaui wong wong itu. Hanya saja kami bangga menjadi simbol makhluk yang paling taat kepada tuannya. Tidak seperti wong-wong itu. Jangankan keluarga dan Negara, lha wong Pengeran Rabbul ‘izzati saja mereka khianati.”

“Kau ini, pandai berapologi su..”

“Ini bukan apologi, ini kenyataan tuanku. Justru wong-wong itulah yang pandai bersilat lidah. Sampai-sampai alqur’annya kanjeng Nabi secara jelas menyindir mereka aktsaru syai’in jadala. Oh, Baginda mungkin belum kenal lembaga perwakilan rakyat negeri ini. Apalagi kalau pemilu, tidak hanya ngusap dada, hamba sampai ngusap kelamin juga baginda…”

“Halah pikiranmu itu ngeres men to, ….”

“Ampun beribu ampun baginda, salah siapa baginda? Lha wong saya cuma menikmati “wudodari-wudodari” itu ngebor kok. Oh iya, tahukah baginda? Wong-wong itu sekarang tak lagi hanya melacurkan wudodari-wudodari , bahkan mereka telah berani melacurkan Negara dan agama. Asset-aset Negara diselundupkan, hukum dibuat mainan, agama dijadikan komoditas kepentingan. Masih mending onani hamba yang diiringi masturbasi spiritual. Mensyukuri dan menikmati jamaliyah Tuhan yang terpancar dari pupu-pupu mulus dan goyangan erotis para biduan.”

“Elho berani-beraninya kau mencampur adukkan nafsu dengan ibadah. Itu bid’ah dhalalah.”

“Kata siapa baginda? Lha wong hamba ini meniru sunnah baginda.”

“Sunnah yang mana? jangan mengada-ada kau!”

“Bukankah baginda mendakwahkan agamanya Gusti Allah dengan menikahi ratu-ratu sejagad?”

“Lho beraninya kau menghujat Rasul Allah. Utusan Allah itu pengganti Gusti Allah di muka bumi, Khalifatullah fil ardh. Sayyidin panatagama, Satriyaning nagari. Sabdanya titah Pengeran, amarahnya murka Tuhan. Lha kok kamu ngoceh sak enake wudelmu.”

“Ampun baginda, hamba tahu semua itu. Namun setahu hamba tidak ada wudel yang bisa ngoceh selain wudel wudodari-wudodari yang membangkitkan birahi. hihihih”

“Cangkemmu ndak punya sopan santun. Ngomong sama kamu memicu amarah. Mengotori hati. Padahal susah payah aku me-rekso-nya. Aku pamit dulu su, hendak menentramkan hati sembari menggilir ratu-ratuku.”

“Sumonggo baginda, ndherekaken.”



* * * *



Seingatku, ini hari keempat puluh setelah kudapat cincin itu. Angin berhembus mengarak awan. Awan menari menghibur cakrawala pagi. Dari angkasa kulihat elok panorama bumi.

“Subhanallah… indah sangat dunia Panjenengan Gusti. Membuatku semakin berhasrat menjamah nirwana Panjenengan yang maha edi.” Tiba-tiba awan yang kukendarai tersesat dalam gumpalan pekat mendung.

“Gusti Allah nyuwun ngapuro… Hei awan, Bukankah kusuruh kau pergi ke jepang? Lupakah kau jam sembilan tepat jatahku menggilir Miyabi? kenapa pula kau bawa Nabimu ke gumpalan mendung ini? Bukankah bulan ini bukan jadwalmu untuk mengguyur bumi?”

“Ampun baginda, bukan maksud hamba membangkang. Ini diluar kuasa hamba. Sistem sirkulasi dan hidrologi bumi kami dikacaukan oleh wong-wong tengik itu . Mereka telah terlalu melukai atmosfer bumi. Uap dan asap dari mesin-mesin industri canggih mereka mengoyak selimut ozon kami. Bukan hanya itu, mereka membabat habis jantung bumi tanpa melakukan reboisasi. Akibatnya komposisi udara tak terkontrol. Emisi karbon kami membludak menjelma rumah kaca. Terik matahari panasnya makin berlipat kali. Mereka terjebak, terpenjara tak bisa keluar dari atmosfer bumi. Akhirnya ac pendingin bumi di utara dan selatan meleleh membentuk gletser yang sedikit demi sedikit mengikis habis pulau-pulau bumi. Wong-wong bagsat itu benar-benar bejat tak bertanggung jawab.”

“Walah kau ini sama saja dengan asu. Sukanya mengutuki bangsaku. Bisakah kau membelokkan arah, mengambil lajur lingkar menghindari hujan?”

“Ampun tuanku. Jika angin tak bertiup kencang insya Allah akan hamba usahakan tuan.”

“Awan, tahukah kau kenapa akhir-akhir ini petir sering sekali menggelegar memekakkan telinga manusia?”

“Oh itu baginda, mungkin gara-gara saudaraku angin sedang gencar-gencarnya bercinta untuk mereproduksi ozon yang beberapa telah koyak oleh gas-gas beracun ciptaan manusia.”

“Benarkah? Lalu kenapa bumi tetap saja semakin panas?”

“Itulah yang kami takutkan baginda, jangan-jangan saudari angin telah monopouse tak sesubur dulu lagi. Atau barangkali justru saudara angin yang senjatanya telah expired, mejen dan mandul. Ini benar-benar ngalamat akhir zaman baginda.”

“Ee ladalah cilaka baginda?”

“Ada apa wan? Kau membuatku khawatir saja.”

“Gusti kang Murbeng Dhumadi punya kehendak lain baginda.”

“Kehendak yang bagaimana?”

“Tidakkah tuan merasakan suhu daerah ini menjadi anjlok secara drastis?’

“Wah benar, kenapa tiba-tiba di sini menjadi adhem sekali? Sebentar lagi pasti angin dari segala penjuru akan mendorong awan-awan yang mereka arak menuju ke sini. Kita terkepung.”

“Tuanku baginda, ampun beribu ampun tuanku. Hamba sudah tak kuat lagi menopang tubuh gempal baginda. Suhu yang anjlok sebentar lagi akan membuat hamba mencair. Jatuh menyiram bumi.”

Benar saja, tanpa menunggu hitungan menit, awan tempatku bertelekan telah mulai mengembun. Bergegas kujejakkan kaki ke awan lain yang mungkin lebih padat. Percuma, itu pun tak lama. Nasib mereka sama. Percikan kilat menyambar dimana-mana. Diikuti gelegar guruh berteriak memekakkan telinga.

“Duh Gusti nyuwun ngapunten, apa yang hendak Panjenengan pamerkan kepada hamba? Akankah Panjenengan hendak men-tajalli-kan ke Maha Perkasaan-Mu melalui gledek-gledek itu? Sebagaimana yang dulu Panjenengan lakukan kepada simbah Musa di atas bukit Thursina?”

Di luas altar lazuardi, plus minus udara sedang mengejar klimaks persetubuhan. Ah, sebentar lagi pasti mereka akan oragasme memuntahkan air kehidupan. Jauh dibawah sana bumi menggoyangkan lidahnya bersiap sedia menguntalku.

“Bumi gunjang-ganjing, langit klat-klaton….” Bergetar hebat sekujur badan. Hingga cincin mutiaraku terlepas jatuh ke lautan. Bercampur zabarjud, lu’lu’ dan marjan. Mulut bumi semakin bergravitasi kuat menghisap jasad. Buru-buru kupejamkan mata dan kuteriakkan syahadat sebelum benar-benar terlumat.



* * * *



“Gedebuk…” Mataku terbelalak kaget. Dengan nafas memburu kuberusaha menyusun kembali memori-memori yang berserak antara mimpi dan kasunyatan. Syukurlah aku terhindar dari kematian. Hanya saja pinggangku nyeri jatuh dari dipan. Anehnya, cincin mutiaraku benar-benar hilang. Baru saja otakku berhasil menguasai kesadaran, kudengar suara ricuh meraung-raung. Aku diseret keluar oleh aparat berseragam. Kios jamuku diluluh lantakkan. Jamu-jamu daganganku diusungi ke dalam truk bersama barang dagangan orang-orang. Aku berteriak menghadang, malah ditendang.

Kudengar teriakan dan umpatan kawan-kawanku sesama pedagang,

“Kalau begini buat apa saban hari kami bayar karcis dan keamanan? Dasar aparat bajingan… mikerke udele dhewe.”

“Bug..” Bogem mentah melayang menghantam rahang. Ingin kami lempari mereka dengan batu bahkan tahi. Tapi bedil mereka menciutkan nyali. Aku sudah tak tahan lagi. Kupisuhi anjing-anjing kapitalis itu keras-keras. Entah kenapa huruf “s (es)” tiba-tiba menguap lenyap dari pita suaraku. Yang keluar hanya lengkingan panjang bernada sengau,

“auuuu… wong wong wong….”



Semarang, 17082010/07091431





NB: cerita ini hanyalah fiktif belaka. mohon maaf apabila ada kemiripan nama, sifat, karakter atau tingkah laku. karena semua itu sama sekali memang bukan kebetulan.

terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...