Pages

Rabu, 01 Agustus 2012

Lalat-Lalat Demokrasi

 cerpen Warih Firdausi*

Baru kali ini lalat membludak begitu banyak. Tidak hanya di tempat kumuh, tempat sampah, bahkan mereka menyerang rumah-rumah. Di pelataran halaman, di ruang tamu, di kamar mandi, di dapur juga tempat tidur. Lalat-lalat itu mulai menyerang di pagi hari. Mereka hilang jika malam datang.
“Ini aneh sekali. Padahal kampung kita terkenal kampung yang bersih. Kabupaten kita yang sekarang menjadi kota kecil dijagokan untuk memperoleh Adipura. Dari mana lalat-lalat ini datangnya?” ujar Pak Lurah saat memimpin musyawarah di balai desa, sambil mengusir lalat yang mau menclok di hidungnya.
Hasil musyawarah desa menyepakati agar seluruh warga wajib bergotong royong mengusir lalat-lalat tersebut. Kami pun mencoba membasmi mereka. Dari cara tradisional: menggunakan sapu lidi, sampai cara modern: menyemprotkan insectisida, pengusir serangga. Dalam rumah, kami beri parfum pengharum ruangan. Ada juga yang setiap hari munyulut obat nyamuk bakar. Namun tetap saja lalat-lalat itu tak mau pergi. Cara spiritual juga telah kami tempuh, mengadakan istighatsah dan doa bersama-sama. Doa qunut setiap akhir rakaat shalat. Namun usaha kami berhasil nihil. Lalat-lalat, tak mau lenyap. Bahkan semakin hari, makin menjadi.
Laler saben dino dipateni kok samsoyo nggilani. Diancuk...” umpat lek Ngarso, suami bulekku yang berjualan gorengan.
Sabar pake, ini mungkin ujian dari Gusti Allah supaya kita ingat atas dosa-dosa kita.” bulekku berusaha menenangkan suaminya.
“Jangan-jangan kampung kita benar-benar kena tulah bune?”kata Lek Ngarso sedikit takut.
“Ah, masa zaman modern seperti ini masih percaya sama yang begituan to Pake? Orang mati sudah sibuk di alam kuburnya sendiri. Entah itu mendapat nikmat atau siksa. Yang penting kita, yang masih hidup ini harus terus berusaha menghadapi kehidupan.”
Mendengar kata-kata Lek Ngarso, aku teringat pada kejadian dua tahun silam. Ada sesepuh desa kami, yang tak lain adalah Simbahku sendiri tiba-tiba menggila. Dia berteriak-teriak menolak saat terjadi perubahan tata cara pemilihan lurah. Dulu, untuk memilih lurah, para sesepuh desa mengadakan musyawarah untuk menunjuk satu orang yang dianggap mumpuni. Setelah banyak pemuda-pemuda kami yang merantau dan sekolah di kota sebelah, mereka menuntut agar pemilihan lurah dipilih secara demokrasi. Simbahku tidak setuju cara seperti ini. Beliau marah-marah di balai desa,
“Jangan sampai kalian ikut-ikutan kena tulah! Mbah Sardi pasti tidak setuju cara seperti ini.” tegas Simbah sambil menyebut nenek moyang desa kami, Mbah Sardi. Beliau lah yang pertama kali membabat desa ini.
Namun, kata-kata Simbahku dianggap ocehan orang tua yang masih percaya takhayul. Tidak rasional, tidak modern. Orang-orang yang setuju dengannya dianggap berpikiran kolot, tidak fleksibel menghadapi perubahan zaman. Bahkan ada yang menggunjing Simbahku,
“Ah, itu kan supaya si Komar, anaknya bisa jadi lurah berikutnya.”
Pemilihan lurah pun berjalan tetap dengan cara demokrasi. Ada 4 orang yang dicalonkan. Mereka adalah Pak Saryono, Pak Somad, Pak Haris dan terakhir Pak Komar, bapakku yang didesak Simbah untuk ikut mencalonkan diri. Akhirnya, yang terpilih sebagai lurah adalah pak Haris, pengusaha meubel terkaya di kampung kami. Selang beberapa minggu setelah pemilihan lurah tersebut, Simbahku wafat.


***


“Kau ini sedang apa to le? Isuk-isuk ko wis sibuk.”
“Ini lho mbah, mbasmi laler-laler. Tiap hari kok malah nambah banyak. Lama-lama kesel mbah, dari pagi sampai sore dikerubung laler terus.”
“Daripada kesel, lha mbok pasrah saja. Wong mereka juga makhluke Gusti Allah kok.”
Kulihat Simbahku tenang sekali. Membiarkan lalat-lalat hinggap di sembarang tempat di bagian tubuhnya.
“Kau mau tau le, dari mana datangnya lalat-lalat itu?”
“Dari mana mbah? Apakah benar lalat-lalat itu tulah dari Mbah Sardi?”
“Hahaha, menurutmu?
“Mana mungkin ini tulah. Mbah Sardi kan manusia bukan malaikat, bukan Tuhan. Lagi pula ia juga sudah wafat, mana mungkin bisa ikut campur urusan orang yang masih hidup? Setahuku tulah itu kan bagi mereka yang menentang hukum Tuhan. Seperti Fir’aun dan kaumnya yang mengaku-ngaku sebagai tuhan dan menindas Bani Israil. Lha kampung kita ini kan orang-orangnya taat mbah. Setiap hari masjid penuh orang shalat berjamaah. Di sini Tuhan dipuja-puji tiada henti.”
“Hahaha. Kata-katamu yang terakhir itu, merasa paling saleh, paling bener sendiri, bukankah itu kesombongan le? Padahal yang berhak sombong kan cuma Gusti Allah. Lha kalau kalian sombong, apa bedanya kalian dengan Fir’aun? Kau tau le? Lalat-lalat itu sebenarnya bersumber dari hati kalian. Mereka adalah cermin hati kalian. Sekuat apapun usaha yang kalian lakukan untuk mengusirnya, lalat-lalat itu akan terus datang. Selama kalian masih rakus, menghalalkan segala cara, berebut uang dan kekuasaan seperti lalat-lalat yang mengerubung makanan dan kotoran.”
“Kenapa Simbah berani memukul rata? Tidak semua warga begitu kan mbah?”
“Hehehe... kau tau le? Karena model pemerintahan kita berubah menjadi demokrasi, maka pemerintah itu adalah wakil rakyatnya. Termasuk yang mewakili watak-wataknya. Kalau pemerintahnya kacau, bisa hampir dipastikan rakyatnya juga sama kacaunya. Kau ingat le, sewaktu simbah mekso bapakmu untuk ikutan nyalon menjadi lurah? Bapakmu itu satu-satunya calon yang tidak keluar modal uang. Lihat hasilnya, dia yang paling sedikit mendapatkan suara. Yang menang sudah pasti si Haris itu, juragan meubel terkaya di kampung kita. Ini bukti, hampir seluruh warga telah dibutakan oleh uang.”
“Orang hidup kan mesti butuh uang to mbah. Kalau tidak ada uang, mereka beli makanan pake apa, menghidupi keluarganya bagaimana?”
Le, uang itu sewaktu dicetak, dia didamu (ditiup) oleh syetan. Makanya siapa pun orangnya, tak pandang rakyat, pejabat, maling sampai wong alim pun suka yang namanya uang. Tapi mbok yo jangan kebangeten. Masa, gara-gara uang saja sampai rela memakan sesamanya.”
Tangan Simbah meraih segelas kopi yang kusediakan di atas meja. Sesaat setelah membuka tutupnya, tiba-tiba seekor lalat terjebak tercebur ke dalam gelasnya. Beliau menunda minumnya,
“ Kau ingat sabda kanjeng Nabi le, kalau ada lalat yang masuk ke dalam minuman?”
“Ingat mbah, ditenggelamkan sekalian seluruh tubuhnya. Karena satu sayap mengandung penyakit dan penawarnya ada di sayap yang lain”
“Nah, kau sudah hafal teorinya! Jadi, kalau kampung ini ingin selamat dari musibah lalat, sebaiknya kalian amalkan dawuh kanjeng Nabi itu.”kata Simbah sambil menyeruput kopinya.
“Apakah itu berarti kami harus membuat hujan buatan mbah?”
“Hahaha, jangan kau telan mentah-mentah sabda kanjeng Nabi itu. Kalau kalian merekayasa hujan buatan, mungkin lalat-lalat itu dapat hilang sesaat, tapi mereka akan kembali lagi setelah hujan reda.”
“Lalu kami harus bagaimana mbah?”
“Tadi kan sudah kubilang, lalat-lalat itu bersumber dari hati kalian. Kalau kalian mengartikan sabda Nabi itu dengan mentah, kalian tak akan bisa menyelesaikan wabah ini. Lihat gelas ini! Demokrasi itu ibarat gelas terbuka. Ia bisa menerima apa saja. Termasuk hati-hati yang berwatak lalat itu. Sayangnya, masyarakat kita ini belum siap berdemokrasi. Mereka masih terlalu dini. Akhirnya, demokrasi di kampung, bahkan juga di negeri ini, banyak sekali yang kecemplungan lalat. Lalat-lalat itu masih terapung sebagian sayapnya. Sayap penawarnya belum ikut tercelupkan. Makanya sistemnya jadi sakit. Kalau kalian mau mengikuti sabda kanjeng Nabi, maka tenggelamkan sekalian sayap penawarnya. Libatkan sayap-sayap masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Ajak mereka bekerja bersama-sama membangun Negara. Kalau sudah masuk semua sayap tersebut, maka matikan jiwa-jiwa lalat kalian. Lalu menjelmalah lebah. Lebah, yang setiap rakyatnya menjadi pasukan yang terkoordinir dengan indah. Bergotong royong saling membantu membangun sarang kerajaannya. Lebah, yang meski punya sengat, namun tak pernah untuk menyengat sesamanya. Sengatnya hanya untuk bertahan dari serangan lawan. Lebah, yang dari perutnya, kita dapatkan cairan madu, obat penawar segala penyakit yang menimpa bangsa ini. Lebah, yang sekali menyengat langsung mati, hiduplah yang bermanfaat, setelah itu baru mati!”
“Ipang, Ipang....” kudengar suara emakku berteriak-teriak dari belakang.
“Sudah sana, lekas hampiri emakmu yang sudah memanggil” kata simbah sambil pergi.
“Ipang, Ipang... suara emak semakin keras. Tubuhku serasa digoyang-goyang kencang.
“Iya, ada apa mak? jawabku sambil mengucek-ngucek mata. Ternyata aku tadi kelelahan sekali mengusir lalat sampai tertidur pulas.
“Ipang, cepat bantu para warga mengusir lebah! Lalat-lalat sudah lenyap, kini giliran lebah yang mewabah.”
“Apa? Diancuuk! Simbaaahh....”

Semarang, 10/01/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...