Laqad shaara
qalbi qaabilan kulla shuurah/ fa mar'an li ghazlan wa diirun li ruhban
Wa baitun li
awtsan wa ka'batu Thaif/ wa alwaahu tawrat wa mushhaafu-quran
Adinu bi diinil-hubb
anni tawajjahtu/ rakaa'ibahu fal-hubb diinii wa iimanii
Sungguh! Hatiku telah sanggup menerima segala rupa/ ia adalah padang rumput bagi kijang dan biara bagi rahib
Kuil bagi
penyembah berhala dan Ka'bah bagi yang bertawaf/ ia adalah lembaran-lembaran taurat
sekaligus mushaf Al-Quran
Aku memeluk
agama cinta, kuhadapkan dan kuserahkan diriku/ pada perjalanannya, Sungguh!
cinta adalah agama dan imanku.
~Ibnu Arabi
Cinta selalu
menjadi perbincangan menarik. Ribuan puisi, sajak, buku, lagu, film, selalu tak
pernah luput membahas masalah cinta. Tapi ketika ditanya apa itu cinta, banyak
orang biasanya terdiam sejenak. Ada yang bingung, dan kalau pun menjawab,
jawaban mereka seringkali seputar pengorbanan, kesetiaan, dan hal-hal lain yang
terkait dengan perasaan. Bagi orang skeptis, apalagi mereka yang trauma oleh
pengkhianatan, perbincangan tentang cinta adalah semacam omong kosong berbau
busuk. Bak bunga bangkai tak terbingkai namun orang selalu ingin menjenguk.
Setelah melihat film Habibi Ainun, mereka baru percaya cinta sejati itu ada.
Namun
sayangnya, cinta sejati dinilai dari sekadar romantisme. Sehingga makna cinta
dikebiri menjadi hubungan gombal picisan. Kesetiaan sekarang menjadi
satu-satunya kata kunci dalam mengartikan cinta. Nasib cinta kini seperti puisi
yang kehilangan permenungan filosofis. Cinta hanya dirasakan tak pernah sampai
menjadi keyakinan.
Cinta dan Agama
Setiap agama
membawa ajaran tentang cinta. Agama kristen misalnya yang seringkali
menggunakan jargon cinta kasih. Konsep ini mendominasi semua ajaran agamanya. Yang
paing masyhur adalah ungkapan “kalau kamu ditampar pipi kirimu, berikan pipi
kananmu.” Atau dalam kisah orang yang tertangkap berzina kemudian diajukan
kepada Yesus agar dihukum rajam. Apa kata Yesus? Bagi yang merasa tidak punya
dosa, silahkan melempar duluan. Makanya banyak sekali missionaris yang
menyebarkan agamanya melalui pelayanan masyarakat, seperti kesehatan dan
pendidikan gratis.
Dalam agama
Budha cinta diyakini secara universal kepada seluruh ciptaan Tuhan. Artinya
cinta kita kepada hewan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya harus sama dengan
cinta kita kepada sesama manusia. Bahkan tidak boleh mencintai seseorang lebih
dari cintanya kepada yang lain. Kalau cintamu terpenjara hanya pada satu sosok makhluk
saja, maka ia menjadi hijab untuk mencapai pencerahan. Keyakinan ini berkaitan
dengan hukum karma dan reinkarnasi dalam kepercayaan mereka. Makanya para biksu
dilarang makan daging. Jangankan memakan, membunuh hewan saja tidak boleh. Bisa
jadi hewan yang kita bunuh dahulu adalah saudara kita di kehidupan sebelumnya.
Islam sendiri
mempunyai slogan terkenal, rahmatan lil-‘aalamiin yang dikutip dari ayat
al-qur’an wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam) (QS. 21: 107). Kata rahm mempunyai makna yang lebih luas
dari cinta yang lumrah kita pahami. Biasanya ia diartikan kasih sayang. Konsep rahmatan
lil-‘alamin ini berbeda dengan cinta universal dalam agama Budha. Porsi
cinta tidak harus sama, tapi harus terintegralkan dalam dasar cinta kepada
Tuhan.
Cinta dalam Sufisme
Membincang
cinta dalam agama Islam akan lebih menarik jika kita menilik konsep cinta dalam
sufisme. Konsep cinta dalam tasawuf dipopulerkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah.
Menurutnya hubungan ideal antara hamba dan Tuhannya adalah seperti pencinta dan
kekasihnya. Kamu jangan beribadah karena menginginkan surga atau takut siksa
neraka. Beribadahlah karena murni cintamu kepada pemilik keduanya. Bahkan dalam
sebuah riwayat, Rabi’ah pernah berdoa;
“Wahai
Tuhanku,
Bilamana
daku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Dan
bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat di surga, maka tutuplah pintu
surga selamanya bagiku
Tetapi
apabila daku menyembah-Mu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap
keindahan-Mu yang abadi.”
Kemudian konsep
cinta dalam tasawuf berkembang setelahnya. Muncul para sufi seperti al-Hallaj dengan
hulul-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya, Ibnu Arabi dengan
wihdatul wujud-nya, Jalaluddin Rumi dengan kosmologi cintanya. Mereka mengenalkan
konsep cinta secara lebih filosofis. Secara
global, cinta yang mereka konsepsikan bisa dibilang hampir mirip. Hanya
terdapat perbedaan pada penggunaan
istilah dan masalah-masalahl detilnya.
Yang menarik
dari konsep mereka adalah cinta tidak lagi difahami sebagai pengorbanan. Cinta
bukan lagi tentang romantisme picisan. Cinta adalah segala tentang peniadaan
diri untuk “menyatu” dengan sang kekasih. Tidak ada lagi dualitas antara kau
dan aku. Karena hubungan antara dua entitas adalah transaksi, bukan cinta
sejati. Tidak ada lagi separuh kau dan aku, karena segala aku telah luruh
melebur kedalam seluruh kamu. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ungkapan
mereka yang terkenal. Al-Hallaj memproklamirkan "ana al-haqq" (akulah Sang
Maha Kebenaran, Abu Yazid berseru, “subhaani u’buduuni” (maha suci Aku,
sembahlah Aku). Ibnu Arabi bersenandung dalam syairnya, “fama nazhrat ‘ainayya
ila ghairi wajhihi/ wama sami’at udzunayya siwaa kalaamihi” (maka kedua
mataku tidak memandang selain wajah-Nya/ dan kedua telingaku tidak mendengar
kecuali ucapan-Nya).
Semua ungkapan ini
rentan untuk disalah-fahami. Bagi mereka yang menelan mentah-mentah akan
menganggap para tokoh sufi itu telah kurang ajar bahkan murtad sebagaimana
Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Ada pula yang mencurigai sebagai paham inkarnasi
seperti ajaran kristiani tentang avatar Tuhan yang menitis kepada Yesus Kristus.
Namun Jalaluddin Rumi punya pemahaman yang menarik mengenai sathahat-sathahat
sufistik tersebut. Menurutnya ungkapan tersebut adalah puncak kerendah-hatian seorang
hamba. Mereka telah meniadakan keakuannya. Di sana tak ada lagi dua entitas;
aku dan Allah. Jika masih ada dualitas, berarti ia masih menonjolkan
keakuannya. Sedangkan mereka telah meniadakan diri dan memasrahkannya kepada
Sang Kekasih. Dengan penuh kesadaran mereka mengakui bahwa tiada wujud sejati
selain Allah. Aku dengan segala eksistensiku adalah tiada. Aku bukan apa-apa.
Filosofi cinta
mereka ternyata juga mempengaruhi beberapa penyair kontemporer. Taufiq Ismail
misalnya yang menterjemahkan puisi cinta Rabi’ah. Dia juga menulis lirik lagu “jika
surga dan neraka tak pernah ada” yang dinyanyikan oleh Chrisye dan Ahmad Dhani.
Kita juga bisa menemukan filosofi Ibnu Arabi dalam penggalan sajak “Satu” Sutardji
Calzoum Bachrie di bawah ini
“kalau kelaminmu
belum bilang kelaminku
aku terjemahkan
kelaminku ke dalam kelaminku.
daging kita
satu arwah kita satu
walau masing
jauh
yang tertusuk
padamu berdarah padaku.”
Jika kita
mendengar lagu “larut” dan “satu”-nya grup band Dewa, melihat video klip
“permintaan hati” dan “senyumanmu”-nya Letto, disana pun kita bisa menemukan
nuansa cinta sufistik terasa kental sekali. Dalam dua lagunya itu, Ahmad Dhani cenderung
memakai diksi yang banyak diambil dari konsep hulul-nya al-Hallaj.
Sedangkan dalam lirik permintaan hati letto lebih bernuansa wihdatul wujud
Ibnu Arabi dan menggunakan gaya cinta Rumi dalam lagu senyumanmu.
Cinta dan Keseimbangan Alam
Di antara para tokoh
sufi tersebut, yang paling populer pemikirannya tentang cinta adalah Jalaluddin
Rumi. Bahkan pasca tragedi WTC, orang barat banyak yang tertarik mempelajari Islam,
dan Rumi diklaim sebagai duta Islam di dunia barat. Mereka terkesan dengan
syair-syair dan pemikirannya tentang cinta sehingga merubah prejudies/
prasangka mereka tentang Islam.
Konsepnya
tentang cinta berkaitan erat dengan kosmologi. Menurutnya cinta adalah yang
menjadi dasar segala ciptaan. Cinta mengada mendahului rasionalitas dan hukum. Untuk
lebih memasuki teori cinta Rumi, saya akan ajukan beberapa pertanyaan. Apa yang
membuat sebuah benda bergerak? Dalam fisika kita akan menemukan jawabannya: Gaya.
Apa inti gaya itu? Tarikan dan dorongan. Jika kita membuka pelajaran fisika
salah satu macam gaya adalah gravitasi (daya tarik planet). Kalau kita memakai
teori cinta Rumi, hal itu menjadi terbalik, karena gravitasi lah yang
menyebabkan keseimbangan gerak benda. Semua benda di sekitar kita punya potensi
gravitasi, namun ia terkendali oleh daya gravitasi yang lebih besar yakni;
bumi. Gerak bumi pun terkendali oleh daya gravitasi matahari. Matahari
terkendali oleh gravitasi pusat galaksi. Dan semua galaksi di cakrawala semesta
ini pasti bergerak dalam kendali gravitasi yang Maha Kuat (al-Qawiyyu). Apa
inti gravitasi? Daya tarik. Itu dia cinta; tarikan. Jadi, seluruh semesta ini
dijadikan Tuhan berdasarkan tarikan cinta dari Dzat yang Maha Mencintai. Fenomena
ini sesuai dengan hadits Qudsi, kuntu kanzan makhfiyan fa-ahbabtu an u’arrifa.
Dahulu Aku adalah harta tersembunyi, lalu aku berhasrat (cinta) untuk dikenali.
Berdasarkan
cinta Allah ini, terpancarlah nur muhammad atau haqiqatul
muhammadiyyah menurut isltilah al-Hallaj. Sedangkan dalam filasafat faidh
(emanasi), dinamakan akal pertama. Kalau teori bigbang benar, bisa jadi itulah
manifestasi awal nur muhammad. Maka hadits qudsi “lawlaaka lawlaaka
lammaa khalaqtul-aflaak” (kalau tidak ada kamu, kalau tidak karena kamu (Muhammad)
tidak akan Aku ciptakan alam semesta), dapat kita temukan relevansinya disini.
Pada nur
muhammad inilah tercermin segala sifat Tuhan secara sempurna. Akhirnya makhluk
berkembang menjadi banyak, dan sifat-sifat Tuhan pun terbagi sesuai
keterbatasan masing-masing. Karena sifat Tuhan yang tercermin dalam nur
muhammad telah terpecah dan terbagi ke berbagai bentuk, harus ada satu quthb
(poros) yang mewakili keutuhan atribut nur muhammad sebagai penyeimbang
kelangsungan hidup alam semesta. Maka Allah mewujudkan esensi nur muhammad
ke dalam diri Adam sebagai khalifatullah. Khalifatullah berperan
sebagai “wakil” pengganti Allah yang bertugas menjaga keseimbangan dunia. Dia
harus menjadi adi manusia, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jili menyebutnya al-Insan
al-Kamil. Manusia yang mampu menyerap dan memanifestasikan sifat-sifat
Tuhan dalam kehidupannya. Nur muhammad terus berpindah dari Adam ke
keturunannya. Dan Insan Kamil yang paling sempurna menyerap dan mencerminkan
sifat-sifat Tuhan adalah Nabi Muhammad Saw.
Bila datang
suatu masa dimana tidak ada satu pun manusia yang mampu merefleksikan
sifat-sifat Tuhan, maka terjadilah kekacauan di antara tarikan-tarikan. Karena
setiap tarikan di dunia telah kehilangan kutubnya. Semua tarikan itu, Rumi
menyebutnya cinta. Bilamana cinta telah sirna maka kiamat sudah tiba waktunya.
Yawma
yafirrul-mar’u min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shahibatihi wa baniihi (Pada hari
ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu
dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya). (QS. 80:
34-36)
Yawma tarawnahaa
tadzhalu kullu murdhi’atin ‘amma ardha’at wa tadha’u kullu dzaati hamlin
hamlahaa (Pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan
itu, lalailah semua wanita yang menyusui dari anak yang disusuinya dan gugurlah
kandungan segala wanita yang hamil). (QS. 22: 2)
Yawma
yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuuts, wa takuunul-jibaalu kal-‘ihnil-manfuusy (Pada hari itu
manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah
seperti bulu yang dihambur-hamburkan). (QS. 101: 4-5)
Idzas-samaa`u-(i)nfatharat,
wa idzal-kawaakibu-(i)ntasyarat, wa idzal-bihaaru fujjirat (Apabila
langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila
lautan dijadikan meluap). (QS. 82: 1-3)
Bukankah
semua itu menunjukkan tarikan-tarikan yang telah kehilangan kutubnya? Bukan-kah
semua itu merupakan gambaran bahwa cinta sudah lenyap dari hati setiap
makhluk-Nya?
“This is
love: to fly toward a secret sky, to cause a hundred veils to fall each moment.
First to let go of life. Finally, to take a step without feet.”
“Inilah cinta:
terbang di langit rahasia, menyebabkan seratus hijab luruh setiap saat. Pertama
membiarkan pergi kehidupan. Akhirnya, menjangkah tanpa kaki.”
~Mawlana Rumi